Hukum Umroh Studi Komparasi Antara Mazab Maliki dan Mazhab Syafi’i
Kewajiban dalam melaksanakan ibadah haji merupakan kesepakatan dari 
seluruh ulama dengan memakai dasar dari dalil al-Qur’an, akan tetapi 
berbeda halnya dalam kewajiban ibadah umroh karena tidak adanya 
kepastian mengenai hukumnya didalam al-Qur’an. Mereka terbelah menjadi 
dua kubu, yang pertama Mazhab Maliki yang mensunahkan ibadah umroh dan 
Mazhab Syafi’i yang mewajibkan ibadah umroh. Penyusun melakukan 
penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui apa metode istinbat yang 
digunakan, dalil yang valid sehingga bisa diketahui mana yang lebih 
rajih.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan
 analisis deskriptif-komparatif dengan teknik pengumpulan data melalui 
penelaahan pustaka yang disesuaikan dengan pokok pembahasan. Sedangkan 
dalam menganalisis data yang terkumpul adalah dengan cara 
deduktif,induktif. Adapun pendekatannya melalui ulum al-hadis dan usul 
figh untuk menilai sejauh mana kesahihan hadis yang digunakan dalil 
dalam istinbat hukum dari kedua mazhab diatas dan kaidah-kaidah usul 
yang dipakai dalam metode pentarjihan hukum.
Kesimpulan dari penelitian  ini yaitu pendapat Mazhab Maliki yang 
menyatakan bahwa ibadah umroh itu hukumnya sunah dilaksanakan sekali 
seumur hidup berlandaskan dalil berupa hadis yang diriwayatkan oleh Imam
 at-Tirmizi dari Jabir RA. Hadis tersebut ternyata da’if setelah 
diteliti sanad dan matnnya. Sedangkan Mazhab Syafi’I yang berpendapat 
ibadah umroh wajib dilaksanakan sekali seumur hidup berlandaskan dalil 
berupa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Aisyah 
RA. Hadis ini setelah diteliti sanad dan matn ternyata berkualitas 
sahih, sehingga menurut penyusun pendapat yang lebih rajih adalah 
pendapat Mazhab Syafi’i dengan berlandaskan dalil yang sahih.
Dengan demikian, kata akhir dari penyusun, semoga hasil penelitian yang 
sudah dalam bentuk skripsi, dapat memberikan kontribusi yang cukup 
siknifikan dalam bidang hukum keluarga secara khusus, dan terus 
dikembangkan oleh para kalangan akademisi secara umum.
A. Latar Belakang Masalah
Manusia tidak sekedar sebagai binatang yang berakal. Bukan pula sebuah 
benda mati yang tunduk kepada undang-undang atau kekuasaan, dan bukan 
sebuah mesin yang bergerak di bawah hukum tertentu atau di atas jalan 
yang telah digariskan. Ia adalah akal, hati, keimanan, perasaan, 
ketaatan, kepatuhan dan kecintaan. Dalam semua itu terdapat rahasia 
kekuatan, kecermerlangan, kreasi dan pengorbanannya. Dengan demikian, ia
 dapat mengatasi kesulitan dan mampu membuat hal-hal yang luar biasa. Ia
 berhak memikul amanat Allah yang tidak dapat dipikul oleh langit, bumi,
 dan gunung. Semuanya enggan untuk memikulnya, sehingga dipikul oleh 
manusia, dan sampailah ia kepada sesuatu yang tidak pernah dicapai oleh 
para malaikat, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati.
Hubungan manusia dengan Tuhannya, bukan hanya hubungan yang legal atau 
logis dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya, tunduk di hadapan-Nya
 dan mentaati perintah-perintah serta hukum-hukum-Nya.      Melainkan 
sesuatu yang harus diiringi dan dihubungkan dengan kerinduan dan 
kecintaan.  Seorang Muslim membutuhkan suatu santapan hati dan bekal 
cinta. Ia merasa butuh untuk memenuhi harapannya, dan untuk memuaskan 
rasa dahaganya dari masa ke masa. Ia juga merasa butuh memenuhi 
gelasnya, namun apalah artinya sebuah gelas yang diisi namun tidak 
pernah terpenuhi? Ia pun merasa butuh untuk membanjiri gelas yang 
dipenuhi tapi tidak pernah banjir?
