Artikel, Tulisan, Makalah, Jurnal, zilfaroni,web.id

18 Mei 2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tuhan telah menciptakan alam semesta beserta isinya ini begitu indah, mempesona dan sempurna. Namun sifat dari keindahan dan kesempurnaan itu hanyalah sementara (temporal), tidak kekal dan abadi. Tak pelak lagi, seluruh makhluk yang hidup di dalamnya, termasuk manusia, akan mengalami peristiwa paripurna kehidupan yang ditandai dengan datangnya ajal. Sehingga pada saat apapun dan dalam kondisi bagaimana pun manusia tidak bisa menghindar dari peristiwa sakral tersebut, sebab ia tidak mampu menentukan kapan ajal itu datang. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt:
قل لوكنتم فى بيوتكم لبرزالذين كتب عليهم القتل الى مضاجعهم وليبتلىالله مافى صدوركم وليمحص مافى قلوبكم(
Sungguh, kematian memang menakutkan. Tetapi, justru penyebab dari kematian itulah yang menjadi persoalan. Terdapat berbagai macam penyebab kasus kematian yang menimpa diri manusia, baik kematian secara normal maupun tidak normal. Di antara penyebab kasus kematian yang tidak normal adalah kecelakaan, kebakaran, peledakan bom dan lain sebagainya dan lebih tragis lagi bila tubuh korban hancur berkeping-keping sehingga tidak mungkin untuk dikenali lagi. Misalnya, kasus Bom Bali yang belum hilang dari ingatan kita yang terjadi begitu dahsyat sehingga ratusan potongan tubuh manusia menjadi hancur lebur dan berbaur berserakan bagai sampah. Akibatnya, identitas jenis kelamin, kewarga-negaraan dan agama masing-masing korban hampir tidak dapat teridentifikasi.
Berangkat dari kasus di atas, di mana mayat-mayat tersebut meninggal dalam keadaan yang tidak wajar dan kondisi tubuh yang tidak normal, dalam artian tubuh korban sudah terpotong-potong, bercampur-lebur dan berserakan bagai sampah sehingga tidak mungkin untuk diidentifikasi lagi, sehingga memunculkan problematika pelik dalam proses pelaksanaan perawatan jenazah tersebut, baik yang berkaitan dengan tata cara pemandian, pengafanan, ataupun pensalatan masing-masing korban, sehingga Islam tertantang untuk menghadirkan kontribusi pemikiran guna memberikan solusi terhadap problematika tersebut.
Dalam Islam sendiri terdapat silang pendapat antar tokoh mazhab. Baik Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi‘i, Imam Maik Maupun Ahmad bin Hanba. Namun, di sini penyusun lebih membatasi pembahasan pada pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i tentang proses pelaksanaan pengurusan jenazah yang “tidak normal”. Lebih spesifik lagi, penyusun ingin membedah kasus pencampuradukan potongan-potongan tubuh mayat yang diduga bahwa di situ terdapat mayat Muslim dan non-Muslim dari perspektif kedua tokoh di atas. Dalam hal ini, Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak wajib dimandikan dan disalatkan bagi jenazah yang sebagian anggota tubuhnya terpotong-potong atau hilang, kecuali kalau memang kebanyakan anggota tubuhnya atau minimal separuhnya beserta kepalanya diketemukan.2( Hukum ini berlaku pula bagi jenazah yang terpotong-potong dan telah bercampur baur dengan non-Muslim, namun dalam hal memadikannya beliau tetap membolehkan, meskipun tidak seperti memandikan jenazah Muslim.3)
Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi‘i mengatakan bahwa jikalau ditemukan mayat manusia terpotong-potong karena peristiwa kebakaran, dimakan binatang atau karena sebab lain, maka wajib hukumnya memandikan mayat tersebut sebagaimana biasanya, meski hanya berupa sebagian dari potongan tubuh.4) Namun jikalau tidak memungkinkan untuk dimandikan karena adanya kekhawatiran akan lebih memperparah kondisi si mayat misalnya, maka potongan tadi tidak usah dimandikan, akan tetapi cukup ditayammumi. Yang demikian ini bisa dilakukan bila dalam realitasnya potongan tersebut tidak bercampur dengan najis. Lain halnya jika pada tubuh korban masih ditemukan najis dan kondisi mayatnya tidak boleh terkena air, maka ia tidak perlu ditayammumi.5( Kendati demikian, bila ditilik lebih jauh, pendapat Imam asy-Syafi‘i tersebut mempunyai kesamaan dengan peristiwa bersejarah dari perang Jama, tepatnya persoalan yang dialami oleh sahabat Abdurrahman, di mana tubuhnya terpotong-potong. Tangannya yang telah terpisah dari jasad dimakan oleh burung Nasar dan dibawa terbang ke Makkah, hingga akhirnya ditemukan oleh sahabat lain yang kemudian pengurusannya diproses sebagaimana layaknya pengurusan mayat biasa, yaitu dikafani, disalati dan dikebumikan.6( Hukum ini juga berlaku bagi mayat yang bercampur antara Muslim dengan non-Muslim dan tidak bisa dikenali lagi antara keduanya, maka tetaplah wajib dimandikan dan disalatkan. Pendapat ini senada dengan pemikiran Imam Maik, Ahmad bin Hanba, Dawud az-Zahiri dan Ibn Munzir 7).
Bertolak dari sudut pandang kedua tokoh mazhab di atas, maka persoalan yang menurut penyusun sangat penting untuk dibahas adalah mengapa terjadi perbedaan pandangan antara Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim yang sudah tidak teridentifikasi lagi? Tanpa melihat apa yang melatar belakangi perbedaan antara keduanya, tentunya tidak akan didapatkan solusi yang tepat dan relevan dengan perkembangan zaman.
Dari paparan di atas, penyusun mencoba menelusuri dan membandingkan pandangan dan alasan kedua tokoh tersebut tentang hukum perawatan jenazah yang kondisi tubuhnya tidak wajar ataupun tidak normal dan diduga bahwa di situ terdapat mayat Muslim dan non-Muslim yang sudah bercampur baur. Kajian ini menjadi menarik sebab mereka sama-sama berasal dari aliran Sunni.8) Di samping itu, mereka juga mempunyai sudut sistem ijtihad yang berbeda dalam melihat permasalahan hukum.9)
B. Pokok Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Mengapa terjadi perbedaan pandangan dalam hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim antara Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i?
2. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan pandangan antara Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim ?
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Menjelaskan mengapa terjadi perbedaan pandangan antara Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim.
b. Menjelaskan persamaan dan perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim.
2. Kegunaan Penelitian:
Sebagai sumbangan pemikiran dalam khazanah hukum Islam, khususnya mengenai tata cara perawatan jenazah yang kondisinya tidak wajar ataupun tidak normal (hukum mensucikan/ memandikan dan mensalatkan) dan telah bercampur antara Muslim dengan non-Muslim.
D. Telaah Pustaka
Kajian tentang Hukum Islam yang berkaitan dengan perawatan jenazah telah banyak dilakukan dan ditulis orang, namun yang berkaitan dengan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim, sebagai persoalan hukum kontemporer belum ada yang membahasnya secara khusus, apalagi dengan mengkomparasikan pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i masih jarang penyusun temukan, kalaupun ada maka hanya sebatas ringkasan sederhana di dalam kitab-kitab Fiqh ataupun dalam bentuk makalah/artikel dengan menggunakan kacamata mazhab mereka sendiri. Seperti yang dilakukan oleh Imam al-Muzani dalam Mukhtasar al-Muzanni ‘ala al-Umm, yang di dalamnya hanya berupa ringkasan-ringkasan pendapat Imam asy-Syafi‘i baik yang berkaitan dengan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah muslim dan non-Muslim ataupun lainnya.10) Begitu juga dengan Syaikh Nizam, dalam bukunya yang berjudul al-Fatawa al-Hindiyyah fi Mazhab al-Imam al-a‘zam Abi Hanifah, beliau hanya menjelaskan persoalan di atas yang menyangkut hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim, hanya sebatas pandangan Imam Abu Hanifah saja dan tidak dijeslaskan bagaimana menurut pandangan Imam asy-Syafi‘i. 11) Hal yang sama juga dilakukan oleh Zayn ad-Din Ibn Nujaym al-Hanafi dalam Bahr ar-Raiq, di sini juga hanya sedikit sekali pembahasannya, itupun hanya memaparkan pandangan-pandangan menurut kacamata mazhab mereka sendiri. Sedangkan dalam skripsi ini, penyusun mencoba menjelaskan persoalan di atas, bukan hanya sebatas memaparkan pandangan Imam asy-Syafi‘i ataupun Imam Abu Hanifah saja, melainkan dengan mengkomparasikan pandangan kedua-Nya.
Sedangkan kajian yang bersifat komparatif seringkali terjebak pada keterbatasan media sehingga hanya disinggung secara garis besarnya saja. Seperti yang dilakukan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu‘ fi Syarh al-Muhazzab, di dalam bukunya, beliau hanya menjelaskan persoalan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim secara garis besarnya saja, tetapi tidak dijelaskan mengapa beliau menggunakan alasan yang berbeda dengan Imam Abu Hanifah di dalam melihat permasalahan hukum tersebut. 12) Begitu juga yang dilakukan oleh Syams ad-Din as-Sarakhsi dalam al-Mabsut, beliau hanya menyinggung persoalan di atas dengan tidak memaparkan secara detail alasan-alasan mengapa beliau menggunakan kaidah yang berbeda dalam istidlal hukum dengan Imam Asy-Syafi‘i. Hal yang sama juga dilakukan oleh Muhammad Jawad Mugniyah dalam Fiqh Lima Mazhab dan lain-lain. Namun Dalam skripsi ini, penyusun mencoba mengkaji secara komparatif dan komprehensif mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim baik yang berkaitan dengan istidlal hukum yang dipakai maupun alasan-alasan mengapa beliau menggunakan istidlal hukum tersebut.
Kajian secara khusus dan komprehensif mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim dengan mengkomparasikan pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i dilakukan oleh TIM Redaksi Tanwirul Afkar dan Ma‘had Aly PP. Salafiyah Syafi‘iyah Sukorejo Situbondo dalam Fiqh Rakyat, Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, walaupun di dalam bukunya telah dibahas secara khusus dan komprehensif tetapi beliau tidak menjelaskan mengapa Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i mempunyai isitidla yang berbeda dalam istinbat hukumnya. 13) Oleh karena itu, dalam penelitian ini penyusun mencoba memaparkan dan menganalisis pandangan, dalil serta metode istinbat yang digunakan oleh kedua tokoh tersebut.
E. Kerangka Teoretik
Syari‘at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dari garis besar permasalahan. Oleh karena itu, hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah lantaran berubahnya masa dan berlainan tempat. Untuk hukum-hukum yang lebih rinci, syari‘at Islam hanya menetapkan kaidah dan memberikan patokan umum. Penjelasan dan rinciannya diserahkan pada ijtihad para ulama.
Dengan menetapkan patokan-patokan umum tersebut, syari‘at Islam dapat benar-benar menjadi petunjuk yang universal, dapat diterima di setiap tempat dan setiap saat. Setiap saat umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis kebijaksanaan al-Qur‘an sehingga mereka tidak melenceng.
Penetapan hukum dalam bentuk yang global dan simpel ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan pada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Dengan sifatnya yang global ini diharapkan hukum Islam dapat berlaku sepanjang masa.
Hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Syar‘i sesungguhnya terbagi dalam dua kategori pertama: hukum-hukum dalam kategori qat‘i. Artinya, hukum-hukum yang masuk dalam kategori ini telah ditetapkan secara pasti oleh nass, ia tidak membuka peluang untuk dilakukannya tafsir maupun ta’wi. Dalam disiplin Usu Fiqh biasa disebut Syari‘ah. Kedua: hukum-hukum dalam kategori zanni yaitu hukum yang lahir dari derivasi para mujtahid terhadap ayat-ayat hukum tertentu yang masih mengandung kemungkinan untuk ditafsirkan ataupun dita‘wilkan. Kategori ini biasa disebut Fiqh.
Kenyataannya, hampir kebanyakan hukum Islam lahir sebagai hasil dari ijtihad ini membuktikan bahwa ayat-ayat yang zanni lebih banyak dari ayat-ayat yang qat‘i. Artinya, mayoritas ayat-ayat al-Qur‘an pada dasarnya membutuhkan interpretasi¬ tentunya tanpa melupakan aspek historis yang menjadi salah satu faktor penentu bagi suatu hukum yang lahir dari interpretasi tersebut.
Kaitannya dengan tema yang penyusun kaji adalah adanya kontradiksi antara nass al-Qur‘an dan al-Hadis yang mewajibkan untuk mensalati kaum Muslim dan mengharamkan untuk mensalati kaum Kuffar. Namun dalam persoalan percampuran antara keduanya masih diperlukan interpretasi lebih lanjut.
