18 Mei 2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam pembagian agama menurut bentuk sumbernya, Islam dikategorikan sebagai agama teks; dalam arti bahwa asas-asas umum yang menjadi landasan berdirinya agama tersebut bahkan juga doktrin-doktrinnya didasarkan pada dua teks yang otoritatif yakni al-Qur’ān dan al-Hadīs.1 Umat Islam sendiri telah bersepakat bahwa hadis Nabi SAW merupakan interpretasi praktis terhadap Al-Qur’an serta implementasi realistis dan ideal Islam.2 Dengan demikian kedudukan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an tidaklah dapat kita pungkiri sebagai umat Islam.3 Bahkan al-Syāfi’iy mengeluarkan tesis sebagaimana dikutip Daniel W. Brown4 bahwa sunnah5 berdiri sejajar dengan Al-Qur’an dalam hal otoritas karena “perintah Rasulullah adalah perintah Allah.”
Mengingat begitu besarnya kedudukan hadis di samping al-Qur’ān maka keberadaan dan autentitas hadis yang benar-benar berasal dari Nabi SAW menjadi kebutuhan yang signifikan; sehingga dalam hal ini para ulama dari kalangan sahabat dan setelahnya melakukan berbagai upaya berupa penelitian atau kritik hadis. Hal ini terbukti dengan adanya usaha dari para sahabat dalam meletakkan pedoman periwayatan hadis untuk memastikan keabsahannya serta tentang para rijal-nya.6 Seiring dengan berjalannya waktu, keilmuan hadis turut mengalami perkembangan dengan munculnya berbagai metode yang lebih baik dan tajam karena semakin kompleksnya masalah yang menyelimuti hadis, di antaranya karena terjadi pemalsuan hadis7 baik yang didasari oleh kepentingan politik, agama (dakwah) ataupun kepentingan yang lainnya, juga kondisi (intelektual dan kualitas) periwayat hadis itu sendiri yang menuntut dilakukannya penelitian.
Pada abad ke-19 di mana hegemoni Barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama menguasai sebagian besar dunia muslim, maka masyarakat muslim terdorong untuk mengadakan reformasi kelembagaan hukum dan sosial Islam baik untuk mengakomodasi nilai-nilai Barat maupun untuk memulihkan kekuatan Islam. Desakan reformasi ini menghasilkan tekanan untuk mengkaji kembali pondasi esensial kewenangan agama dalam Islam. Keprihatinan mengenai hadis Nabi SAW menjadi titik pusat dalam proses pengkajian ini.8 Dengan demikian penelitian kembali terhadap hadis mendapatkan tempat yang penting dalam khasanah keilmuan Islam di samping upaya penafsiran al-Qur’an, tak terkecuali pembahasan seputar hadis yang berhubungan dengan masalah jilbab.
Berbicara masalah jilbab tidak akan pernah lepas dari pembicaraan masalah wanita dan kedudukannya. Sedangkan kajian tentang kedudukan wanita dalam Islam termasuk dalam bidang yang sensitif; karena persoalan wanita adalah persoalan masyarakat, persoalan masyarakat adalah persoalan umat dan negara. Maka pandangan masyarakat terhadap wanita dari masa ke masa tidak lepas dari tiga macam, yakni: pertama, masyarakat yang menghinakan kaum wanita sebagaimana yang terjadi pada masyarakat jahiliyah, masyarakat Mesir kuno, dan lain-lain. Kedua, masyarakat yang selalu memanjakan kaum wanitanya, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat zaman kolonial Belanda di mana para wanita cantik pada saat itu dipenuhi semua kebutuhannya yang dapat menambah kecantikannya, namun mereka hanya dijadikan sebagai barang permainan yang tidak boleh dinikahi serta tidak mendapatkan hak apapun. Ketiga adalah masyarakat yang menghendaki emansipasi9 yakni masyarakat yang menghendaki persamaan derajat antara pria dan wanitanya.
Pengertian emansipasi ini sering menjadi kabur sehingga menghasilkan sifat dan tabi’at serta budi pekerti yang bertentangan dengan ajaran Islam. Orang sering memahami emansipasi dengan persamaan total antara laki-laki dan perempuan.10 Dalam pandangan Islam, wanita mempunyai tempat dan kedudukan terhormat sehingga mereka mempunyai persamaan dan tanggung jawab yang sama. Di antara penghormatan Islam terhadap wanita adalah dengan disyaria’atkannya jilbab bagi para muslimah, karena dengan demikian para wanita tidak menjadi bahan “tontonan” kaum lelaki yang bukan mahramnya.
Namun akibat perkembangan zaman, terjadilah perubahan standar moral dalam kehidupan masyarakat sehingga dekadensi moral dan rusaknya perilaku umat tidak dapat dihindari. Salah satu kerusakan yang semakin hari semakin tampak adalah semakin jauhnya perilaku kehidupan wanita dari nilai-nilai keislaman.11 Dalam hal kewajiban berhijab atau berjilbab, banyak di antara muslimah dibuat rancu dengan penafsiran-penafsiran yang muncul baik dari kalangan Islam sendiri maupun dari luar Islam. Sehingga benarlah perkataan al-Żahabi sebagaimana dikutip Salim bin I’d al-Hilaliy bahwa hati itu lemah sedang syubhat adalah pencuri.12 Banyak sekali tulisan yang mengulas masalah hijab ataupun jilbab wanita muslimah dengan berbagai pendekatan dari berbagai latar belakang intelektual dan mażhab penulisnya.
Dalam skripsi ini peneliti berusaha mengeksplorasi pemikiran Muhammad Nāşiruddin al-Albāniy13 dan Muhammad bin Şālih al-’Usaimīn14 seputar jilbab wanita muslimah. Keduanya merupakan ulama kontemporer dilihat dari masa atau zaman hidupnya-yakni sekitar abad 20; dan jika dilihat dari sisi pemikirannya, keduanya menggunakan manhaj atau metode ahlus sunnah wal jama’ah15 dalam menafsirkan ayat al-Qur’ān dan sunnah. Kedua tokoh ini berusaha memahami makna dari ayat-ayat maupun hadis seputar jilbab muslimah dengan mengembalikan pada pemahaman para al-Salaf al-Şālih. Namun demikian, hasil yang mereka peroleh dari pemaknaan ayat maupun hadis seputar jilbab wanita muslimah terdapat beberapa persamaan dan perbedaan yang menarik untuk dilakukan penelitian.
Bagi al-Albāniy pembahasan seputar jilbab muslimah merupakan hal yang sangat penting karena telah banyak wanita yang notabene muslimah terpedaya dengan peradaban Eropa. Para muslimah ini akhirnya bersolek dengan cara “jahiliyah pertama” dan menampakkan anggota tubuh mereka yang sebelumnya mereka malu untuk menampakkannya kepada bapak dan mahramnya.16
Fenomena inilah yang mendorong al-Albāniy untuk melakukan kajian yang serius tentang pakaian muslimah (baca: jilbab) dengan membuat beberapa syarat jilbab yang sesuai dengan syariat. Syarat-syarat tersebut beliau buat agar muslimah mempunyai pegangan yang jelas tentang pakaian yang sesuai dengan maksud syar’iy- meskipun sebagian syarat yang beliau buat tidaklah mutlak hanya untuk para wanita muslimah tetapi juga bagi laki-laki muslim.
Dalam masalah cadar (niqab), al-Albāniy menegaskan bahwa cadar tidaklah wajib tetapi sunnah dan mustahab, dimana wanita yang mengenakan cadar berarti ia telah mngikuti jalan yang ditempuh istri-istri Rasulullah saw (ummāhatul mukminīn). Dalam kitabnya “Jilbāb al-Mar’ah Muslimah fi al-Kitāb wa al-Sunnah” al-Albāniy juga memberikan bantahan bagi mereka yang mewajibkan cadar. Menurut al-Albāniy, Jilbab adalah kain yang dipakai wanita di atas khimarnya.17
Lain halnya dengan al-Albāniy, al-’Usaimīn dalam karyanya “Risālah al-Hijāb” mengatakan bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad saw untuk menyempurnakan akhlak. Adapun di antara akhlak yang disyariatkan ialah rasa malu, sedangkan di antara jalannya adalah dengan berhijab serta menutup wajah karena wajah adalah sumber dari fitnah. Dengan kata lain al-’Usaimīn menyatakan bahwa wajibnya menutup muka atau mengenakan cadar bagi muslimah merupakan manifestasi dari ayat-ayat dan hadis-hadis tentang jilbab. Al-’Usaimīn menambahkan, bahwa jika Allah memerintahkan untuk menjulurkan jilbab wanita muslimah sampai ke dada dan kaki-kaki mereka, tentunya menutupkan jilbab ke muka mereka itu lebih penting.18 Hal ini disebabkan karena wajah adalah sumber bagi orang lain untuk dapat mengatakan bahwa fulanah cantik.
Al-’Usaimīn dalam bukunya, selain memberikan definisi jilbab yang sama dengan al-Albāniy, juga menegaskan bahwa cadar adalah wajib bagi wanita muslimah dan memberikan bantahan bagi mereka yang menyelisihi pendapatnya. Baik al-Albāniy maupun al-’Usaimīn, keduanya mengembalikan masalah jilbab ini kepada al-Qur’ān dan Sunnah serta asar para sahabat dan salafussalih. Keduanya melakukan kajian tentang masalah jilbab karena merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat ini khususnya para muslimah yang mulai meninggalkan perintah syariat yang diturunkkan Allah untuk menjaga kesucian mereka dan mengangkat derajat mereka..
Berdasarkan pemaparan di atas peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pemaknaan dan pemikiran kedua tokoh tersebut seputar jilbab muslimah. Hal ini disebabkan karena di antara kedua tokoh ini terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pemikiran yang signifikan dalam memahami ayat maupun hadis seputar jilbab muslimah. Alasan lain yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian masalah jilbab adalah karena pembahasan seputar topik ini terus menarik untuk dilakukan pengkajian, di mana umat Islam sedang berada dalam kondisi yang memprihatinkan dan menjadi tempat persemaian bagi orang yang mengkampanyekan “slogannya”. Sehingga dalam keadaan ini tumbuhlah berbagai kebatilan dan orang-orang munafik turut berbicara dalam urusan umat ini, yang akhirnya muncul anggapan di antara wanita muslimah bahwa jilbab telah mengekang hidup dan karirnya.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari Latar Belakang Masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini, yakni:
1. Bagaimana pemikiran al-Albāniy dan al-’Usaimīn tentang jilbab muslimah menurut al-Qur’ān dan Sunnah.
2. Apa persamaan dan perbedaan pemikiran Al-Albāniy dan Al-’Usaimīn seputar jilbab muslimah dalam syari’at Islam.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahi pemikiran al-Albāniy dan al-’Usaimīn tentang jilbab muslimah menurut al-Qur’ān dan Sunnah.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran al-Albāniy dan al-’Usaimīn seputar jilbab muslimah dalam syari’at Islam.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap khasanah intelektual Islam di bidang keilmuan tafsir dan hadis. Secara khusus penelitian ini diharapkan mampu memberikan deskripsi perbandingan antara pemikiran Muhammad Nāsiruddin Al-Albāniy dan Muhammad bin Sālih al-’Usaimīn serta kontribusi beliau-sebagai ulama kritik hadis abad modern-terhadap khasanah keilmuan Islam, khususnya dalam pembahasan seputar jilbab muslimah.
D. Tela’ah Pustaka
Pembahasan seputar jilbab muslimah sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru. Wacana ini telah banyak diperbincangkan baik oleh ulama klasik maupun ulama kontemporer dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan yang berbeda. Pembahasan seputar jilbab ini sering pula dihadirkan dengan kata hijab. Dengan demikian hijab maupun jilbab mempunyai makna yang sama meskipun ada beberapa ulama yang membedakan makna kedua istilah tersebut, misalnya al-Albāniy. Bagi al-Albāniy, istilah hijab dan jilbab memiliki keumuman dan kekhususan sendiri-sendiri. Setiap jilbab adalah hijab, namun tidak semua hijab adalah jilbab.19
Riffat Hasan dengan metode dekonstruksinya-yakni mendekonstruksi penafsiran yang telah dinilainya bias patriarkhi-mencoba mendekonstruksi makna hijab yang selama ini dipahami. Bagi Riffat Hasan, pada dasarnya sistem purdah atau jilbab adalah dalam rangka menyelamatkan dan memberi keamanan bagi perempuan dari fitnah dan gangguan. Riffat tetap setuju dengan sistem purdah tetapi jangan dijadikan alasan bagi wanita untuk dilarang keluar rumah.20
Ibnu Kasīr dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa Hijab adalah kewajiban bagi kaum wanita muslimah sebagai penghormatan baginya dan pembeda dirinya dengan kaum wanita jahiliyah.21 Pendapat Ibnu Kasīr ini banyak diikuti oleh ulama ahlus sunnah wal jama’ah di antaranya adalah Dr. Sālih bin Fauzān bin Abdullāh al-Fauzān, Syaikh Abdul ‘Azīz bin Abdullāh bin Bāz, dan lain sebagainya.
Muhammad Syahrur-seorang tokoh kontroversial-dalam kitabnya “Al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āsyirah” juga membahas masalah hijab dengan menggunakan metode intertekstualitas dan dengan menggunakan pendekatan linguistik sintagmatis.22 Hasilnya, Syahrur mendapatkan pandangan yang berbeda dengan kebanyakan ulama dalam masalah hijab. Bagi Syahrur, kata al-khumur dalam Surat al-Nūr: 31 tidak bermakna ‘tutup kepala’ seperti yang lazim diketahui, namun yang di maksud adalah segala macam penutup tubuh baik kepala maupun anggota badan yang lain. Dikaitkan dengan konsep Syahrur tentang al-hadd al-adnā (batasan minimal) dan al-hadd al-a’lā (batas maksimal), yang kemudian dibandingkan dengan hadis Nabi saw yang menyatakan bahwa seluruh bagian tubuh wanita adalah aurat, maka dapat disimpulkan bahwa bagian tubuh yang termasuk kategori al-juyūb (lekuk tubuh yang mempunyai celah dan bertingkat; seperti bagian di antara kedua buah dada, di bawah buah dada, di bawah ketiak, kemaluan, dan kedua bidang pantat)adalah al-hadd al-adnā. Adapun bagian tubuh seperti wajah, telapak tangan, dan telapak kaki adalah al-hadd al-a’lā. Konsekuensinya, seorang wanita yang menutup seluruh anggota tubuhnya berarti ia telah melanggar hudūd Allah, begitu juga wanita yang memperlihatkan tubuhnya lebih dari anggota yang termasuk kategori al-juyūb.23
Muhammad Jamil Zainu dalam bukunya “Penghargaan Islam terhadap Wanita”, menyebutkan syarat-syarat hijab bagi wanita muslimah yang membedakan mereka dengan wanita jahiliyah. Secara tidak langsung beliau menolak pendapat yang mengatakan bahwa jilbab adalah tradisi Arab.
Dalam masalah cadar atau menutup muka bagi wanita, Yusuf Qardawi setelah menyajikan dalil-dalil yang berbicara dalam masalah tersebut memberikan kesimpulan bahwa muka dan dua telapak tangan wanita bukanlah termasuk aurat, sehingga tidak wajib untuk ditutup. Lebih lanjut Qardawi mengatakan bahwa memakai hijab secara berlebihan pada diri wanita -sebagaimana dilakukan oleh sebagian masyarakat pada masa-masa Islam- adalah kebiasaan yang dibentuk manusia sebagai sikap berhati-hati dan menutup pintu kehancuran.24
Adapun karya ilmiah atau penelitian yang membahas seputar hijab telah dilakukan oleh Nur Islami dan Nurul Adha. Nur Islami dalam skripsinya yang berjudul ‘Hijab menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir fī Zilāl al-Qur’ān’ menguraikan tentang karekteristik hijab menurut Sayyid Quthb sebagai hasil penafsirannya terhadap Surat al-Ahzāb: 32-34, 55, dan 59.25 Sedangkan Nurul Adha menguraikan tentang praktek berhijab di zaman Rasūlullāh saw dengan melakukan studi atas Surat al-Nūr dan al-Ahzāb dalam skripsinya yang berjudul ‘Konsep Hijab dalam al-Qur’ān (Studi terhadap Surat al-Nūr dan al-Ahzāb)’.26
Karya ilmiah atau penelitian yang membahas seputar pemikiran al-Albāniy di antaranya adalah skripsi karya Rastana yang di dalamnya membahas pemikiran al-Albaniy tentang studi kritik hadis secara umum.27 Skripsi karya Evi Fitriana yang membahas tentang pandangan gerakan Salafi ahlus sunnah wal jama’ah terhadap hadis-hadis tentang cara berpakaian istri-istri nabi SAW.28 Dalam skripsi tersebut penyusun menggunakan kitab Jilbab Wanita Muslimah karya al-Albāniy yang telah diterjemahkan sebagai data primernya, namun demikian penyusun tidak membahas pemikiran al-Albāniy secara khusus tentang jilbab. Skripsi tersebut cenderung menitikberatkan pada praktek gerakan Salafi ahlus sunnah wal jama’ah saat ini dalam berpakaian dikaitkan dengan cara atau praktek berpakaian istri-istri Nabi saw.
Dari sekian banyak karya seputar hijab dan jilbab, sejauh pengetahuan peneliti belum ada karya tulis atau penelitian yang membahas pemikiran al-Albāniy maupun al-’Usaimīn seputar jilbab muslimah secara khusus.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara bagaimana peneliti mencapai tujuan atau memecahkan masalah. Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian karena berhasil tidaknya suatu penelitian sangat ditentukan oleh bagaimana peneliti memilih metode yang tepat.29 Adapun metodologi adalah serangkaian metode yang saling melengkapi yang digunakan dalam melakukan penelitian.30 Guna mendapatkan hasil penelitian yang sistematis dan ilmiah maka penelitian ini menggunakan seperangkat metode sebagai berikut:
1. Sumber Data dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), oleh karena itu sumber data penelitian diperoleh dari kitab-kitab atau buku-buku karya tokoh yang diteliti maupun referensi lain yang berkaitan dengan pokok pembahasan. Data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yakni data primer dan data skunder. Adapun data primer yang menjadi sumber penelitian ini adalah kitab Jilbāb al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitāb wa al-Sunnah karya Al-Albāniy dan kitab Risālah al-Hijāb karya al-’Usaimīn yang telah diterjemahkan dengan judul Hukum Cadar oleh Abu Idris. Sedangkan data sekunder meliputi kitab-kitab maupun buku-buku atau referensi lain yang berkaitan dengan masalah jilbab wanita muslimah ataupun yang berkait dengan tokoh yang dikaji dalam penelitian ini.
3 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif-komparatif, yakni penelitian yang mendeskripsikan pemikiran al-Albāniy dan al-’Usaimīn tentang jilbab muslimah, yang kemudian dilakukan komparasi atau perbandingan atas pemikiran kedua tokoh tersebut. Dengan demikian, data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan metode komparasi (muqārran)31 untuk membandingkan pemikiran al-Albāniy dan al-’Usaimīn tentang jilbab muslimah.
F. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini dilakukan melalui langkah-langkah sistematis dan terarah supaya mendapatkan hasil penelitian yang optimal, yang dituangkan dalam beberapa bab sebagai berikut:
Bab pertama sebagai pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tela’ah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahaan.
Bab kedua berisi biografi Muhammad Nāşiruddin al-Albāniy dan Muhammad bin Şālih al-’Usaimīn yang meliputi nama dan kelahiran, perjalanan intelektual, kondisi sosial politik yang melingkupi keduanya, serta metode atau manhaj ilmiah kedua tokoh tersebut yang didalamnya mencakup definisi salaf dan prinsip dakwah salafiyah.
Bab ketiga merupakan inti pembahasan. Dalam bab ketiga ini peneliti memberikan deskripsi atas pemikiran Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy dan Muhammad bin Şālih al-’Usaimīn tentang jilbab muslimah. Dalam bab ini pula peneliti menyajikan persamaan dan perbedaan pemikiran kedua tokoh yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini.
Bab keempat merupakan penutup skripsi yang di dalamnya berisi kesimpulan dari pembahasan sebelumnya dan saran-saran, serta ucapan penutup.
BAB II
BIOGRAFI MUHAMMAD NĀŞIRUDDĪN AL-ALBĀNIY DAN MUHAMMAD BIN ŞĀLIH AL-’USAIMĪN
Apabila kita melakukan penelitian atas pemikiran seorang tokoh, maka pengetahuan tentang biografi beserta kondisi sosial politik yang melingkupi tokoh tersebut menjadi niscaya untuk kita ketahui. Karena kondisi sosial politik suatu tempat atau suatu waktu pasti berpengaruh (sedikit maupun banyak) pada perjalanan intelektual dan pemikiran orang yang tinggal di dalamnya.
Demikian juga yang terjadi pada Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy dan Muhammad bin Şālih al-’Usaimīn. Perkembangan intelektual kedua tokoh ini berjalan seiring dengan perkembangan lingkungan di sekitarnya yang mendorong keduanya melakukan kajian yang serius dan tajam terhadap al-Qur’ān dan Sunnah, yang pada akhirnya mampu menghasilkan karya-karya monumental sebagai reaksi ataupun jawaban atas segala persoalan masyarakat di sekitarnya.
A.Biografi Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy
1.Nama dan Kelahiran al-Albāniy
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Nāsiruddīn bin Nūh bin Ādam Najāti Abū Abdirrahmān. Beliau lebih dikenal dengan sebutan al-Albāniy karena lahir di Albania tepatnya di Asyqudarah (ibu kota Republik Albania saat itu) pada tahun 1914 M/1332 H;1 Beliau juga dikenal dengan al-Dimasyqiy karena pernah menetap di Damaskus selama kurang lebih lima tahun; Beliau juga dikenal dengan al-Urduniy karena Yordania merupakan tempat tinggal dan tempat wafatnya.2 Ia lahir dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Ayahnya Haji Nūh termasuk seorang ulama besar di Albania bermażhab Hanafi. Lingkungan ia tinggal ketika masih muda juga merupakan lingkungan yang kental nafas agamanya, memelihara ajaran dalam segala aspek kehidupan. Hingga berkuasalah raja Albania saat itu, yaitu Ahmad Zugū, yang mengadakan perombakan total atas sendi-sendi kehidupan masyarakat yang menyebabkan goncangan hebat bagi masyarakat Albania dan bagi al-Albāniy sendiri. Ahmad Zugū berkuasa dengan mengikuti langkah Kemal Attaturk di Turki. Di antara bukti kesewenang-wenangan Zugū adalah ia mengharuskan wanita-wanita muslimah menanggalkan jilbabnya.3
Sejak saat itu orang-orang yang ingin menyelamatkan agama mereka banyak melakukan pengungsian, demikian juga keluarga Haji Nūh yang mengungsi ke Syām tepatnya adalah di kota Damaskus. Pindahnya keluarga al-Albaniy ke Syām bukanlah tanpa alasan tetapi karena ayahnya banyak membaca hadis yang menerangkan tentang keutamaan Negeri Syām secara umum dan kota Damaskus secara khusus, kemudian pindah ke Yordania dan kemudian kembali lagi ke Syām. Setelah itu pindah ke Beirūt dan terakhir pindah ke Ammān,Yordania.4 Beliau juga pernah menetap di Madīnah al-Munawwarah selama tiga tahun sejak 1381 H ketika beliau mengajar di Universitas Islam Madinah.5
Al-Albāniy selalu menghabiskan waktunya dengan meneliti, menulis dan berdakwah hingga Allah memanggilnya pada bulan Jumadil Akhir 1420 H bertepatan dengan tanggal 10 Februari 1999 M dalam usia 86 tahun.