Islam sebagai agama paripurna telah memberikan tuntunan kepada para 
pemeluknya agar melakukan berbagai kewajiban. Islam telah mensyari’atkan
 berbagai bentuk ibadah yang dapat membersihkan jiwa seseorang, 
mengangkat derajat rohani dan jasmaninya serta tidak menyia-nyiakan 
kepentingan manusia untuk memakmurkan dunianya. salah satu bentuk amal 
ibadah bagi orang Islam adalah melaksanakan ibadah ‘umrah.  Dalam hal 
ini, ka’bah dan syi’ar-syi’ar Allah yang ada di sekelilingnya, adalah 
sesuatu yang paling baik untuk merealisasikan keinginannya dan menghibur
 kerinduan serta kecintaannya.
Umat Islam diwajibkan melakukan berbagai ritual, yang adakalanya ritual 
tersebut pernah dilakukan umat-umat sebelumnya. Perintah salat, misalnya
 merupakan bentuk syari’at klasik pada masa Ibrahim AS dan Nabi-nabi 
sebelumnya, bahkan Gereja Kristen Ortodoks hingga kini juga melakukan 
ritual salat yang tidak berbeda jauh dengan umat Islam.
Di antara ritual yang amat menggoreskan kenangan dan magis bagi para 
pelakunya adalah ibadah haji dan ‘umrah. Sesungguhnya ibadah haji dan 
‘umrah adalah menapak tilas leluhur kita, Nabi Ibrahim AS yang 
menginjakkan kaki di kota yang gersang dan tandus, Mekkah al-Mukarramah.
 Rangkaian ibadah haji meliputi ih}ra>m, wuqu>f di ‘Arafah, 
t}awa>f, sa’i, mabit di Muzdalifah dan Mina>, melempah jumrah, 
tahallul, dan dikerjakan secara berurutan.  Sedangkan ibadah ‘umrah 
dilaksanakan sama seperti ibadah haji, minus wuqu>f di ‘Arafah, mabit
 di Muzdalifah dan Mina>, serta melempar jumrah. Ibadah ‘umrah juga 
dapat dilakukan sewaktu-waktu, berbeda dengan ibadah haji yang telah 
ditentukan waktunya.
Dilihat dari aspek moral spiritualnya, ibadah ini merupakan puncak 
taqarrub ilahiyah (upaya pendekatan diri kepada Allah). Sedang dilihat 
dari aspek sosial edukatifnya ibadah ini merupakan upaya pendekatan 
kemanusiaan. Dengan demikian, di dalam pelaksanaannya nilai-nilai moral 
berpadu dengan nilai-nilai sosial. Di samping itu juga diorientasikan 
untuk menghayati perjuangan Nabi Ibrahim AS dalam meletakkan monumen 
ajaran tauhid (keesaan Tuhan), sesuatu yang kemudian secara serius juga 
diperjuangkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Menurut pendapat jumhur ulama’, ibadah haji disyari’atkan pada tahun 6 
H. Namun, menurut Ibnul-Qayyim ibadah haji disyari’atkan pada tahun 9/10
 H.  Karena pada tahun itu, kaum muslimin di Madinah dan di seluruh 
tanah Arab menunaikan ibadah haji ke Mekkah yang telah bersih dari 
berhala-berhala.  Dalam pada itu, tidak seorang ulama’ pun yang berbeda 
pendapat tentang hukum haji. Kesemuanya tanpa kecuali sepakat, bahwa 
ibadah haji wajib dikerjakan oleh orang Islam yang mampu. Siapa yang 
mengingkarinya, berarti ia telah kafir.  Dalil kewajiban haji adalah 
firman Allah SWT:
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا
وأتموا الحج والعمرة لله
Sementara itu, para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum ‘umrah, apakah
 ‘umrah itu wajib atau sunnah hukumnya. Mereka terbelah ke dalam dua 
kubu. Kubu pertama, yaitu golongan ulama’ yang mewajibkan ‘umrah adalah 
ulama’ Sya>fi’iyyah   dan Hana>bilah. Pendapat ini juga sejalan 
dengan ‘Umar, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abba>s, dan Ja>bir bin ‘Abdullah 
dari kalangan sahabat, Sa’i>d bin Jubai>r dan Sa’i>d bin 
al-Musayyab dari kalangan tabi’in. Kubu kedua, yaitu golongan ulama’ 
yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah adalah ulama’ Ma>liki>yyah
 dan Hana>fi>yyah. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu 
Mas’u>d dari kalangan sahabat.