Dalam menentukan langkah awal penelitian ini penyusun mencoba mengkaji kaidah usuiyyah yang erat kaitannya dengan metode stratifikasi istinbat yang dipakai oleh kedua tokoh di atas. Selain kaidah usuiyyah, penyusun juga mencoba mengkaji ayat-ayat atau dalil-dalil al-Qur’an, hadis-hadis serta pendapat-pendapat dari kalangan ulama yang mendukung kedua tokoh tersebut. Kemudian penyusun mencoba untuk melacak sejauh mana persamaan ataupun perbedaan berikut alasan dari kedua tokoh tersebut yang kemudian setelah itu akan ditarik suatu titik temu atau benang merah yang menghubungkan antara keduanya, sehingga diharapkan dapat menjembatani perbedaan yang muncul dari kedua-duanya. Dan pada akhirnya dapat diketahui secara jelas bagaimana mensikapi persoalan yang berkaitan dengan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim tersebut
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penyusun lakukan adalah telaah pustaka (library research), yaitu dengan mencari dan menganalisis referensi-referensi primer dan sekunder, di mana obyeknya berupa pendapat dan pemikiran Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i yang tertulis di dalam beberapa kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan kajian ini.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yakni mendeskripsikan atau memaparkan data-data yang berkaitan erat dengan masalah hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim dalam pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i. Kemudian menganalisisnya untuk memperoleh sebuah sintesa obyektif yang relevan dengan konteks kekinian. Oleh karena itu, kajian ini sama sekali tidak melakukan pencarian penjelasan atas produk pemikiran Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i. Dengan kata lain, kajian ini tidak melakukan penghakiman dengan menyalahkan atau membenarkan salah satu pemikiran atas produk pemikiran yang lain. Penilaian tentang salah benarnya dikembalikan pada ahlinya, karena hal ini adalah sebuah hasil ijtihad yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam pemecahan masalah pada penelitian ini adalah pendekatan normatif dan pendekatan Usu Fiqh. Dalam hal ini, Pendekatan Normatif dan Usu Fiqh dimaksudkan sebagai usaha untuk mendekati masalah yang diteliti berdasarkan aturan, norma, dan kaidah yang sesuai dengan obyek kajian.
4. Pengumpulan Data
Karena penelitian ini adalah kajian kepustakaan, maka sumber datanya adalah pendapat atau pemikiran dari kedua tokoh mujtahid mazhab (Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi‘i) yang ada di beberapa buku dan sudah penyusun temukan. Selanjutnya, data berupa pendapat-pendapat tersebut dinamakan sumber primer, di antaranya: Mukhtasar al-Muzanni ‘ala al-Umm karya Imam al-Muzani, al-Majmu’ fi Syarh al-Muhazzab karya Imam An-Nawawi, al-Mabsut karya Syams ad-Din as-Sarakhsi. Sedangkan sumber data bantu atau tambahan (sekunder) adalah kajian-kajian yang membahas masalah yang ada hubungannya dengan pokok bahasan. Di antaranya: Fiqh Rakyat, Fiqh Lima Mazhab, Fiqh Sunnah dan lain sebagainya.
5. Analisis Data
Dalam menganalisis data, penyusun menggunakan metode komparatif yaitu metode yang dipakai untuk menganalisis data yang berbeda dengan jalan membandingkan pendapat-pendapat tersebut untuk mengetahui persamaan ataupun perbedaan serta mencari kemungkinan titik temu antara pemikiran Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penelitian ini penyusun membuat topik-topik yang akan dibahas secara sistematik, sebagai berikut:
Dalam BAB pertama skripsi ini penyusun memulainya dengan pendahuluan, bagian ini penting sebagai pijakan berfikir penyusun untuk menganalisis pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i tentang hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah; pokok masalah; tujuan dan kegunaan; telaah pustaka; kerangka teoretik; metode penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB kedua membicarakan secara umum tentang jenazah. Dalam bab ini diuraikan tentang pengertian jenazah, hukum perawatan jenazah, kategori jenazah yang boleh dan tidak boleh dimandikan dan disalatkan serta tata-cara memandikan dan menyalatkan jenazah. Pembahasan ini penting sebagai tolok-ukur dalam melihat permasalahan yang akan dikaji
Selanjutnya, di dalam bab ketiga dideskripsikan mengenai pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i tentang hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim. Bagian ini meliputi dua sub-bab: Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i, yang masing-masing meliputi biografi tokoh dan pandangan tokoh tersebut mengenai hukum mensucikan/memandikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim. Hal ini bertujuan agar dapat diketahui dengan jelas mengenai pendapat kedua tokoh mazhab tersebut
BAB keempat adalah bagian analisis, di mana penyusun menganalisis pendapat yang telah diuraikan dalam bab terdahulu yang meliputi analisis mengenai istinbat hukum yang diterapkan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i serta berbagai letak persamaan dan perbedaan dari kedua tokoh tersebut mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim.
BAB kelima merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Bab ini merupakan bagian terakhir yang ditutup dengan saran-saran (sumbangsih) agar dapat dijadikan sebagai bahan bagi penelitian selanjutnya, khususnya bagi studi-studi yang berkaitan dengan jenazah di masa yang akan datang.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERAWATAN JENAzah
Sebelum menjelaskan tentang pengertian jenazah, terlebih dahulu perlu diketahui mengenai istilah-istilah kunci yang penting, baik yang menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa Arab.
Kata jenazah, bila ditinjau dari segi bahasa (etimologis), berasal dari bahasa Arab dan menjadi turunan dari isim masdar (adjective) yang diambil dari fi‘il madi janaza-yajnizu-janazatan wa jinazatan. Bila huruf jim dari kata tersebut dibaca fathah (janazatan), kata ini berarti orang yang telah meninggal dunia. Namun bila huruf jim-nya dibaca kasrah, maka kata ini memiliki arti orang yang mengantuk. Demikian keterangan yang dijelaskan oleh sang penulis kitab Matai’ al-Anwar.1)
Lebih jauh, kata jenazah, menurut Hasan Sadiliy, memiliki makna “seseorang yang telah meninggal dunia yang sudah terputus masa kehidupannya dengan alam dunia ini”.2)
Dalam kamus al-Munawwir, kata jenazah diartikan sebagai “seseorang yang telah meninggal dunia dan diletakkan dalam usungan. Kata ini bersinonim dengan al-mayyit (Arab)3) atau mayat (Indonesia).4) Karenanya, Ibn al-Faris memaknai kematian (al-mawt) sebagai peristiwa berpisahnya nyawa (ruh) dari badan (jasad).5)
Selanjutnya, kata jenazah juga diartikan oleh Partanto dan Dahlan al-Barry sebagai “raga yang sudah tidak berrnyawa lagi”.6) Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jenazah diartikan sebagai badan atau tubuh orang yang sudah mati.7)
Hampir sama dengan pemaknaan tersebut, Ibnu Mas‘ud dan Zainal Abidin S., mengartikan kata jenazah sebagai orang yang telah meninggal yang diletakkan di dalam usungan dan hendak dibawa ke kubur untuk ditanamkan (makamkan).8)
Lebih jauh lagi, Ustaz Labib Mz. memperluas pemaknaan tersebut dengan seseorang yang terputus hubungannya antara ruh dengan badan, perpisahan antara keduanya, perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lainnya.9)
Setelah melihat berbagai pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan, pengertian dari jenazah adalah seseorang yang telah meninggal dunia dan telah terputus hubungannya dengan dunia fana ini. Tak ada yang dapat dibawanya selain amal ibadahnya selama di dunia.
Oleh karena itu, merugilah orang-orang yang membawa amal kejahatan dan beruntunglah orang-orang yang membawa amal kebajikan di kala menempuh Alam Barzah (kematian).
Rasulullah SAW sendiri menganjurkan kita supaya memperbanyak untuk mengingat kematian, sebab orang yang selalu mengingat kematian niscaya akan mencair keinginannya kepada kelezatan dunia. Ia akan berhenti berkhayal dan berangan-angan tentang keindahan dan kelezatan dunia fana. Dan seharusnya, ia secara terus menerus memperbanyak amal ibadahnya sebagai bekal untuk menuju Kampung Akhirat.10)
B. Hukum Perawatan Jenazah
Apabila jenazah telah terbaring di atas rumah dan telah jelas akan kematian si mayat, baik dengan keterangan dokter ahli maupun dengan lain-lainnya, maka menurut ajaran Islam, hendaklah disegerakan mengurusnya (mensucikan, mensalatkan, mengkafankan dan menguburkan) karena tidaklah selayaknya ia dibiarkan lama-lama di dalam rumah. Hal ini didasarkan pada sabda Rasuullah SAW:
أسرعوا بالجنازة فإن تك خيرا تقدموها اليه وإن تك شرا تضعوه عن رقابكم (11
Begitu juga dengan menahan mayat untuk berbagai upacara yang berarti memperlambat pengurusan mayat, sehingga bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari sahabat Ali r.a:
أن رسول الله ص.م. قال له (يا علي! ثلاث لاتؤخرها: الصلاة إذا اتت والجنازة إذاحضرت والأيم إذا وجد ت لها كفؤا (12
Berkaitan dengan proses memandikan jenazah, banyak sekali hadis yang berbicara mengenai persoalan tersebut. Dan termasuk salah satu yang disunnahkan dalam proses memandikannya adalah dengan bilangan ganjil: tiga, lima atau tujuh kali, sehingga diperoleh kebersihan yang diinginkan. Hal ini didasarkan atas Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim:
إغسلنها وترا ثلاثا أو خمسا أوسبعا قال وقالت أم عطية مشطناها ثلاثة قرون (13
Kebanyakan ‘ulama (jumhur) berpendapat, memandikan jenazah Muslim hukumnya adalah fardu kifayah, namun dalam persoalan memandikan sebagian tubuh mayat, terdapat perbedaan di antara pakar hukum Fiqh (Fuqaha‘), tidak terkecuali Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i.
Imam asy-Syafi‘i berpendapat, potongan tubuh yang diketemukan itu harus diperlakukan sebagaimana memperlakukan mayat yang utuh. Dalam hal ini beliau berkata:
بلغنا أن طائرا ألقى يدا بمكة فى وقعة الجمل فعرفوها بالخاتم فغسلوها وصلوا عليها وكان ذلك بمحضر من الصحابة (14
Perkataan Imam asy-Syafi’i ini dinukil dari sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bayhaqi.
Imam Ahmad berpendapat sama dengan Imam asy-Syafi‘i, beliau berkata:
صلى أبو أيوب على رجل وصلى عمرعلى عظام (15
Imam Ibn Hazm berkata:
ويصلى على ما وجد من الميت المسلم ويغسل ويكفن إلا أن يكون من شهيد(16
Tetapi Imam Abu Hanifah dan Imam Maik mengatakan, jika ditemukan lebih dari separoh tubuhnya, hendaklah mayat tersebut dimandikan dan disalatkan. Namun jika kurang dari separoh maka ia tidak perlu dimandikan dan disalatkan.17)
Begitu juga dalam status mensalati jenazah. Para fuqaha‘ telah menyepakati hukumnya adalah fardu kifayah, berdasarkan perintah dari Rasuullah SAW:
أن النبي صلى الله عليه وسلم أتى برجل ليصلى عليه فقال النبى صلى الله عليه وسلم “صلوا على صاحبكم(18″
Statemen “Salatkan atas jenazah temanmu!” ini menunjukkan kepada suatu perintah dan perintah ini menunjukkan kepada wajib. Sedangkan para ulama telah berijma’ atas hukum wajibnya sembahyang jenazah.19).
Mensalatkan jenazah merupakan rangkaian perawatan jenazah. Hal ini dapat dilihat dari dimensi yang terkandung dari salat jenazah, yaitu dimensi ‘ubudiyah (hablum min Allah) dan dimensi sosial kemasyrakatan (hablum min an-nas). Dalam hal ini Allah SWT menegaskan dalam al-Qur‘an:
ضربت عليهم الذلة أين ماثقفوا إلا بحبل من الله وحبل من الناس وباءو بغضب من الله وضربت عليهم المسكنة, ذلك بأنهم كانوا يكفرون بئايت الله ويقتلون الأنبياء بغيرحق, ذلك بماعصوا وكانوا يعتدون. (20
Salat jenazah berdimensi ‘ubudiyyah karena laku ini merupakan salah satu jenis ibadah yang tata cara pelaksanaannya telah ditentukan oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Salat jenazah berdimensi sosial kemasyrakatan karena mensalatkan jenazah merupakan manifestasi kepedulian dan rasa solidaritas pada keluarga yang ditinggal wafat. Keluarga yang ditinggal akan merasa terhibur dan terobati dukanya karena mendapatkan simpati dari saudara-saudaranya, kerabatnya, sahabatnya dan masyarakat luas pada umumnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila mensalatkan jenazah dianggap sebagai bagian terpenting dalam rangkaian perawatan jenazah.
Dengan keterangan-keterangan tersebut dan pendapat para Imam Fiqh mengenai status hukum perawatan jenazah dalam artian menyegerakan pengurusannya, baik yang berkaitan dengan mensucikan atau memandikan, mensalatkan hingga penguburannya adalah suatu keharusan fardu kifayah atas orang-orang yang hidup. Artinya, apabila ada sebagian di antara mereka mengerjakannya, maka kewajiban itu sudah terbayar dan gugur bagi orang-orang selebihnya.