2.Latar Belakang Intelektual al-Albāniy
Kepindahan keluarga al-Albāniy ke Syām merupakan berkah tersendiri bagi al-Albāniy, karena di sana al-Albāniy dapat hidup terbiasa menggunakan bahasa Arab yakni bahasa yang mutlak harus dikuasai oleh siapa saja yang hendak memahami al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sesampainya keluarga al-Albāniy di Damaskus, lalu al-Albāniy dan saudara-saudaranya masuk pada sebuah sekolah swasta yakni Jam’iyyah al-Is’āf al-Khairi.6 Al-Albāniy menyelesaikan studi tingkat ibtidaiyahnya selama 4 (empat) tahun. Setelah duduk di bangku ibtidaiyyah, al-Albāniy tidak melanjutkan studinya pada sekolah-sekolah yang ada. Menurut ayahnya sekolah-sekolah umum atau pemerintah tersebut kurang bagus mutu pengajaran agamanya, karena bersamaan pada saat itu bergejolak revolusi Syiria yang dihembuskan oleh orang-orang Perancis. Ayah al-Albāniy menetapkan baginya belajar intensif pada para ulama (Masyaikh). Beliau belajar pada ayahnya, Fiqih Mażhab Hanafi dan ilmu Saraf, juga tajwid dan al-Qur’an. Beliau juga belajar sebagian fiqih Hanafi dan secara terfokus membaca kitab Marāqi al-Falāh Syarh Nūr al-Iddah, sebagian kitab Nahwu dan Balaghah modern dan mempelajari buku-buku hadis pada syaikh Sa’īd al-Burhāni. Beliau memperoleh ijazah riwayat dalam ilmu hadis dari seorang tokoh ulama Halab, yaitu Syaikh Ragib al-Tabbakh, setelah bertemu dengannya lewat perantara Ustaż Muhammad al-Mubarak.7
Al-Albāniy yang sekarang dikenal sebagai ulama kritikus hadis abad ini adalah seorang yang dulunya hidup dalam keluarga dengan kondisi ekonomi rendah. Beliau pernah bekerja sebagai tukang kayu yang biasa merenovasi rumah-rumah lama yang telah rusak dan hancur disebabkan hujan atau salju. Kemudian beliau bekerja membantu ayahnya mereparasi jam dan saat itulah al-Albāniy mendapatkan waktu yang lebih banyak untuk belajar. Bagi al-Albāniy, pekerjaan ini merupakan nikmat yang dikaruniakan Allah padanya, karena dengan begitu ia mempunyai kesempatan menghadiri kajian-kajian di masjid. Pada awalnya, al-Albāniy senang membaca buku-buku cerita Arab, seperti Al-Zāhir wa ‘Antarah,8 cerita-cerita detektif yang diterjemahkan dalam bahasa Arab, seperti Archier Lobphin dan lain-lain serta buku-buku sejarah. Buku-buku tersebut ia dapatkan dengan membaca pada toko buku di sebelah masjid.
Semangat beliau dalam mempelajari ilmu-ilmu hadis berawal pada suatu hari di mana ia mendapatkan majalah al-Manar yang di dalamnya terdapat tulisan Sayyid Rasyid Rida ketika membahas kitab Ihyā’ ‘Ulūmuddin dengan menunjukkan sisi baik juga kesalahan-kesalahan buku tersebut secara ilmiah. Al-Albāniy tertarik dengan tulisan tersebut karena bagi beliau baru kali ini mendapatkan tulisan ilmiah seperti itu. Rasyid Rida juga menyebutkan bahwa Abū Radil Zainuddin al-Irāqi mempunyai sebuah kitab yang berjudul Al-Mugni ‘an Hamli al-Asfār fi al-Asfār fi Takhrīj ma fi al-Ihyā’ min al-Akhbār. Kitab tersebut membahas tentang ‘Ihyā΄ ‘Ulūmuddin dengan meneliti hadis-hadisnya serta memisahkan antara yang şahih dan yang daīf.
Al-Albāniy mengikuti seluruh pembahasan tentang kitab al-Ihyā’ tersebut sampai akhir, baik dari seluruh edisi majalah al-Manār maupun dari kitab aslinya Ihyā’ ‘Ulūmuddin karya al-Ghazali. Al-Albāniy mulai tertarik dengan takhrij yang dilakukan al-Hāfiz al-Irāqi sehingga beliau menyalinnya dalam satu naskah atau meringkasnya dengan memanfaatkan kita-kitab ayahnya sebagai referensi dalam memahami kata-kata asing karena ia adalah seorang ajam (bukan orang Arab). Hasil salinan dan ringkasan al-Albāniy tersebut mencapai 4 juz dalam 3 jilid mencapai 2012 halaman dengan dua macam tulisan, yang pertama tulisan biasa dan yang kedua tulisan yang lebih rapi dan teliti disertai footnote yang berisi komentar, penafsiran makna hadis, atau melengkapi (sesuatu yang dianggap perlu dari tulisan al-Irāqi). Misalnya jika ada kata-kata sulit beliau mengambil/merujuk pada kitab Garīb al-Hadīs karya Ibnu al-’Asir, al-Nihāyah dan beberapa kamus.
Kegemaran al-Albāniy terhadap warisan Nabi terus bertambah, demikian pula upayanya dalam memisahkan hadis-hadis şahih dari yang lemah. Hal ini menyebabkan beliau bekerja hanya tiga hari dalam satu minggu selain hari selasa dan jum’at. Karena bagi beliau waktu tersebut telah cukup untuk mendapatkan makanan pokok bagi keluarga dan anak-anaknya. Adapun waktu-waktu selebihnya beliau gunakan untuk menuntut ilmu, menulis, dan mempelajari hadis-hadis Rasulullah saw terutama manuskrip hadis yang ada di perpustakaan “Zāhiriyah”. Beliau banyak menghabiskan waktu di perpustakaan sehingga setiap orang pada saat itu mengetahui kesungguhan dan semangatnya dalam memanfaatkan waktu.
Tidak seperti pada kebanyakan ulama atau cendekiawan saat ini yang mudah mendapatkan buku-buku yang mereka perlukan dengan cara membeli karena tersedianya dana yang mereka miliki, maka Al-Albāniy mendapatkan buku-buku yang ia cari dari perpustakaan, seperti perpustakaaan Al-Zahiriyah, al-Arabiyah al-Hasyimiyyah (Ied Ikhwan) milik Ahmad Hamdy dan Taufik. Beliau juga mendapatkan dari toko buku seperti milik Sayyid Salim Al-Qusaibasiy dan anaknya Izzat dengan cara meminjam karena beliau tidak sanggup membelinya.9
Ketekunan dan keuletan al-Albāniy membawa hasil yang sangat besar. Beliau menjadi rujukan para penuntut ilmu, dosen maupun para ulama dalam ilmu hadis khususnya dalam al-jarh wa al-ta’dīl. Keadaan ini menimbulkan hasad (kebencian) dari orang-orang yang dengki baik ketika mengajar di Universitas Islam Madinah sehingga beliau dikeluarkan dari Universitas tersebut maupun ketika berdakwah di Damaskus, sehingga beliau dipenjara pada tahun 1389 H/1968 M.10 Ketika di penjarapun al-Albāniy tetap produktif dan menghasilkan karya yang berjudul “Mukhtaşar Şahīh Muslim”.
Dalam penelitian maupun dakwahnya, al-Albāniy menggunakan metode atau manhaj para salaf ahlus sunnah wal jama’ah. Al-Albāniy juga memiliki gaya ilmiah tersendiri yang berpijak pada asas-asas yang kokoh, yakni: yang pertama, al-Albāniy mempunyai manhaj (metode) ilmiah yang jelas dalam setiap fase pemikirannya yaitu manhaj salaf ahlus sunnah wal jama’ah. Yang kedua, mempunyai kemampuan berdebat yang ditunjang dengan penguasaan yang kuat terhadap sunnah, asar, dan khabar. Yang ketiga, mempunyai hujjah (argumentasi) yang kuat dalam setiap fatwanya. Yang keempat, mempunyai sikap yang tegas dalam masalah yang beliau anggap benar berdasarkan dalil.11
Kesabaran, ketekunan dan keuletan al-Albāniy dalam dakwah maupun penelitian hadis mendapatkan pujian dari para ulama, bahkan para ulama menyebutnya sebagai mujaddid abad ini. Rasulullah SAW bersabda:
إن الله َََيَبْعَثُ لهذه اﻷمةِ على رﺃس كل مائة سنة من يجدد لها دينها
“Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat ini pada setiap seratus tahun seorang mujaddid yang memperbaharui urusan agama mereka”12
a. Guru Al-Albāniy
Meskipun al-Albāniy bukanlah ulama lulusan sebuah perguruan tinggi namun bukan berarti beliau tidak mempunyai guru yang menghantarkannya menjadi seorang ahli hadis. Dalam kenyataannya al-Albāniy mempunyai guru yang ahli dibidang hadis bahasa, juga tentang fiqih.
Di antara para guru al-Albāniy13 adalah:
1) Haji Nūh Najati (ayah al-Albāniy), kepadanya beliau belajar al-Qur’ān beserta tajwidnya, dan sekilas tentang fiqh Hanafi.
2) Syaikh Sa’īd al-Burhāniy, kepadanya beliau belajar kitab “Marāqi΄ al-Falāh”, beberapa kitab hadis dan ilmu balaghah.
3) Syaikh Ragib al-Ţabbakh. Darinya al-Albāniy memperoleh ijazah riwayat.
b. Murid-Murid al-Albāniy
Al-Albaniy adalah salah seorang tokoh yang telah menghabiskan seluruh isi hidupnya untuk menuntut ilmu, mengajar dan berdakwah. Dengan demikian beliau tidak hanya memiliki puluhan murid bahkan ratusan, meski terdapat perbedaan di antara mereka baik masa, subyek maupun metode pengambilan ilmu dari beliau. Di antara mereka ada yang mengambil ilmu secara langsung atau melalui perantara kitab, kaset, atau yang lainnya. Namun demikian mereka mempunyai ciri yang sama berupa aqidah yang murni serta mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah sesuai pemahaman al-Salaf al-Şālih.
Di antara para murid beliau:14
1) Ihsan Ilahi Zahir.
2) Ahmad al-Sayyid al-Khasysyab, bermukim di Ammān Yordania.
3) Basim Faişal Jawabirah, dosen Ilmu Hadis di Riyād.
4) Hijazi Muhammad Syarīf, bermukim di Mesir. Beliau mendapat pujian dari Al-Albāniy sebagai seorang yang utama dalam ilmu hadis.
5) Husain Khalid Asyisy, bermukim di Abu Dabi.
6) Husain ‘Audah al-Awayisyah, bermukim di Ammān Yordania.
7) Hamdi ‘Abdu al-Majīd al-Salafy, bermukim di Iraq.
8) Khairuddin Wanli, seorang penyair terkenal yang berdomisili di Damaskus, Syām.
9) Zuhair al-Syāwisy, pemilik penerbit al-Maktabah al-Islāmiy, berdomisili di Beirūt, Lebanon.
10) Rida Na’san Mu’ţi, menantu al-Albāniy.
11) Salim bin ‘Ied al-Hilāliy, seorang da’i yang pernah berkunjung dua kali ke Indonesia tahun 1422 H dan 1423 H.
12) ‘Āşim bin ‘Abdullāh al-Qaryuti, bertugas di pusat pengkajian ilmiah Madīnah al-Munawwarah.
13) ‘Abdullāh Şalih al-Ubailan, bermukim di Saudi Arabia.
14) Abdurrahmān Albāniy, seorang ahli dalam bidang pendidikan dan dosen pada sebuah universitas di kota Riyād.
15) ‘Abdurrahmān Abduşşamad, menekuni Syaikh al-Albāniy di kota Halab, Hamah, dan lainnya.
16) ‘Izzat Khiżir, seorang yang diberi wasiat untuk memimpin pemandian jenazah al-Albāniy.
17) ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid al-Halabiy al-Asariy, beliau telah berkunjung tiga kali ke Indonesia.
18) Umar Sulaiman al-Asyqar, berdomisili di Yordania.
19) Muhammad Ibrāhim Syuqrah, bermukim di Ammān Yordania.
20) Muhammad Ahmad (Abu Laila al-Asariy), bermukim di Zarqa’ Yordania.
21) Muhammad Ibrāhim Syaibāniy, penulis kitab “Hayah al-Albāniy” dalam dua jilid, bermukim di Kuwait.
22) Muhammad Jamil Zainu, Menekuni Syaikh al-Albāniy di kota Halab, Hamah dan Ruqah Syiria, seorang dosen di Dār al-Hadīs, Makkah al-Mukarramah.
23) Muhammad ‘Abdurrahmān al-Magrawi, belajar pada al-Albāniy di Universitas Islam Madinah, berdomisili di Maroko.
24) Muhammad ‘Ied al-Abbasi, salah seorang murid al-Albāniy yang paling lama belajar pada beliau, bermukim di Riyād.
25) Muhammad Lutfi al-Sabbāg, seorang doktor dalam bidang pendidikan, bermukim di Riyād.
26) Mahmūd Mahdi al-Istambuli, penulis kitab “Tuhfah al-Arūs” yang telah diterjemahkan dengan judul “kado pernikahan”. Beliau meninggal pada tahun 1420 H/1999 M.
27) Muhammad Mūsa Ali Naşr (Abū Anas), bermukim di Ammān Yordania. Beliau banyak menulis makalah dalam majalah “al-Aşālah”. Beliau juga pernah berkunjung ke Indonesia tahun 1423.
28) Muhammad Nāşir Tarmanini, salah seorang murid al-Albāniy yang terkenal di kota Halab Syiria.
29) Muhammad Nasib al-Rifa’i, beliau belajar pada al-Albāniy di kota Halab.
30) Mahmūd Aţiyah, bermukim di Syariqah.
31) Mustafa al-Zarbūl, bermukim di kota Ammān sejak meletusnya perang teluk.
32) Mustafa Ismā’īl (Abū Hasan al-Maşri al-Ma’rabi), berdomisili di Yaman.
33) Masyhur bin Hasan Alu Salman, salah seorang murid al-Albāniy yang banyak mengasilkan karya tulis. Beliau bermukim di Ammān Yordania. Beliau juga pernah berkunjung ke Indonesia tahun 1423 H.
34) Muqbil bin Hādi al-Wādi’iy, belajar pada al-Albāniy di Universitas Islam Madinah, beliau meninggal di Makkah al-Mukarramah tahun 1422 H.
35) Walid Muhammad Nabih Saif Naşr (Abū Khalīd), berdomisili di Qatar. Beliau mentahqiq kitab “Al-Syari’ah” karya Imam Ajurri.
36) Mahfūż Rahmān Zainullah, meninggal di Uni Emirat Arab.
c. Karya-Karya Al-Abāniy
Sebagai seorang pecinta ilmu, al-Albāniy banyak menulis karya-karya seputar hadis maupun seputar masalah fiqih. Karya-karya tersebut selalu diiringi dengan takhrij, ataupun tahqīq, syarh, dan tanqīh atas hadis-hadis yang ada di dalamnya karena beliau memang seorang yang berkompeten di bidang ilmu hadis. Beliau juga menjadi rujukan para ulama, dosen-dosen dan para penuntut ilmu. Mereka menemui beliau dari berbagai belahan dunia untuk menimba pelajaran dari ilmu beliau.15
Karya al-Albāniy ada sekitar 218 judul yang menunjukkan ketekunan beliau dalam ilmu, di antaranya ada yang telah dicetak dan beredar di tengah kaum muslimin dan ada pula yang masih berupa manuskrip.
Karya beliau yang sudah dicetak:
1) Ādāb al-Zifāf fi al-Sunnah al-muţahharah, (adab–adab perkawinan menurut Sunnah Rasulullah SAW yang suci)
2) Ahkāmu al-Janāiz (hukum-hukum pelaksanaan jenazah).
3) Āyāt Bayyināt fi ‘Adami Sama’ al-Amwāt ‘alā Mażhab al-Hanafiyah al-Sādāt (dalil-dalil yang menerangkan bahwa orang mati tidak mendengar menurut madzhab Hanafi); merupakan karya Imam al-Alusi ra yang diteliti dan ditakhrij hadis-hadisnya oleh al-Albāniy.
4) Al-Ajwibah al-Nāfi’ah ‘an As’ilah Lajnah Masjid al-Jāmi’ah (beberapa jawaban atas pertanyaan Lajnah Masjid al-Jamiah)
5) Al-Ihtijāj bi al-Qadar (Berhujah dengan Takdir ketentuan Allah) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ditahqiq oleh al-Albāniy.
6) Irwā al-Galīl fi Takhrīj Ahādīs Manāri al-Sabīl. (kumpulan hadis-hadis kitab Manārus Sabīl); karya beliau dalam delapan jilid beserta satu jilid indek hadis.
7) Islahu al-Masājid min al-Bida’i wa al-‘Awāid; karya Imam al-Qasimi yang di-takhrij hadis-hadisnya beserta tanggapan beliau.
8) Igāsatu al-Lahafan min Maşāyidi al-Syaiţān; karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziah yang di-takhrij hadisnya.
9) Iqtidā’ al-‘Ilmi wa al-‘amal; karya al-Khatib al-Bagdādi yang diteliti kembali dan di-takhrij hadis-hadisnya serta dikomentari.
10) Al-Ikmāl fi Asmā’ al-Rijāl; karya imam al-Tibrizi yang di-tahqiq.
11) Al-Limān; karya imam Abu Bakar bin Abi Syaibah yang di-tahqiq dan di-takhrij hadis-hadisnya serta dikomentari.
12) Al-Īmān; karya imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam yang di-tahqiq dan di-takhrij hadis-hadisnya serta dikomentari.
13) Al-Ba’īs al-Hasīs Syarh Ikhtişar Ulūm al-Hadīs; karya Imam Ahmad Syakir yang di-tahqiq dalam dua jilid.
14) Bidāyatu al-Su’ul fi Tafdīl al-Rasūl; karya Imam al-Izz bin Abdus-Salam yang di-tahqiq dan di-takhrij hadis-hadisnya.
15) Ta’sīsu al-Ahkām Syarh Bulūgul Marām; karya Syaikh Ahmad bin Yahya al-Najmi yang di-ta’liq. Jilid pertama telah dicetak.
16) Tahżīru al-Sājid min ittikhāżi al-Qubūr masājid (peringatan bagi orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid).
17) Tahqīq Ma’na al-Sunnah; karya Sulaiman al-Nadwi yang di-takhrij hadis-hadisnya.
18) Takhrīj Ahādīs Fadā’il al-Syam wa Dimasq; karya Imam al-Rib’i.
19) Takhrīj Ahādīs Kitāb Musykilah al-Faqri karya Yusuf Qardhawi.
20) Al-Ta’qīb ‘alā Risālah al-Hijāb; karya Abul A’la al-Maududi yang beliau komentari.
21) Al-Ta’liqatu al-Radiyah ‘alā al-Raudah al-Nadiyyah; karya Siddiq Hasan Khan yang beliau ta’liq.
22) Al-Tankīl bi-mā fī Ta’nib al-Kausari min al-Abaţil; karya al-‘Allamah ‘Abdurrahman al-Mu’allimi yang beliau tahqiq dan tanggapi dalam dua jilid.
23) Jilbāb al-Mar’ah al-Muslimah (Jilbab wanita Muslimah).
24) Hijāb al-Mar’ah wa libāsuha fi al-Şalah (Hijab seorang wanita dalam shalat); karya Ibnu Taimiyyah yang beliau takhrij, tahqiq dan ta’liq.
25) Hajjatu al-Nabiy SAW Kamā Rawāha ‘anhu Jabīr wa rawāha ‘anhu Siqāt Aşhābihi al-Akābir (Manasik Haji Rasulullah SAW menurut riwayat Jabir dan para sahabat terkemuka).
26) Al-Hadīs Hujjah Binafsihi fi al-aqā’id wa al-ahkām (Hadis Nabi SAW adalah hujjah bagi ‘aqidah dan hukum).
27) Al-Hadīs al-Nabawiy; karya Muhammad al-Sabāg yang beliau takhrij.
28) Huqūqu al-Nisā’ fi al-Islām; karya Syaikh Muhammad Rasyid Ridha yang beliau ta’liq.
29) Haqīqatu al-Syiyām (Hakikat Puasa); karya Ibnu Taimiyyah yang beliau takhrij hadis-hadisnya.
30) Difā’ ‘an al-Hadīs al-Nabiy wa al-Sirah fi al-Raddi ‘alā Jahalāt al-Duktūr al-Buţi fi Fiqhi al-Sirah (Pembelaan terhadap hadis Nabi dan sejarah, sebagai bantahan atas kejahilan doktor al-Buţi dalam memahami sejarah perjalanan Rasulullah saw)
31) Al-Żabbu al-Ahmad ‘an Musnad al-Imām Ahmad (Pembelaan yang terpuji atas kitab Musnad Imam Ahmad bin Hambal)
32) Al-Raddu ‘alā Arsyad al-Salafiy (Bantahan terhadap saudara Arsyad al-Salafi)
33) Al-Raddu ‘alā al-Ta’qīb al-Hasīs (Bantahan terhadap kitab Ta’qib al-Hasis karya al-Habsyiy al-Harari)
34) Al-Raddu ‘alā Syaikh Ismā’īl al-Anşāriy fi Mas’alah al-Żahab al-Muhallaq.
35) Al-Syihab al-Saqib fi Żammi al-Khalīl wa al-Sahib; karya Imam al-Suyuti yang beliau takhrij hadis-hadisnya Raf’u al-Asār Li Ibţal Adillati al-Qā’ilina Bi Fana’I al-Nār (Menyingkap tabir-tabir dalam upaya membatalkan argumentasi orang-orang yang berpendapat bahwa neraka itu tidak kekal- karya Imam al-San’ani)
36) Mentakhrij kitab “Riyādu al-Şālihīn” karya Imam al-Nawawi.
37) Su’āl wa Jawāb Haula Fiqhi al-Wāqi’ (Tanya jawab seputar memahami realita umat)
38) Silsilah al-Ahādīs al-Şahīhah wa Syai’un min Fiqhiha wa Fawā’idiha (Kumpulan hadis-hadis sahih beserta fiqihnya)
39) Silsilah al-Ahādīs al-Da’īfah wa al-Maudū’ah wa Asaruha al-Sayyi’I al-Ummah (Kumpulan hadis-hadis da’if hadis-hadis palsu serta dampak negatifnya terhadap ummat)
40) Syarhu al-’Aqīdah al-Tahāwiyah; karya Imam Ibnu Abi al-’Izz al-Hanafi yang beliau takhrij hadis-hadisnya.
41) Şahīh Ibnu Huzaimah, karya Imam Ibnu Khuzaimah yang beliau takhrij dan baca kembali.