Kedua pendapat yang berbeda ini tentu amat bertentangan secara 
diametral. Pendapat yang mewajibkan ‘umrah, mengharuskan seorang muslim 
agar mengerjakannya tatkala ia telah mempunyai kemampuan fisik dan 
finansial, dan  apabila ia tidak mengerjakannya, maka ia berdosa. Sedang
 pendapat yang menyatakan ‘umrah itu sunnah, hanya menganjurkan dengan 
sangat seorang muslim agar mengerjakan ‘umrah, tanpa dikenai sanksi 
dosa.
Menilik dari kedua implikasi di atas, kiranya perbedaan pendapat tentang
 hukum umrah menarik untuk diperbandingkan. Dalam skripsi ini, akan 
diperbandingkan antara pendapat maz\hab Sya>>fi’i dan maz\hab 
Ma>liki. Maz\hab Sya>fi’i dipilih karena maz\hab inilah yang 
berkembang luas dan dianut hampir seluruh rakyat Indonesia. Sedang, 
maz\hab Ma>liki dipilih karena Ima>m asy-Sya>fi’i, sebagai 
pendiri maz|hab Sya>fi’i pernah berguru dan menimba ilmu dari 
Ima>m Ma>lik.
B. Pokok Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, 
dapat ditarik beberapa permasalahan yang perlu dibahas yaitu:
1. Bagaimanakah istinba>t} yang dikemukakan maz\hab Sya>fi’i dan maz\hab Ma>liki mengenai hukum ‘umrah?
2. Bagaimanakah validitas dalil yang digunakan oleh kedua maz\hab tersebut mengenai masalah di atas?
3. Manakah di antara kedua pendapat di atas yang ra>jih?
C. Tujuan dan Kegunaan
Skripsi ini diharapkan mampu memberikan jawaban bagi pokok masalah yang 
telah dipaparkan. Untuk lebih jelasnya, tujuan pembahasan ini adalah:
1. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai istinba>t hukum ‘umrah.
2. Untuk menjelaskan akurat-tidaknya dalil yang digunakan oleh kedua maz\hab tersebut.
3. Untuk mendapatkan pendapat yang ra>>jih antara kedua pendapat yang bertentangan ini.
Sementara, kegunaan dari pembahasan skripsi ini adalah:
1. Diharapkan berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam disiplin ilmu syari’ah, khususnya ilmu fiqh ibadah komparatif.
2. Diharapkan dapat memperluas cakrawala pemikiran fiqh ibadah dan menambah perbendaharaan informasi pengetahuan hukum Islam.
D. Telaah Pustaka
Sebelum menganalisa lebih lanjut, penyusun akan menela’ah karya-karya 
yang membahas seputar masalah ini. Salah satu rujukan penting dalam fiqh
 perbandingan, yaitu Bida>yah al-Mujtahid buah karya Ibn Rusyd secara
 sepintas membahas hukum ‘umrah. Beliau menerangkan adanya perbedaan 
pendapat antara kubu ulama’ yang menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib, dan 
kubu ulama’ yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah. Selain itu, 
diterangkan pula dalil-dalil apa saja yang menjadi landasan kedua kubu 
ulama tersebut. Sebab terjadinya pendapat ialah adanya perlawanan 
hadis-hadis dalam soal ini, serta tentang perintah menyempurnakan apakah
 berarti wajib atau tidak.Akan tetapi, Ibn Rusyd hanya memaparkan 
perbedaan pendapat ini, tidak sampai menerangkan mana pendapat yang 
rajih.
‘Abd ar-Rahman al-Jaziri dalam karyanya kitab al-Fiqh ‘ala al-Maz\ahib 
al-‘Arba’ah  juga menerangkan perbedaan pendapat tentang hukum ‘umrah 
ini. Beliau juga tidak lupa menerangkan secara ringkas dalil-dalil kedua
 golongan ulama’ itu. Menurut penyusun, Dalam kitab ini hanya dijelaskan
 bahwa suatu pekerjaan yang diwajibkan dalam haji juga diwajibkan dalam 
umroh, begitu juga pekerjaan yang disunnahkan dalam haji disunnahkan 
pula dalam umroh. Tetapi beliau agaknya cenderung pada pendapat yang 
menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib karena menempatkan pembahasan ulama 
yang mewajibkan ‘umrah di atas garis.