C. Kategori Jenazah yang Boleh dan Tidak Boleh Dimandikan dan Disalatkan
Kebanyakan ulama (jumhur) atau golongan terbesar dari ulama berpendapat, yang dimandikan dan disalatkan ialah jenazah seorang Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, besar ataupun kecil, kecuali orang yang mati syahid dan bayi yang gugur belum berumur empat bulan dalam kandungan. Kalau dilihat lebih jauh, pada prinsipnya semua jenazah orang Islam tanpa memandang kualitas keIslamannya, wajib untuk dimandikan dan disalatkan, kecuali dua jenis jenazah, yaitu:
1. Anak kecil yang belum balig.
2. Orang yang mati syahid akhirat.
Kendati demikian harus dipahami, ketidakharusan ini bukan berarti larangan, namun hukumnya diperbolehkan memandikan dan mensalatkan kedua jenis jenazah tersebut.21) Menurut syari‘ah, memandikan dan mensalatkan jenazah adalah wajib hukumnya, karena jelas diperintahkan, sehingga untuk mengubah hukum wajib itu harus ada keterangan yang jelas pula. Menurut pakar Fiqh, pembagian atas orang yang tidak dimandikan dan disalatkan ada dua, yaitu:
1. Orang yang mati syahid.
Yaitu orang yang gugur di medan perang untuk meninggikan agama Allah. Orang yang mati syahid ini tidak boleh dimandikan dan disalatkan seperti dalam perang Uhud. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawd, disebutkan:
أن شهداء أحد لم يغسلوا ودوفنوا بدمائهم ولم يصل عليهم (22
Mereka yang terbunuh dalam perang membela agama Allah tidak disalatkan jenazahnya, tetapi dikuburkan beserta lumuran darah yang melekat pada tubuhnya. Darah orang yang mati syahid itu di Hari Kiamat kelak tidak jauh beda dengan aroma kasturi dan mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT.
Di samping itu, ada pula hadis sahyang menyatakan bahwa Nabi SAW melakukan salat untuk jenazah yang syahid dalam peperangan Uhud sesudah berlalu delapan tahun. Al-Bayhaqi menerangkan bahwa Nabi SAW pernah bersalat untuk jenazah sahabat Hamzah.
Terhadap riwayat-riwayat tersebut para ulama berselisih pendapat, Ibn Hazm dan Ibn al-Qayyim memandang boleh dilakukan dan boleh tidak, sedangkan Abu Hanifah, as-Saury, al-Hasan dan Ibn al-Musayyab menguatkan riwayat yang menerangkan bahwasanya Nabi SAW pernah bersalat untuk jenazah para syuhada.23)
Sedangkan Imam asy-Syafi‘i menegaskan bahwa hadis yang dipegang untuk tidak mensalatkan jenazah para syuhada adalah mutawatir.24) Namun, sepanjang penelitian para pakar hadis (Muhaddis) , tidaklah terdapat penjelasan apakah mayat-mayat yang mati syahid (syuhada) pada pertempuran-pertempuran besar di zaman Nabi SAW, semisal pada pertempuran Badar, disalati atau tidak. Hanya untuk syuhada pertempuran Uhud ada keterangan bahwa mereka tidak disalati.25)
Kalau dilihat secara teliti, redaksi “lam yusallla ‘alayhim” yang artinya tidak disalati atas mereka, dari Hadis yang diriwayatkan Anas bin Maik yang menerangkan tidak disalatinya syuhada pertempuran Uhud, tidaklah menunjukkan pelarangan yang tegas. Redaksi “tidak disalati atas mereka” dan bukannya “jangan disalati atas mereka” atau “mereka tidak boleh disalati” ini menunjukkan, meskipun benar adanya, mayat syuhada Uhud tidak disalatkan, namun itu bukanlah berarti melarang dengan tegas untuk mensalati mayat syahid dan tidak pula berarti meniadakan kemungkinan disalatinya syuhada pada pertempuran-pertempuran lain.
Juga dengan adanya hadis riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad dan selainnya, dari ‘Uqbah bin ‘A yang mengatakan bahwa Nabi SAW mensalati syuhada Uhud sesudah delapan tahun mereka meninggal dunia, bisa diartikan sebagai tidak terlarang mensalati mereka, walaupun tadinya mereka tidak disalati sebelum mereka dikubur.26)
2. Orang kafir dan munafik
Orang yang kafir ini hanya haram disalatkan saja, boleh dimandikan, dikafani, dan dikuburkan. Kafir ialah orang yang secara terang-terangan menyatakan keingkarannya terhadap ajaran Islam. Munafik ialah orang yang menyembunyikan kekafiran dan pada lahirnya menampakkan diri sebagai Islam. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT:
ولا تصل على احد منهم مات ابدا ولا تقم على قبره إنهم كفروا بالله ورسوله وماتوا وهم فاسقون (27
Begitu pula anak-anak mereka tidaklah disalatkan, karena bagi mereka berlaku hukum orang tua mereka. Kecuali bagi anak-anak yang telah ditetapkan keIslamannya menurut hukum.28) Bahkan, menurut Imam an-Nawawi, mensalati dan mendoakan orang kafir adalah haram hukumnya.29)
Adapun kategori mayat yang tetap dimandikan dan disalatkan, walaupun dipandang syahid, menurut pembagian ahli Fiqh adalah:
1. Syahid Dunia
Yaitu orang Islam yang gugur di medan perang melawan orang kafir, tetapi bukan karena membela agama Allah SWT, melainkan untuk mempertahankan diri, harta, dan tanah airnya.
2. Syahid Akhirat
Yaitu orang yang mati karena bencana alam, dibunuh secara zalim, atau sakit perut setelah melahirkan, dll.
Imam an-Nawawi menambahkan, orang yang mati tenggelam, orang yang roboh rumahnya, orang yang mati karena terserang wabah penyakit, dan orang yang mati dalam keadaan serupa juga termasuk kategori syahid Akhirat dan tetap wajib untuk dimandikan dan disalatkan.30)
Sama halnya dengan pendapat kalangan dari Hanafiyah.31) Namun, Khatib asy-Syarbini dalam kitabnya al-Iqna’ fi Hall al-Alfaz Abi Suja’ mengatakan, mayat-mayat tersebut bukanlah dinamakan syahid meskipun meninggal secara tidak wajar. Mengenai hukumnya, beliau memberlakukan hukum sama dengan jenazah yang meninggal secara wajar.32)
Mengenai orang yang luka dalam pertempuran dan kemudian mati –semisal di rumah sakit- jenazahnya tetap dimandikan dan disalatkan walaupun dia dipandang syahid, karena Nabi SAW memandikan dan mensalatkan jenazah Sa‘ad Ibn Mu’az yang meninggal sesudah beberapa hari mengalami luka. Tetapi, kalau hidup dalam keadaan koma, walaupun masih dapat berbicara, maka hukumnya disamakan dengan orang yang mati syahid dalam pertempuran.
Ada pembicaraan di antara para ulama tentang mensalati mayat orang-orang yang di waktu hidupnya tergolong ahli maksiat. Ibn Hazm berkata setiap mayat orang Islam disalati, baik dari golongan orang baik-baik maupun orang jahat. Begitu juga orang yang berbuat bid‘ah selagi belum sampai kepada kekufuran, di samping orang yang membunuh dirinya sendiri dan orang yang membunuh orang lain, meski ia sejelek-jelak orang yang berada di atas bumi jika memang ia mati sebagai Muslim. Karena perintah Nabi SAW: “Salatilah kawanmu!” menegaskan, barang siapa menghalangi disalatinya seorang Muslim, maka ia telah mengatakan suatu ucapan yang besar (dosanya). Dan sesungguhnya orang fasiq lebih memerlukan do’a saudara-saudaranya sesama Muslim.
Ata‘ mengatakan: Saya tidak meninggalkan mensalati orang yang telah mengatakan La ilaha illa Allah. Sedangkan Ibrahim an-Nakha‘i berkata: Mereka tidak melarang disalatinya seseorang dari ahli kiblat. Begitu juga Qatadah yang mengatakan saya tidak mengetahui seseorang dari ahli ilmu yang menghindari mensalati orang yang mengucapkan “La ilaha illa Allah”. Ibn Sirin berkata: Saya tidak menemukan seorangpun yang merasa berdosa mensalati seseorang dari ahli kiblat. Hampir senada dengan statemen itu, Abu Gaib berkata: Saya bertanya kepada Abu Umamah al-Bahili, “Seorang laki-laki meminum tuak (khamr), apakah dia disalati?” Beliau menjawab, “Ya, barangkali dia berbaring di atas tempat tidurnya dan sekali waktu mengucapkan La ilaha illa Allah lalu dia diampuni. Begitu juga dengan Al-Hasan yang mengatakan: Disalati orang yang mengucapkan La ilaha illa Allah dan salat ke arah kiblat.33)
D. Tata Cara Mensucikan dan Mensalatkan Jenazah
Masalah sekitar perawatan jenazah dan hal-hal lain yang berkaitan dengan jenazah, sudah menjadi kebiasaan atau tradisi orang Arab. Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul, kebiasaan-kebiasaan ini sudah ada dan bahkan berkembang pada masyarakat tersebut. Kemudian setelah Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul, kebiasaan-kebiasaan itu senantiasa diperhatikan dan diperbaiki oleh beliau. Semua kekurangan dan ketidaksempurnaan yang terdapat pada adat dan kebiasaan masyarakat tersebut atau adat yang menyimpang dari segi hukum Islam, secara lambat laun Rasuullah berusaha merubah dan memperbaikinya sesuai dengan ajaran dan syari‘at yang dibawa oleh beliau.
Memperbaiki adat atau kebiasaan-kebiasaan yang sudah bercokol di dalam hati mereka, dan bahkan mereka mematuhi adat tersebut dengan keyakinan, merupakan suatu pekerjaan yang sangat berat dan banyak pengorbanan. Dengan keteguhan jiwa yang ada pada diri Rasuullah serta budi pekerti yang mulia yang tercermin pada tingkah lakunya, usaha beliau dalam memperbaiki tradisi masyarakat Arab berhasil dengan baik. Sehingga dalam kesempatan inilah, yaitu di saat-saat Rasuullah berjuang menyebarkan ajaran Islam, para sahabat dapat menyaksikan langsung usaha-usaha Rasuullah dalam memperbaiki adat dan kebiasaan masyarakat Arab tersebut, dan akhirnya para sahabat memperoleh banyak keterangan-keterangan dan ketetapan Rasul mengenai hukum-hukum Islam.
Adapun kebiasaan-kebiasaan masyarakat Arab yang berkembang pada masa itu, diantaranya dikemukakan di dalam buku yang berjudul al-Ahkam karangan Hasbi Ash-Shiddieqy sebagai berikut:
“Mengunjungi orang sakit, menyampaikannya, berlaku lemah lembut kepada para muhtadar, mengkafankan orang mati, menanamkannya (menguburkan), berlaku baik kepadanya, menangisinya, menta’ziyahkan ahlinya, menziarahi kubur, adalah urusan-urusan yang biasa dikerjakan orang Arab dan dilakukan akan demikian atau yang mengimbanginya oleh orang-orang ‘Ajam. Memang yang demikian itu menjadi adat-adat yang dikerjakan oleh mereka yang mempunyai tabiat yang sejahtera.”34)
Adapun mengenai tata-cara memandikan dan mensalatkan jenazah serta masalah-masalah dalam kaitannya dengan pengurusan jenazah yang berkembang hingga sekarang berpedoman kepada perbuatan-perbuatan yang dilakukan para sahabat dalam mengurus jenazah Rasuullah SAW.
دخل الناس على رسول الله .ص.م أرسالا يصلون عليه حتى إذا فرغوا أدخلوا النساء حتى إذا فرغن أدخلوا الصبيان ولم يؤم الناس على رسول الله صلى الله عليه وسلم أحد (35
Ibn Dihyah memberikan keterangan yang sama dalam masalah pengurusan jenazah Rasuullah SAW. Keterangan beliau berdasarkan pada pendapat yang sahih, yaitu “para muslim bersembahyang atas jenazah Nabi SAW sendiri-sendiri, tidak diimami oleh seseorang”. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam asy-Syafi‘i. Orang yang bersembahyang atas jenazah Nabi SAW sejumlah 30.000 orang.36) Terdapat pula perbuatan-perbuatan para fuqaha‘ dalam memberikan suatu tata-cara melaksanakan salat jenazah yang dapat dijadikan pegangan umat Islam sesudahnya. Dalam hal ini, perbuatan-perbuatan para fuqaha‘ dalam melaksanakan pengurusan jenazah Rasuullah, sebagai berikut:
“Setelah selesai menggali kubur, lalu orang banyak bersiap untuk menyembahyangkan Rasuullah. Sekelompok demi sekelompok, karena tempatnya yang sempit. Mula-mula sekali orang laki-laki, kemudian wanita-wanita dan akhir sekali anak-anak. Masing-masing mereka bersembahyang sendiri-sendiri, tidak seorang pun ditetapkan menjadi Imam .37)
Adapun tata-cara memandikan jenazah, sebagaimana diterangkan dalam buku karangan Syaikh Muhammad bin Salih al-Usaimin yang diterjemahkan oleh Abu Ihsan al-maidani al-Atsari dengan judul Bimbingan Praktis Penyelenggaraan Jenazah ini tidak jauh berbeda dengan ulama-ulama yang lain. Di situ disebutkan tentang syarat sahnya memandikan, antara lain: Niat; airnya adalah air mutlak, suci, dapat menghilangkan najis dan tidak ada sesuatu yang dapat mencegah sampainya air ke tubuh mayat secara langsung. Memandikan mayat boleh dilaksanakan hanya dengan menyiramkan air sekali secara merata ke seluruh
tubuh mayat. 38) Tapi sebaiknya dilakukan secara lebih sempurna yaitu dengan cara sebagai berikut:
a. Menaruh mayat di tempat ketinggian supaya memudahkan mengalirnya air yang telah disiramkan ke tubuh mayat.
b. Melepaskan pakaian mayat lalu menutupi tubuhnya dengan kain supaya auratnya tidak langsung terlihat, walaupun oleh orang yang memandikannya, kecuali mayat anak kecil.
c. Orang yang memandikannya memakai kain untuk melapisi tangannya untuk menggosok badan mayat, terutama waktu menggosok bagian auratnya.
d. Mengurut perut mayat dengan halus untuk mengeluarkan kotoran-kotoran yang ada dalam perut mayat, kecuali perut perempuan hamil yang janin di dalamnya sudah meninggal, maka tidak usah diurut.
e. Dimulai dengan membasuh anggota badan mayat sebelah kanan dan anggota tempat wudu’.
f. Membasuh rata seluruh tubuh tiga kali, lima kali, tujuh kali atau lebih dengan bilangan ganjil, di antaranya dicampur dengan daun pohon Bidara atau semacamnya yang dapat menolong membersihkan kotoran-kotoran di badan mayat, seperti sabun dan sebagainya.