42) Şahīh al-Adāb al-Mufrad, karya Imam al-Bukhari.
43) Şahīh al-Targīb wa al-Tarhīb, berjumlah tiga jilid.
44) Şahīh al-Jāmi’ al-Sagīr wa Ziyādatuhu, berjumlah dua jilid.
45) Şahīh Sunan Ibnu Mājah, dua jilid.
46) Şahīh Sunan Abū Dāwud, tiga jilid.
47) Şahīh Sunan al-Tirmīzi, tiga jilid.
48) Şahīh Sunan al-Nasā’i, tiga jilid.
49) Mukhtaşar Şahīh Muslim.
50) Al-Mugni ‘an Hamli al-Aşfār fi al-Aşfār, karya al-Iraqi yang beliau ta’liq dan takhrij.
51) Mawāridi al-Suyūţiy fi al-Jāmi’ al-Şagīr.
3 Kondisi Sosial Politik Albania
Secara geografis bangsa Albania merupakan bangsa Indo-Eropa yang dikelilingi oleh sederetan gunung yang bersambung dengan gunung Alb (الالب).16 Di sebelah Utara dan Timur Albania berbatasan dengan Yugoslavia, di Tenggara berbatasan dengan Yunani, di sebelah Barat berbatasan dengan Laut Adriatik, dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Ionia.17 Iklim di negara ini sangat bagus dan di sepanjang musim dingin tumbuh tanaman anggur serta jeruk di tepi laut Adriatik. Jalur perhubungan di Albania masih sangat minim begitu juga dengan jalur perdagangannya. Meski demikian Albania tetap membuka diri dari perhubungan dengan bangsa lain terutama bangsa-bangsa Indo-Eropa.
Jumlah penduduk di negara ini sekitar 950.000 jiwa di mana sepertiga dari jumlah penduduknya beragama Islam18 dan beribu kota di Skutari (Asyqudarah). Di Albania sering terjadi perang saudara yang berlangsung hingga tahun 1910 M. Bahkan ketika terjadi perang Balkan (1913 M), Serbia berusaha menguasai Albania namun Albania segera memproklamirkan kemerdekaannya (28 November1912 M). Saat perang Dunia I meletus (1914 M), keadaan Albania turut mengalami kekacauan khususnya masalah kepemimpinan karena Pangeran Wilhem Zu Wied (dari Jerman) yang ditunjuk sebagai penguasa Albania pergi meninggalkan Albania. Kekacauan sedikit mereda ketika Uskup Fan Noli memimpin, namun tidak berapa lama kemudian Ahmad Zugu menggulingkan pemerintahan Uskup Fan Noli. Pada tahun 1925 M Zugu memproklamirkan Albania sebagai Negara Republik dengan Skutari (Asyqudarah) sebagai ibu kota. Kemudian pada tahun 1928 M Ahmad Zugu menobatkan dirinya sebagai Raja Zugu I dan memulai sistem pemerintahan monarkhi, namun pada tahun 1946 M kembali menjadi Negara republik.19 Pada masa pemerintahan Zugu inilah umat Islam Albania mengalami tekanan yang besar karena Zugu mengadakan perombakan total atas sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ahmad Zugū berkuasa dengan mengikuti langkah Kemal Attaturk di Turki, dan banyak melakukan kesewenag-wenangan.
4 Kondisi Sosial Politik Timur Tengah20
Peneliti menampilkan gambaran kondisi sosial politik Timur Tengah dalam skripsi ini karena Timur Tengah adalah daerah yang turut membentuk kepribadian al-Albāniy dalam perjalanan intelektualnya.
Timur Tengah bukanlah suatu unit geografis yang mempunyai batas-batas yang tegas, tetapi merupakan suatu istilah yang lazim dipakai terutama pada saat Perang Dunia II. Kawasan ini disebutkan untuk daerah yang berbatasan di sebelah utara dengan laut Kaspia dan laut Hitam, sebelah timur dengan Afganistan, dan sebelah selatan dengan laut Arab, Teluk Aden dan Sahara. Pada mulanya, Timur Tengah mencakup negara-negara Iran, Irak, Turki, Suriah/Syiria, Lebanon, Israel, Yordania, Arab Saudi, Yaman Utara, Yaman Selatan, Ciprus, Republik Rakyat Mesir, dan Libya. Juga termasuk di dalamnya negara-negara yang lebih kecil seperti Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Tunisia.
Sebagian besar wilayah Timur Tengah merupakan padang pasir yang kering dan tandus, dan pada tempat yang lainnya merupakan tanah belukar yang curam yang terdiri atas batu kerikil dan karang yang tandus dan kering. Tiga sungai besar-Nil, Eufrat dan Tigris-dan anak sungai mereka memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan air penduduk daerah ini.
Kebanyakan wilayah ini secara kebudayaan dipersatukan dengan agama Islam dan bahasa Arab kecuali di Turki, Iran (dulu Persia) dan Israel yang mempunyai bahasa sendiri yang berbeda. Seiring dengan perjalanan waktu khususnya setelah meletusnya Perang Dunia I, banyak terjadi perubahan dikawasan tersebut yang telah mengubah kualitas hidup maupun tradisi penduduknya yang asli. Setelah tahun 1918 M negara-negara Arab menjadi daerah protektorat Imperium Inggris dan Perancis. Pada tahun 1960-an bangsa-bangsa Arab tersebut memperoleh kemerdekaan.
a. Kondisi Sosial Politik Damaskus
Damaskus merupakan ibu kota Syiria yang dibangun sekitar 3000 tahun sebelum Masehi dan telah menjadi pusat perdagangan, industri,21 kebudayaan, pendidikan dan politik sejak sebelum Islam masuk. Kota ini secara bergantian dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Asyiria, Yunani, Romawi, dan Bizantium.
Kota Damaskus dengan jumlah penduduk 1.500.000 jiwa (1991 M) dilalui oleh sungai Barada yang dapat mencukupi kebutuhan air selama ribuan tahun. Bangunan di kota Damaskus umumnya menampilkan gaya arsitektur Islam dengan menampilkan bengunan-bangunan berupa Universitas Damaskus, Perpustakaan Nasional, Museum, Masjid Sultan Sulaimān, Benteng Roma dan tempat-tempat bersejarah lainnya yang turut menambah daya tarik Damaskus. Dalam hal pendidikan, kota Damaskus merupakan kota pelajar yang banyak melahirkan ulama-ulama serta menjadi pusat bagi tersedianya buku-buku keislaman. Bahkan terdapat beberapa hadis yang menunjukkan keutamaan kota Syām secara umum.
Islam masuk ke Damaskus ketika Suriah dan Palestina berada dalam kekuasaan bangsa Romawi, dan berhasil ditaklukkan tentara-tentara Islam (635 M) di bawah kepemimpinan Khalīd Ibn al-Walid, Amr Ibn al-’Aş, Abū Ubaidah Ibn Jarrah, Yazid Ibn Abī Şofyan, dan Surahbil Ibn Hasanah pada masa pemerintahan Umar Ibn al-Khaţāb. Tahun 661-750 M Damaskus menjadi ibu kota pemerintahan Dinasti Umayyah, dan setelah dinasti ini jatuh, Damaskus menjadi bagian dari wilayah pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam hingga awal abad ke-20.22
Pada masa Dinasti Abasiyah, Damaskus menjadi bagian wilayah kekuasaannya, kemudian pada Abad ke-11 dan ke-12 Damaskus menjadi pusat kegiatan Şalahuddin al-Ayyubi dalam melawan tentara Salib ketika membebaskan kota suci Bait al-Maqdis (Yerussalem). Tahun 1260 M Damaskus ditaklukkan Mongol, dan tahun 1516 M menjadi bagian wilayah kekuasaan Turki Usmani selama empat abad dan baru berhasil dibebaskan tahun 1918 M oleh pasukan gabungan Arab dan Sekutu selama Perang Dunia I. Namun akhirnya pada tahun 1920 M Suriah jatuh ke tangan Perancis dan merdeka tahun 1946 M.23 Meskipun Damaskus berkali-kali menghadapi peperangan dan selalu berganti-ganti penguasa, tetapi bangunan-bangunan Islam yang bersejarah tetap terjaga dan penduduknya tetap memelihara keyakinan Islam mereka.
Pada tahun 1958-1961 M Suriah bergabung dalam sebuah Uni dengan Mesir. Kemudian ketika partai Bath berkuasa tahun 1963 M rakyat Suriah ditekankan pada jiwa nasionalisme dan sekularisme oleh penguasa.24
b. Kondisi Sosial Politik Ammān
Ammān merupakan ibu kota Yordania yang terletak di bekas kota Philadelphia dari zaman Yunani Romawi kuno.25 Sekitar 1000 tahun Sebelum Masehi kota ini bernama Rabattamon, ibu kota kerajaan Amonit. Dalam sejarahnya, Ammān pernah menjadi daerah kekuasaan Yunani, Arab, dan Turki.26 Karena terletak di jalur lalu lintas perdagangan antar negara, Ammān termasuk kota yang penting. Di kota ini juga terdapat beberapa pabrik dan industri penting Yordania.
Sebagian besar penduduk Yordania adalah orang Arab, dan berdasarkan cara hidupnya penduduk Yordania dapat di bedakan atas penduduk kota, penduduk desa, dan pengembara. Penduduk kota terdapat sekitar 70 % dari seluruh penduduk Yordania. Di kota Ammān sendiri penduduknya sekitar 970.000 jiwa.
Dalam perjalanan sejarah Yordania, Ammān memegang peranan yang penting sebagai pusat pemerintahan sejak pertama kali ditaklukkan tentara Islam, bahkan sejak sebelum Islam memasuki kawasan ini. Islam berhasil menaklukkan Yordania pada abad ke-7 (636 M), namun setelah perang salib negeri ini kembali dikuasai Mesir, kemudian Turki abad ke-16 (1517-1916 M). Akibat kekalahan Turki dalam Perang Dunia I, Yordania menjadi negara dibawah kekuasaan Imperium Inggris dan baru dapat mencapai kemerdekaannya pada tahun 1946 M berdasarkan perjanjian London 22 Mei 1946 M dengan Abdullāh sebagai raja.27
Pada awal kemerdekaannya, negara ini bernama Trans-Yordania, dan setelah berhasil merebut Tepi Barat Sungai Yordan (1949 M) negara ini berubah menjadi Yordania. Dua tahun kemudian Abdullāh mati terbunuh dan bersamaan dengan itu turut terkubur pula usaha dinasti Hasyimiyah untuk membentuk Uni-Arab. Setelah kematian Abdullāh tampuk pemerintahan dipegang oleh putra mahkota Talal, namun karena menderita penyakit jiwa terpaksa diturunkan pada tahun berikutnya. Pada tahun 1953 M, Hussein, anak Talal disumpah menjadi raja dalam usia 18 tahun menggantikan Talal.
Pada tahun 1970 M Raja Hussein mempunyai visi yang berbeda dengan PLO di Yordania, sehingga pada tahun berikutnya Raja Hussein mengusir PLO dari Yordania. Keadaan ini tidaklah menguntungkan bagi Yordania bahkan mengakibatkan kesulitan politik bagi Yordania, karena akibat pengusiran tersebut PLO mendapatkan sinpati dan dukungan dari negara-negara Arab dan dunia Internasional meskipun pada tahun 1974 M Yordania setuju dan mengakui PLO sebagai juru bicara tunggal untuk hak-hak Palestina atas Tepi Barat.
Dalam hal pendidikan, pemerintah Yordania memberikan perhatian yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang mewajibkan anak-anak untuk belajar di sekolah sekurang-kurangnya sembilan tahun, didukung dengan tersedianya sekitar 30 lembaga pendidikan di Yordania.28 Di samping itu kondisi Yordania yang cukup stabil dan relative aman turut mendukung proses pendidikan disana.
B. Biografi Muhammad Bin Şālih Al-’Usaimīn
1. Nama dan Kelahiran al-’Usaimīn
Beliau adalah Abū ‘Abdillāh Muhammad bin Sālih bin Muhammad bin ‘Usaimīn al-Muqbil al-Wuhaibiy al-Tamīmiy. Beliau lahir di salah satu kota di Qasim tepatnya di ‘Unaizah pada tanggal 27 Ramadan 1347 H29/1928 M. Keluarga tempat al-’Usaimīn dilahirkan merupakan keluarga yang taat dan istiqamah dalam agama. Hal ini turut membentuk kepribadian beliau yang cinta ilmu dan peka dengan kondisi serta realita umat di sekitarnya.
Selain didukung oleh lingkungan keluarga yang taat dan istiqamah dalam agama, beliau juga dikaruniai kecerdasan dan semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu. Dua hal inilah yang nantinya turut menghantarkan beliau menjadi seorang intelektual muslim yang disegani dan tetap berpegang pada manhaj atau metode ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Beliau wafat pada hari Rabu 15 Syawal 1421 H/10 Januari 2001 M pukul enam sore dalam usia 74 tahun di rumah sakit Raja Faisal di Jeddah, setelah beliau terserang kanker colon/usus besar. Dalam sakitnya, beliau sempat berobat ke Amerika untuk beberapa bulan atas desakan pemerintah, namun akhirnya beliau segera kembali untuk melanjutkan tugas-tugas beliau yakni mengajar dan memberi fatwa di kota ‘Unaizah dan masjid al-Haram di Makkah.30
Al-’Usaimīn dişalatkan di masjid al-Harām Makkah setelah şalat ‘aşar pada hari Kamis 11 Januari 2001 M dan disemayamkan di pemakaman Al-’Adl di dekat makam guru sekaligus teman beliau di jalan dakwah, Syaikh Abdul ‘Azīz bin ‘Abdullāh bin Bāz. Lebih dari setengah juta manusia mengiringi jenazah beliau ke pemakaman. Hal ini menunjukkan tingginya derajat al-’Usaimīn di mata umat ini bahkan para pembesar kerajaan Arab Saudi turut hadir dalam upacara pemakaman beliau. Di antaranya adalah Menteri Dalam Negeri Saudi al-Amīr Nayif bin Abdul ‘Azīz, Ketua Pusat Pengkajian Strategi al-Amīr Mamduh bin Abdul ‘Azīz, Ketua Daerah Qāsim al-Amīr Faisal bin Bandar bin Abdul ‘Azīz dan Gubernur Jeddah al-Amīr Musy’il bin Mājid bin Abdul ‘Azīz.
2. Latar Belakang Intelektual al-’Usaimīn
Karena beliau berasal dari keluarga yang cinta ilmu, maka pendidikan beliau yang pertama tentunya beliau peroleh dari keluarga beliau sendiri yakni kakek beliau dari pihak ibu yang bernama Syaikh Abdurrahmān bin Sulaimān Ālu Dāmig. Pada kakeknya tersebut al-’Usaimīn belajar membaca al-Qur’an dan berhasil menghafalnya. Kemudian beliau belajar khat, ilmu hisab (ilmu hitung) dan belajar sebagian ilmu sastra.31
Ketika masih kanak-kanak, beliau menuntut ilmu kepada dua orang murid Syaikh Abdurrahmān bin Nāsir al-Sa’diy (yakni Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Azīz al-Muţawwi’ dan Syaikh ‘Ali al-Şālihiy) yang telah ditunjuk al-Sa’diy untuk mengajar anak-anak. Beliau belajar kepada keduanya “Mukhtaşar al-’Aqīdah al-Wāsiţiyyah” karya al-Sa’diy dan “Minhāj al-Sālikīn fī al-Fiqh” karya al-Sa’diy pula. Selain itu beliau juga belajar kitab Nahwu dan Saraf “al-Ājurūmiyyah” dan “al-Alfiyah”.
Pada tahun 1371 H (dalam usia 24 tahun) beliau mulai mengajar di masjid Jāmi’. Kemudian dalam usia 26 tahun (tahun 1372 H) beliau masuk Ma’had al-Ilmi di Riyad dan belajar Şahih al-Bukhāri, beberapa risalah Ibnu Taimiyyah serta beberapa kitab fiqih. Ketika itu ma’had Ilmi dibagi menjadi dua bagian: umum dan khusus. Al-’Usaimīn masuk ke bagian khusus dan dapat menyelesaikan studi dalam waktu yang lebih cepat karena pada waktu itu berlaku sistem loncat kelas di mana siswa boleh belajar ketika liburan panjang dan mengikuti tes kenaikan di awal tahun. Dengan demikian al-’Usaimīn dapat menghabiskan studinya dalam jangka dua tahun. Setelah lulus dari ma’had Ilmi, al-’Usaimīn ditunjuk sebagai guru di Ma’had Ilmi ‘Unaizah sambil melanjutkan kuliah di Fakultas Syari’ah dan tetap belajar di bawah bimbingan ‘Abdurrahmān al-Sa’diy. Beliau lulus dari Fakultas Syari’ah di Riyād pada tahun 1344 H.
Ketika al-Sa’diy wafat, al-’Usaimīn ditetapkan sebagai Imam Masjid Jāmi’ di Unaizah, mengajar di maktabah ‘Unaizah al-Waţaniyah dan tetap mengajar di Ma’had Ilmi. Kemudian beliau pindah mengajar di Cabang Universitas Imam Muhammad Ibnu Sa’ud Qāsim pada Fakultas Syari’ah dan Uşūluddin. Selain itu al-’Usaimin juga menjadi anggota Hai’ah Kibār al-Ulama Kerajaan Saudi Arabia.32 Beliau juga aktif memberikan fatwa dan memberikan pengajian kepada masyarakat umum di berbagai daerah di Timur Tengah.
a. Guru al-’Usaimīn
1) Syaikh Abdurrahmān bin Nāşir al-Sa’diy.
Beliau wafat pada tahun 1376 H. Seorang mufasir yang masyhur dengan hasil karyanya yang terkenal “Taisīr al-Karīm al-Rahmān fi Tafsīr Kalāmi al-Manān”. Al-’Usaimin belajar kepada beliau tauhid, tafsir, hadis, fiqh, usul al-Fikih, Faraid, Musţalāh al-Hadīs dan Nahwu serta şaraf.33 Al-Usaimīn sangat terpengaruh dengan Syaikh al-Sa’diy dalam hal akhlak, metode tafsir maupun metode pembelajarannya.
2) Syaikh Abd al-’Azīz bin Abdullāh bin Bāz.
Beliau adalah seorang mufti dan ketua Dewan Ulama di kerajaan Saudi Arabia.
Al-’Usaimin belajar kepada Syaikh bin Bāz: Kitab Şahih al-Bukhāri, beberapa risalah Syaikh al-Islām Ibnu Taimiyah, serta beberapa kitab Fiqih.34
3) Syaikh Muhammad al-Amīn bin Muhammad al-Mukhtār al-Jukniy al-Syinqītiy (wafat pada tahun 1393 H).
Beliau adalah seorang mufasir dan ahli bahasa dimana karyanya yang terkenal dalam bidang tafsir adalah “Adwāu al-Bayān fi īdāhi al-Qur’ān bi al-Qur’ān”.
4) Syaikh Ali bin Hamd al-Şālihiy.
5) Syaikh Abdurrahmān bin Ali bin ‘Audān.
6) Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Azīz al-Muţawwi’.
7) Syaikh Abdurrahmān bin Sulaimān Ālu Dāmig (kakek al-’Usaimīn dari pihak ibu).
b. Karya al-’Usaimīn
Al-’Usaimīn memiliki karangan lebih dari 50 buah, baik dalam bidang aqidah, fikih, uşūl al-fiqh maupun retorika dakwah. Hal ini menunjukkan kesungguhan dan kecintaan beliau dalam ilmu. Di antara karya al-’Usaimīn ada yang berupa risalah maupun kitab sebagai berikut :35
1) Ahkāmu al-Şiyām wa al-I’tikāf
2) Ahkām al-Udhiyah wa al-Zakāh
3) ‘Aqīdah Ahli al-Sunnah wa al-Jamā’ah
4) As’ilah Muhimmah
5) As’ilah Hāmmah
6) As’ilah wa Ajwibah fī Şalāti al-’Iddain
7) Al-Fatawa al-Żahabiyah fī Bai’i wa Syirā’i al-Żahab
8) Al-Ibda’ fī Bayāni Kamā li al-Syar’ wa Khaţaru al-Ibtidā’
9) Al-Jihad
10) Al-Khilāf baina al-’Ulamā’: Asbābuhu wa Mauqifunā Minhu
11) Al-Lami’ Min al-Khuţabi al-Jawāmi’
12) Al-Majmu’ al-Sāminu fī Fatawa al-Syaikh Muhammad bin Şālih al-’Usaimīn
13) Al-Manhāj li Murīdi al-Hajji wa al-’Umrah
14) Al-Mar’ah al-Muslimah: Ahkāmu Fiqhiyyah Haula al-Hijāb
15) Al-Mashu ‘ala al-Khuffain
16) Al-Mudayanah
17) Al- Al-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab: Hayatuhu wa Fikruhu.
18) Al-Tafsīr wa Uşūluhu
19) Al-Uşūl fī ‘Ilmi al-Uşūl
20) Al-Qada’ wa al-Qadar
21) Al-Qawā’id al-Musla fī Şifātillāhi wa Asmāihi al-Husna
22) Al-Zawāj
23) Al-Zawāj fī al-Syari’ati al-Islāmiyyah (Musyatarak)
24) Fatawa al-Mar’ah al-Muslmah
25) Fatawa al-Mashu al-Khuffain
26) Fatawa al-Nisāiyyah
27) Fatawa Haula Fitan al-Jarā’id wa al-Majallāt
28) Fatawa Syaikh Muhammad bin Şālih al-’Usaimīn
29) Fathu Rabbi al-Bariyyah bi Talkhīşial-Hamawiyyah li Syaikhi al-Islām Ibni Taimiyyah. Merupakan kitab yang pertama kali disusun al-’Usaimīn sebagai ringkasan dari kitab “al-Hamawiyyah” karya Ibnu Taimiyyah.
30) Fitan al-Majallāt
31) Fuşūl fī al-Şiyām wa al-Tarāwih wa al-Zakāh
32) Ila Mata Hāża al-Khilāf
33) Khuţābun fī al-Ţaharah wa al-Şālah
34) Khuţābun fī al-Şiyām wa al-Zakāh
35) Khutbah ‘Īdi al-Fiţri wa ‘Īdi al-Adha
36) Majāli al-Syarhi Ramadān
37) Min Musykilati al-Syabāb
38) Mukhtarātun min Zādi al-Ma’ād
39) Musţalah al-Hadīs
40) Nubżah fī al-’Aqīdati al-Islāmiyyah (Syarhu Uşūli al-Īmān)
41) Risālah al-Hijāb
42) Risālah fī al-Da’wah Ilallah
43) Risālatāni Mufīdatāni
44) Rasāil fī al-’Aqīdah
45) Risālah Fiqhiyyah fī Sujūdi al-Sahwi
46) Risālah fī al-Wudū’ wa al-Gusli wa al-Şalāh
47) Rasāil Fiqhiyyah
48) Risālah fī Hukmi Tāriki al-Şalāh
49) Risālah fī Tāriki al-Şalāh wa Fitan al-Majallāt
50) Risālah Fiqhiyyah (Sujūd al-Syahwi, Ţahārah al-Marīd wa Şalātuhu, wa Mawāqitu al-Şalāh
51) Samāniyah wa Arba’un Su’ālan fī al-Şiyām
52) Syarh Lum’ati al-I’tiqādi al-Hādi ilā Sabīli al-Rasyadiy
53) Şifat al-Wudū’
54) Şifat al-Hajji wa al-’Umrah
55) Tafsīr Āyāti al-Kursiy
56) Talkhīş Kitāb Ahkāmi al-Udhiyah wa al-Zakāh
57) Tanbīhu al-Afhām bi Syarhi ‘Umdati al-Ahkām
58) Taujihāt Li al-Mu’mināt Haula Tabarruj wa al-Sufūr
59) Taşhīlu al-Farāid
3. Kondisi Sosial Politik Riyād
Peneliti merasa perlu untuk mencantumkan gambaran sosial politik kota Riyād karena tokoh (baca: al-’Usaimīn) yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini adalah seorang tokoh yang lahir, dibesarkan dan banyak menghabiskan umurnya di kota ini (baca ‘Unaizah, Qāsim, Riyād).