M. ‘Ali> as}-S{a>bu>ni> dalam karyanya, Rawa>i’ 
al-Baya>n: Tafsi>r At al-Ah}ka>m secara sepintas menyinggung 
tentang hukum ‘umrah. Beliau hanya menjelaskan perbedaan pendapat antara
 ulama Sya>fi’iyyah dan Hana>bilah dengan ulama’ Ma>likiyyah 
dan Hana>fiyyah dan menyertakan  alasan berdasarkan dalil saja. . 
Beliau, dengan mengutip ucapan asy-Syauka>ni> lebih memilih 
pendapat yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah.
Ima>m an-Nawa>wi, sebagai ulama’ Sya>fi’iyyah juga menerangkan 
perbedaan pendapat tentang hukum ‘umrah ini. Beliau menjelaskan bahwa 
Ima>m asy-Sya>fi’i, dalam qaul qadimnya menyatakan bahwa ‘umrah 
itu sunnah, dan dalam qaul jadidnya, ‘umrah itu wajib. Beliau juga 
secara sepintas membahas dalil ulama lain yang menyatakan bahwa ‘umrah 
itu sunnah.
Ibn Quda>mah al-Maqdisi> dalam kitabnya, asy-Syarh al-Kabi>r  
menerangkan adanya perbedaan pendapat antara segolongan ulama’ yang 
menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib dan segolongan ulama’ yang menyatakan 
bahwa ‘umrah itu sunnah. Beliau juga tidak lupa menjelaskan dalil-dalil 
yang dijadikan pegangan masing-masing golongan tersebut. Namun, beliau 
sebagai ulama’ Hana>bilah jelas memilih pendapat yang menyatakan 
bahwa ‘umrah itu wajib.
Sejauh penelusuran penyusun, belum ada skripsi yang membahas mengenai hukum umrah pada umumnya.
E. Kerangka Teoritik
Kajian tentang hukum ‘umrah, apakah wajib atau sunnah tentu tidak 
terlepas dari kajian tentang dali>>l atau sumber hukum sebagai 
dasar tempat bertolak dalam melakukan penggalian hukum istinba>t al 
ahka>m. Tanpa lebih dahulu mengkaji dali>>l atau sumber 
hukumnya, kajian untuk menguaknya akan menjadi tidak utuh.
Para ulama membagi da>lil atau sumber hukum atas dua bentuk. Pertama,
 da>lil-da>lil yang disepakati keabsahannya, dan kedua, 
da>lil-da>lil yang tidak disepakati keabsahannya. Empat da>lil 
atau sumber hukum yang disepakati adalah al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan
 Qiyas. Para ulama juga bersepakat bahwa istidla>l (proses pencarian 
sebuah dalil hukum) mengikuti hirarki di atas, yakni apabila ada suatu 
peristiwa atau kasus, maka seseorang yang ingin mengetahui hukumnya 
harus merujuk terlebih dahulu pada al-Qur’an. Apabila ia menemukannya, 
ia harus mengambil dan melaksanakannya. Bila ia tidak menemukannya, ia 
beralih ke as-Sunnah. Demikian pula, bila ia tidak menemukannya, ia akan
 menoleh ijma’ tentang kasus tersebut. Dan terakhir kali, bila ia tidak 
menemukannya, ia akan berijtihad menggunakan Qiyas.
Dalam hukum melaksanakan ibadah Haji semua ulama’ sepakat bahwa ibadah 
Haji wajib dikerjakan oleh orang Islam yang mampu sekali seumur hidup. 
Dalil kewajiban haji dalam firman Allah SWT :
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا
وأتموا الحج والعمرة لله
Akan tetapi para fuqaha berbeda pendapat dalam hal kewajiban umrah. 
Dalam kajian ini, maz\hab Ma>liki mengatakan bahwa ‘umrah itu sunnah,
 dengan mengetengahkan dali>l h}adis\ berupa tanya jawab tentang 
hukum ‘umrah, yang kemudian dijawab Nabi bahwa hukumnya tidak wajib. 