Sebagian ulama mengatakan, mayat itu wajib dimandikan tiga kali. Pertama, airnya sedikit dan dicampur dengan daun Bidara. Kedua, airnya dicampur kapur dan ketiga, dimandikan dengan air bersih. Orang yang memandikan wajib memulai dalam memandikannya dari kepala, kemudian tubuh bagian kanan, lalu ke tubuh bagian kiri. Sedangkan menurut ulama empat mazhab,39) yang diwajibkan itu hanya dimandikan dengan air bersih satu kali, dan kedua kalinya adalah sunnah. Mereka (empat mazhab) tidak mewajibkan dengan daun Bidara dan kapur, melainkan hanya disunnahkan untuk mencampur airnya itu dengan kapur dan sejenisnya yang harum.
g. Untuk mayat perempuan, bagian di sela-sela rambutnya harus dibersihkan dan dicuci, kemudian sela-sela rambutnya dibasuh kembali.
h. Hendaklah tubuh mayat dikeringkan dengan handuk atau sejenisnya, kemudian diberi wangi-wangian.
Dalam hal kondisi mayat yang tidak mungkin untuk dimandikan, misalnya karena ‘uzur atau disebabkan karena tidak adanya air, terbakar, sakit yang sekiranya kalau dimandikan daging (kulitnya) akan rusak, maka semua ulama mazhab sepakat boleh ditayammumkan sebagai pengganti mandi. Sedangkan cara-cara mentayammumkannya persis seperti orang hidup bertayammum.40)
Mengenai tata cara salat, baik dalam kitab Fiqh klasik ataupun kontemporer, hampir tidak terdapat perbedaan yang berarti. Sebagaimana yang telah diketahui secara luas bahwa salat jenazah hendaknya dilakukan berjama‘ah dan bertindak sebagai imam adalah anggota keluarga yang paling dekat dengan si mayit seperti bapaknya, anaknya dan lain-lain yang dekat pertalian nasabnya atau penguasa atau wakilnya atau bila tidak ada, maka orang yang paling mahir membaca al-Qur’an. Ulama-ulama mazhab menegaskan beberapa syarat yang menjadi sahnya salat jenazah, yaitu harus suci, menutup ‘aurat (sama seperti salat fardu).41) Ketika mensalatinya, hendaklah mayat itu diletakkan terlentang. Sedangkan orang yang mensalatinya berdiri di belakang jenazah dan tidak jauh dari jenazah tesebut, lalu menghadap kiblat, kepala mayat berada di sebelah kanan dan juga disyaratkan agar tidak ada batas baik tembok maupun sejenisnya. Orang yang mensalatinya harus berdiri, kecuali kalau tidak bisa (karena ada ‘uzur yang dibolehkan syara’), kemudian berniat dan bertakbir sebanyak empat kali. Diawali dengan membaca al-Fatihah, lalu bertakbir dan mengucapkan salawat atas Nabi SAW beserta keluarganya, kemudian setelah takbir yang ketiga dan keempat adalah membaca do‘a dengan memohonkan ampunan dan rahmat untuk mayat kemudian diakhiri dengan salam.
Menurut Imam Abu Hanifah, memuji Allah setelah takbir pertama, lalu membaca salawat setelah takbir kedua, kemudian berdoa setelah takbir ketiga dan mengucapkan salam setelah takbir keempat. Adalah tidak boleh mengangkat kedua tangannya, kecuali pada takbir pertama. Sedangkan Imam asy-Syafi‘i, setelah takbir pertama membaca al-Fatihah, lalu setelah takbir kedua membaca salawat kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian setelah takbir ketiga membaca do‘a, dan setelah takbir keempat mengucapkan salam, dan setiap takbir harus mengangkat kedua tangannya.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa persoalan pengurusan jenazah atau persoalan lain yang berkaitan dengan pengurusan jenazah banyak dijelaskan oleh para sahabat Nabi SAW dan Fuqaha‘, sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab Fiqh klasik maupun kontemporer. Dalam pengurusan terhadap jenazah, Rasuullah sendiri ataupun para sahabat yang menyaksikan bagaimana Rasuullah SAW memberikan ketetapan melalui perbuatannya baik dalam mengurus jenazah umat ataupun pengikutnya. Tetapi pada hakikatnya yang melatar belakangi timbulnya salat jenazah adalah adanya adat atau kebiasaan-kebiasaan penduduk Arab pada masa itu yang bersifat tradisi dan belum sempurna bila ditinjau dari syari‘at yang dibawa oleh Rasuullah SAW. Karena kekurangan-kekurangan itulah oleh Rasuullah memperbaikinya sekaligus menjadi ketetapan bagi pengikutnya hingga sekarang.
BAB III
BIOGRAFI DAN PANDANGAN IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM ASY-SYAFI‘I ATAS HUKUM MENSUCIKAN DAN MENSALATKAN PERCAMPURAN TUBUH JENA Hanifah atas Hukum Mensucikan dan Mensalatkan Percampuran Tubuh Jenazah Muslim dan Non Muslim
1. Biografi Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah adalah salah seorang Imam Mazhab yang empat dalam aliran Fiqh Islam. Nama yang sebenarnya dari mulai kecil ialah Nu’man bin Sabit bin Zauta bin Mah. Lahir pada tahun 80 H (699 M) di Kufah, ) meninggal tahun 150 H (767 M). Dan di kota itu pula ia mendirikan mazhabnya yang terkenal, yakni Mazhab Hanafi dengan sebutan mazhab aliran Ra’y. )
Imam Abu Hanifah juga terkenal dengan gelarnya sebagai al-Imam al-Azam karena kemahirannya dan keluasan ilmunya. ) Dalam masalah keilmuannya ini ia sendiri mengatakan: “Aku berada di dalam tambang ilmu dan Fiqh, aku menghadiri majlis ulama’nya dan aku tekun pada salah seorangnya”. Imam asy-Syafi’i pernah berkata: “siapa yang senang dengan disiplin ilmu Fiqh harus menjadi keluarga pada Abu Hanifah”. Abu Yusuf pun berkata:
“Saya pernah berselisih pendapat dalam suatu masalah, kemudian saya datang kepada Abu Hanifah, maka seolah-olah ia mengeluarkan masalah itu dari lengan bajunya dan kemudian memberikannya kepada saya.” )
Abu Hanifah dilahirkan dalam kehangatan Islam. Ia bukan keturunan bangsa Arab asli, tetapi bangsa ‘Ajam dan dilahirkan di tengah-tengah bangsa Persia, pada saat pemerintahan Islam berada di tangan kekuasaan ‘Abd al-Maik Ibn Marwan (khalifah Bani Umayyah yang ke-5). )
Sejak kecil Abu Hanifah suka kepada pengetahuan, terutama pengetahuan yang bersangkut paut dengan hukum-hukum Islam. Ia adalah putera dari seorang saudagar besar di kota Kufah, sudah barang tentu sejak kecil ia selalu dalam kecukupan dan jarang menderita kekurangan. Situasi itu ia pergunakan dengan sebaik-baiknya untuk mempelajari dan menuntut ilmu pengetahuan dari para ahli.
Adapun ulama terkenal, yang pernah Abu Hanifah ambil dan serap ilmu pengetahuannya pada waktu itu kira-kira 200 orang ulama besar dan terkenal. Maka dengan segera ia datang dan berguru kepada mereka, sekalipun hanya dalam waktu sebentar. )
Abu Hanifah terkenal sebagai orang yang alim dalam disiplin Ilmu Fiqh dan tawhid. Di antara guru-gurunya kebanyakan dari para ulama tabi‘in, yaitu para ulama yang hidup sesudah generasi para sahabat Nabi SAW, di antara mereka adalah Imam ‘Ata bin Abi Rabah (W. 114 H), Imam Nafi’ Mawla Ibn ‘Umar (W. 117 H) dan lain-lain. Adapun ahli Fiqh yang menjadi gurunya yang termashur adalah Imam Hammad bin Abi Sulayman (W. 120 H). ) Dan Ilmu Tajwid ia pelajari dari Idris bin ‘Ad. )
Murid-murid Abu Hanifah yang terkenal adalah Abu Yusuf Ya‘kub bin Ibrahim al-Ansari, dengan pengarahan dan bimbingan dari gurunya ia terkenal sebagai seorang yang ‘aim dalam ilmu Fiqh dan diangkat menjadi qadi pada masa khalifah al-Mahdi dan al-Hadi. Di antara karya Abu Yusuf antara lain: al-Kharaj, al-Atar dan juga, ar-Ras‘ala Siari al-Auzai. Di antara murid Abu Hanifah yang lain adalah al-Hazail, Ia tidak banyak mengarang buku, tetapi banyak memberikan pelajaran dengan mengajar secara lisan saja. Begitu juga termasuk di antara murid Abu Hanifah adalah al-Hasan bin Ziyad al-Lu’lu’ yang menjadi qadi (hakim) kota Kufah dan di antara kitab karangannya adalah al-Qadi, al-Khisal, Ma’ani al-Imam, an-Nafaqat, al-Kharaj, al-Fara’id, al-Wasaya dan al-Amani.
Walaupun Abu Hanifah tidak banyak mengarang kitab untuk mazhabnya, namun mazhabnya tetap terkenal disebabkan murid-muridnya banyak menulis kitab-kitab untuk mazhabnya. )
Sedang cara memberikan pelajaran kepada murid-muridnya, Abu Hanifah memberikannya kepada yang telah dewasa. Mereka tidak disuruh mengikuti pendapat-pendapatnya tetapi mereka diberi pimpinan dan diperintahkan supaya menjadi orang yang berfikir merdeka, berpendapat leluasa dari segala kungkungan dan jeratan yang kiranya akan mengikat kecerdasan otak mereka, juga agar mereka dapat menyelidiki dan membahas hukum-hukum agama dengan sebaik-baiknya. )
Kemasyhuran Abu Hanifah dalam Ilmu Fiqh tidak ada bandingannya di antara sekian banyak ulama pada masa itu dan ia juga seorang yang ahli tentang Ilmu Kalam. Menurut riwayat, bahwa para sahabatnya atau para ‘ulama Hanafiyah telah membagi masalah-masalah “Fiqh” bagi mazhabnya menjadi tiga bagian atau tingkatan, yaitu pertama Masail al-Usu kedua Masail al-Nawadir dan ketiga al-Fatawa wa al-Waqi’at.
Muhammad bin Hasan telah menghimpun Masa’il al-Usu dalam kitab Zahir ar-Riwayah, terdiri dari lima kitab, yaitu:
a. Al-Mabsut.
b. Al-Jami’ as-Sagir, berisi 40 pasal masalah Fiqh.
c. Al-Jami’ al-Kabir, berisi sebagaimana kitab yang kedua tadi, hanya uraian dan keterangannya lebih panjang.
d. As-Siyar as-Sagir, berisi masalah-masalah jihad semata-mata.
e. As-Siyar al-Kabir.
f. Az-Ziyadah.
Adapun kitab-kitab an-Nawadir adalah:
a. Amali Muhammad
b. Al-Kaysaniyyat
c. Ar-Riqayat
d. Al-Haruniyyat
e. Al-Jurjaniyyat
f. Al-Makharij fi al-Hiyat
g. Ziyadat al-Ziyadat
h. Nawazir Muhammad )
Abu Hanifah juga bertemu dengan tokoh-tokoh pembina aliran-aliran dalam Islam dan menerima ilmu dari sebagian mereka serta mempelajarinya. Aliran-aliran itu adalah Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Jabariyyah dan Mu’tazilah. ) Sehigga sangat tepat bila ia mendapat gelar al-Imam al-‘Azam, karena luas dan mahir dalam berbagai bidang disiplin ilmu.
Abu Hanifah memang belum menjelaskan dasar-dasar pijakan dalam ijtihad secara terperinci. Tetapi metode istinbat hukum rasionalis tersebut dapat dimengerti dari pernyataan di bawah ini:
آخذ بكتاب الله فمالم أجد فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فإن لم اجد فى كتاب الله ولا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم أخذت بقول اصحابه. آخذ بقول من شئت وادع من شئت منهم ولا اخرج من قولهم إلى قول غيرهم. فإذا ماانتهى الامر أوجاء إلى إبراهيم والشعبي وابن سيرين والحسن وعطاء وسعيد وعدّد رجالا فقوم اجتهدوا فأجتهد كما اجتهدوا (13
Dilihat dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa Abu Hanifah mendasarkan penggalian hukumnya kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan ijtihad dalam pengertian yang luas. Artinya, jika nass al-Qur’an dan as-Sunnah secara jelas menunjukkan pada suatu hukum, maka hukum itu dikatakan “diambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah”. Tetapi bila nass itu menunjukkan secara tidak langsung atau hanya memberikan kaidah-kaidah dasar berupa tujuan-tujuan moral, ‘illat dan lain sebagainya maka pengambilan hukum tersebut “melalui qiyas”.