Riyād merupakan sebuah ibu kota dan kota terbesar di Negara Arab Saudi. Menurut sejarah, Riyād pernah menjadi ibu kota pada masa Dinasti Sa’ūd tahun 1828-1881 M. Pada tahun 1920 M Ibnu Sa’ūd (baca: Abdul ‘Azīz bin Abdirrahmān) dapat kembali menguasai kota ini dan menjadikannya sebagai ibu kota setelah pada tahun 1881 M Riyād menjadi daerah kekuasaan Rasyid dari Ha’il. Kemudian pada tahun 1932 M Riyād menjadi ibu kota Kerajaan Arab Saudi.36 Di samping sebagai kota yang menjalankan fungsi administratif, Riyād juga merupakan pusat perdagangan, pendidikan, perhubungan dan perindustrian.
Setelah ditemukannya tambang minyak sekitar tahun 1932-an penduduk Riyād hidup dengan makmur. Kemakmuran ini juga membawa dampak yang positif bagi pendidikan masyarakat Riyād sehingga tidak mengherankan jika Riyād menjadi pusat pendidikan. Di kota ini pula berdiri sebuah universitas yang sudah cukup tua yang didirikan sekitar tahun 1957, yakni Universitas Riyād yang tadinya bernama Universitas King Sa’ūd I University.37 Pada abad ini Riyād banyak memberikan kotribusinya dalam menyebarkan buku-buku atau kitab-kitab para ulama.
C. Manhaj Salaf
Baik Al-Albāniy maupun al-’Usamīn keduanya mengklaim bahwa mereka berdakwah di atas manhaj atau jalan yang ditempuh para ulama salaf, sehingga dalam setiap penelitian dan fatwanya mengikuti cara yang telah di tempuh para salafus-sālih. Oleh karenanya, pengetahuan seputar definisi maupun karakteristik dakwah ilmiah salafi perlu untuk diketahui. Dengan adanya definisi ini diharapkan mampu memberikan batasan yang jelas tentang siapa saja yang masuk dalam kategori ulama’ salaf dan bagaimana metode ilmiahnya. Metode ilmiah kaum salaf perlu dihadirkan untuk mengetahui metode berfikir seseorang yang mengklaim dirinya bermanhaj salaf, yang dengannya peneliti dapat mengetahui cara berfikir kedua tokoh (al-Albaniy dan al-’Usaimin) yang menjadi obyek penelitian ini.
1. Pengertian Manhaj Salaf
Kata ‘Salaf’ menurut bahasa (etimologi) berarti ‘orang yang telah lalu’.38 Makna ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Zukhrūf (43) : 56 ((فجعلنهم سلفا ومثلا ﻠﻶخرين)) “Dan kami telah menjadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian.”
Salim bin ‘Ied al-Hilaliy menyatakan bahwa kata ‘Salaf’ berarti generasi terdahulu yang unggul dalam ilmu, iman, keutamaan, dan kebaikan.39 Sedangkan Ibnu Manzur dalam kitabnya “Lisān al-’Arab”40 mengatakan bahwa salaf bermakna ‘orang-orang yang telah mendahuluimu baik dari nenek moyangmu, karib kerabatmu yang lebih utama dan lebih tua darimu’. Oleh karena itu generasi pertama kalangan tabi’in dinamakan Salafus-Salih. Makna ini sejalan dengan hadis Nabi saw ketika beliau bersabda kepada putrinya Fatiman al-Zahrah: “Sesungguhnya sebaik-baik salaf bagimu adalah aku.”
Secara istilah (terminologi), salaf adalah sifat yang dikhususkan kepada para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka.41 Sedangkan yang di maksud salaf secara umum adalah sahabat dan tabi’in serta tabi’it tabi’in, yaitu tiga masa pertama yang telah diberi kesaksian dengan keutamaan dan kebaikan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:
خيرالناس قرني, ثم الذين يلونهم, ثم الذين يلونهم
“Sebaik-baik manusia adalah orang yang hidup di masaku, kemudian mereka yang datang berikutnya, kemudian orang-orang sesudah mereka.42
Jadi, istilah salaf ketika dimutlakkan tidak diartikan kepada orang-orang terdahulu saja, tetapi digunakan untuk para sahabat dan orang-orang yang meneladani mereka dengan baik. Dan berdasarkan standar ini pula istilah ‘salaf’ dimutlakkan kepada orang yang memelihara kemurnian aqidah dan manhajnya sebagaimana yang pernah dialami oleh Nabi saw serta para sahabatnya sebelum terjadi perselisihan dan perpecahan. Adapun istilah salafiy merupakan penisbatan (penyandaran) kepada salaf, yakni penisbatan yang dilakukan orang-orang mutakhirin (ulama kontemporer) sebagai tanda bahwa ia konsisten terhadap jalan atau manhaj salaf, khususnya dalam masalah aqidah.43 Dengan demikian dapat diketahui bahwa salafiyah adalah jalan atau manhaj, bukan jama’ah dan organisasi. Al-Żahabi mengatakan bahwa salafiy adalah mereka yang berada di atas manhaj salaf, dan seseorang adakalanya disifati dengan salafi untuk membedakan dengan yang lain tanpa menyandarkan diri kepadanya sebagai pemberitahuan tantang keadaannya, seperti al-Żahabi yang telah mensifati al-Daruquţni “orang ini tidak pernah berkecimpung dalam dunia ilmu kalam dan perdebatan selama-lamanya, dan tidak pernah mendalaminya walaupun ia seorang salafiy.”44 Menurut Ibnu Taimiyah bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan mażhab salaf dan menisbatkan diri kepada kelompok tersebut, bahkan wajib menerimanya karena tidak ada pada mazhab salaf kecuali kebenaran.45
Penisbatan kepada selain Salafus-Shahih hanya memiliki dua kemungkinan, yaitu nisbat kepada pribadi yang tidak ma’sum, atau nisbat kepada orang-orang yang mengikuti manhaj pribadi yang tidak ma’sum, sehinga tidak ada kema’suman padanya. Sebaliknya, kema’suman Nabi saw merupakan sesuatu yang niscaya, sehingga manusia diperintahkan untuk berpegang dengan sunnah-sunnahnya dan mengikuti jalan para sahabatnya. Para sahabat tidak fanatik kepada mażhab atau pribadi tertentu, dan tidak ada –di kalangan sahabat- yang mengaku dirinya sebagai pengikut Abu Bakar, Umar, Usman, ataupun Ali. Para sahabat faham bahwa tidak boleh ikhlas dalam mengikuti seseorang kecuali kepada Rasulullah saw.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa yang di maksud dengan manhaj salaf adalah sebuah metode atau cara berfikir para ulama’ dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’it tab’in, serta orang-orang setelah mereka yang konsisten dengan jalan tersebut khususnya dalam masalah aqidah dalam memahami al-Qur’an dan al-Sunnah.
2. Metode Ilmiah Ulama’ yang Bermanhaj Salaf
Memahami inti ajaran Islam membutuhkan seperangkat metode yang dapat menghantarkan kepada pemahaman yang benar serta dapat sesuai dengan kondisi tempat dan zaman. Para ulama dari waktu ke waktu menghadirkan berbagai metode maupun pendekatan dalam memahami inti ajaran Islam ini. Adapun ulama Salaf, mereka memiliki metode ilmiah yang khas dalam memahami al-Qur’an dan al-Sunnah, yakni:
a. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Apa yang disebutkan dalam al-Qur’an secara global pasti diterangkan perinciannya di tempat lain. Dan apa yang disebutkan secara singkat di salah satu tempat pasti dijelaskan secara luas di tempat lain. Namun jika tidak menemukannya maka dicari dalam sunnah.46
b. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Sunnah. Jika tidak ditemukan penjabaran dari al-Qur’an maka al-Qur’an tersebut ditafsirkan dengan al-Sunnah, karena al-Sunnah merupakan penjabaran dan penjelas dari al-Qur’an, sebagimana diterangkan dalam berbagai ayat al-Qur’an dan hadis.47
c. Jika tidak menemukan penjelas dari hadis Nabi saw maka dicari dari pendapat para sahabat, karena mereka adalah saksi turunnya al-Qur’an dan kejadian-kejadian yang berkait dengannya.48 Mereka juga merupakan sebaik-baik manusia.
d. Jika tidak menemukan tafsir suatu ayat dari al-Qur’an sendiri, tidak pula dari al-Sunnah, atau perkataan sahabat, maka di antara para ulama mencarinya dalam komentar para tabi’in, seperti Mujahid. Penafsiran tabi’in ini tidak dapat dijadikan hujjah, yang artinya tidak dapat dijadikan argumen untuk mematahkan pendapat lain yang berbeda. Namun jika mereka semua sepakat dalam suatu persoalan maka hal itu menjadi hujjah, sementara jika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka maka pendapat yang satu tidak dapat mematahkan pendapat yang lain, tidak pula terhadap pendapat yang lahir sesudah generasi mereka. Oleh karenanya dikembalikan kepada teks bahasa al-Qur’an atau Sunnah atau keumuman bahasa Arab atau pendapat sahabat dalam hal ini.49
Inilah metode ilmiah yang ditempuh para ulama yang bermanhaj salaf dalam memahami inti ajaran Islam. Adapun menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu semata hukumnya haram menurut para ulama salaf, karena mereka berpendapat bahwa yang disebut dengan ilmu adalah teks yang sahih yang bersumber dari Rasulullah saw atau perkataan yang bersandar pada dalil yang ma’lum.
3. Prinsip-prinsip Dakwah Salafiyah:50
Selain memiliki metode ilmiah dalam memahami inti ajaran Islam, para ulama salaf juga memiliki prinsip-prinsip dalam mendakwahkan ajaran Islam, yakni:
a. Mengikuti dan konsisten terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah
Prinsip dakwah salafiyah yang pertama adalah wajibnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah sesuai pemahaman salafus-salih. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Irbad bin Sariyah, ia berkata:
“Rasulullah saw menasehati kami dengan suatu nasehat yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran. Kamipun bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, seolah-olah ini adalah wasiat orang yang akan berpisah, maka nasehatilah kami. Beliau saw menjawab, ‘Aku nasehatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat, walaupun yang menguasai kalian adalah seorang hamba Habasyah (Ethiopia). Barangsipa masih hidup setelahku nanti, niscaya ia akan melihat banyak perselisihan. Kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin setelahku yang mendapat petunjuk. Gigitlah hal itu dengan gigi geraham. Hati-hatilah kalian dari perkara yang baru, karena setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Dengan demikian seorang muslim tidak boleh mengatasnamakan ittiba’ terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah untuk mengikuti pendapat atau perkataan yang menyelisihi pemahaman salafussalih, karena pemahaman salafussalih adalah penjelasan tentang al-Qur’an dan al-Sunnah.51 Bahkan jumhur ulama menyatakan bahwa asar sahabat adalah hujjah, sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa asar sahabat termasuk sunnah yang wajib diambil.52
b. Mencampakkan bid’ah
Suatu amalan tidak diterima Allah kecuali jika memenuhi dua syarat: ikhlas karena Allah semata dan sesuai dengan Sunnah. Adapun sunnah ada dua macam, yakni sunnah fi’liyah (perbuatan) dan sunnah tarkiyah (meninggalkan). Ibadah apapun yang ditinggalkan Rasulullah saw, maka meninggalkannya juga termasuk sunnah karena Islam telah sempurna. Kesempurnaan Islam meliputi: yang pertama, bahwa ia tidak memerlukan segala bentuk tambahan dan pengurangan sedikitpun; yang kedua, Islam telah sempurna di dalam kemuliaan, ketinggian dan kebenarannya secara mutlak, bahwa ia adalah satu-satunya agama yang haq; yang ketiga, keuniversalan syari’at Islam untuk seluruh manusia tanpa terikat waktu dan tempat.
Adapun definisi bid’ah menurut Ibnu Taimiyyah sebagaimana dikutip Abdul Hakim bin Amir Abdat adalah sesuatu yang baru di dalam agama yang tidak pernah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya atau satu cara yang diadakan atau dibuat manusia di dalam agama Islam yang menyerupai syariat untuk tujuan beribadah kepada Allah.53 Banyak hadis yang menyatakan tentang sesatnya bid’ah, sehingga para ulama’ salaf bersepakat bahwa semua bid’ah adalah sesat. Karena besarnya bahaya yang ditimbulkan dari bid’ah, maka dalam pandangan ulama salaf kaum muslimin harun menjauhinya dan meninggalkannya. Dalam hal ini al-Albaniy membuat kaidah ilmiah untuk mengetahui bahwa sesuatu termasuk bid’ah atau tidak.54
c. Memurnikan tauhid
Tauhid adalah masalah pertama yang didakwahkan para Nabi sejak Adam as sampai Muhammad saw. Prinsip yang ketiga ini erat kaitannya dengan prinsip yang kedua, di mana prisip ini menuntut adanya pengesaan dalam peribadatan kepada Allah sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya tanpa mengurangi maupun menambahnya.
d. Menuntut ilmu yang bermanfaat
Pokok keempat dari pokok-pokok manhaj salafi adalah menuntut ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu-ilmu syari’at dan yang berhubungan dengannya khususnya ilmu hadis. Dengan ilmu ini seseorang dapat terlepas dari taklid terhadap mazhab dan dapat berijtihad dengan benar.
e. Taşfiyah dan Tarbiyah (pemurnian dan pendidikan)
Yang di maksud taşfiyah menurut al-Albāniy sebagaimana dikutip Amru Abdul Mu’in Salim adalah memurnikan Islam dari faktor-faktor luar yang masuk. Yakni memurnikan Islam dari akidah-akidah yang menyimpang, memurnikan kitab-kitab Sunnah dari hadis-hadis yang lemah dan palsu, memurnikan kitab-kitab fikih dari hukum-hukum yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh para ulama Islam, dan memurnikan kitab-kitab akhlak.55
Adapun tarbiyah, maksudnya adalah pendidikan akhlak; berpegang dengan akhlak yang syar’i, yang dibangun di atas asas yang kokoh (al-Kitab dan al-Sunnah).56
f. Membasmi sikap pengelompokan dan kolot dalam bermadzhab, menghidupkan pemikiran Islami dengan bersandar kepada al-Qur’an, Sunnah, pengamalan salafus salih.
BAB III
INTI PEMBAHASAN
A. Pemikiran Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy tentang Jilbab Muslimah
Mengeksplorasi pemikiran al-Albāniy seputar jilbab muslimah tidak dapat lepas dari beberapa pemikiran penting beliau dalam hal berikut:
1. Pengertian khimār, jilbāb dan hijāb menurut al-Albāniy
2. Hukum cadar atau menutup muka bagi muslimah
3. Bantahan al-Albāniy atas mereka yang mewajibkan cadar
4. Syarat pakaian (baca: jilbab) wanita muslimah menurut al-Qur’ān dan Sunnah
1. Pengertian khimār, jilbāb dan hijāb menurut al-Albāniy
Telah sabit (tetap) dari al-Qur’an maupun Sunnah, yakni jika seorang wanita keluar dari rumahnya maka ia wajib menutup seluruh anggota badannya dan tidak menampakkan sedikitpun dari perhiasannya -kecuali yang biasa tampak darinya. Para ulama telah meluangkan banyak waktu dan fikirannya untuk memahami ayat-ayat serta hadi-hadis yang berbicara masalah jilbab ini, tak terkecuali Muhammad bin Şālih al-’Usaimīn dan ulama ahli hadis abad ini Muhammad Nāşiruddin al-Albāniy. al-Albāniy meneliti dan menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah ini, bahkan beliau juga melakukan takhrij dan tahqiq atas hadis-hadis yang berbicara tentang jilbab atau pakaian wanita muslimah.
Al-Albāniy dalam mengkaji masalah ini menyajikan berbagai istilah yang erat kaitannya dengan jilbab muslimah, di antaranya adalah beliau membuat definisi yang dapat memberikan batasan antara jilbāb, hijāb, dan khimār. Ketiga istilah tersebut mempunyai perbedaan makna yang sangat kecil, bahkan sebagian ulama memberikan definisi yang sama; Sehingga jika disebutkan hijāb maka yang dimaksud adalah jilbab, demikian pula sebaliknya.
Al-Khimār (الخمار) secara bahasa berarti “tutup kepala”. Dan al-Albāniy mengatakan bahwa makna inilah yang dimaksudkan setiap kali al-sunnah menyebutnya secara mutlak; seperti hadis tentang mengusap sepatu (khuff) dan khimār. Adapun Jilbāb menurut al-Albāniy adalah kain yang dipakai wanita (untuk menyelimuti tubuhnya) di atas pakaiannya. Umumnya, jilbab ini dikenakan kaum wanita di atas khimarnya ketika keluar rumah, karena jilbab itu lebih menutupi serta sulit untuk diketahui bentuk kepala dan pundaknya. Adapun hijab, al-Albāniy menyatakan bahwa terdapat perbedaan makna antara jilbab dan hijab. Keduanya mempunyai keumuman serta kekhususan yakni setiap jilbab adalah hijab, namun tidak semua hijab adalah jilbab. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ayat jilbab berkaitan dengan wanita ketika keluar dari tempat tinggalnya, sedangkan ayat hijab berkaitan dengan wanita ketika berbicara (dengan laki-laki yang bukan mahramnya) di tempat tinggalnya. 
2. Hukum cadaratau menutup wajah bagi wanita
Al-Albāniy memberikan porsi yang cukup banyak bagi dirinya untuk membahas masalah cadar -bahkan beliau membuat risalah yang khusus berbicara tentang hukum cadar- karena masalah ini banyak diperbincangkan para ulama mengenai hukum mengenakannya bagi wanita. Di antara mereka ada yang menyatakan wajib, sunnah, bahkan ada yang menyatakan bahwa mengenakan cadar merupakan salah satu bentuk bid’ah dan sikap berlebihan dalam agama.
Dengan diiringi dalil-dalil, al-Albāniy menyatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukanlah termasuk aurat dan boleh ditampakkan, karena yang dilarang adalah menampakkan apa yang menjadi bagian dari auratnya. Menurut al-Albāniy, mengenakan niqāb atau penutup wajah bagi wanita merupakan akhlak yang mulia dan dengannya seseorang telah meneladani wanita-wanita utama dari kalangan ummahāt al-mukminīn (istri-istri Rasulullah saw). Adapun hukum mengenakannya adalah mustahab atau sunnah yang dianjurkan dan tidak sampai pada suatu kewajiban yang bersifat mutlak. Sunnah secara istilah tidak sama dengan sunnah dalam pengertian syar’i; sunnah menurut istilah para fuqaha adalah suatu perbuatan selain perbuatan fardu dan wajib. Sedangkan sunnah dalam syari’at maksudnya adalah syari’at secara keseluruhan yang terdiri dari fardu, sunnah, adab, akhlak dan muamalah.
Bagi al-Albāniy, meskipun zaman semakin mengalami kerusakan dan degradasi moral semakin meluas, tetapi hukum syar’i yang telah ditetapkan dalam al-Qur’ān dan al-Sunnah tidak boleh disembunyikan dan ditutupi dari pengetahuan masyarakat.
ﺇنﱠ الذين يَكْتُمُونَ ﻣﺂﺃنزَلْنا من البينت والهُدَى من بعد ما بَيّنّاهُ لِلنّاسِ في الكتب ﺃوﻟئك يَلْعَنُهُم اللهُ ويَلْعَنُهُمُ اللّعِنُونَ (البقرة: 159)
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitāb, mereka itu dilaknati Allah dan dila’nati semua yang dapat melaknati.”
Demikian halnya dengan hukum cadar, karena syari’at telah menetapkannya sebagai sebuah sunnah maka ia tidak boleh disembunyikan dengan dalih menghindari kerusakan zaman. Namun menurut al-Albāniy, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan dalam menyikapi masalah ini, yakni yang pertama, menjelaskan kepada masyarakat tentang hukum cadar ini dengan menggunakan dalil-dalil dari al-Kitāb maupun al-Sunnah, dan bukan berdasarkan taklid kepada mazhab atau sekedar mengikuti tradisi. Yang kedua, melakukan tarbiyah kepada para pemudi muslimah, dengan pendidikan yang islami, khususnya di sekolah-sekolah, masjid-masjid, dan universitas-universitas dengan memberikan wawasan ilmu-ilmu syari’ah yang bermanfaat bagi mereka.
Perbuatan sufūr dan tabarruj yang dilakukan wanita belakangan ini memang semakin hari semakin membawa dampak yang kurang positif bagi masyarakat khususnya bagi wanita itu sendiri. Dekadensi moral semakin sulit untuk dihadapi dan berita tentang praktek kekerasan terhadap wanita semakin banyak memenuhi harian surat kabar maupun televise. Namun demikian, manusia tidak boleh mengantisipasinya dengan cara mengharamkan apa yang dimubahkan oleh Allah bagi kaum wanita yakni membuka wajah dan mewajibkan untuk menutupnya tanpa perintah dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Menurut Al-Albāniy, satu hal yang harus diperhatikan oleh para wanita mukminah adalah meskipun membuka wajah itu diperbolehkan, tetapi menutupnya adalah lebih utama karena hal ini telah dicontohkan para wanita mulia di zaman Nabi saw.
Meskipun al-Albāniy membantah mereka yang menyatakan wajib mengenakan cadar atau tutup muka bagi wanita, al-Albāniy juga membantah mereka yang mengatakan bahwa menutup wajah merupakan perbuatan bid’ah dan berlebih-lebihan dalam agama. Jadi, penutup muka bagi wanita (baca: cadar atau yang semakna dengannya) bukanlah termasuk perbuatan bid’ah dan berlebihan dalam agama, karena perbuatan ini telah dicontohkan sejak zaman Rasulullah saw masih hidup. Adapun mengatakan bahwa mengenakan cadar adalah wajib, menurut al-Albāniy juga tidak dapat dibenarkan karena tidak ada satu dalilpun yang secara jelas dan tegas mengatakan demikian (wajib).