H{{adis ini diriwayatkan oleh Ima>m at-Tirmi>zi>, yang 
selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن عبد الأعلى الصنعاني حدثنا عمر بن علي عن الحجاج عن محمد بن 
المنكدر عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن العمرة أواجبة هي؟ قال
 لا وأن تعتمروا هو أفضل
Sedangkan maz\hab Sya>fi’i yang menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib 
mengemukakan dali>l h}adis\, mengenai pertanyaan ‘Am Ahmad bin 
Hanba>l, yang selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن فضيل قال ثنا حبيب بن أبي عمرة عن عائشة ابنة طلحة عن عائشة 
قالت قلت يا رسول الله هل على النساء من جهاد ؟ قال نعم عليهن جهاد لا قتال
 فيه الحج والعمرة
Berbeda dengan al-Qur’an yang semuanya otentik dari Allah, kebenaran 
suatu h}adis\ Nabi tergantung pada kebenaran berita yang disampaikan 
pembawa berita tentang h}adis\.  Suatu h}adis\ bila berkualitas 
s}ah}i>h} dan atau h}asan, maka wajib diamalkan berdasarkan 
kesepakatan para pakar h}adis, ulama-ulama usu>li> terpercaya dan 
para fuqaha>’.  Sedangkan apabila h}adis\ itu berkualitas d}a’i>f,
 maka tidak dapat dijadikan hujjah.
Sebuah h}adis\ untuk dapat dikatakan berkualitas s}ah}i>h} harus 
memenuhi beberapa kriteria tertentu, yakni (1) Rangkaian sanad sejak 
Ima>m pentakhrij h}adis\ hingga sahabat harus bersambung. (2) Para 
perawi yang menuturkan h}adis\ itu merupakan orang-orang yang adil. (3) 
Para perawi yang menuturkan h}adis\ itu merupakan orang-orang yang 
sempurna hafalannya (tama>m ad}-d}abt}). (4) H{adis\ itu tidak 
sya>z\. (5) H{adis itu tidak ber’illat.
Sedangkan kriteria h}adis\ h}asan sama seperti h}adis\ s}ah}i>h}, 
hanya saja kekuatan hafalan para perawinya di bawah para perawi h}adis\ 
s}ah}i>h}.  Sementara itu, suatu h}adis\ dikatakan d}a’i>f apabila
 tidak memenuhi kriteria-kriteria h}adis\ s}ah}i>h} dan h}asan. Hal 
ini adakalanya karena kredibilitas perawinya yang kurang adil atau 
karena terjadi keterputusan dalam sanadnya,  atau pun sebab lainnya. 
H{adis\ d}a’i>f, di antaranya h}adis maqlu>b, mud}t}arib, mursal, 
munqat}i’, mu’d}al, munkar dan lain-lain.
Dengan demikian, untuk mengetahui kualitas suatu h}adis\, harus 
dilakukan penelitian tentang para perawinya serta ditelusuri apakah 
h}adis\ itu sya>z\ dan atau ber’illat atau tidak.
Untuk menyelesaikan pertentangan dari dua dalil tersebut sebagai langkah
 awal, adalah dengan menggunakan  al-jam´u wa at-taufiq, yakni dengan 
mengumpulkan dalil yang bertentangan itu, kemudian mengkompromikannya 
sesuai dengan syarat-syarat yang bertentangan. Bila solusi tersebut tak 
terselesaikan, maka dilakukan langkah lain, yaitu dengan na>sikh 
mansu>kh dengan membatalkan salah satunya. Dan alternatif terakhir 
yaitu tarji>h (mengunggulkan salah satunya) atau dengan tawaqquf 
(menangguhkan pengamalan keduanya hingga nampak dalil yang lebih kuat). 
Dalam masalah ini, metode yang diterapkan pada perbenturan dua dalil di
 atas adalah metode tarji>h, sebab pada salah satu dua dalil tersebut
 terdapat indikasi yang lebih menguatkan daripada yang lain, sehingga 
tidak memungkinkan diterapkannya metode al-jam´u wa at-taufiq, 
na>sikh mansu>kh dan apalagi tawaqquf.