Secara rinci, dasar pengambilan hukum Abu Hanifah dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah tiang syari‘ah, tali penghubung Allah SWT, cahaya yang terang sampai akhir masa, sumber dari segala hukum. Dalam memahami al-Qur’an sebagai sumber pertama dari syari’ah, Abu Hanifah sejalan dengan seluruh Mujtahid yang ada, meskipun ada sedikit perbedaan.14)
b. As-Sunnah
As-Sunnah adalah penjelas Kitab Allah SWT, merincikan kemujmalan yang disampaikan oleh Nabi SAW sebagai risalah kenabian dan orang yang tidak memeganginya, maka dia tidak meyakini risalah kenabian. Dalam hubungan ini dapat ditegaskan, siapa saja bersedia menerima kewajiban yang ditetapkan al-Qur’an, dengan sendirinya harus pula menerima petunjuk-petunjuk Rasul dalam sunnahnya. Allah sendiri telah memerintahkan kita untuk selalu taat dan setia kepada putusan rasul itu. Barang siapa tunduk kepada Rasul berarti tunduk kepada Allah, karena Allah jualah yang menyuruh kita untuk tunduk kepadanya.15)
Abu Hanifah dalam menerima as-Sunnah mensyaratkan bahwa as-Sunnah tersebut harus mutawatir dan masyhur. Sedangkan terhadap as-Sunnah yang mursa, Abu Hanifah mensyaratkan perawinya tergolong siqat. Dan terhadap khabar ahad disyaratkan, pertama, adanya komitmen moralitas perawi, tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan apa yang disampaikan. Kedua, tidak bertentangan dengan praktek umum dan ketiga, tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum atau dasar-dasar kulliyyat.16)
c. Pendapat Ijma‘ Sahabat
Sahabat adalah penyampai risalah mengetahui keterkaitan antara ayat dan hadis, merekalah yag membawakan ilmu Rasuullah SAW kepada orang-orang setelah itu. Apabila terjadi pertentangan pendapat di antara para sahabat, Abu Hanifah memilih pendapat yang paling dekat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Kemudian apabila tidak menjumpai ketetapan hukum dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan pendapat sahabat maka dia melakukan ijtihad dan tidak mengambil pendapat dari para tabi‘in. Hal ini karena para sahabat dalam pendapatnya kebanyakan berdasarkan atas dasar sima’ (mendengar langsung dari Rasulullah SAW) sedangkan tabi‘in dalam pendapatnya bernisbat kepada sahabat yang meriwayatkannya.
d. Qiyas.
Abu Hanifah menerapkan qiyas apabila tidak menjumpai nass dalam al-Qur’an dan as-Sunnah atau pendapat sahabat. Qiyas adalah mengaitkan suatu hukum yang tidak ada nass`nya, karena adanya ‘illat yang sama antara keduanya. Sebenarnya qiyas mengandung unsur nass karena adanya sebab dan sifat yang sesuai dengan hukum yang ada nassnya.
e. Istihsan
Yaitu keluar dari tuntutan qiyas zahir kepada hukum selainnya, karena qiyas zahir terkadang tidak memenuhi kemaslahatannya dalam sebagian perkara juziyyat, maka dicarikan ‘illat yang lain. Praktek semacam ini disebut dengan qiyas khafi. Terkadang qiyas zahir tidak sesuai dengan nass, maka qiyas tersebut ditinggalkan demi kepentingan nass. Terkadang pula qiyas tidak sesuai dengan ijma’ atau ‘urf maka qiyas ditinggalkan dan beralih ke ijma’ atau ‘urf.
f. Ijma’
Yaitu kesepakatan para Mujtahid pada masa tertentu atas sesuatu hukum. Para ulama sepakat bahwa ijma‘ itu merupakan hujjah. Yang diperselisihkan adalah kemungkinan terjadinya ijma‘ sesudah masa sahabat.
g. ‘Urf
Yaitu praktek orang-orang Islam atas sesuatu perkara yang tidak ada dalam nass baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah atau praktek sahabat. ‘Urf ini terbagi menjadi dua bagian, pertama, ‘urf sahih yaitu sesuai dengan nass dan ‘urf fasid, praktek yang tidak sesuai dengan nass.17)
Abu Hanifah dalam menetapkan hukum dikenal memberi asas kemudahan dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat, karena itu Abu Hanifah diberi gelar sebagai imam rasioanalis,18) dan kalau ditinjau dari penggunaan rasio dalam memberikan hukum atau mengistinbatkan hukum dalam Fiqh mazhabnya, maka Abu Hanifah menempati urutan pertama dalam susunan mazhab yang empat, sementara yang kedua, ditempati oleh Imam asy-Syafi‘i, ketiga, Imam Maik dan keempat, Imam Ahmad bin Hanbal.19)
2. Pandangan Imam Abu Hanifah atas Hukum Mensucikan dan Mensalatkan
Percampuran Tubuh Jenazah Muslim dan Non Muslim
Pandangan mengenai hukum perawatan jenazah yang berkaitan dengan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim, terdapat perbedaan di kalangan ulama tidak terkecuali Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i. Namun yang menjadi persoalan sekarang adalah apabila ada korban kematian yang tidak wajar seperti disebabkan karena kecelakaan, kebakaran, tenggelam ataupun lainnya yang mengakibatkan kondisi mayat tersebut menjadi tidak sempurna, dalam artian sebagian atau seluruh tubuh mayat sudah hancur, tidak utuh lagi dan sudah menjadi serpihan-serpihan ataupun potongan-potongan kecil, sedangkan pada saat kematian itu diduga terdapat mayat Muslim dan non-Muslim yang sudah berbaur menjadi satu, sehingga sulit bagi para perawat-perawat jenazah untuk untuk memisahkan antara keduanya. Yang menjadi polemik, bagaimana status hukum mensucikan dan mensalatkan jenazah tersebut? Apakah jenazah-jenazah tersebut tetap disucikan dan disalatkan? Ataukah sebaliknya?
Bertolak dari persoalan di atas, Imam Abu Hanifah melihat jika mayat yang terpotong-potong itu tidak berbaur dengan non-Muslim dan ditemukan potongan tubuh itu separuh atau lebih dan masih berkepala, maka ia wajib dimandikan. Akan tetapi, jika tidak ditemukan separuh dari tubuhnya atau kurang atau terbelah dari atas ke bawah dan tidak berkepala, maka tidak wajib dimandikan. Namun jika ternyata telah berbaur dan tidak dapat diketahui antara yang Muslim dan non-Muslim, maka beliau menganggap tidak usah disalati tetapi masih boleh dimandikan.20)
Imam Abu Hanifah mengatakan jika berkumpul antara yang hala dan haram, maka yang dimenangkan adalah yang haram.21) Mensalati kaum Muslim hukumnya adalah wajib (hala), sedangkan mensalati kaum kafir hukumnya adalah haram dan jika berbaur antara keduanya “hala dan haram” maka yang dimenangkan adalah yang haram. Oleh karena itu, beliau berpendapat jika mayat kaum Muslim berbaur dengan kaum non-Muslim dan tidak bisa diidentifikasi lagi antara keduanya, maka tidak usah disalati akan tetapi masih wajib untuk dimandikan dan dikubur, meskipun tidak seperti memandikan jenazah Muslim. 22)
B. Biografi dan Pandangan Imam Asy-Syafi’i atas Hukum Mesucikan dan Mensalatkan Percampuran Tubuh Jenazah Muslim dan Non Muslim
1. Biografi Imam Asy-Syafi’i
Asy-Syafi‘i (150-204 H/767-819 M) adalah seorang ulama besar yang hidup pada zaman daulah Bani ‘Abbasiyah di bawah kekuasaan khalifah Abu Ja’far al-Mansur, al-Hadi, Harun ar-Rasyid dan al-Ma’mun.23) Imam asy-Syafi‘i dilahirkan di Gaza pada bulan Rajab tahun 150 H (676 M) menurut suatu riwayat, pada tahun itu juga wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam asy-Syafi‘i wafat di Mesir 204 H (819 M). Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin ‘Usman bin Sa’ib bin Abu Yazid bin Hasyim bin ‘Abd al-Mutaib bin ‘Abd al-Manaf bin Qusay al-Quraisy.
‘Abd al-Manaf bin Qusay kakek kesembilan dari Imam asy-Syafi‘i adalah kakek keempat dari Muhammad SAW. Jadi nasabnya bertemu dengan Nabi pada ‘Abd al-Manaf. Adapun dari pihak ibu, dia adalah cucu dari ‘Ali bin Abi Taib ra.24)
Ayahnya meninggal ketika asy-Syafi‘i masih kecil. Ia dibesarkan ibunya dalam keadaan fakir. Dalam asuhan ibunya ia dibekali pendidikan, sehingga pada umur 7 tahun sudah dapat menghafal al-Qur’an pada Isma‘i ibn Qastantin, qari’ kota Makkah, sebuah riwayat mengatakan, bahwa asy-Syafi‘i pernah mengkhatamkan al-Qur’an dalam bulan Ramadan sebanyak 60 kali.25)
Asy-Syafi‘i pada mulanya tertarik dengan prosa dan puisi, syair-syair dan sajak-sajak Arab klasik, sewaktu-waktu ia datang ke kabilah-kabilah Badui di Padang Pasir, kabilah Huzail dan lain-lain. Kadang-kadang ia tinggal lama di kabilah-kabilah itu. Dengan mempelajari sastra Arab, ia terdorong untuk memahami kandungan al-Qur’an.26)
Menurut Khudari Bek, sebelum pergi ke Bagdad asy-Syafi‘i telah mempelajari hadis dari dua orang ahli hadis kenamaan (masyhur), yaitu Sufyan bin Uyainah di Makkah dan Imam Maik di Madinah. Keduanya merupakan “Syaikh” asy-Syafi‘i yang terbesar.