Menurut al-Albaniy, untuk memperkuat pendapatnya setidaknya ada 13 dalil şahīh yang menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita tidak termasuk aurat; di antaranya adalah:
a. Hadis Jābir bin Abdullāh
Jābir bin Abdullāh berkata: “Aku pernah menghadiri şalat ‘Ied bersama Rasulullah saw, lalu beliau mengawali şalat ‘Ied sebelum berkhutbah tanpa didahului ażan maupun iqamah. Selanjutnya beliau berdiri dengan bersandar kepada Bilal. Beliau memerintahkan bertakwa kepada Allah dan menyuruh untuk taat kepada-Nya, memberikan nasehat kepada manusia, serta mengingatkan mereka. Beliau terus berlalu sampai akhirnya tiba di hadapan kaum wanita, lalu beliaupun memberikan nasehat dan mengingatkan mereka. Di situ beliau bersabda: ‘Bersedekahlah, karena kebanyakan dari kalian adalah kayu bakar api neraka.’ Kemudian salah seorang perempuan yang duduk di tengah-tengah kaum wanita itu, yang kedua pipinya kehitam-hitaman bertanya: ‘Mengapa ya Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Karena kalian banyak mengadu dan ingkar kepada suami.’ Jābir bin Abdullāh kemudian menceritakan lagi: Kemudian kaum wanita itupun bersedekah dengan mengambil sebagian dari perhiasan mereka yang mereka letakkan di kain Bilal, yaitu berupa anting dan cincin.
Dalam hadis di atas disebutkan bahwa periwayat dapat melihat wajah wanita tersebut, karena jika tidak demikian maka tentunya ia tidak dapat mensifatinya sebagai wanita yang mempunyai pipi kehitam-hitaman. Dengan demikian hadis ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa wajah bukanlah termasuk aurat yang wajib untuk ditutupi.
b. Hadis Ibnu Abbās (Al-Fadl bin Abbās)
Bahwa seorang wanita dari Khas’am meminta fatwa kepada Nabi saw pada waktu Haji Wada’ (di hari Nahar), sedangkan al-Fadl bin Abbās berada di belakang Rasulullah saw, Ia (al-Fadl) adalah seorang laki-laki yang cerdas … lalu Nabi pun berhenti di hadapan orang-orang untuk menyampaikan fatwa kepada mereka. Selanjutnya di dalam hadis ini disebutkan bahwa al-Fadl menoleh kepada wanita itu, dan ternyata ia adalah wanita yang cantik (dalam riwayat lain: seorang wanita yang bersih), (dalam riwaayat lain disebutkan: al-Fadl memandang wanita itu. Kecantikannya amat menarik hatinya, sementara wanita itupun memandang al-Fadl). Akhirnya Rasulullah saw memegang dagu al-Fadl dan memalingkan wajah laki-laki itu ke arah yang lain.
Dalam riwayat Ahmad (I/211) disebutkan riwayat dari al-Fadl sendiri:
فكنتُ ﺃنظر ﺇليها فنظر ﺇليﱠ النبيﱡ صلّى الله عليه وسلم فَقَلّبَ وَجْهِي عن وجْهِها, ثم ﺃعَدْتُ النّظْرَ فَقَلّبَ وجْهِي عن وجهها, حتى فَعَلَ ذلك ثلاثا وﺃنا لا ﺃنْتَهِي
Rijal hadis ini siqah, tetapi munqaţi’ jika al-Hakam bin ‘Utaibah tidak pernah mendengar langsung dari Ibnu Abbas.
Hadis di atas menunjukkan bahwa wajah bukanlah aurat dan tidak wajib bagi wanita untuk menutupnya, karena jika tidak demikian tentunya al-Fadl tidak akan mengetahui wanita itu cantik atau tidak. Hadis ini juga menjadi dalil bahwa wanita mukminah tidak diharuskan untuk berhijab sebagaimana diharuskan bagi para istri Nabi saw. Sebab jika hal itu diharuskan bagi semua wanita, tentunya Nabi saw menyuruh wanita khas’am tersebut untuk menutup wajahnya, dan Nabi saw tidak perlu memalingkan wajah al-Fadl.
Ibnu Hajar menyatakan bahwa pengambilan dalil berdasar kisah wanita khas’am di atas dapat dibantah karena wanita tersebut dalam keadaan ihram (yang mengharuskan baginya untuk membuka wajah). Namun al-Albāniy membantahnya dengan mengatakan bahwa permohonan nasehat oleh wanita khas’am tersebut terjadi setelah melempar jumrah aqabah, yakni setelah tahallul sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar sendiri dalam kitabnya (Fathul Bāri). Seandainya wanita tersebut dalam keadaan ihram, hal itu tetap tidak menghalanginya untuk melabuhkan sesuatu di depan wajahnya, karena yang dilarang baginya adalah mengenakan cadar.
c. Hadis Sahl bin Sa’d
Seorang wanita datang menghadap Rasulullah saw (saat itu beliau berada di masjid), katanya: “Wahai Rasulullah! Saya datang untuk memberikan diriku kepadamu.” (Nabi pun diam tak berkata, dan aku lihat wanita itu berdiri beberapa lama). Baru kemudian Rasulullah saw memperhatikannya seraya melihat dari atas sampai bawah serta membenarkannya. Kemudian Nabi saw menundukkan kepalanya. Tatkala si wanita itu tahu bahwa beliau tidak menginginkan sesuatu padanya, maka iapun duduk.
d. Hadis ‘Āisyah ra
“Kami wanita-wanita mukminat menghadiri şalat fajar (subuh) bersama Rasulullah saw dengan mengenakan kain tak berjahit, kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seusai menunaikan şalat tanpa dapat mengenal satu sama lain karena masih gelap.”
Wajhul Istidlal (penalaran)nya adalah perkataan: “لا يُعْرَفْنَ من الغَلَسِ” (tidak dapat mengenal satu sama lain karena gelap). Sebab mabhumnya adalah jika tidak karena gelap, tentu mereka dapat saling mengenal. Dan lazimnya seseorang dapat saling mengenal adalah dengan melihat wajah-wajah mereka yang terbuka atau terlihat.
Abū Ya’la dalam musnadnya meriwayatkan dengan sanad yang şahih:
” وما يَعْرِفُ بَعْضُنا وُجُوهَ بعضٍ ”
e. Hadis Fātimah binti Qais
Bahwa (suaminya) Amru bin Hafsh mentalaknya secara baţţah (dalam suatu riwayat: akhir dari talak tiga) sedangkan dia tidak ada di tempat. Lalu Fātimah binti Qais datang menghadap Rasulullah saw untuk menceritakan kejadian yang dialaminya. Kemudian Rasulullah saw menyuruhnya untuk ber’iddah di rumah Ummu Syuraik. Selanjutnya beliau berkata: ‘Perempuan itu tidak terlihat oleh sahabatku. Kalau begitu beriddahlah kamu di rumah Ibnu Ummi Maktum saja, karena sesungguhnya ia seorang laki-laki yang buta, di mana kamu dapat melepas pakaianmu.
Dalam riwayat lain disebutkan:
اِنْتَقِلِي ﺇلى ﺃمﱢ شُرَيْكٍ- وﺃمﱡ شُريكٍ امْرَﺃةٌ غَنِيَةٌ من اﻷنصار, عَظِيْمَةُ النّفَقَةِ في سبيل اللهِ, يَنْزِلُ عليها الضيْفَانُ- فقلتُ: ﺴَﺄفْعَلُ, فقال: لا تَفْعَلِي, ﺇنﱠ ﺃمﱠ شريكٍ امرﺃةٌ كثيرةُ الضِيْفَانَ, ﻓﺈني ﺃكْرَهُ ﺃنْ يَسْقُطَ خِمارُكِ ﺃو يَنْكَشِفَ الثّوْبُ عن ساقَيْكِ, فَيَرَى القَوْمُ مِنْكِ بَعْضَ ما تَكْرَهِيْنَ, ولكن انْتَقِلِي ﺇلى ابْنِ عمك عبدِ اللهِ بنِ ﺃمﱢ مَكْتُوْمٍ (اﻷعْمَى) … وهو من البَطْنِ الذي هي منه (ﻓﺈنّكِ ﺇذا وَضَعْتِ خمارَكِ لمْ يَرَكِ) فانْتَقَلْتُ ﺇليه
Berpindahlah ke rumah Ummu Syuraik! -Ummu Syuraik adalah seorang wanita kaya dari kaum Anshar yang banyak berinfak di jalan Allah dan banyak tamu yang mngunjunginya-. Aku (Fatimah binti Qais) menjawab: “Ya, akan saya lakukan”. Lalu Nabi saw berkata: “jangan kau lakukan! Karena Ummu Syuraik adalah seorang wanita yang banyak tamunya. Aku tidak suka jika khimarmu jatuh atau pakaianmu terbuka dari kedua betismu sehingga orang-orang dapat melihat sebagian dari tubuhmu yang tidak engkau inginkan. Akan tetapi berpindahlah ke rumah anak pamanmu, yaitu Ibnu Ummi Maktum (yang buta). Dia itu berasal dari suku yang sama denganmu. (Dan jika kamu menanggalkan khimarmu, ia tidak dapat melihatmu).’ Lalu akupun berpindah ke sana.
Kisah ini terjadi setelah ayat jilbab diturunkan, yakni sekitar tahun 9 H (karena masa iddah Fātimah binti Qais selesai bersamaan dengan masuk Islamnya Tamim al-Dāri). Menurut al-Albāniy, Nabi saw mengakui bahwa Fātimah binti Qais terlihat oleh kaum laki-laki, sedangkan ia mengenakan khimār (Ini menunjukkan bahwa wajah wanita tidak wajib untuk ditutup). Kemudian Nabi saw menyuruhnya untuk tinggal di rumah Ibnu Ummi Maktūm (yang buta) supaya jika ia menanggalkan khimārnya maka Ibnu Ummi Maktūm tidak dapat melihatnya. Adapun hadis yang mengatakan ” ﺃفعمياوان ﺃنتما” sanadnya daif, dan matannya munkar.
f. Hadis Ibnu Abbās
Ditanyakan kepada Ibnu Abbās: “Pernahkah engkau menghadiri shalat ‘Ied bersama Nabi saw?” Ia menjawab: ‘Ya, sekiranya bukan karena usiaku yang masih kecil, tentu aku tidak menghadirinya. Sampai akhirnya beliau tiba di sebuah panji yang ada di sisi rumah Kasir bin al-Şalt, lalu beliau şalat. (Ibnu Abbās berkata: “Lalu Nabi saw turun, seakan aku melihat beliau ketika beliau memerintahkan orang-orang untuk duduk dengan isyarat tangan beliau. Kemudian beliau menatap mereka). Selanjutnya beliau bersama Bilal menemui kaum wanita (lalu membaca ayat: يايها االنبي ﺇذا جاء ك المؤمنتُ ُيبايعْنَكَ على ﺃن لا يُشرِكْنَ بالله شيئا … Beliau membaca ayat ini hingga selesai, setelah itu beliau bersabda: “Kalian semua demikian?” Kemudian salah seorang diantara mereka –disaat yang lainnya diam- menjawab: “Betul, wahai Nabiyullah!” Maka Nabi pun memberikan nasehat kepada mereka, mengingatkan mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk bersedekah. (Ibnu Abbās mengatakan: Lalu Bilal membentangkan kainnya, dan berkata: ‘Mana sedekah kalian. Tebusan kalian adalah ibu bapakku!). Aku lihat mereka mengulurkan tangan untuk melempar sesuatu (dalam sebuah riwayat: melemparkan cincin mereka) ke kain Bilal. Setelah itu beliau bersama Bilal pergi menuju rumah beliau.
Hadis ini menunjukkan bahwasanya Ibnu Abbās yang sedang berada di hadapan Rasulullah saw melihat tangan dan wajah kaum wanita itu, yang mengindikasikan bahwa keduanya tidak termasuk aurat (wajib ditutup). Adapun bai’at yang dilakukan kaum wanita kepada Nabi saw ini terjadi pada tahun 6 H (setelah difadukannya jilbab, karena jilbab difardukan pada tahun 3 H).
g. Hadis Ibnu Abbās
Adalah seorang wanita menunaikan shalat di belakang Rasulullah saw. Dia seorang wanita yang sangat cantik, dan termasuk secantik-cantik manusia. (Ibnu Abbās sampai mengatakan: Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang wanita secantik itu). Sebagian dari jama’ah shalat ada yang memilih maju ke depan sehingga menempati shaf pertama agar tidak melihat si wanita cantik itu. Dan sebagian lainnya memperlambat datangnya untuk mendapatkan shaf yang terakhir. Ketika ruku’, ia melihat si wanita cantik itu dari celah bawah ketiaknya (dan ia merenggangkan kedua tangannya). Akhirnya Allah menurunkan Firmannya (Surat al-Hijr: 24).
3. Bantahan al-Albāniy atas mereka yang mewajibkan cadar
Pernyataan al-Albāniy bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita tidak termasuk aurat (boleh ditampakkan) bukanlah tanpa dasar. Bahkan menurutnya, mereka yang menyatakan sebaliknya (wajib untuk menutupnya) terjadi kesalahan-kesalahan penting dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hijāb dan jilbāb, menyelisihi para ulama, dan bersikap keras (tasyaddud). Di antara kesalahan-kesalahan tersebut adalah:
a. Mereka yang mewajibkan cadar kurang akurat dalam menafsirkan kalimat ” يدنين ” dalam ayat “jalābīb” (Surat al-Ahzāb: 59); yakni mereka tafsirkan dengan “menutupi wajah”. Padahal menurut al-Albāniy, penafsiran ini berbeda dari makna asal kata tersebut secara bahasa, yakni “mendekatkan”. Imam al-Ragib al-Aşbahani dalam kitabnya al-Mufradat sebagaimana dikutip al-Albaniy mengartikan kata ” دنا ” dengan ‘dekat’. Bahkan Ibnu Abbas ra yang dikenal sebagai ‘Turjuman al-Qur’ān’ berkata sebagaimana dikutip juga oleh al-Albāniy “wanita mendekatkan jilbabnya ke wajahnya, tidak menutupkannya”.
b. Kata ” الجلباب ” juga mereka tafsirkan dengan ‘kain yang menutup wajah’. Padahal makna ini menurut al-Albāniy tidak ada rujukannnya ditinjau dari segi bahasa. Ibnu Manzur mengatakan bahwa jilbab bermakana ‘pakaian atau baju yang lebih luas dari pada khimār yang dipakai wanita untuk menutup kepala dan dadanya. Dikatakan juga bahwa jilbab adalah pakaian yang longgar yang dipakai wanita. Sedangkan para ulama menafsirkan kata “al-Jilbāb” dengan ‘kain yang dipakai wanita diatas khimārnya, dan para ulama tidak mengatakan ‘menutup wajahnya’.
c. Kata ” الخمار” mereka artikan dengan ‘penutup kepala dan wajah’. Al-Albāniy mengatakan bahwa penafsiran ini mereka buat supaya mereka dapat menjadikan Surat al-Nūr: 31 sebagai hujjah yang dapat menguatkan pendapat mereka, padahal menurut al-Albāniy justru hal ini dapat melemahkannya. Karena secara bahasa, “al-Khimār” berarti ‘tutup kepala’ (saja), dan bukan tutup kepala dan wajah.
Yang lebih keras lagi kesalahannya menurut al-Albāniy, mereka menafsirkan kalimat ” ﺃن يضعن ثيابَهن ” dengan makna ‘jilbāb’; tafsiran ini baik tetapi kemudian mereka mengatakan bahwa seorang wanita tua yang telah mengalami menopouse diperbolehkan untuk menampakkan khimār mereka dengan membuka wajah mereka di hadapan pria ajnabi. Padahal yang sebenarnya dimaksud pakaian adalah jilbab itu sendiri.
d. Salah satu dari mereka mengklaim adanya ijma’ bahwa wajah wanita adalah aurat. Al-Albāniy membantah klaim ini, dan mengatakan bahwa tidak ada ulama sebelumnya yang mengatakan demikian (adanya ijma’ dalam hal ini). Sebagai contoh adalah perkataan ulama tentang hadis Jābir ra yang berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw mengenai pandangan tiba-tiba. Maka beliau memberitahukanku untuk memalingkan pandanganku.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
Dalam hadis di atas terkandung penjelasan bahwa wanita tidak berkewajiban untuk menutup wajahnya di jalan, namun menutupnya hanyalah merupakan perbuatan sunnah yang dianjurkan dan bukan wajib. Adapun laki-laki berkewajiban untuk menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan kecuali untuk tujuan syar’i (misal khitbah).
e. Mereka bersikeras mentakwilkan hadis-hadis şahīh agar tidak bertentangan dengan pendapat mereka, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadis Khas’amiyah. Untuk menolak hadis ini mereka membuat berbagai alasan bahwa wanita tersebut dalam keadaan ihram, dan adakalanya mereka mengatakan bahwa wanita tersebut tidak membuka terus-menerus wajahnya (bisa jadi terbuka karena tertiup angin). Padahal menurut al-Albāniy, ibadah ihramnya tidak menghalanginya untuk menutupi wajahnya (berdasarkan hadis ‘Aisyah), dan tidak ada naş yang menunjukkan bahwa wajah wanita itu terbuka karena tertiup angin.
f. Al-Albāniy mengatakan bahwa dalil-dalil yang mereka gunakan adalah hadis dan asar lemah, seperti hadis Ibnu Abbās ra mengenai membuka sebelah mata; Juga hadis tentang ” ﺃفعمياوان ﺃنتما ” (apakah kamu berdua buta?), mereka menguatkan hadis ini dan tidak melemahkannya dengan mengatakan isnad-nya şahīh. Padahal menurut para muhaqqiq, seperti Imam Ahmad, al-Baihāqi dan Ibnu ‘Abdil Barr, hadis ini daīf bahkan hadis ini bertentangan dengan riwayat-riwayat yang dibawakan para ulama, seperti hadis yang menyatakan bahwa Nabi saw mengizinkan Fāţimah binti Qais untuk tinggal di rumah Ibnu Ummi Maktūm yang buta dengan alasan “Sesungguhnya jika kamu menanggalkan khimarmu, ia tidak dapat melihatmu.”
Dalam riwayat al-Ţabrāniy dari Fātimah binti Qais ia berkata:
وﺃمرني ﺃن ﺃكون عِنْدَ ابنَ ﺃمﱢمكتومٍ, ﻓﺈنّه مَكْفُوْفُ البَصَرِ, لا يَرَانِي حِيْنَ ﺃَخْلَعُ خِمارِي
g. Kesalahan mereka dalam melemahkan beberapa hadis şahīh atau asar yang sabit dari sahabat, sebagaimana mereka melemahkan hadis ‘Āisyah mengenai wanita yang telah mencapai usia balig: “Tidak baik untuk dilihat tubuhnya, kecuali wajah dan dua telapak tangannya.” Mereka melemahkan hadis ini dan mereka menyelisihi para hāfiz hadis yang menguatkannya, seperti al-Baihaqi, al-Zahabi, al-Munziri, al-’Asqalāni, dan al-Syaukāni.
Di antara mereka ada juga yang mengatakan bahwa hadis di atas tidak diriwayatkan kecuali dari ‘Āisyah, padahal terdapat dua jalan periwayatan yang lain; Salah satunya dari Asma’ binti Umais dan satu lagi dari Qatādah secara mursal dengan sanad yang sahih sampai padanya. Selain itu terdapat penguat lain, yakni:
1) Hadis tersebut diriwayatkan dari Qatādah dengan sanad dari ‘Āisyah.
2) Hadis tersebut diriwayatkan dari jalan lain, dari Asma’.
3) Hadis tersebut diamalkan ketiga periwayat: yang pertama, Qatādah dalam menafsirkan ayat “al-idna” dengan: “Allah telah mewajibkan mereka untuk mengenakan kain yang menutup alis mereka, yang artinya tidak menutupi wajah.”
Yang kedua, ‘Āisyah ra mengatakan tentang wanita yang melakukan ihram: “Hendaklah ia menutupkan kain pada wajahnya, jika ia mau.” Ucapan ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang şahih. Dari perkataan ‘Āisyah ini, dapat ditemukan adanya pilihan bagi wanita untuk menutup wajahnya atau tidak. Hal ini menunjukkan bahwa wajah bukanlah termasuk aurat, karena jika tidak demikian pastilah mereka (para şahabiyah) telah diwajibkan secara jelas dan tegas untuk menutup wajah mereka. Adapun asar ‘Āisyah ini menguatkan hadisnya yang marfu’.
Yang ketiga, Asma’ telah meriwayatkan secara şahih bahwa Qais bin Abī Hāzim pernah melihatnya sebagai seorang wanita yang berkulit putih dan bertato pada kedua tangannya.
4) Asar Ibnu Abbās ra yang mengatakan “Wanita mendekatkan jilbabnya kewajahnya dan tidak menutupkannya”. Begitu juga dengan penafsiran Ibnu Abbas ra terhadap ayat “al-Zīnah”: “Kecuali yang (biasa) tampak darinya”, beliau tafsirkan dengan wajah dan dua telapak tangan.
h. Kewajiban mengenakan cadar ini mereka jadikan sebagai syari’at yang tetap dan mutlak, yang berlaku bagi semua wanita tanpa mengenal waktu dan tempat. Hal ini tidak dapat dibenarkan, karena menurut al-Albāniy sikap ini termasuk sikap berlebihan dalam agama, dan secara tidak langsung telah membuat syari’at sendiri serta menjadikan tandingan bagi Allah. Akan tetapi, mengenakan cadar atau penutup muka adalah perbuatan sunnah yang dianjurkan, namun jika dikhawatirkan mendapat gangguan dari pria fasik dikarenakan ia membuka wajahnya, maka dalam keadaan demikian ia wajib menutup wajahnya untuk menghindari gangguan dan fitnah. Jadi hukum cadar tidak berada dalam taraf sebagai syari’at yang tetap, artinya meskipun ia sunnah tapi dapat berubah menjadi wajib.
4. Syarat pakaian (baca: jilbāb) muslimah menurut al-Qur’ān dan al-Sunnah
Al-Qur’ān diturunkan kepada umat manusia agar menjadi petunjuk bagi mereka menuju kebahagiaan di dunia maupun di akherat, sedangkan Nabi saw diutus salah satunya adalah untuk menyempurnakan akhlak, meninggikan derajat manusia dengan suri tauladan melalui sunnahnya. Di antara akhlak yang mulia adalah sikap zuhud terhadap dunia dan tidak terpedaya oleh gemerlap tipu dayanya. Dunia ini adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.
Sebagaimana yang termaktup dalam berbagai ayat al-Qur’ān maupun al-Sunnah, orang-orang kafir tidak akan ridha dengan keimanan kaum muslimin, sehingga mereka (orang kafir) melakukan banyak sekali makar supaya kaum muslimin semakin jauh dari agamanya. Di antara makar kaum kafir adalah menghembuskan nafas kebimbangan pada diri wanita muslimah dengan slogan-slogan emansipasi, mode atau trend, atau dengan istilah lain yang dapat mendorong kaum wanita khususnya muslimah menjadi tertarik olehnya dan semakin jauh dari perintah agamanya. Usaha kaum kafir ini tidak banyak disadari oleh kaum muslimah sehingga mereka terjatuh di dalamnya. Media massa ataupun elektronik yang awalnya bermaksud untuk mempermudah komunikasi, kini telah menjadi lahan perusakan moral. Televisi, internet, bahkan radio telah banyak menghadirkan sosok wanita dengan pakaian yang sangat minim, suara yang mendayu, dan sikap yang tidak lagi memperhatikan adab maupun kesopanan, lebih-lebih syari’at agama (Islam). Bahkan di antara umat Islam sendiri ada yang menjadikan jilbab sebagai trend dan mode, sehingga makna jilbab itu sendiri telah hilang dari maksud awal disyari’atkannya.