Metode tarji>h yang digunakan untuk menyelesaikan pertentangan dalil 
(Ta`’a>rud} al-Adilah) di atas adalah tarji>h ba`in 
an-nus}u>s}.  Dalam hal ini, penyusun akan menggunakan pendekatan 
melalui ‘ulu>m al-h}adis\ dan us}u>l al-fiqh. Pendekatan melalui 
‘ulu>m al-h}adis\ dapat dilakukan dengan melihat beberapa aspek, 
yakni tarjih dengan melihat turunnya riwayat, cara periwayatan, usia 
perawi ketika meriwayatkan, penunjukan lafal (dengan memperhitungkan 
lafal yang ada dalam teks), kandungan matn atau teks yang diriwayatkan 
sebagai perantara hukum serta faktor-faktor lain yang mendukung dalil 
tersebut.  Dalam hal ini, penulis akan mengunakan kaidah-kaidah tarjih 
yang berkenaan dengan hal-hal yang menjadi tolak ukur pembedaan dua 
dalil di atas, sehingga mampu menggambarkan perbandingan, yang 
selanjutnya dapat diambil suatu kesimpulan mana yang paling kuat 
(ra>jih}) dari kedua pendapat tersebut. Kaidah-kaidah itu adalah 
sebagai berikut:
1. Dari segi sanad
a. Menurut jumhur ulama, dapat dilakukan dari sisi kuantitas para 
perawi, yaitu menguatkan h}adis\ yang sanadnya lebih banyak daripada 
h}adis\ yang bersanad relatif sedikit, karena kemungkinan terjadinya 
kesalahan dalam satu riwayat yang diriwayatkan oleh banyak perawi sangat
 kecil.
b. H{adi>s\ yang perawinya lebih kuat ingatannya (d}a>bit}), lebih
 kuat agamanya, lebih bisa dipercaya (s\iqah), dan lebih taqwa ditarjih 
daripada h}adis\ yang tidak diriwayatkan oleh perawi h}adis\ lain yang 
tidak demikian.
c. Men-tarjih h}adis\ yang diterima dan dipelihara seorang perawi 
melalui hafalannya daripada h}adis\ yang diterima dan dipelihara hanya 
melalui tulisan.
d. Men-tarjih h}adis\ sahabat yang mengalami sendiri peristiwa daripada h}adis\ riwayat sahabat yang tidak mengalaminya.
e. Men-tarjih h}adis\ riwayat orang yang menerimanya secara langsung 
daripada h}adis\ yang diriwayatkan seseorang yang menerimanya melalui 
perantara.
f. Men-tarjih h}adis\ riwayat orang yang menyebutkan sabab al-wurud-nya atas h}adis\ riwayat orang yang tidak menyebutkannya.
g. Men-tarjih h}adis\ riwayat yang keadilan perawinya diketahui melalui 
pernyataan banyak orang, praktek dalam kehidupan sehari-hari dan perawi 
yang mengamalkan h}adis\ yang diriwayatkan daripada yang tidak demikian.
2. Dari segi matan
a. Teks umum yang belum dikhususkan lebih didahulukan daripada teks umum yang telah dikhususkan.
b. Teks yang mengandung larangan lebih didahulukan daripada teks yang mengandung perintah.
c. Teks yang mengandung perintah didahulukan daripada teks yang menunjukkan kebolehannya saja.
d. Makna hakekat dari suatu lafal lebih didahulukan daripada makna majaznya.
e. Teks yang sifatnya perkataan lebih didahulukan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
f. Teks yang muhkam lebih didahulukan daripada teks yang mufassar, karena lebih pasti.
g. Teks yang s}ari>h (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat kina>yah (sindiran).
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian adalah suatu cara bertindak menurut sistem aturan atau
 tatanan yang bertujuan agar kegiatan praktis terlaksana secara rasional
 dan terarah sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal dan optimal.
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (Library research) yaitu 
penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelusuri dan menela’ah 
literatur atau penelitian yang difokuskan pada bahan-bahan pustaka.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini berdasarkan analisis deskriptif-komparatif yaitu 
pemaparan apa adanya terhadap apa yang dimaksud oleh suatu teks dengan 
cara memparafrasekan dengan bahasa penyusun. Sehingga dari penelitian 
tersebut dapat menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat 
mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat dari obyek kajian tersebut. Di 
samping itu, penelitian ini juga bersifat komparatif,   yakni 
membandingkan antara pendapat maz\hab Sya>fi’i dan maz\hab Ma>liki
 tentang hukum ‘umrah.