Ia belajar Fiqh dari Muslim bin Khaid az-Zanji, seorang mufti Makkah. Kemudian ia ke Madinah dan menjadi murid Imam Maik serta mempelajari al-Muwatta’, yang telah dihafalnya dalam usia 10 tahun. Imam Maik melihat bahwa asy-Syafi‘i termasuk orang yang sangat cerdas dan kuat ingatannya. Oleh sebab itu Imam Maik sangat menghormati dan dekat dengannya.27)
Pada tahun 195 H, asy-Syafi‘i pergi ke Bagdad dan menetap di sana selama 2 tahun. Setelah itu kembali ke Makkah. Kemudian pada tahun 198 H ia kembali lagi ke Bagdad (Iraq) dan tiggal di sana selama beberapa bulan, setelah itu pergi ke Mesir dan menetap di sana sampai wafat pada tahun 204 H dan dimakamkan di pekuburan Bani Zahrah, yang terkenal pula sebagai pekuburan anak keturunan ‘Abd al- Hakam.28)
Ibn Hajar mengatakan bahwa ketika kepemimpinan Fiqh di Madinah berpuncak pada Imam Maik, asy-Syafi‘i pergi ke Madinah untuk belajar kepadanya. Dan ketika kepemimpinan Fiqh di Iraq berpuncak pada Abu Hanifah, ia belajar Fiqh di Iraq pada Muhammad Ibn al-Hasan asy-Syaibani (salah seorang murid Abu Hanifah). Oleh sebab itu padanya terhimpun pengetahuan Fiqh Ashab al-Hadis (Imam Maik) dan Fiqh Ashab ar-Ra’yi (Abu Hanifah).29)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asy-Syafi‘i termasuk seorang Mujtahid mutlak yang moderat, dalam pengertian bahwa ia tidak kaku dalam berpedoman terhadap hadis Nabi. Ia membolehkan pen-ta’wil-an hadis Nabi, namun tidak juga membebaskan ar-ra’yu tanpa batas dalam mengartikan hadis sebagai sumber istinbat hukum.30) Dan ia mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam bidang lugah dan adab, di samping pengetahuan hadis yang ia peroleh dari beberapa negeri. Sedang pengetahuannya dalam bidang Fiqh, meliputi Fiqh Ashab al-Hadis di Hijaz dan Ashab ar-Ra’yi di Iraq.31)
Aliran keagamaan asy-Syafi‘i, sama dengan imam-imam mazhab yang lainnya dari mazhab empat, yaitu ahl as-sunnah wa al-jama`’ah. Aliran ini di bidang furu’ (cabang) terbagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Ahl al-Hadis dan aliran Ahl ar-Ra’yi. Sementara Imam asy-Syafi‘i termasuk Ahl al-Hadis.32)
Di samping itu, pengetahuan Imam asy-Syafi’i tentang masalah sosial kemasyarakatan sangat luas. Ia menyaksikan secara langsung kehidupan masyarakat desa (Badui), masyarakat yang sudah maju peradabannya (Iraq dan Yaman), masyarakat yang sangat kompleks peradabannya, seperti di Iraq dan Mesir. Ia juga menyaksikan kehidupan orang zuhud (az-zahid) dan Ahl al-Hadis. Pengetahuannya dalam bidang kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan yang bermacam-macam itu, memberikan bekal bagi ijtihadnya terhadap masalah-masalah hukum yang beraneka ragam.33)
Pada mulanya asy-Syafi‘i menjadi pengikut mazhab Maiki dan aliran hadis. Akan tetapi, perlawatan-perlawatan yang ia lakukan serta pengalamannya nampak memberi pengaruh yang kuat padanya untuk mengadakan suatu mazhab yang khusus. Pertama ia menulis mazhab al-Iraqi yang disebut qawl qadim, tetapi setelah menetap di Mesir ia undur dari pendapat-pendapatnya yang lama dan kemudian kepada murid-muridnya dia ajarkan mazhabnya al-Misri, yang disebut dengan qawl jadid.34) Qawl qadim terdapat dalam kitabnya yang bernama al-hujjah, yang dicetuskan di Iraq. Dan qawl jadid-nya terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Umm, yang dicetuskan di Mesir.35)
Menurut Subhi Mahmasani, kemahiran asy-Syafi‘i dalam ilmu bahasa, hadis, Fiqh, keluasan pengalaman praktisnya, ketajaman fikirannya, kelancaran pembicaraannya dan kecakapannya dalam menggali masalah dan dalam berdebat memberi kemungkinan padanya untuk mencampurkan dua metode yang terdahulu dalam ilmu Fiqh, yaitu aliran ra’yu dan aliran hadis. Maka lahirlah mazhabnya yang merupakan penengah antara Mazhab Hanafi dan Mazhab Maiki. Mazhab asy-Syafi‘i mengakui dan menerima empat dalil hukum yaitu: al-Qur’an, as-Sunnah, ijma‘ dan qiyas. Akan tetapi tidak memakai apa yang disebut istihsan oleh ulama-ulama Hanafi dan al-Masaih al-Mursalah dalam mazhab Maiki.36)
Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan Imam asy-Syafi‘i dalam kitabnya ar-Risaah sebagai berikut:
ليس لأحد أبدا أن يقول فى شيء حلّ ولاحرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر فى الكتاب والسنة والإجماع أو القياس(37
Sedang pokok pikiran Imam asy-Syafi‘i dapat dipahami dari perkataannya yang tercantum dalam kitabnya al-Umm, sebagai berikut:
ألأصل قرا ن وسنة فإن لم يكن فقياس عليهما وإذا اتصل الحديث عن رسول الله وصح الإسناد فهو سنة والإجماع اكبر من الخبر المنفرد والحديث على ظاهره وإذا احتمل معانى فما أشبه منها ظاهره اولاها وإذا تكافأت الأحاد يث فأصحّها إسنادا اولاها وليس المنقطع بشيء ماعدا منقطع ابن المسيّب ولايقاس أصل على أصل ولايقال للأ صل لم وكيف؟ وإنما يقال للفروع لم؟ فإذا صح قياسه على الأصل صحّ وقامت به حجة(38
Dari perkataannya tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa pokok-pokok pikirannya dalam mengistinbatkan hukum adalah
a. Al-Qur’an
Asy-Syafi‘i memandang al-Qur’an dan as-Sunnah berada dalam satu martabat. Dia menempatkan as-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an, karena menurutnya, as-Sunnah itu menjelaskan al-Qur’an, kecuali hadis ahad tidak sama nilainya dengan al-Qur’an dan hadis mutawatir.39)
Dalam pelaksanaannya asy-Syafi‘i menempuh cara, bahwa apabila di dalam al-Qur’an sudah tidak ditemukan dalil yang dicari, ia menggunakan hadis mutawatir. Jika tidak ditemukan dalam hadis mutawatir, ia menggunakan khabar ahad. Jika tidak temukan dari kesemuanya itu, maka dicoba untuk menetapkan hukum berdasarkan zahir al-Qur’an atau as-Sunnah secara berturut-turut. Dengan teliti ia mencoba untuk menemukan mukhassis dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika tidak ditemukan, maka dia cari lagi bagaimana pendapat para sahabat. Jika ditemukan ada ijma‘ dari mereka tentang hukum masalah yang dihadapi maka hukum itulah yang dipakai.40)
Asy-Syafi’i mempertahankan untuk mengamalkan hadis ahad selama perawinya bersambung sampai kepada Rasuullah. Ia tidak mensyaratkan pengamalan sebagai penguat hadis sebagaimana Imam Maik dan tidak mensyaratkan kemasyhuran hadis. Pembelaan ini memperoleh perhatian besar dari kalangan ahli hadis, sehingga penduduk Bagdad menjulukinya penolong hadis (nasir al-hadis).41)
b. Ijma‘
Asy-Syafi’i mengatakan bahwa ijma‘ adalah hujjah dan ia menetapkan ijma‘ sesudah al-Qur’an dan as-Sunnah sebelum qiyas. Ia menerima ijma‘ sebagai hujjah dalam masalah-masalah yang tidak diterangkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.42)
Ijma‘, menurut pendapat asy-Syafi’i, adalah kesepakatan ulama seluruh negeri Islam, bukan kesepakatan satu negeri saja dan juga bukan kesepakatan kaum tertentu saja. Namun ia mengakui bahwa ijma‘ sahabat adalah ijma‘ yang paling kuat.43)
Ijma‘ yang dipakai asy-Syafi’i sebagai dalil hukum itu adalah ijma‘ yang disandarkan kepada nass atau ada landasan riwayat dari Rasuullah. Secara jelas ia mengatakan, bahwa ijma‘ berstatus dalil hukum adalah ijma‘ sahabat.44) Ia hanya mengambil ijma‘ sahih sebagai dalil hukum dan menolak ijma‘ sukuti menjadi dalil hukum. Alasannya menerima ijma‘ sahih, karena kesepakatan itu disandarkan kepada nass dan berasal dari semua Mujtahid secara jelas dan tegas, sehingga tidak mengandung keraguan, sedangkan alasan menolak ijma‘ sukuti, karena bukan merupakan kesepakatan semua Mujtahid. Diamnya Mujtahid, menurutnya, belum tentu menunjukkan setuju.45)
c. Qiyas
Asy-Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat setelah al-Qur’an, sunnah, dan ijma‘ dalam menetapkan hukum.46) Dia adalah orang pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan dasar-dasarnya. Dia memilih metode qiyas serta memberikan kerangka teoritis. Menurutnya, ijtihad itu sama dengan qiyas.47)
Kitab-kitab Imam Asy-Syafi`’i yang kita ketahui sangat banyak dan salah satu kitabnya yang terkenal adalah kitab al-Umm dan ar-Risaah. Imam Syafi’`i adalah orang pertama yang menyusun dalil hukum dan menulis ilmu Usu Fiqh secara ilmiah, yaitu dalam Risaah-nya yang sudah termasyhur.
Kitab karangannya yang terpenting yang sudah tidak asing lagi yaitu kitab al-Umm. Kitab ini terdiri dari tujuh jilid yang diriwayatkan oleh muridnya al-Rabi` bin Sulayman, yang ditulis secara ilmiah dan argumentatif, jarang sekali terdapat kitab serupa ini pada masanya.
Kitab al-Umm membahas berbagai masalah hukum seperti ibadat, mu’amalat, masalah pidana dan pernikahan. Kitab ketujuh memuat berbagai persoalan seperti perbedaan antara ‘A
d dan kitab mengenai perselisihan pendapat antara Imam asy-Syafi’`i dengan Imam Maik. Selain itu dalam jilid ini pula dikemukakan mengenai perselisihan pendapat antara Abu Hanifah dan Abi Layla dan kitab riwayat hidup al-Awza’`i karangan Abu Yusuf.
Selain itu, masih ada lagi kitab-kitab lainnya seperti kitab Ikhtilaf al-Hadis, dengan riwayat muridnya al-Rabi’` dan kitab Musnad yang memuat hadis-hadis yang disebutkan dalam kitab al-Umm.
Sedang kitab Fiqh karya ulama mazhab asy-Syafi’`i yang terkenal di antaranya kitab al-Muhazzab, karangan Abu Ishaq al-Firuzubadi (478 H), yang disyarahi oleh an-Nawawi, dalam al-Majmu’ dan al-Mustasfa karangan Abu Hamid al-Gazai, dan lain-lain.48)
2. Pandangan Imam Asy-Syafi‘i atas Hukum Mensucikan dan Mensalatkan
Percampuran Tubuh Jenazah Muslim dan Non Muslim
Dalam persoalan yang berkaitan dengan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim, yang mana kondisi mayat tersebut sudah tidak sempurna lagi karena sudah hancur menjadi serpihan-serpihan ataupun potongan-potongan kecil, Imam asy-Syafi‘i memandang wajib untuk dimandikan dan disalatkan. Hukum ini juga berlaku bagi mayat yang terpotong-potong dan tidak berbaur dengan non-Muslim. Beliau tetap memberlakukan hukum wajib untuk dimandikan dan disalatkan sebagaimana biasanya, meski hanya berupa sebagian dari potongan tubuh.
Namun jika ternyata berbaur dan sulit untuk dikenali lagi, maka beliau memandang wajib untuk dimandikan secara totalitas (kullu-hum), dengan alasan suatu kewajiban yang pelaksanaannya tergantung pada suatu hal, maka hal tersebut menjadi wajib.49)
Argumentasi ini juga digunakan ketika mereka berbicara tentang wajib atau tidaknya mensalatkan jenazah tersebut. Mereka bersikukuh untuk mensalati semua, karena yang Muslim tidak bisa disalati kecuali dengan mensalati mereka secara total. Mereka mengajukan teori ta’liq, yaitu ketika hendak mensalatkan jenazah tersebut niat yang diucapkan adalah:
أصلى على هذا الميت إن كان مسلما (50
Teori ini dipakai agar terhindar atau terjebak kepada mensalati kaum Kafir. Imam asy-Syafi‘i sendiri memandang bahwa “keharaman itu tidak bisa mengharamkan yang hala”. Karena beliau memandang jikalau boleh mensalati seratus orang Muslim yang di dalamnya terdapat satu orang Musyrik dengan niat, maka boleh pula mensalati seratus orang Musyrik yang di dalamnya terdapat satu orang Muslim dengan niat.51)
Berangkat dari kasus di atas, dapat ditemukan premis-minor dari perbedaan pendapat yang terjadi antara Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi‘i, yaitu adanya sudut pandang yang berbeda dalam mengambil suatu teks atau kaidah yang dijadikan hujjah, sehingga memunculkan perbedaan dalam pengambilan istinbat hukum.
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA IMAM ABU HANIM ASY-SYAFI‘I ATAS HUKUM MENSUCIKAN DAN MENSALATKAN PERCAMPURAN TUBUH JENAm Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim. Untuk menelusuri persamaan dan perbedaan tersebut, perlu kiranya dilakukan analisis yang mendalam terhadap landasan pemikiran yang erat kaitannya dengan metode stratifikasi istinbat yang dipakai oleh kedua tokoh tersebut. Dalam hal ini penyusun melakukan penjajakan berdasarkan pada uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab yang lalu.
A. Istinbat Hukum Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i
Setelah diketahui argumentasi keduanya beserta landasan pemikiran kedua tokoh tersebut akan tampak bahwa keduanya melakukan ijtihad sebagaimana ulama-ulama terdahulu berijtihad dalam menghasilkan suatu hukum. Hal itu dilakukan karena tidak ditemukannya dalil-dalil baik dari nass al-Qur‘an maupun as-Sunnah yang menjelaskan secara spesifik dan gamblang mengenai hukum percampuradukan mayat Muslim dan non- Muslim dari segi mensucikan dan mensalatkannya.
Dalam persoalan percampuradukan mayat yang sebagian atau seluruh tubuhnya hancur lebur ataupun terpotong-terpotong dan telah berbaur menjadi satu, sedangkan di situ diduga terdapat mayat Muslim dan non-Muslim yang tidak mungkin untuk diidentifikasi lagi antara keduanya, Imam Abu Hanifah memandang tidak usah disalati tetapi masih boleh untuk dimandikan, dengan alasan:
إذا إجتمع الحلا ل والحرام غلب الحرام (1
Abu Hanifah mengartikan halal dalam mensalati kaum Muslim, ini didasarkan pada hadis Nabi saw:
صلوا على صاحبكم (2
Hadis ini diriwayatkan dari Jabir, Salamah bin al-Akwa’ dan Asma’ binti Yazid. Hadis ini masuk kategori hasan sahih. Semua ulama, tidak terkecuali Imam asy-Syafi’i sepakat dalam wajibnya mensalati kaum Muslim,3) sehingga kalau sampai tidak ada seorang pun mensalatinya, maka berdosalah semua umat Islam. Namun, jika sudah ada seorang Muslim atau lebih yang melakukan salat jenazahnya, maka gugurlah kewajiban orang-orang Muslim lainnya. Dalam disiplin ilmu Nahwu perkataan sallu merupakan fi’l amr, yang menunjukkan kepada suatu perintah dan perintah ini menunjukkan kepada wajib, sebagaimana kaidah usuiyyah yang berbunyi:
ألاصل فى الامر للوجوب (4
Semua ulama telah bersepakat atas hukum wajibnya salat jenazah. Namun kewajiban ini hanya berlaku jika terdapat jenazah Muslim bukan Kafir, karena:
ألحكم يدور مع العلة وجودا وعدما (5
Sedangkan haram diartikan dalam mensalati kaum Kuffar, dengan alasan yang sangat jelas dari firman Allah SWT yang berbunyi:
ولا تصل على احد منهم مات ابدا ولا تقم على قبره إنهم كفروا بالله ورسوله وماتوا وهم فاسقون (6
Semua ulama tidak terkecuali ulama-ulama mazhab, baik Maiki, asy-Syafi’i maupun Hanbali sama-sama memakai firman ini sebagai dalil ketika berbicara mengenai hukum mensalati kaum Kuffar.