Al-Albāniy dalam menjawab tantangan ini membuat beberapa persyaratan (jilbab) yang dapat dijadikan pegangan bagi muslimah. Dengan adanya persyaratan ini diharapkan para wanita muslimah mempunyai pegangan pokok akan bentuk pakaian yang sesuai dengan perintah syar’i. Persyaratan ini beliau tafsirkan dari ayat-ayat al-Qur’ān maupun al-Sunnah, yaitu:
a. Syarat pertama; Menutup seluruh badan selain yang dikecualikan
Syarat yang pertama ini merupakan interpretasi dari al-Qur’an:
1) Surat al-Nūr (24): 31
وقل للمؤمنت يغضضن من ﺃ بصرهنﱠ و َيحفَظْنَ فروجَهُنﱠ ولا يبدين زينتَهنﱠ ﺇلا ماظهرمنها ولْيضْرِبْنَ بخمرهنﱠ على جيوبهنﱠ ولا يبدين زينتهنﱠ ﺇلا لبعولتهنﱠ ﺃو ءابائهنﱠ ﺃو ءاباء بعولتهنﱠ ﺃو ﺃبنائهنﱠ ﺃو ﺃبناء بعولتهنﱠ ﺃو ﺇخونهنﱠ ﺃو بنى ﺇخونهنﱠ ﺃو بنى ﺃخَوتِهنﱠ ﺃو نسآئهنﱠ ﺃو ما ملكت ﺃيمنُهُنﱠ ﺃوِ التّبعين غيرِ ﺃولِى اﻹربَةِ من الرِجَالِ ﺃوالطفْلِ الذين لم يظهروا على عورت النسآءِ ولا يضْرِبْنَ ﺒﺄرجلِهِنﱠ لِيُعْلَمَ ما يُخْفِيْنَ من زينتِهِنﱠ وتوبوا ﺇلى الله جميعا ﺃيها المؤمنون لعلكم تفلحون(النور: 31)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-peelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau nak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Dalam memaknai kalimat “kecuali yang biasa tampak darinya”, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ayat ini, sebagaimana disebutkan Ibnu Kasīr dalam kitab tafsirnya menegaskan tentang kewajiban menutup seluruh perhiasan dan tidak menampakkannya sedikitpun kepada laki-laki ajnabi, kecuali perhiasan yang tampak tanpa kesengajaan, karena sesuatu yang tidak disengaja tidaklah mendapat hukuman. Ibnu Abbās ra mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘perhiasan yang biasa tampak’ adalah wajah dan kedua telapak tangan, dan inilah pendapat yang masyhur di kalangan jumhur ulama’. Demikian pula pendapat Ibnu Jarīr. Sedangkan Ibnu Mas’ūd ra berpendapat sebagaimana dikutip al-Albāniy bahwa yang dimaksud dengan ‘perhiasan yang biasa tampak’ adalah selendang maupun kain yang lainnya, yakni kain kerudung yang biasa dikenakan wanita Arab di atas pakaiannya serta bagian bawah pakaiannya yang tampak.
Dari ayat ini, Ibnu ‘Aţiyah memahami bahwa wanita diperintah untuk tidak menampakkan perhiasannya serta bersungguh-sungguh dalam menyembunyikannya. Sedangkan yang dimaksud dengan “yang biasa tampak” adalah yang dituntut oleh kebutuhan mendesak kaum wanita seperti melakukan gerakan yang tidak mungkin dihindarkan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut al-Albāniy, pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang menafsirkan dengan wajah dan telapak tangan. Sedangkan yang di sebut dengan telapak tangan adalah bagian dalam dari telapak tangan hingga pergelangan; adapun wajah adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut hingga bawah dagu dan mulai dari satu kuping hingga kuping telinga yang lain. Sehingga yang meliputi wajah dan telapak tangan adalah celak, cincin, gelang, dan inai. Pendapat ini juga didasarkan pada tradisi atau perbuatan banyak wanita (yang diperbolehkan syari’at) di masa Nabi saw -dimana mereka adalah orang-orang yang mengalami secara langsung turunnya al-Qur’an- serta semua bersepakat bahwa setiap orang yang melaksanakan shalat berkewajiban untuk menutup seluruh auratnya dan bahwa wanita diperbolehkan untuk membuka wajah dan telapak tanganya di dalam şalat. Hal ini mengindikasikan wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya selama tidak termasuk aurat, karena bagian tubuh yang tidak termasuk aurat itu tidak haram untuk ditampakkan selama tidak bermaksud untuk bersolek dan menampakkan kecantikan.
Tafsiran ayat tersebut di atas (bagian tubuh yang biasa tampak adalah wajah dan telapak tangan) dikuatkan oleh firman Allah: “Hendaklah mereka menutupkan khimarnya ke dadanya.” Hal ini bisa dipahami bahwa ketika wajah ditampakkan, (wanita) juga membiarkan anting mereka tidak tertutupi, dan merupakan kebiasaan para wanita pada masa ayat ini turun, mereka biasa menjuraikan khimar ke belakang punggung mereka serhingga dada dan leher mereka terlihat. Lalu Allah memerintahkan agar menutupkan khimar mereka ke dada, sehingga tidaklah tampak seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan mereka (kecuali sengaja ditutup meski terasa berat).
2) Surat al-Ahzāb (33 ): 59
يايها النبى قل ﻷزوجك وبناتك ونسآء المؤمنين يدنين عليهن من جلبيبهن ذلك ﺃدنى ﺃن يُعْرَفْنَ فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما
Ayat ini menjadi penguat dari ayat sebelumnya (Surat al-Nūr: 31), dimana kata “idna” dalam ayat di atas bermakna ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka sehingga tidak tampak padanya kalung maupun anting mereka’.
b. Syarat kedua; Bukan berfungsi sebagai perhiasan
Syarat kedua ini dinukil al-Albāniy dari firman Allah Ta’āla dalam surat al-Nūr (24): 31 ولا يبدين زينتهنﱠ “Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka.”
Ayat ini menunjukkan adanya perintah bagi wanita untuk menyembunyikan perhiasannya, dan sangat tidak masuk akal jika seorang wanita berpakaian (dengan maksud menutupi perhiasannya) namun pakaian tersebut justru ia jadikan sebagai perhiasan. Secara umum, ayat ini juga mengandung makna semua pakaian biasa (jika dihiasi) yang dengannya menyebabkan kaum laki-laki melirik dan tertarik kepadanya.
Syarat kedua ini juga diperkuat oleh firman Allah Ta’āla surat al-Ahzāb (33): 33
وقرن في بيوتكنﱠ ولا تبرﱡجن تبرﱡج الجاهلية اﻷولى
“Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang pertama.”
Hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Hākim, dari hadis Fadalah bin ‘Ubaid dengan sanad yang shahih juga memperkuat syarat kedua ini; yakni Nabi saw bersabda:
ثلاثةٌ لا ﺗُﺴْﺄلُ عنهم: رجلٌ فارَقَ الجماعةَ وعَصَى ﺇمامَهُ وماتَ عاصِيًا, وﺃمَةٌ ﺃو عَبْدٌ ﺃبِقَ فَمَاتَ, وامْرَﺃةٌ غابَ عنها زَوْجُهَا, قد كَفَاهَا مَؤُوْنَةَ الدﱡنْيَا, فَتَبَرﱠجَتْ بَعْدَهُ, فلا ﺗُﺴْﺄلُ عنهم
“Tiga golongan yang tidak akan ditanya (karena mereka sudah pasti termasuk orang-orang yang binasa): Seorang laki-laki yang meninggalkan jama’ah dan mendurhakai imamnya serta meninggal dalam keadaaan durhaka; Seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu mati; Serta seorang wanita yang ditinggal pergi oleh suaminya padahal suaminya telah mencukupi kebutuhan duaniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya tidak akan ditanya.”
Adapun tabarruj, menurut al-Albāniy adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutupnya karena dapat membangkitkan syahwat kaum laki-laki.
Awal mula disyaria’atkannya jilbab adalah untuk menutupi perhiasan wanita; Maka sangat tidak masuk akal jika jilbab itu sendiri berfungsi sebagai perhiasan. Bahkan al-Zahabi dalam kitabnya al-Kabāir sebagaimana dikutip al-Albāniy menyatakan bahwa Allah melaknat wanita yang menampakkan perhiasannya, emas, dan mutiara yang ada dibawah niqāb (tutup kepalanya), memakai wangi-wangian ketika kelur rumah, mamakai berbagai kain celupan, pakaian sutera, dan memanjangkan lengannya hingga melampaui batas.
Larangan tabarruj ini sedemikian tegasnya hingga disetarakan dengan larangan berbuat syirik, zina, mencuri dan lainnya sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi saw tatkala beliau membai’at Umaimah binti Ruqaiqah ketika masuk Islam. Nabi membai’atnya untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anaknya, tidak membuat dusta yang diada-adakan antara kaki dan tangan, tidak meratap, serta tidak bertabarruj seperti tabarrujnya kaum jahiliyah pertama.
c. Syarat ketiga; Kainnya harus tebal, dan tidak tipis
Nabi saw bersabda:
سيكونُ في ﺁخِرِ ﺃمّتِي ﻧِﺴﺂءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ, على رُؤُوسِهِنّ ﮐَﺄسْنِمَةِ البُخْتِ, ﺇلْعَنُوهُنّ ﻓﺈنّهُنّ مَلْعُونَاتٌ
“Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian tetapi (hakekatnya) telanjang . Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) onta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka itu adalah kaum wanita terkutuk.”
Dalam hadis yang lain terdapat tambahan yang menyatakan bahwa mereka (para wanita itu) tidak akan masuk surga dan juga tidak akan memperoleh baunya, padahal bau surga itu dapat dicium dari perjalanan (jarak) sekian dan sekian. Yang dimaksud oleh hadis Nabi saw di atas adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis, yang dapat menggambarkan bentuk tubuhnya. Makna ini telah banyak dinukil dari para şahabat dan şahabiyah Nabi saw, seperti Asma’ binti Abū Bakar, Umar bin Khaţţāb, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut para ulama seperti Ibnu Hajar al-Haisami mewajibkan untuk menutup aurat dengan pakaian yang tidak dapat mensifati warna kulit, karena hakekat menutup (aurat) adalah supaya tidak diketahui apa yang ada di balik penutup tersebut. ‘Āisyah ra pernah berkata bahwa yang di sebut khimar adalah yang dapat menyembunyikan kulit dan rambut.
d. Syarat keempat; Harus longgar, tidak ketat, sehingga tidak dapat menggambarkan sesuatu dari tubuhnya
Hakekat mengenakan pakaian adalah untuk menghilangkan fitnah, di mana hal tersebut tidak akan dapat terwujud kecuali pakaian yang dikenakan haruslah bersifat longgar dan tidak sempit. Telah kita lihat fenomena yang memprihatinkan di kalangan wanita muslimah saat ini, meskipun mereka berpakaian dengan pakaian yang dapat menutupi warna kulitnya, namun tetap saja mereka mengenakan pakaian yang dapat menggambarkan bentuk tubuhnya. Keadaan inilah yang dapat mendatangkana kerusakan besar di kalangan umat manusia.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi saw memerintahkan pada salah satu sahabat yang beliau beri baju Qubţiyah (jenis pakaian dari Mesir yang tipis) -dimana pakaian tersebut dipakai oleh istri sahabat tersebut- untuk mengenakan baju dalam di balik Qubţiyahnya supaya tidak tergambarkan bentuk tubuhnya. Telah tetap dalam kaidah uşul fiqih bahwasanya asal dari sebuah perintah adalah menunjukkan wajib. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mengenakan baju yang longgar adalah syarat bagi penutup aurat. Bahkan dalam shalat, seorang wanita harus mengenakan tiga pakaian: baju, jilbab, dan khimār; Sebagaimana perkataan ‘Āisyah:
لا بُدﱠ للمرﺃةِ مِن ثلاثةِ ﺃثْوَابٍ تُصَلّي فيهِنﱠ: دِرْعٌ وجِلْبَابٌ وخمارٌ, وكانتْ عائشةُ تَحِلﱡ ﺇزَارَهَا, فَتُجَلْبِبَ بِ
“Seorang wanita dalam mengerjakan shalat harus mengenakan tiga pakaian: baju, jilbab, dan khimar.” Adapun ‘Āisyah ra pernah mengulurkan izar-nya (pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya.
e. Syarat kelima; Tidak diberi wewangian atau parfum
Terdapat beberapa hadis yang menunjukkan larangan bagi perempuan memakai wewangian ketika keluar rumah, di antaranya:
1) Dari Abū Mūsa al-Asy’ariy bahwasanya ia berkata: Rasūlullāh saw bersabda:
ﺃيما امرﺃةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرﱠتْ علىَ قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيْحِهَا فَهِيَ زَانِيَة
“Siapapun perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah penzina”.
2) Dari Zainab al-Saqafiyah bahwasanya Nabi saw bersabda:
ﺇذا خَرَجَتْ ﺇحْدَاكُنﱠ ﺇلى المسجدِ فلا تَقْرَبَنﱠ طِيْبًا
“Jika salah seorang di antara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka janganlah sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian.”
3) Dari Abū Hurairah ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
ﺃيما امرﺃةٍ ﺃصَابَتْ بَخُورًا, فلا تَشْهَدْ مَعَنَا العِشَاءَ اﻵخِرَةَ
“Siapapun perempuan yang memakai bakhur, maka janganlah ia menyertai kami dalam shalat Isya’ yang akhir.” (Dikeluarkan oleh Muslim (143), Abū Dāwud (4175), al-Nasā’i (5143 dan 5278)
Bakhur yang dimaksud dalam hadis dia atas adalah wewangian yang dihasilkan dari pengasapan, semacam dupa atau kemenyan, atau wewangian yang biasa digunakan untuk pakaian. Alasan dari pelarangan ini adalah karena dapat membangkitkan nafsu kaum laki-laki, dan pelarangan tersebut bersifat umum yang meliputi setiap waktu.
4) Dari Mūsa bin Yasar, dari Abū Hurairah:
ﺃنﱠ امرﺃةً مَرﱠتْ بِهِ تَعَصّفَ رِيْحُهَا, فقال: يا ﺃمَةَ الجَبّارِ! المسجدَ تُرِيْدِيْنَ؟ قالت: نعم, قال: وَلَهُ تَطَيّبْتِ؟ قالت: نعم, قال: فارْجِعِي فاغْسِلِي, ﻓﺈني سَمِعْتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقول: ما مِنْ امرﺃةٍ تَخْرُجُ ﺇلى المسجدِ تَعَصّفَ رِيْحُها فلا يَقْبَلُ اللهُ منها صلاةً حَتّى تَرْجِعَ ﺇلى بَيْتِهَا فَتَغْتَسِلَ
“Bahwa seorang wanita berpapasan dan bau wewangiannya menerpanya. Maka Abu Hurairah berkata: “Wahai hamba Allah! Apakah kamu hendak ke masjid?” Ia menjawab: “Ya”! Abu Hurairah kemudian berkata lagi: “Pulanglah saja, lalu mandilah! Karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangiannya menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi.”
f. Syarat keenam; Tidak menyerupai pakaian laki-laki
Terdapat beberapa hadis şahīh yang menunjukkan tentang larangan –bahkan Allah melaknat- seorang wanita menyerupai laki-laki, baik dalam hal pakaian maupun yang lainnya. Perilaku ini termasuk dosa besar menurut pendapat yang lebih kuat. Setidaknya ada empat hadis yang dijadikan landasan bagi al-Albāniy dalam membuat syarat pakaian (baca: jilbab) wanita muslimah yang keenam ini; yakni:
1) Hadis yang diriwayatkan Abū Hurairah ra
لَعَنَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم الرﱠجُلَ يَلْبَسُ لُبْسَةَ المَرْﺃةِ, والمَرْﺃةَ تَلْبَسُ لُبْسَةَ الرﱠجُلِ
“Rasulullah saw melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria.”
2) Hadis yang diriwayatkan dari Abdullāh bin Amru
ليس مِنّا مَنْ تَشَبّهَ بالرِجالِ مِنَ النسَاءِ, ولا مَنْ تَشَبّهَ بالنساءِ مِن الرِجالِ
“Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita.”
3) Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās ra
لَعَنَ النّبِي صلى الله عليه وسلم المُخَنّثِينَ مِنَ الرِجالِ, والمُتَرَجِّلاتِ مِنَ النساءِ وقال: ﺃخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ. قال: ﻓﺄخْرَجَ النّبيُّ صلى الله عليه وسلم فُلانًا, وﺃخْرَجَ عُمَرُ فُلانًا
“Nabi saw melaknat kaum pria yang bertingkah seperti wanita, dan kaum wanita yang bertingkah seperti pria. Beliau bersabda: ‘Keluarkanlah mereka dari rumah kalian.’ Nabi pun mengeluarkan si fulan dan Umar mengeluarkan si fulan.”
Dalam lafaz yang lain:
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم المُتَشَبِهين من الرجال بالنساء, والمتشبهاتِ من النساء بالرجال
4) Hadis yang diriwayatkan dari Abdullāh Ibnu Umar
ثلاث لا يدخلون الجنة ولا ينظرُ اللهُ ﺇليهم يومَ القيامة: العاقﱡ وَالِدَيْهِ, والمرﺃةُ المُترَجِلَةُ المتشبهة بالرجال, والدﱠيُوثُ
“Tiga golongan yanag tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang bertingkah seperti pria dan menyerupakan diri dengan pria, dan dayus (orang yang tidak memiliki rasa cemburu).”
5) Dari Abdullāh bin Abī Mulaikah yang berkata: Suatu ketika ‘Aisyah ditanya: Bagaimana pendapatmu tentang wanita yang memakai sandal? Ia mnejawab:
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الرﱠجُلةَ من النساء
“Raulullah saw melaknat wanita-wanita yang bertingkah seperti laki-laki.”
g. Syarat ketujuh; Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir
Syari’at telah menetapkan bahwa kaum muslimin -baik laki-laki maupun perempuan- dilarang menyerupai (bertasyabuh) kaum kafir baik dalam ibadah, perayaan hari raya, maupun dalam hal berpakaian. Dalam berbagai ayat al-Qur’ān (Surat al-Jāsiyah: 16-18, al-Ra’d: 36-37, al-Hadīd: 16, al-Baqarah: 104) disebutkan tentang perilaku orang-orang kafir yang banyak melakukan kemaksiatan kepada Allah. Jika demikian keadaan orang-orang kafir, sungguh tidak pantas bagi kaum muslimin mengikuti mereka dalam segala aspeknya.
Dalam masalah berpakaian, terdapat banyak asar sahabat yang menunjukkan larangan menyerupai atau mengikuti orang-orang kafir; diantaranya adalahi:
1) Dari Abdullāh bin Amru bin al-’Aş yang berkata:
رﺃى رسول الله صلىالله عليه وسلم ثوبين مُعَصفَرَين, فقال: ﺇنﱠ هذه من ثياب الكفار فلا تلبِسْها
“Rasulullah saw melihatku mengenakan dua buah kain yang diwarnai dengan ‘usfur, maka beliau bersabda: “Sungguh, ini merupakan pakaian orang-orang kafir, maka jangan memakainya.”
2) Dari ‘Ali ra diriwayatkan secara marfu’:
ﺇياكم ولبوس الرهبانِ, ﻓﺈنه مَن تَزَيّابهم ﺃو تشبه, فليس مني
“Janganlah kalian memakai pakaian para pendeta, karena barangsiapa mengenakan pakaian mereka atau menyerupakan diri dengan mereka, bukan dari golonganku.”
3) Dari Abū Umāmah yang berkata:
“Suatu ketika Rasūlullāh saw keluar di tengah-tengah para tokoh dari kalangan Anshar, jenggot mereka berwarna putih. Beliau bersabda: “Wahai sekalian orang Anshar! Semirlah dengan warna merah dan kuning, selisihilah ahli kitab!” Maka kami berkata: “Wahai Rasulullah saw, Sesungguhnya ahli kitab memakai celana, tetapi tidak memakai sarung!” Maka Rasulullah saw bersabda: “Pakaialah celana dan sarung, selisihilah ahli kitab!” Kami berkata: “Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya ahli kitab berjalan dengan kaki telanjang dan tidak mau memakai alas kaki.” Beliau bersabda: “Berjalanlah dengan kaki telanjang maupun dengan alas kaki, selisihilah ahli kitab!” Kami berkata: “Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya ahli kitab memangkas jenggot mereka dan memanjangkan kumis mereka.” Beliau bersabda: “Pangkaslah kumis kalian dan panjangkanlah jenggot kalian, selisihilah ahli kitab!”
4) Dari Ibnu Umar ra, ia berkata: “Rasūlullāh saw bersabda:
خالفوا المشركين, ﺃحْفُوا الشوَارِبَ, وﺃوفوا اللحْيَ
“Selisihilah orang-orang musyrik, pangkaslah kumis dan biarkanlah jenggot tumbuh panjang.”
h. Syarat kedelapan; Bukan pakaian untuk mencari popularitas
Syarat kedelapan ini sesuai dengan hadis Ibnu Umar ra yang berkata: Rasūlullāh saw bersabda:
من لبس ثوبَ شُهْرَةٍ في الدنيا ﺃلبسُهُ اللهُ ثوبَ مُذِلةٍ يومَ القيامة, ثم ﺃُلْهِبَ فيه نارا
“Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.”
Pakaian syuhrah adalah setiap pakaian yang dipakai dengan maksud mencari popularitas di tengah manusia, baik pakaian itu mahal maupun bernilai rendah.
B. Pemikiran al-’Usaimīn tentang Jilbab Wanita Muslimah
Mengkaji pemikiran al-’Usaimīn seputar jilbab wanita muslimah tidak akan lepas dari pembahasan masalah cadar, karena bagi al-’Usaimīn cadar erat kaitannya dengan tujuan disyari’atkannya jilbab yang wajib dipakai wanita mukminah. Jilbāb menurut al-’Usaimīn adalah pakaian/selendang (الِرداء) di atas kerudung (الخمار) sejenis mantel. Beliau memberikan definisi yang sama antara jilbāb dengan hijāb, sedangkan ulama yang lain (seperti al-Albāniy) membedakan antara keduanya karena di antara keduanya (jilbab dan hijab) mempunyai keumuman dan kekhususan sendiri-sendiri.
Menurut al-’Usaimīn, berhijab atau berjilbab merupakan manifestasi perasaan malu yang paling besar yang dengannya seseorang dapat terjaga dan terjauh dari fitnah. Dengan berhijab pula seorang wanita terjaga akhlaknya sebagaimana Nabi saw diutus. Al-’Usaimīn merasa penting untuk mengkaji masalah ini (baca: jilbāb) karena melihat fenomena masyarakat yang cenderung mulai menolak untuk berhijab dan berpendapat bahwa tidak mengapa kaum wanita bepergian tanpa menutup wajahnya. Keadaan ini membuat sebagian orang khususnya muslimah menjadi ragu akan hukum menutup wajah tersebut; apakah ia diwajibkan ataukah sebatas anjuran atau bahkan hanya merupakan taklid dan mengikuti tradisi belaka sehingga hukumnya tidak wajib dan tidak pula dianjurkan (sunnah).