Melihat argumentasi yang dipakai Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, dengan mendahulukan yang haram dari pada yang hala, mengindikasikan adanya dua dalil yang bertentangan dalam satu masalah, di satu pihak ada yang menghalalkan dan di lain pihak ada pula yang mengharamkan. Karenanya, dari kedua dalil tersebut yang dipilih adalah yang mengharamkan, yang lebih didasarkan pada faktor kehati-hatian (ikhtiyat). Sebagaimana juga dengan kaidah yang mengatakan:
إذا تعارض المانع والمقتضى قدم المانع (7
Berdasarkan kaidah yang dijadikan dasar dalam istinbat hukum, saat terjadi persoalan percampuradukan mayat yang kondisinya tidak normal, dan diduga bahwa di situ terdapat mayat Muslim dan non-Muslim, dari segi mensucikan dan mensalatkannya, Imam Abu Hanifah mengatakan tidak usah disalati karena penekanannya adalah pada faktor hati-hati (ikhtiyat), tetapi masih boleh dimandikan dengan alasan taharah, karena Allah menyukai orang yang suci dan bersih:
إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين (8
Dilihat dari metode yang dipakai Imam Abu Hanifah dalam istinbat hukumnya, tampak beliau melakukan ijtihad sendiri, sebab tidak diperolehnya dasar-dasar yang dapat dijadikan hujjah dalam persoalan tersebut. Dalam hal ini, penyusun lebih cenderung mengatakan bahwa beliau menggunakan metode tarjih dalam istinbat hukumnya. Dalam artian, mengambil salah satu dari dua dalil dan menjadikannya lebih utama dari yang lain. Dalam Usul Fiqh dijelaskan jalan-jalan tarjih di antaranya dengan mengembalikannya kepada isi dalil 9):
1. Yang melarang didahulukan atas yang membolehkan
2. Yang melarang didahulukan atas yang mewajibkan
3. Yang mengandung hukum haram didahulukan atas yang makruh
4. Isbat didahulukan atas yang nafyi
5. Yang mengandung ziyadah (tambahan) didahulukan atas yang tidak
6. Yang mengandung taklifi (hukum Allah) dimenangkan atas yang wad‘i (konvensional)
7. Yang meringankan didhulukan atas yang memberatkan
Jelaslah kiranya, dalam menetapkan hukum di atas, Abu Hanifah menggunakan dalil dengan tidak terlepas pada kaidah usuiyyah, sehingga menghasilkan sebuah hukum baru.
Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi memandang bahwa mayat-mayat tersebut wajib untuk dimandikan dan disalatkan dengan alasan:
مالايتم الواجب إلا به فهو واجب (10
Salat atas kaum Muslim adalah wajib, namun salat tersebut tidaklah sah bila orang yang mensalatkan (musalli) tidak dalam keadaan bersih, suci. Untuk itu, hukum mensucikan juga dipandang sebagai wajib. Sulayman Jama mengatakan mensalati mayat sama seperti laku salat yang dikerjakan oleh mayat itu sendiri. Oleh karenanya, jika si mayat tidak suci dan bersih, maka salatnya pun tentu tidak sah.11) Namun, dalam kasus terjadinya percampuradukan mayat yang kondisinya tidak normal dan tidak diketahui mana yang Muslim dan non-Muslim, Imam asy-Syafi’i mensyaratkan untuk memandikannya secara totalitas (kull-hum), teori ini juga beliau gunakan saat berbicara hukum mensalatkan mayat tersebut. Beliau memandang wajib atas pensalatan mereka semua, baik yang Muslim maupn non-Muslim, sebab mayat Muslim tidak bisa disalati kecuali dengan mensalati mereka semua secara keseluruhan. Agar tidak terjebak kepada mensalati kaum Kuffar, Imam asySyafi’i mengajukan teori ta’liq, dalam artian ketika hendak menyalatkan mayat Muslim, niat yang diucapkan adalah:
أصلى على هذا الميت إن كان مسلما (12
Imam asy-Syafi’i sendiri memandang bahwa:
ألحرام لا يحرم الحلال13 )
Kaidah tersebut diambil dari redaksi (matn) hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan ad-Daruqutni, dari sahabat Ibn ‘Umar dan hadis tersebut sanadnya sampai kepada Rasulullah (marfu‘). Beliau mengumpamakan, jikalau boleh menyalati seratus orang Muslim yang di dalamnya terdapat satu orang Musyrik dengan niat, maka boleh pula pula menyalati seratus orang Musyrik yang di dalamnya terdapat satu orang Muslim dengan niat.
Dilihat dari metode yang dipakai Imam asy-Syafi’i dalam istinbat hukum, tampak bahwa beliau juga melakukan ijtihad sendiri sebagaimana Imam Abu Hanifah berijitihad. Hal ini dilakukan karena asy-Syafi’i tidak mendapati dasar-dasar yang jelas baik dari al-Qur’an, as-Sunnah maupun Ijma’ ulama, sehingga beliau berusaha berijtihad agar didapatkan suatu hukum yang menjelaskan permasalahan tersebut.
Melihat argumentasi yang dipakai oleh Imam asy-Syafi’i, penyusun lebih cenderung mengatakan bahwa Imam asy-Syafi’i menggunakan qiyas dalam istinbat hukumnya, dalam artian, menetapkan hukum atas suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nass-nya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nass, sebab ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Hal ini menjadi lebih jelas lagi saat beliau memberikan analogi “jikalau boleh menyalati seratus orang Muslim yang di dalamnya terdapat satu orang Musyrik dengan niat, maka boleh pula pula menyalati seratus orang Musyrik yang di dalamnya terdapat satu orang Muslim dengan niat”.
Di sini tampak bahwa asy-Syafi’i berusaha mengkompromikan dan mengambil jalan tengah antara kedua dalil yang dipakai oleh Imam Abu Hanifah, dengan berpegang pada suatu kaidah usuiyyah sebagai istinbat hukumnya.
Jika dilihat dari dasar pijakan yang dipakai oleh kedua tokoh tersebut, tampak sekali perbedaan yang mencolok pada tataran kaidah yang dipakai oleh keduanya, sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan yang berbeda pula.
B. Letak Persamaan dan Perbedaan
1. Letak Persamaan
Adalah hal yang cukup sulit untuk menemukan letak persamaan dari pemikiran kedua tokoh di atas. Namun itu tidak berarti tidak dapat ditemukan persamaan sama sekali. Sebagai out-put dari analisis mendalam atas substansi persoalan perawatan jenazah yang berkaitan dengan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim. Penyusun menemukan beberapa persamaan sebagai berikut:
1. Para fuqaha’ telah sepakat atas wajib hukumnya memandikan dan mensalatkan jenazah Muslim, tidak terkecuali Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i, hal ini didasarkan atas perintah Rasulullah SAW untuk melaksanakan pengurusan jenazah:
أسرعوا بالجنازة فإن تك خيرا تقدموها اليه وإن تك شرا تضعوه عن رقابكم(14
Hadis ini hasan sahih, semua ulama tidak menyangsikan kebenaran hadis dari Abu Hurairah ini. Perintah pengurusan jenazah ini diartikan oleh Abu Bakr Jabir al-Jazairi dalam bukunya yang berjudul Pola Hidup Muslim (taharah, ‘ibadah, dan akhlaq), sebagai suatu hal yang harus dilakukan oleh orang yang masih hidup terhadap orang yang sudah meninggal, baik dalam memandikannya, mensalatkannya, sampai kepada penguburannya.15)
2. Persamaan juga terjadi dalam hal memandikan mayat yang sebagian atau seluruh tubuhnya sudah hancur, tidak utuh lagi dan sudah menjadi serpihan-serpihan ataupun potongan-potongan kecil. Imam Abu Hanifah memandang wajib untuk dimandikan sebagaimana layaknya mayat biasa, begitu juga dengan Imam asy-Syafi‘i.16) Hukum ini, juga berlaku bagi mayat yang sudah berbaur antara Muslim dan non-Muslim, dengan alasan bahwa memandikan mayat tersebut adalah untuk taharah. Sampai di sini belum terdapat perbedaan yang berarti, namun perbedaan baru muncul dalam menentukan kadar atau prosentase tubuh yang terpotong-potong yang harus ditemukan sehingga menyebabkan wajibnya untuk memandikan mayat tersebut.
3. Dalam mensalati kaum non-Muslim, Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i sama-sama memandang haram hukumnya. Melihat persoalan ini, penyusun menemukan tidak hanya Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i saja yang mengharamkan untuk mensalati kaum non-Muslim, namun semua ulama juga bersepakat atas haramnya mensalati kaum non-Muslim.17)
4. Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i sama-sama melakukan ijtihad hukum sebagaimana ‘ulama-ulama terdahulu dalam berijtihad, yaitu pada saat tidak ditemukan dalil-dalil, baik dari nass al-Qur’an, as-Sunnah maupun Ijma‘ ulama.
Berangkat dari berbagai persamaan di atas, secara substansial dapat ditemukan titik simpul bahwa yang menjadi pokok dari berbagai persamaan tersebut adalah persoalan hukum atau norma serta kaidah yang dijadikan dasar dalam istinbat hukum. Hal ini menepis anggapan sebagian kalangan yang mengatakan kecil kemungkinan untuk menemukan berbagai persamaan di antara kedua tokoh ini.
2. Letak Perbedaan
Pada lapisan permukaan antara Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i memang tampak tidak mempunyai perbedaan yang berarti, sebab keduanya sama-sama mempunyai pandangan yang berorientasi pada penegakan hukum Islam. Artinya, keduanya sama-sama mempunyai niatan dan tujuan, yaitu bagaimana sebaiknya hukum Islam ini agar dapat relevan dan dapat diterapkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Akan tetapi, sebenarnya ada juga sisi perbedaan yang cukup mendasar di antara pemikiran kedua tokoh ini, walaupun adanya perbedaan itu kemungkinan besar lebih terletak pada sudut pandang (point of view) dalam melihat dan mengamati suatu permasalahan, sehingga sudah barang tentu ijtihad hukum yang dikeluarkan masing-masing tokoh terhadap persoalan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim berbeda atau bahkan sebaliknya. Pada lapisan permukaan terlihat ada perbedaan yang sangat kontradiktif antara keduanya, baik pada tataran kaidah yang diambil ataupun terhadap norma serta implikasi permasalahan hukum tersebut.
1. Imam Abu Hanifah mengatakan jikalau terjadi peristiwa yang menyebabkan kematian secara tidak wajar, dalam artian seluruh atau sebagian tubuh korban sudah hancur berkeping-keping dan sudah tidak dapat dikenali lagi, maka beliau memandang wajib untuk dimandikan dengan syarat jika ditemukan separuh atau lebih dan masih berkepala namun jika ternyata kurang dari separuhnya atau telah terbelah dari atas ke bawah dan sudah tidak berkepala, maka ia tidak wajib untuk dimandikan. Hukum ini berlaku jika mayat-mayat tersebut tidak berbaur dengan non-Muslim. Namun, jika ternyata berbaur dan sulit untuk dikenali mana yang Muslim dan mana non-Muslim, beliau memandang bahwa para korban atau mayat-mayat tersebut sudah selayaknya untuk dimandikan dengan alasan taharah.
Sedangkan Imam asy-Syafi‘i tidak mensyaratkan harus ditemukan separuh ataupun lebih, tetapi tetap wajib untuk dimandikan sebagaimana biasanya. Namun, jika ternyata telah berbaur antara keduanya, yaitu mayat Muslim dan non-Muslim dan sudah tidak dapat dikenali antara keduanya, maka menurut beliau wajib dimandikan secara totalitas (kullu-hum).
2. Perbedaan juga terjadi ketika berbicara mengenai hukum mensalatkan jenazah yang kondisinya sudah tidak wajar ataupun sudah tidak normal lagi, dan sudah berbaur antara yang Muslim dan non-Muslim. Imam Abu Hanifah memandang tidak wajib untuk disalatkan dengan alasan lebih berhati-hati (ikhityat).
Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi‘i memandang persoalan di atas tetap memberlakukan hukum wajib untuk mensalatkannya. Beliau bersikukuh untuk mensalatkan semuanya, karena yang Muslim tidak bisa disalati kecuali dengan mensalati mereka secara keseluruhan. Agar tidak terjebak kepada mensalati kaum non-Muslim, asy-Syafi’i mengajukan teori ta’liq. Maksudnya, pada saat mensalatkan mayat, niat yang diucapkan oleh orang yang mensalatkan (musalli) adalah untuk mensalati kaum Muslim.
3. Dalam tataran kaidah yang dijadikan dasar istinbat hukum, Abu Hanifah berbeda dengan asy-Syafi‘i. Oleh karena itu, hukum yang dihasilkan kedua tokoh tersebut juga berbeda satu sama lainnya.