Dalam hal ini al-’Usaimīn menyatakan secara tegas bahwa berhijab dan menutupnya seorang wanita atas wajahnya dari laki-laki asing merupakan perkara yang wajib sebagaimana telah ditunjukkan tentang wajibnya oleh al-Qur’ān dan al-Sunnah serta Qiyas yang umum.
1. Dalil-dalil yang Menunjukkan Tentang Kewajiban Berhijab dan Menutup Wajah Bagi Muslimah
Menurut al-’Usaimīn dalil-dalil yang menujukkan wajibnya berhijab dan menutup wajah adalah:
a. Dalil al-Qur’ān:
1) Surat al-Nūr (24): 31
2) Surat al-Nūr (24): 60
3) Surat al-Ahzāb (33): 59
4) Surat al-Ahzāb (33): 55
b. Dalil al-Sunnah:
1) Hadis Riwayat Imam Ahmad, dan disebutkan dalam kitab Majma’ al-Zawāid bahwa rijal hadis ini şahīh.
2) Hadis Riwayat al-Bukhāriy, Muslim dan selain keduanya.
3) Hadis yang dimuat dalam Şahīh al-Bukhāriy dan Şahīh Muslim dari ‘Āisyah ra.
4) Hadis riwayat Bukhāriy, Muslim, al-Nasā’i dan Ahmad.
5) Hadis riwayat Imam Lima kecuali al-Nasā’i dan dişahīhkan oleh al-Tirmizi.
6) Hadis riwayat Imam Ahmad, Abū Dāwud dan Ibnu Mājah dari ‘Āisyah ra.
c. Dalil Qiyas
a. Dalil al-Qur’ān
1) Dalil pertama, al-Qur’ān Surat al-Nūr (24): 31
وقل للمؤمنت يغضضن من ﺃ بصرهنﱠ و َيحفَظْنَ فروجَهُنﱠ ولا يبدين زينتهنﱠ ﺇلا ماظهرمنها وليضربن بخمرهنﱠ على جيوبهنﱠ ولا يبدين زينتهنﱠ ﺇلا لبعولتهنﱠ ﺃو ءابائهنﱠ ﺃو ءاباء بعولتهنﱠ ﺃو ﺃبنائهنﱠ ﺃو ﺃبناء بعولتهنﱠ ﺃو ﺇخونهنﱠ ﺃو بنى ﺇخونهنﱠ ﺃو بنى ﺃخوتهنﱠ ﺃو نسآئهنﱠ ﺃو ما ملكت ﺃيمنهنﱠ ﺃو التبعين غير ﺃولى اﻹربة من الرجال ﺃوالطفل الذين لم يظهروا على عورت النسآء ولا يضربن ﺒﺄرجلهنﱠ ليعلم ما يُخفين من زينتهنﱠ وتوبوا ﺇلى الله جميعا ﺃيها المؤمنون لعلكم تفلحون (النور: 31)
Menurut al-’Usaimīn, ayat di atas merupakan perintah bagi wanita mukminah uantuk menahan pandangan dan menjaga kemaluannya serta tidak menampakkan perhiasannya kecuali kepada orang-orang yang telah dikecualikan Allah Ta’āla dalam ayat di atas. Dan bagi al-’Usaimīn, ada sebuah kaidah yang selalu dipegang olehnya yakni “hukum wasīlah (cara) sama dengan hukum tujuan (maqāşid)”. Sehingga dari ayat diatas al-’Usaimīn mengambil sebuah analogi bahwa jika Allah Ta’āla memerintahkan para wanita mukminah untuk menjaga kemaluannya maka tentunya perintah tersebut juga mengandung makna bahwa para wanita mukminah juga diperintahkan untuk menjaga hal-hal yang mengarah padanya.
Dalam pandangan al-’Usaimīn, menutup wajah termasuk perintah yang merujuk pada menjaga kemaluan, sedangkan membuka wajah berarti membiarkannya untuk dilihat dan dinikmati orang yang selanjutnya mengarah pada perzinaan. sebagaimana sabda Nabi saw: العينان تزنيان وزناهما النظر (kedua mata berzina dan zinanya adalah melihat). Dengan demikian jika menutup wajah merupakan wasilah menjaga kemaluan maka hukumnya sama dengan menjaga kemaluan itu sendiri yakni wajib -karena asal dari sebuah perintah adalah menunjukkan wajib (اﻷصل فى اﻷمر للوجوب)
Tentang kalimat: واليضربن بخمرهن على جيوبهن dalam ayat di atas mengindikasikan bahwasanya wanita diperintahkan untuk menutupkan kerudung (khimār) hingga ke dadanya. Adapun al-Khimār (الخمار) menurut al-’Usaimīn adalah sesuatu yang dipakai wanita untuk menutupi kepalanya. Karena wanita diperintah untuk menutupkan kerudung (khimār) hingga ke dada, tentunya wanita juga diperintahkan untuk menutup wajahnya. Menurut al-’Usaimīn, jika menutup bagian atas dada dan dada itu sendiri wajib, tentunya wajah adalah bagian yang lebih membutuhkan untuk ditutupi karena ia merupakan sumber kecantikan dan fitnah.
Bagi al-’Usaimīn, meskipun ukuran kecantikan adalah sesuatu yang bersifat relatif -artinya bahwa ukuran kecantikan tersebut berbeda bagi masing-masing individu- namun sudah menjadi sesuatu yang umum bahwa orang tidak akan menilai seorang wanita itu cantik kecuali melalui wajah. Sehingga jika dikatakan “fulānah cantik” maka tidak ada yang dapat dipahami dari perkataan tersebut kecuali cantik wajahnya.
Jika fakta menunjukkan demikian, maka bagaimana mungkin syari’at Islam memerintahkan untuk menutup dada dan bagian atasnya lalu membolehkan untuk membuka wajah. Hal ini merupakan suatu hal yang mustahil dalam syari’at Islam menurut al-’Usaimīn.
Al-Qur’ān Surat al-Nūr (24): 31 di atas juga menunjukkan bahwa Allah melarang menampakkan perhiasan secara mutlak kecuali yang biasa tampak yakni perhiasan yang tidak dapat disembunyikan, seperti baju bagian luar. Sehingga dalam firman-Nya Allah mengatakan “ﺇلا ما ظهر منها” (kecuali yuang biasa tampak) dan tidak mengatakan “ﺇلا ما ﺃظهرن منها” (kecuali yang mereka tampakkan). Kemudian Allah Ta’āla juga melarang menampakkan perhiasan tersebut kecuali pada orang-orang tertentu saja. Hal ini menunjukan bahwa perhiasan (yang biasa tampak) tersebut adalah perhiasan luar yang tampak pada setiap orang dan tidak mungkin untuk menyembunyikannya; karena perhiasan menurut al-’Usaimīn ada dua macam yakni perhiasan luar (الزينة الظاهرة) dan perhiasan dalam (الزينة الباطنة).
Allah membolehkan untuk menampakkan perhiasan dalam kepada pembantunya (laki-laki) yang sudah tidak memiliki syahwat terhadap wanita dan kepada anak kecil yang belum memiliki syahwat dan belum mengerti tentang aurat wanita. Ini menunjukkan dua hal: yang pertama, bahwasanya menampakkan perhiasan dalam kepada seseorang yang bukan mahramnya tidaklah dihalalkan kecuali kepada dua orang yang disebutkan dalam ayat diatas. Yang kedua, bahwasanya illat hukumnya adalah karena takut akan terjadinya fitnah terhadap wanita, dan tidak diragukan lagi bahwasanya wajah merupakan sumber keindahan dan tempat terjadinya fitnah.
ولا يضربن ﺑﺄرجلهن ليعلم ما يُخفين من زينتهنﱠ
Maksud dari penggalan ayat ini adalah larangan bagi seorang wanita memukul-mukulkan kakinya, yang dengannya orang dapat melihat apa yang tersembunyi darinya seperti gelang kaki dan yang semisalnya yang dipakai untuk menghias kaki. Jika seorang wanita dilarang memukul-mukulkan kakinya karena takut terjadinya fitnah yang muncul dari suara yang dihasilkannya, maka menurut al-’Usaimīn membuka wajah tentu lebih berhak untuk dilarang.
2) Dalil kedua, al-Qur’ān surat al-Nūr (24): 60
والقوعد من النسآء التى لا يرجون نكاحا فليس عليهن جناح ﺃن يضعن ثيابهن غير متبرجت بزينة وﺃن يستعففن خيرلهن والله سميع عليم
Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin menikah (lagi), tiadalah atas mereka dosa menaggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Menurut pemahaman al-’Usaimīn, ayat di atas menunjukkan bahwa Allah meniadakan dosa dari wanita tua yang sudah tidak memiliki hasrat (menikah) untuk “menanggalkan pakaiannya” dimana laki-laki sudah tidak mungkin menginginkannya disebabkan usianya yang telah tua. Peniadaan dosa ini (yakni jika mereka menanggalkan pakaiannya) diiringi syarat tidak dimaksudkan untuk menampakkan perhiaasan.
Adapun maksud dari pakaian yang ditanggalkan adalah pakaian yang melebihi pakaian yang biasa dikenakan di rumah yang biasanya tidak menutupi bagian tubuh yang biasa tampak seperti wajah dan telapak tangan. Pengkhususan hukum terhadap para wanita tua ini merupakan dalil bahwa para gadis yang masih memiliki hasrat untuk menikah maka hukumnya berlawanan dengan mereka. Karena jika hukum tersebut mencakup semuanya dalam hal kebolehan menanggalkan pakaian dan mengenakan pakaian rumah atau semisalnya, niscaya pengkhususan (bagi wanita tua) tersebut tidaklah berguna.
Kalimat غيرَ متبرجت بزينة menjadi dalil lain yang menunjukkan wajibnya berhijab bagi wanita yang masih berkeinginan untuk menikah. Karena pada umumnya, jika seorang wanita menampakkan wajahnya ia bermaksud menampakkan perhiasan dan kecantikannya. Amatlah jarang yang tidak dimaksudkan untuk hal ini, sedangkan sesuatu yang jarang menurut al-’Usaimīn tidak dapat dihukumi.
3) Dalil ketiga, al-Qur’ān Surat al-Ahzāb (33): 59
يايها النبى قل ﻷزوجك وبناتك ونسآء المؤمنين يدنين عليهن من جلبيبهن ذلك ﺃدنى ﺃن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما
Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ibnu Abbās ra mengatakan sebagaimana dikutip al-’Usaimīn, bahwa Allah memerintahkan istri-istri orang mukmin yakni jika mereka keluar rumah karena suatu keperluan agar menutup wajahnya dari atas kepalanya dengan jilbab dan hanya menampakkan satu matanya saja untuk keperluan melihat jalan.
Penafsiran Ibnu Abbās ra ini digunakan al-’Usaimīn sebagai hujjah akan wajibnya menutup wajah, karena ada suatu kaidah yang menyatakan bahwa tafsiran sahabat adalah hujjah. Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa penafsiran sahabat masuk ke dalam hukum marfu’ kepada Nabi saw. Pada zaman dahulu, diceritakan oleh Ummu Salamah bahwa istri-istri orang Anşar jika keluar rumah seolah-olah di kepala mereka ada burung gagak karena ketenangan menyertai dirinya dan mereka mengenakan pakaian hitam. Hal senada juga diceritakan oleh Abū Ubaidah al-Salmāni bahwa istri-istri orang mukmin mengulurkan jilbabnya dari atas kepala mereka hingga tidak tampak anggota tubuh mereka kecuali mata mereka untuk keperluan melihat jalan.
4) Dalil keempat, al-Qur’ān Surat al-Ahzāb (33): 55
لاجناح عليهن في ءابائهن ولا ﺃبنائهن ولا ﺇخونهن ولا ﺃبناء ﺇخونهن ولا ﺃبناء ﺃخوتهن ولا نسائهن ولا ما ملكت ﺃيمنهن واتقين الله ﺇن الله كان على كل شىء شهيدا
Tidak ada dosa atas isteri-isteri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu wahai isteri-isteri Nabi kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
Menurut Ibnu Kasīr, ketika Allah memerintahkan kaum wanita untuk berhijab dari laki-laki asing, maka Dia menjelaskan bahwa tidak wajib berhijab terhadap kerabat (yang tertera dalam ayat di atas) sebagaimana juga dikecualikan dalam Surat al-Nūr (24): 31.
Inilah empat ayat dari al-Qur’ān yang menurut al-’Usaimīn merupakan dalil atas wajibnya seorang wanita untuk berhijab dari laki-laki asing.
b. Dalil al-Sunnah
1) Hadis Riwayat Imam Ahmad
قوله صلى الله عليه وسلم: ﺇذا خطب ﺃحدكم امرﺃة فلا جناح عليه ﺃن ينظر منها ﺇذا كان ﺇنما ينظر ﺇليها لخطبة و ﺇن كانت لا تعلم (رواه ﺃحمد)
“Apabila salah seorang di antara kalian mengkhitbah seorang wanita, maka tidak dosa baginya untuk melihat wanita itu jika hendak melihatnya karena khitbah, meskipuan wanita itu tidak mengetahuinya.”
Dari hadis diatas, Nabi SAW secara khusus meniadakan dosa dari laki-laki yang mengkhitbah jika ia melihat wanita yang dikhitbahnya yakni dengan syarat betul-betul (karena niat) khitbah. Hal ini menunjukkan bahwa selain laki-laki yang mengkhitbah dianggap berdosa jika memandang wanita asing dalam setiap keadaan.
Dalam hadis diatas tidak disebutkan bagian mana saja yang boleh dilihat. Menurut al-’Usaimīn, telah diketahui secara umum bahwa kecantikan yang dimaksud oleh seorang peminang sehingga diperbolehkan untuk dilihat hanyalah wajah orang yang dipinang dan selain itu hanya mengikut saja.
2) Hadis Riwayat al-Bukhāriy, Muslim dan yang lainnya.
ﺃن النبي صلى الله عليه وسلم لما ﺃمر ﺑﺈخراج النساء ﺇلى مصلى العيد قلن: يا رسول الله ﺇحدانا لا يكون لها جلباب فقال النبي صلى الله عليه وسلم : ‹‹ لَتَلْبَسُها ﺃختها من جلبابها›› رواه البخاري و مسلم وغيرهما
Nabi saw ketika memerintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita ke tempat shalat hari raya, mereka mengadu: “Ya Rasulullah, salah seorang dari kami ada yang tidak mempunyai jilbab”. Maka beliau saw bersabda: “Hendaklah saudara perempuannya memberikan jilbab kepadanya.
Hadis diatas menunjukkan bahwa merupakan kebiasaan istri-istri para sahabat yakni seorang istri tidak keluar rumah kecuali dengan mengenakan jilbab, dan ketika tidak ada jilbab ia tidak mungkin keluar rumah. Dari bunyi teks hadis juga dapat diketahui bahwasanya Nabi saw tidak mengizinkan mereka keluar rumah tanpa mengenakan jilbab meskipun keluar menuju tempat shalat ied, padahal shalat ied adalah sesuatu yang disyari’atkan dan diperintahkan. Bagi al-’Usaimīn, jilbab yang di maksud dari hadis di atas tidaklah lepas dari perintah untuk memakai cadar sebagai bentuk pemaknaan dari ayat-ayat yang berbicara dalam masalah jilbab dan hijab.
Dengan demikian bagaimana mungkin beliau memberikan keringanan kepada mereka untuk keluar rumah (tanpa hijab) pada perkara yang tidak disyari’atkan dan tidak pula karena kebutuhan.
3) Hadis yang terdapat dalam Şahīh al-Bukhāriy dan Şahīh Muslim dari ‘Āisyah ra.
ما ثبت فى الصحيحين عن عا ئشة رضي الله عنها قالت: كان رسول الله صلىاﷲ عليه وسلم يصلى الفجر فيشهد معه ﻧﺴﺂء من المؤ منت متلفعات بمروطهنﱠ ثم يرجعن ﺇلى بيوتهنﱠ ما يعرفهن ﺃحد من الغسل. و قالت: لو رﺃى رسول الله صلىالله عليه وسلم من النساء ما رﺃينا لمنعهن من المساجد كما منعت بنوا ﺇسرائيل ﻧﺴﺂئها.
Adalah Rasulullah saw shalat fajar bersama wanita yang beriman, mereka berselubung muruth (pakaian tanpa jahitan). Kemudian mereka pulang ke rumah. Tak seorangpun mengenal mereka karena gelap.” Selanjutnya ‘Aisyah ra berkata: “Andaikata Rasulullah saw melihat keadaan kaum wanita seperti yang kita lihat, niscaya beliau melarang mereka pergi ke masjid seperti halnya Bani Israil melarang wanita-wanitanya. (Hadis semisal juga diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ūd ra)
Hadis tersebut di atas menunjukkan dua hal: yang pertama, berhijab dan menutup diri merupakan kebiasaan istri-istri sahabat yang hidup pada sebaik-baik masa, yang mulia disisi Allah Ta’ala, yang paling tinggi akhlak dan adabnya, sempurna imannya dan paling baik amalnya. Mereka adalah qudwah (suri tauladan) yang diridhai Allah. Karena hal tersebut menjadi jalan hidup istri-istri para sahabat maka generasi selanjutnyapun tidak boleh menyimpang dari jalan tersebut sebagaimana yang tersebut dalam firman Allah QS. Al-Nisā’: 115.
Yang kedua, menunjukkan kedalaman ilmu serta pengetahuan agama ‘Āisyah ra dan Ibnu Mas’ūd. Keduanya mempunyai prediksi bahwa jika Nabi Muhammad SAW mengetahui kondisi kaum wanita ketika keluar ke masjid dengan keadaan seperti yang mereka lihat niscaya Nabi saw akan melarang para wanita keluar dari rumah mereka. Jika keadaan pada zaman terbaik (zaman Rasulullah SAW dan sahabat) menuntut adanya pelarangan wanita pergi kemasjid tanpa hijab, tentunya zaman ini menurut al-’Usaimīn lebih menuntut adanya pelarangan tersebut.
4) Hadis riwayat Bukhāriy, Muslim, al-Nasā’i dan Ahmad
ﺃنﱠ النبي صلىالله عيله وسلم قال: ‹‹ من جر ثوبه خيلاء لم ينظر اﷲ ﺇليه يوم القيامة ›› فقالت ﺃم سلمة فكيف يصنع النساء بذيولهنﱠ؟ قال: (يرخينه شبرا) قالت: ﺇذن تنكشف ﺃقدامهنﱠ. قال: (يرخين ذراعا ولا يزدن عليه).
Barangsiapa menjuraikan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan memperhatikannya pada hari kiamat.” Ummu Salamah berkata: lalu bagaimana wanita-wanita berbuat terhadap ujung kainnya? Nabi saw menjawab: “Mereka menurunkannya sejengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi: kalau begitu kaki mereka kelihatan. Beliau bersabda: “Mereka turunkan sehasta dan jangan menambah lagi dari itu.
Hadis diatas mengandung dalil tentang kewajiban menutup kaki seorang perempuan. Jika kaki (yang fitnahnya lebih kecil dari pada wajah) wajib untuk ditutupi maka wajah dan telapak tangan menjadi lebih wajib untuk ditutupi.
Al-’Usaimīn berpendapat bahwa mustahil dalam hikmah Allah Ta’āla dan syari’at-Nya jika Dia mewajibkan menutup kaki yang lebih kecil fitnahnya namun memberi keringanan untuk membuka wajah yang lebih besar fitnahnya. Dengan demikian menutup wajah adalah hal yang wajib.
5) Hadis riwayat lima Imam kecuali al-Nasā’i dan dişahihkan oleh al-Tirmizi.
قوله صلىالله عليه وسلم: ‹‹ ﺇذا كان ﻹحداكنﱠ مكاتب و كان عنده ما يؤدي فلتحتجب منه ›› رواه الخمسة ﺇلا النسائي وصححه الترمذي
“Apabila salah seorang dari isteri-isteri itu memiliki budak dan ia mempunyai hasrat terhadap wanita, maka hendaklah isteri tersebut berhijab darinya.”
Hadis diatas menunjukkan bolehnya seorang majikan (perempuan) membuka wajahnya dihadapan budaknya (laki-laki) selama budak tersebut dalam kekuasaannya. Namun jika kondisinya keluar dari hal ini maka wajib baginya untuk berhijab karena ia telah menjadi lelaki asing baginya.
6) Hadis riwayat Imam Ahmad, Abū Daud dan Ibnu Mājah
عن عائشة رضي الله عنها قالت: ‹‹ كان ا لركبان يمرون بنا ونحن محرمات مع الرسول اﷲ صلىالله عليه وسلم ﻓﺈذا حاذونا سدلت ﺇحدانا جلبابها على وجهها من رﺃسها ﻓﺈذا جاوزونا كشفناه. (رواه ﺃحمد وﺃبو دا ود وابن ماجه)
Dari ‘Āisyah ra berkata: “Adalah para penunggang kuda melewati kami dalam keadaan ihram bersama Rasulullah saw. Jika mereka tepat di hadapan kami, setiap kami menutupkan jibabnya ke wajahnya mulai dari kepala. Dan apabila mereka telah lewat, kami membukanya kembali.”
Hadis ini menunjukkan kewajiban menutup wajah, karena yang disyari’atkan ketika ihram adalah membukanya bahkan hukumnya wajib menurut sebagian besar ulama. Sekiranya tidak ada penghalang yang kuat dari membukanya ketika itu, niscaya tetap wajib terbuka sampai di depan para penunggang kuda sekalipun.
Sesuatu yang wajib tidak dapat dikalahkan kecuali oleh sesuatu yang wajib pula. Maka seandainya berhijab dan menutup wajah dari laki-laki asing tidak wajib, tidak mungkin diwajibkan membuka wajah ketika ihram. Dalam kitab Şahīh Bukhāri dan Şahīh Muslim dijelaskan bahwa seorang wanita dilarang memakai cadar dan sarung tangan ketika sedang ihram. Menurut Ibnu Taimiyyah sebagaimana dikutip al-’Usaimīn, hal ini menunjukkan bahwa cadar dan sarung tangan sudah lazim dipakai oleh wanita-wanita yang tidak dalam keadaan ihram.
c. Dalil Qiyas
Qiyas muţţarid (yang banyak berlaku) yang dibawa oleh syari’at Islam adalah penetapan dan anjuran pada berbagai kemaslahatan serta sarana-sarananya dan pengingkaran serta pencegahan terhadap berbagai kerusakan dan sarana-sarananya. Segala sesuatu yang di dalamnya hanya mengandung kemaslahatan atau kemaslahatannya lebih besar dari pada kerusakannya, maka hal tersebut diperintahkan oleh syari’at baik dalam bentuk sunnah ataupun wajib. Adapun segala sesuatu yang di dalamnya hanya mengandung kerusakan atau kerusakannya lebih besar dari pada kemaslahatannya, maka hal tersebut dilarang baik dalam bentuk haram maupun makruh. Demikian halnya dengan syari’at cadar, karena di dalamnya mengandung kemaslahatan yang besar maka cadar diperintahkan dalam bentuk wajib sebagaimana kewajiban jilbab itu sendiri. Jilbab lebih banyak mendatangkan manfaat dari pada madharat. Demikian juga dengan cadar atau penutup wajah wanita.
Menurut al-’Usaimīn, jika kita mencermati masalah yang selama ini terjadi pada sebagian wanita muslimah yakni bepergian tanpa menutup wajah atau membuka wajah di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, niscaya kita akan melihat berbagai kerusakan yang banyak. Kalaupun di antara kita mengatakan ada kemaslahatan, tentunya kemaslahatan tersebut sangatlah kecil jumlahnya atau bahkan tertutup oleh kerusakannya. Adapun kerusakan yang dimaksud al-’Usaimīn adalah:
1) Fitnah; hal ini terjadi karena wanita sering menciptakan fitnah pada diri mereka sendiri dengan mempercantik dan memperindah wajah serta menampakkannya dengan penampilan yang dapat mendatangkan fitnah (godaan atau rangsangan). Keadaan ini dapat menjadi pemicu bagi munculnya kejahatan dan kerusakan terbesar, baik perzinaan, perkosaan, dan lain sebagainya.
2) Hilangnya rasa malu dari wanita, di mana malu adalah sebagian dari pada iman. Hilangnya rasa malu dari wanita merupakan salah satu indikasi kecilnya iman yang mereka miliki serta hilangnya fitrah yang menjadi pembawaan sejak ia diciptakan.
3) Terfitnahnya kaum lelaki akibat dari sikap wanita yang membuka wajah lebih-lebih jika ia wanita yang cantik dan terjalin hubungan dekat, senda gurau dan lain sebagainya Kita tahu bahwa syetan berjalan dalam diri manusia seperti aliran darah. Dengan demikian syetan dapat dengan mudah membisikkan kejelekan pada manusia, sehingga betapa banyak percakapan dan gurauan menciptakan keterpautan hati laki-laki kepada wanita dan sebaliknya yang akhirnya muncul kerusakan yang tidak dapat dielakkan lagi.
4) Bercampurnya antara laki-laki dan wanita (ikhtilaţ). Hal ini disebabkan oleh karena wanita yang keluar rumahnya tanpa menutup wajah telah menghilangkan darinya rasa malu untuk bercampur dengan lawan jenisnya dalam sebuah forum.
Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa dahulu sebelum ayat jilbab turun, kaum wanita banyak yang keluar rumah tanpa jilbab dan kaum laki-laki dapat melihat wajah serta kedua telapak tangan mereka. Lebih lanjut Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa pada saat itu memang diperbolehkan memandang mereka (para wanita) dan merekapun boleh menampakkannya. Namun setelah turun ayat hijab (QS.Al-Ahzāb (24): 59) maka kaum wanita harus menutup dirinya (dari pandangan) kaum laki-laki.
Adapun Jilbāb menurut Ibnu Taimiyyah adalah “tutup penuh”, yakni yang oleh Ibnu Mas’ūd disebut dengan al-Ridā’ dan orang menyebutnya Izār yang menutup kepala dan seluruh tubuhnya. Dan berdasarkan pendapat yang paling şahīh, menujukkan bahwa wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki tidak boleh diperlihatkan kepada laki-laki (yang bukan mahramnya) dan boleh diperlihatkan kepada sesama wanita dan laki-laki mahramnya. Pensyari’atan jilbab ini menurut Ibnu Taimiyyah mempunyai dua tujuan, yakni yang pertama untuk membedakan antaar laki-laki dan perempuan, dan yang kedua uantuk “menutup” wanita.
2. Bantahan Al-’Usaimīn Atas Mereka Yang Membolehkan Membuka Wajah
Dalil-dalil tentang bolehnya membuka wajah bagi kaum wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya sebenarnya tidaklah bersifat kontradiktif dengan yang mengharuskannya (baca: menutup wajah). Hal ini didasarkan pada dua alasan, yang pertama bahwasanya dalil tentang keharusan berhijab adalah dalil Nāqil (mengubah hukum asal, yakni diperbolehkannya membuka wajah), sedanglan dalil kebolehan membuka wajah adalah dalil yang menjelaskan hukum asal. Sebagaimana dikenal di kalangan ahli ushul, dalil yang mengubah hukum asal (dalil nāqil) lebih didahulukan. Sehingga jika ditemukan dalil yang berubah dari hukum asal, maka dalil tersebut mengindikasikan adanya perubahan hukum atas hukum asal. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa di balik dalil nāqil terdapat pengembangan ilmu, yaitu penetapan perubahan hukum asal. Yang kedua bahwasanya jika kita mencermati dalil-dalil yang dijadikan pegangan atas bolehnya wanita membuka wajah, maka dapat ditemukan bahwa dalil-dalil tersebut tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang melarangnya sebagaimana yang akan dijelaskan al-’Usaimīn dalam bantahannya.
Menurut al-’Usaimīn, setidaknya ada empat dalil yang biasa digunakan oleh mereka yang membolehkan membuka wajah, yakni:
a. Firman Allah Ta’ala: “Hendaklah mereka (kaum wanita) tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya.” Dari ayat ini Ibnu Abbās menafsirkan bahwa bagian yang biasa tampak adalah wajah, kedua telapak tangan dan cincin Sedangkan kita telah mengetahui bahwa penafsiran sahabat adalah hujjah, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa penafsiran sahabat masuk ke dalam hukum marfu’ kepada Nabi saw.
Menurut al-’Usaimīn, kemungkinan yang dimaksud Ibnu Abbās ra dalam tafsirannya tersebut adalah sebelum ayat hijab (tutup) diturunkan. Kemungkinan kedua dari tafsiran Ibnu Abbās ra tersebut ialah bahwa yang dimaksud adalah perhiasan yang dilarang diperlihatkan, sebagaimana disebutkan Ibnu Kasīr dalam tafsirnya (QS.Al-Ahzāb (24): 59) yang memperkuat dua kemungkinan tersebut. Jika kedua kemungkinan diatas belum meyakinkan kita, maka tafsir sahabat ini tidak dapat dijadikan hujjah, karena tafsirnya ditentang oleh sahabat yang lain (baca: Ibnu Mas’ūd ra yang menafsirkan kalimat: (ﺇﻻ ما ظهر منها) “yang biasa tampak” dengan al-ridā’ (pakaian). Dengan demikaian harus diambil tafsiran atau pendapat yang didukung oleh dalil-dalil lain dan dilakukan tarjih.
b. Hadis yang diriwayatkan Abū Dāwud dalam kitab Sunan-nya dari ‘Āisyah ra bahwasanya Asma’ binti Abī Bakar pernah masuk ke rumah Rasulullah saw dan ia mengenakan pakaian tipis, lalu Nabi berpaling darinya seraya bersabda: “Wahai Asma’, sesungguhnya wanita jika telah sampai masa balig, maka tidak pantas lagi dipandang kecuali ini dan ini, dan Nabi menunjuk pada wajah dan kedua telapak tangannya.”
Oleh al-’Usaimīn, hadis ini dinyatakan daīf dari dua sisi; yang pertama, hadis ini termasuk hadis munqaţi, di mana terdapat keterputusan sanad antara ‘Āisyah ra dengan khalid bin Duraik yang menjadi jalur periwayatan, sebagaimana telah dianggap cacat oleh Abū Dāwud sendiri dan Abū Hātim al-Rāzi (karena mursal). Yang kedua, dalam sanad hadis tersebut terdapat Sa’īd bin Basyīr al-Nashri penduduk Damaskus yang ditinggalkan periwayatannya oleh Ibnu Mahdi.
Hadis ini juga dianggap lemah (daīf) oleh Imam Ahmad, Ibnu Mu’in, Ibnu al-Madini, dan al-Nasā’i; dengan demikian hadis ini tidak dapat mengungguli hadis shahih yang menunjukkan tentang wajibnya kaum wanita menutup wajah mereka. Lebih lanjut al-’Usaimīn menyatakan bahwa umur Asma’ binti Abī Bakar ketika Nabi saw hijrah adalah 27 tahun, dimana dalam umur sekian (dewasa) tidaklah mungkin Asma’ masuk ke rumah Nabi saw dengan pakaian tipis yang dapat menggambarkan bentuk tubuhnya.
3. Hadis yang diriwayatkan al-Bukhāriy dan periwayat lain dari Ibnu ‘Abbās ra bahwa saudaranya, yakni al-Fadl, pernah menjadi pendamping haji wada’ Nabi saw, kemudian datang seorang wanita khas’amiyah. Lalu al-Fadl memandangnya dan wanita itupun memandangnya, kemudian Nabi saw memalingkan wajah al-Fadl ke arah lain. Keadaan ini mengindikasikan bahwa wanita tersebut membuka wajahnya, karena jika tidak demikian niscaya al-Fadl tidak akan terpesona olehnya.
Bagi Al-’Usaimīn, hadis ini tidak memuat dalil yang menunjukkan diperbolehkannya mememandang wanita lain dan justru sebaliknya, sebagaimana disebutkan Imam Nawawi dalam Kitab Syarh Muslim bahwa salah satu faedah dari hadis ini adalah pengharaman memandang wanita. Demikian halnya dengan Ibnu Hajar al-Asqalāni dalam kitabnya Fathu al-Bāri, beliau juga menyatakan bahwa hadis di atas mengandung larangan memandang wanita lain dan anjuran menundukkan pandangan. Hal tersebut juga dapat dilihat dari bunyi teks hadis yang menunjukkan bahwa Nabi saw tidak membenarkan sikap al-Fadl (memandang wanita) bahkan Nabi saw memalingkan wajah al-Fadl ke arah yang lain.
Lebih lanjut al-’Usaimīn menyatakan bahwa Nabi saw tidak memerintahkan wanita tersebut untuk menutup wajahnya karena wanita tersebut sedang melakukan ihram (di mana syari’at bagi orang yang sedang berihram adalah tidak mengenakan tutup muka ketika tidak ada laki-laki ajnabi yang memandangnya) atau bisa jadi Nabi saw menyuruh (wanita tersebut) untuk menutup wajahnya setelah itu. Ketiadaan penukilan (kutipan) tentang hal tersebut dalam hadis di atas tidak berarti tidak adanya perintah menutup wajah, karena ketiadaan penukilan bukan berarti penukilan tentang ketiadaan (dalam hal ini perintah menutup wajah).
4. Hadis yang diriwayatkan al-Bukhāriy dan yang lainnya dari hadis Jabir bin Abdullāh ra, yakni di waktu Nabi saw melakukan shalat ‘Ied bersama masyarakat kemudian setelah itu Nabi saw mendatangi kaum wanita, lalu Nabi saw menasehati mereka dan mengingatkan mereka seraya bersabda: “Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian, karena kebanyakan dari kalian menjadi bahan bakar neraka. Kemudian berdirilah seorang wanita dari golongan wanita yang lesung pipinya…”. Hadis ini menunjukkan bahwa jika wanita tersebut tidak terbuka wajahnya, maka tidak mungkin diketahui bahwa ia lesung pipinya.
Al-’Usaimīn berasumsi tentang hadis di atas bahwa, karena keadaan atau kapan terjadinya hal tersebut tidak dijelaskan dalam hadis maka boleh jadi wanita yang disebut dalam hadis di atas adalah wanita tua yang tidak mungkin untuk menikah lagi sehingga membuka wajah diperbolehkan baginya dan tidak menjadi penghalang kewajiban menutup wajah bagi wanita yang lainnya. Atau bisa jadi kejadian tersebut berlangsung sebelum turunnya ayat hijab (QS Al-Ahzāb) yang turun pada tahun kelima atau enem hijriyah, sedangkan shalat Ied mulai disyari’atkan pada tahun kedua hijriyah.
Keempat dalil inilah yang biasa dijadikan pegangan bagi mereka yang membolehkan membuka wajah bagi wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya dan telah dijelaskan al-’Usaimīn akan kelemahannya.
C. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy dan Muhammad bin Şālih al-’Usaimīn Tentang Jilbab Muslimah
Setelah peneliti mendeskripsikan pemikiran al-Albāniy dan al-’Usaimīn tentang jilbab muslimah, maka peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa antara al-Albāniy dan al-’Usaimīn keduanya memiliki persamaan dan perbedaan pemikiran yang signifikan.
1. Persamaan Pemikiran Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy dan Muhammad bin Şālih al-’Usaimīn Tentang Jilbab Muslimah
Dalam banyak hal, al-Albāniy dan al-’Usaimīn memiliki persamaaan pemikiran. Diantaranya adalah:
a. Persamaan manhaj atau metode berfikir ilmiah. Al-Albāniy maupun al-’Usaimīn keduanya menggunakan metode ilmiah yang sama, baik ketika berbicara dalam masalah aqidah, fikih, tafsir, hadis, dan lain sebagainya. Artinya, dalam memahami al-Qur’an dan al-Sunnah mereka berpegang pada manhaj yang sama, yakni manhaj salaf ahlussunnah wal jama’ah. Prinsip dari manhaj ini adalah memahami al-Qur’an dan al-Sunnah sesuai dengan pemahaman Nabi saw dan tiga generasi terbaik (sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in).
b. Dalam membahas suatu masalah, keduanya selalu mengedepankan dalil-dalil, baik dalil al-Qur’an maupun hadis yang şahīh tak terkecuali ketika membahas masalah jilbab muslimah. Hal ini terbukti ketika keduanya membahas masalah jilbab, langkah pertama yang mereka lakukan adalah mengumpulkan dalil (al-Qur’an manupun al-Sunnah). Langkah selanjutnya mereka melihat penafsiran para sahabat, atau generasi selanjutnya yang bermanhaj salaf.
c. Secara umum, keduanya (al-Albāniy dan al-’Usaimīn) sama-sama merasa prihatin dengan kondisi kaum wanita (khususnya muslimah) saat ini yang semakin hari semakin jauh dari perintah syar’i (baca: berhijab). Keadaan ini mendorong mereka untuk melakukan kajian yang serius dalam masalah jilbab muslimah, sehingga para muslimah memiliki pegangan dan pemahaman yang benar dalam hal kewajiban berjilbab.
d. Baik al-Albāniy maupun al-’Usaimīn, keduanya memiliki kesamaan dalam memberikan definisi jilbab, yakni kain atau selendang yang dipakai wanita di atas pakaian atau khimarnya.
e. Baik al-Albāniy maupun al-’Usaimīn, keduanya memiliki kesamaan dalam memberikan definisi khimar, yakni tutup kepala.
2. Perbedaan Pemikiran Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy dan Muhammad bin Şālih al-’Usaimīn Tentang Jilbab Muslimah
Meskipun antara al-Albāniy dan al-’Usaimīn terdapat beberapa persamaan dalam berbagai hal, namun ketika membahas masalah jilbab muslimah ini mereka juga memiliki perbedaan sebagai berikut:
a. Mereka berbeda dalam menyimpulkan hukum cadar atau menutup wajah bagi wanita, meskipun keduanya memberikan definisi yang sama tentang jilbab. Perbedaan hukum cadar ini membawa konsekuensi besar dalam pelaksanaan hukum syar’i tersebut, karena ketika al-Albāniy menyatakan sunnah dan mustahab maka konsekuensinya adalah seseorang tidak berdosa ketika menampakkan wajahnya. Sedangkan al-’Usaimīn yang menyatakan, maka konsekuensinya amatlah berat yakni seseorang akan berdosa ketika tidak menutup wajahnya di hadapan laki-laki ajnabi. Meski demikian, perbedaan ini sebenarnya hanya merupakan perbedaan hasil ijtihad (karena keduanya menggunakan metode atau manhaj yang sama dalam memahami ayat maupun hadis yang berbicara dalam masalah ini).
b. Al-Albāniy lebih mengedepankan bunyi teks hadis dan pemahaman para sahabat maupun ulama’ salaf, sedangkan al-’Usaimīn lebih banyak melakukan istimbat hukum atas dalil yang berbicara masalah jilbab muslimah, serta mengedepankan qiyas.
c. Dalam membahas masalah jilbab ini al-Albāniy lebih bersikap teliti dan berhati-hati khususnya masalah derajat dan pemaknaan hadis yang digunakan sebagai dalil. Adapun al-’Usaimīn lebih bersikap longgar karena beliau lebih sering melakukan istimbat hukum atas suatu dalil.
Adakalanya al-Albāniy dan al-’Usaimīn berbeda dalam menyatakan derajat suatu hadis yang sama. Hal ini boleh jadi karena perbedaan pengetahuan atas keberadaan hadis tersebut. Misalnya hadis ‘Āisyah ra mengenai wanita yang telah mencapai usia balig yakni “Tidak baik untuk dilihat tubuhnya, kecuali wajah dan dua telapak tangannya.” Al-’Usaimīn menyatakan bahwa hadis ini daīf dari dua sisi; yang pertama, hadis ini termasuk hadis munqaţi, dimana terdapat keterputusan sanad antara ‘Āisyah ra dengan khalid bin Duraik yang menjadi jalur periwayatan, sebagaimana telah dianggap cacat oleh Abū Dāwud sendiri dan Abū Hātim al-Rāzi (karena mursal). Yang kedua, dalam sanad hadis tersebut terdapat Sa’īd bin Basyīr al-Nashri penduduk Damaskus yang ditinggalkan periwayatannya oleh Ibnu Mahdi.
Namun oleh al-Albāniy, hadis ini dianggap kuat sebagaimana para hāfiz hadis menguatkannya, seperti al-Baihaqi, al-Zahabi, al-Munziri, al-’Asqalāni, dan al-Syaukāni
d. Ketika al-’Usaimīn menyebut istilah hijab maka yang di maksud adalah jilbab, demikian pula sebaliknya. Sedangkan al-Albāniy tidaklah demikian, ketika ia menyebut istilah jilbab maka yang di maksud adalah hijab, namun ketika menyebut istilah hijab maka yang beliau maksud belum tentu jilbab.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tantangan para muslimah pada kondisi zaman yang semakin rusak ini menuntut mereka untuk mencari pegangan yang dapat membawa kebahagiaan di dunia maupun di akherat sesuai petunjuk Allah Ta’āla dan Rasul-Nya. Apa yang telah dilakukan oleh al-Albāniy dan al-’Usaimīn setidaknya merupakan salah satu usaha yang tepat, pada kondisi yang tepat, dan pada sasaran yang tepat pula.
Dari pembahasan sebelumnya yakni bab I, II, dan III, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa:
1.a Al-Albāniy dalam membahas masalah jilbab muslimah lebih bersikap teliti khususnya ketika mengemukakan hadis atas dalil seputar jilbab ini. Hampir seluruh hadis yang dijadikan dalil dalam masalah ini, al-Albāniy selalu menampilkan takhrij dan terkadang memberikan komentar (ta’liq) seputar sanad hadisnya. Apa yang dilakukan al-Albāniy ini tidaklah mengherankan mengingat ia adalah seorang yang kompeten di bidang kritik hadis. Dalam pembahasannya, al-Albāniy mengemukakan syarat pakaian (baca: jilbab) muslimah yang dimaksud al-Qur’an dan Sunnah yakni:
1). Menutup seluruh badan selain yang dikecualikan.
2). Bukan berfungsi sebagai perhiasan.
3). Kainnya harus tebal dan tidak tipis.
4). Harus longgar, tidak ketat, sehingga tidak dapat menggambarkan sesuatu dari tubuhnya.
5). Tidak diberi wewangian.
6). Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
7). Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir.
8). Bukan pakaian untuk mencari popularitas.
b. Adapun pemikiran al-’Usaimīn tentang jilbab muslimah lebih banyak ditekankan pada pembahasan masalah cadar dari pada masalah jilbab itu sendiri. Bagi al-’Usaimīn, syari’at cadar tidak dapat lepas dari maksud disyari’atkannya jilbab bagi muslimah. Yakni manakala muslimah diperintah untuk menjaga kemaluannya, dan menyembunyikan perhiasannya maka hal yang lebih utama untuk disembunyikan adalah wajah, karena wajah adalah sumber fitnah menurut al-’Usaimīn.
2.a Persamaan menonjol dalam pemikiran al-Albāniy dan al-’Usaimīn tentang jilbab muslimah terlihat pada pemberian makna atau definisi yang sama tentang jilbab, yakni kain atau selendang yang dipakai wanita di atas pakaian atau khimarnya. Keduanya juga memberikan definisi yang sama tentang khimar, yakni ‘tutup kepala’.
b. Meskipun keduanya (al-Albāniy dan al-’Usaimīn) memberikan definisi yang sama tentang jilbab, namun mereka berbeda dalam memahami makna ayat-ayat atau hadis-hadis yang berbicara dalam masalah jilbab. Hasilnya, mereka berbeda dalam menyatakan hukum mengenakan cadar bagi wanita muslimah. al-’Usaimīn menyatakan dengan tegas bahwa menutup wajah adalah wajib bagi wanita muslimah. Pernyataan beliau ini merupakan hasil istimbat hukum atas dalil-dalil yang berbicara masalah jilbab muslimah.
Sedangkan al-Albāniy dengan tegas mengatakan bahwa hukum cadar atau menutup wajah bagi wanita adalah sunnah dan mustahab. Pernyataan ini beliau sampaikan setelah melakukan kajian dan penelitian yang serius atas dalil-dalil yang secara lafaz membolehkan membuka wajah bagi wanita, maupun dalil-dalil yang oleh sebagian orang dijadikan dasar akan kewajiban menutup wajah. Wallāhu a’lam
.
B. Saran-Saran
Dalam pembahasan yang peneliti lakukan tentunya banyak mengandung kekurangan, karena peneliti menyadari bahwa manusia sebagai seorang individu (saat ini) tidak ada yang ma’sum dan terlepas dari kekurangan maupun kesalahan. Oleh karenanya peneliti akan mengemukakan beberapa saran bagi pembaca.
1. Dalam membandingkan pemikiran al-Albāniy dengan al-’Usaimīn layaknya diperlukan waktu dan kemampuan yang tidak sedikit dibidang ilmu hadis dan uşul fikih. Dalam hal ini peneliti menyadari akan segala keterbatasan yang peneliti miliki.
2. al-Albāniy dan al-’Usaimīn merupakan dua tokoh Islam yang layak untuk terus dikaji pemikirannya, karena keduanya banyak menghasilkan karya yang menyisakan ruang untuk dikaji generasi selanjutnya. Misalnya pemikiran al-’Usaimīn tentang ilmu tafsir, fikih, dan lain sebagainya. Demikian halnya dengan pemikiran al-Albāniy tentang kritik hadis, seperti ilmu al-jarh wa al-ta’dīl..
C. Ucapan Penutup
Demikianlah penelitian mengenai pemikiran dua ulama salaf ahlussunnah wal jama’ah yakni Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy dan Muhammad bin Şālih al-’Usaimīn mengenai jilbab muslimah. Peneliti berharap pembahasan dan penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, dan dapat menambah cakrawala ilmu dalam khasanah ilmu tafsir dan hadis. Akhirnya peneliti berdoa semoga apa yang peneliti lakukan ini dicatat sebagai amal saleh karena mengharap wajah Allah Ta’āla semata.

0 Comment