Dari penjelasan dan uraian di atas, tampak sekali terdapat perbedaan yang sangat kontradiktif antara Imam Abu Hanifah dengan Imam asy-Syafi‘i, baik dalam hal norma ataupun kaidah hukum yang diambil. Yang satu mengatakan wajib sementara yang lainnya mengatakan tidak wajib. Sebenarnya, kalau dicermati dan direnungkan serta dipelajari secara mendalam, keduanya sama dan sejalan, yaitu sama-sama mempuyai tujuan untuk menegakkan hukum Islam. BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis komparatif atas pemikiran Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i tentang hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim seperti diuraikan pada bab-bab sebelumnya, penyusun mengambil kesimpulan:
1. Perbedaan pandangan yang terjadi antara Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i mengenai persoalan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim di mana kondisi si mayat dalam keadaan yang tidak wajar, tidak sempurna ataupun tidak normal, dalam artian sebagian atau seluruh tubuh mayat tersebut sudah hancur lebur atau telah terpotong-potong dan tidak mungkin untuk dapat diidentifikasi lagi apakah ia seorang Muslim ataukah non-Muslim, sedangkan mayat-mayat tersebut telah berbaur menjadi satu antara keduanya dan tidak mungkin untuk dipisah-pisahkan lagi. Hal ini disebabkan karena perbedaan dalam tataran kaidah yang dijadikan istinbat hukum, yang pada akhirnya menghasilkan sebuah kesimpulan hukum yang berbeda pula.
2. Persamaan pandangan antara Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim terletak pada hukum memandikannya. Mereka sama-sama membolehkan untuk dimandikannya jenazah tersebut.
3. Perbedaan terjadi ketika berbicara mengenai hukum mensalatkannya, Imam Abu Hanifah mamandang tidak wajib bahkan haram untuk disalati, di lain pihak Imam asy-Syafi’i mewajibkan untuk disalatkannya mayat tersebut.
B. Saran-Saran
1. Umat Islam di Indonesia hendaknya jangan terlena atas perbedaan-perbedaan pendapat yang tidak diketahui dasar hukumnya serta tidak bersikap fanatik buta terhadap satu tokoh yang pada akhirnya dapat mengakibatkan perpecahan di antara sesama umat Islam Indonesia.
2. Pemikiran yang terkadang menimbulkan kontroversial tidaklah pada tempatnya serta merta dituding sebagai pendapat yang sesat sepanjang didasari oleh sebuah argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Kajian pemikiran Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i yang erat kaitannya dengan masalah Fiqh umumnya dan masalah hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim, hendaknya diperdalam dan lebih diperbanyak di lingkungan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, sebab dari kenyataan yang ada penyusun sempat mengalami kesulitan ketika mengangkat pemikiran kedua tokoh ini sebagai obyek kajian skripsi.
4. Kajian yang bersifat komparatif ini bisa dijadikan sebagai acuan alternatif atau solusi atas permasalahan hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim .
5. Kajian mengenai Hukum Islam hendaknya jangan hanya terfokus pada bangku kuliah, karena hal tersebut sangatlah tidak mencukupi. Penyusun menyarankan, hendaknya dibentuk sebuah kajian atau forum-forum yang bernuansa ekstrakulikuler yang membahas tentang Hukum Islam. Karena hal ini dapat mempertajam pemikiran dan memperluas wawasan keilmuan seseorang, terutama yang berkaitan dengan permasalahan Hukum Islam.
6. Penyusun menyadari bahwa kajian dalam skripsi ini sangat terbatas dan masih sangat kurang. Tentu saja besar harapan penyusun, pengkajian yang lebih lengkap dan sempurna bisa dilakukan oleh pemerhati dunia Islam sehingga pemaknaan kita terhadap wacana permasalahan Hukum Islam ini menjadi lebih sempurna. Mudah-mudahan pemikiran dari kedua tokoh di atas dapat lebih memperkaya khazanah pemikiran Islam. Harapan yang lebih dalam tentunya adalah semoga spirit kegelisahannya berimbas kepada kita semua.
Wallahu a‘lam

Katakanlah: Sekalipun kamu tinggal dalam rumahmu sendiri, orang yang sudah ditentukan mati akan keluar juga ke tempat kematiannya.
Segerakanlah urusan jenazah, jika ia orang baik, maka itulah orang yang sebaik-baiknya yang kamu segerakan, dan jika ia bukan orang baik, maka itulah orang yang seburuk-buruknya yang kamu buangkan keburukannya dari pundakmu, yaitu memasukkannya keliang kubur.
Bahwassanya Rasuullah SAW bersabda kepadanya; “Hai Ali, Tiga perkara jangan kau akhirkan, salat ketika sudah masuk waktunya, jenazah bila telah terbujur, dan janda bila telah ada jodohnya.
Mandikanlah ia dengan bilangan ganjil, tiga kali, lima kali atau tujuh kali dan Ummu ‘Atiyah berkata: Jalinlah rambutnya menjadi tiga Untai.
Telah sampai kepada kami keterangan, bahwa seekor burung telah menjatuhkan sebuah tangan di Makkah pada waktu perang Jama, lalu mereka mengenalinya dari cincinnya, maka mereka memandikannya dan mensalatinya. Dan adalah yang demikian itu disaksikan para sahabat.
Abu Ayyub telah mensalati sebuah kaki dan Umar mensalati tulang.
Disalati apa yang diketemukan dari tubuh mayat Muslim, dimandikan dan dikafankan kecuali kalau berasal dari orang yang mati syahid.
Sesungguhnya Nabi SAW didatangi dengan jenazah seorang lelaki untuk disalati, maka sabda Nabi saw: “Salatkanlah atas temanmu”.
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah swt. Dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka mengingkari (kafir) pada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.
Bahwa para syuhada Uhud itu tidak dimandikan. Mereka dikubur bersama darah mereka dan mereka tidak disalatkan.
Jangan sekali-kali engkau menyalatkan jenazah seorang pun dari mereka, dan jangan pula engkau berdiri di kuburannya, mereka telah kafir kepada Allah dan Rasulnya, mereka mati dalam keadaan fasik.
Para manusia masuk ke tempat Rasuullah SAW berjama’ah untuk bersembahyang atas jenazahnya. Setelah mereka selesai barulah mereka memasukkan para wanita. Setelah wanita selesai, para sahabat memasukkan anak-anak kecil. Tidak ada yang menjadi imam bagi mereka terhadap sembahyang atas Rasuullah saw
Saya mengambil dari kitab Allah. Apa yang tidak saya ketemukan di dalamnya, maka saya ambil sunnah Rasulullah, jika saya tidak ketemukan di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, niscaya saya mengambil pendapat sahabat-sahabatnya. Saya ambil pendapat yang saya kehendaki dan saya tinggalkan pendapat yang saya kehehendaki. Dan saya tidak keluar dari pendapat mereka kepada pendapat orang yang lain dari mereka. Adapun apabila telah sampai urusan itu atau telah datang kepada Ibrahim, Asy-Sya‘bi, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Ata‘, Sa‘id dan Abu Hanifah dan menyebut beberapa orang lagi, maka mereka itu orang-orang yang telah berijitihad, karena itu saya pun berijtihad sebagaimana mereka telah berijitihad.
Tak seorang pun boleh mengemukakan pendapat tentang hala atau haram-nya sesuatu kecuali berdasarkan landasan ilmu yang bersumber pada al-Qur’an atau as-Sunnah, ijma‘ dan qiyas
Yang menjadi pokok adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. kalau tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, barulah qiyas kepada keduanya. Kalau sebuah hadis dari Rasulullah sudah sahsanadnya maka itulah Sunnah. Ijma’ lebih besar dari khabar orang serorang. Hadis-hadis itu diartikan menurut zahir lafaznya, tetapi kalau artinya banyak maka yang dekat kepada yang zahir itulah yang pantas. Kalau bersamaan banyak hadis, maka yang paling sahih sanadnya itulah yang didahulukan. Hadis munqati‘ (yang tidak sampai sanadnya kepada Rasullullah) tidak diterima. Kecuali munqati‘ yang dikatakan oleh sahabat Said Ibn al-Musayyab. “al-Asal” tidak diqiyaskan kepada “al-asl, al-asl tidak ditanya “kenapa dan bagaimana”? hal ini boleh ditanyakan kepada cabang (furu) “kenapa”? kalau sudah ada qiyas cabang (furu) kepada pokok (al-asl), maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah
Saya berniat menyalati jenazah ini, jika saja ia sebagai seorang Muslim
Ketika barang hala dan haram berkumpul, maka yang dimenangkan adalah yang haram.
Salatlah atas jenazah temanmu
Pada dasarnya amr itu menunjukkan kepada wajib.
Hukum itu mengikuti pada ada dan tiadanya ‘illat
Jangan sekali-kali engkau menyalatkan jenazah seorang pun dari mereka, dan jangan pula engkau berdiri di kuburannya, mereka telah kafir kepada Allah dan Rasulnya, mereka mati dalam keadaan fasik.
Apabila antara yang mencegah dan yang mengharuskan berlawanan, maka didahulukan yang mencegah
Sesungghunya Allah SWT menyukai orang yang bersih dan suci.
Suatu kewajiban yang pelaksanaannya tergantung pada suatu hal, maka hal tersebut menjadi wajib.
Saya niat untuk salat jenazah jika ia seorang Muslim.
Keharaman itu tidak bisa mengharamkan yang hala
Segerakanlah urusan jenazah, jika ia orang baik, maka itulah orang yang sebaik-baiknya yang kamu segerakan, dan jika ia bukan orang baik, maka itulah orang yang seburuk-buruknya yang kamu buangkan keburukannya dari pundakmu, yaitu memasukkannya keliang kubur.
Lampiran II
BIOGRAFI ‘ULAMAwi (Nawa, Damaskus Oktober 1233-Desember 1277 M)
Adalah seorang syeikh Islam yang banyak menulis buku, ahli hadis, fiqh dan bahasa. Dikenal sebagai mujtahid yang sibuk dengan kegiatan muzakarah, di kenal pula dengan sebutan al-Hafiz Muhy ad-Din an-Nawawi. Nama lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Marri al-Khazami. Ia wafat dalam usia 45 tahun dan tidak menikah sampai akhir hayatnya. Ia sangat tekun dalam mencari ilmu, sampai ia menguasai beberapa disiplin ilmu agama seperti hadis, ilmu hadis, fiqh, dan ushul fiqh, serta bahasa. Ia menulis sejumlah kitab antara lain Syarh hadis ad-Daruqutni, ar-Raudah dan al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab. Dan lain-lain.
As-Sayyid Sabiq (Istanha, Distrik al-Bagur, Propinsi al-Munufiah, Mesir, 1915 M)
Nama lengkapnya as-Sayyid Sabiq Muhammad at-Tihami, adalah ‘ulama kontemporer Mesir yang memiliki reputasi iternasional di bidang dakwah dan fiqh Islam, terutama melalui karya monumentalnya Fiqh as-Sunnah. Beliau lahir dari pasangan Sabiq Muhammad at-Tihami dan Husna Ali Azeb. Sesuai dengan tradisi keluarga Islam di Mesir pada masa itu, beliau menerima pendidikan pertama di kuttab, tempat belajar pertama untuk menulis, membaca dan menghafal al-Qur’an. setelah itu ia memasuki perguruan tinggi al-Azhar. Di al-Azhar ia menyelesaikan tingkat ibtidaiyah dalam waktu lima tahun, sanawiyah lima tahun, fakultas syari‘ah empat tahun dan tahassus (kejuruan) dua tahun dengan memperoleh gelar asy-Syahadah al-‘Alimiyyah, kurang lebih setingkat doktor. Ia banyak menulis buku yang sebagian sudah beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia misalnya Fiqh as-Sunnah, Dakwah al-Islam, Islamuna. Dan lain-lain.
Imam Muslim
Imam Muslim bin Hajjaj lahir pada tahun 202 H. Ia berasal dari suku Qusyairi (Bani Qusyairi) yang merupakan golongan suku Arab di Nisafur (Iran), pada wilayah kota Khurasan, beliau adalah penulis kitab hadis sahih dan tergolong hafiz dan muhaddis yang terkenal. Menurut al-Hafiz Abu ‘Ali an-Nisaburi bahwa tidak ada di bawah kolong langit hadis-hadis yang lebih sahdari hadis sahih muslim, pendapat ini ternyata berbeda dengan pendapat ‘ulama yang menempatkan hadis sahbukhari sebagai hadis yang lebih sahsetelah al-Qur’an. Hal ini dapat dibaca dalam kitab Kasyf az-Zunun yang menyatakan bahwa kitab jami’ sahmuslim adalah kitab kedua setelah hadis al-Bukhari. Imam Muslim selain menulis kitab al-Jami’ as-Sahjuga telah menulis buku-buku lain seperti Al-Musnad Al-Kabir, Al-Jami’ Al-Kabir, Al-Ahwa Al-Muhaddisin dan masih banyak lagi kitab-kitab lainnya. Beliau wafat pada tahun 261 H. Dalam usia 55 tahun.
Hasbi Ash-Shiddieqy
Nama lengkapnya adalah Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada tahun 1904 M/1321 H dan wafat pada tahun 1975 M. Ia termasuk guru besar dalam ilmu hadis, karya-karyanya ada 114 buah, di antaranya: Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Fiqh Islam, Pengantar Ilmu Fiqh, Tafsir al-Bayan, al-Ahkam dan lain sebagainya.

0 Comment