3. Sumber Data
Data-data yang penyusun kumpulkan terdiri dari dua kategori yaitu:
a) Data primer, berupa kitab al-Umm, al-Muwatta’, kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib, Bida>yah al-Mujtahid.
b) Data sekunder berupa kitab-kitab yang membahas tentang fiqh ibadah 
ditambah buku-buku lain yang berkaitan dengan masalah ini. Sedangkan 
mengenai kita>b h}adis\, akan digunakan kita>b-kita>b h}adis\ 
yang dikenal dengan nama al-kutub at-tis’ah.
Setelah pengumpulan bahan kepustakaan, kemudian dilakukan peninjauan 
data dan diklasifikasikan untuk mempermudah langkah analisis dengan 
menempatkan masing-masing data sesuai sistematika yang telah 
direncanakan.
4. Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah:
a) Deduktif, yaitu metode penarikan kesimpulan yang diawali dari 
pernyataan yang bersifat umum menuju pernyataan yang bersifat khusus 
dengan menggunakan penalaran (berpikir rasional).
b) Induktif, yaitu kerangka berpikir yang didahului oleh fakta-fakta 
secara khusus atau peristiwa-peristiwa yang kongkret, kemudian ditarik 
ke hal-hal yang umum.
5.   Pendekatan Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun menggunakan pendekatan ulu>m 
al-h}adis dan us}u>l fiqh untuk menilai sejauh mana kesahi>han 
h}adis yang digunakan dali>l dalam istinba>t hukum kedua maz\hab 
di atas dan kaidah-kaidah us}u>l yang dipakai dalam metode 
pen-tarjihan hukum.
G. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini terdiri dari lima bab, yang terdiri atas satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan materi dan satu bab penutup.
Bab pertama adalah pendahuluan yang dirinci atas beberapa anak bab, 
yakni: latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan 
penelitian, tela’ah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan 
sistematika pembahasan. Pada dasarnya bab ini tidak termasuk dalam 
materi kajian, tetapi lebih ditekankan pada pertanggungjawaban ilmiah.
Pada bab kedua berisi tinjauan umum tentang ‘umrah yang dirinci dalam 
beberapa anak bab berupa pengertian, syarat-syarat dan waktu, serta 
rukun-rukun ‘umrah.
Pada bab ketiga, penyusun akan melihat riwayat kehidupan pendiri maz\hab
 mali>ki dan Sya>fi’i. Untuk itu, dalam bab ini dikemukakan 
riwayat kehidupan kedua ulama’ ini. Dan tidak lupa, dipaparkan pendapat 
kedua maz\hab ini beserta dali>l berupa h}adis\.
Pada bab keempat, penyusun mengkomparasikan pemikiran kedua maz\hab di 
atas serta melacak kesahi>han dali>l h}adis\ kedua maz\hab 
tersebut dan melakukan tarjih.
Akhirnya pada bab kelima, yakni penutup, penyusun mengemukakan 
kesimpulan umum dari kajian skripsi secara keseluruhan. Hal ini terutama
 dimaksudkan sebagai penegasan jawaban permasalahan yang telah 
dikemukakan, kemudian penyusun melengkapinya dengan daftar pustaka.
TINJAUAN UMUM
Pengertian ‘Umrah
Dipandang dari sisi bahasa, ‘umrah berarti ziarah. Disebut demikian 
karena di dalamnya terdapat unsur menziarahi rasa kasih sayang. Diambil 
dari kata i’timar, dikatakan “I’timara fahuwa mu’tamir yaitu zara.”
Menurut pengertian syara’, ‘umrah ialah berziarah ke Baitullah al-Haram 
dengan melakukan t}awa>f, sa’i> antara s}afa> dan marwah, serta
 bercukur atau menggunting rambut.
‘Umrah dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. ‘Umrah yang terpisah dari haji (mufradah). Waktunya sepanjang tahun, 
menurut kesepakatan semua ulama maz\hab. Namun waktu yang paling utama  
menurut Imamiyah adalah bulan Rajab. Sedangkan menurut maz\hab lain, 
adalah pada bulan Ramad}a>n.
2. ‘Umrah yang terpadu atau bersama haji (‘Umrah Tamattu’). Orang yang 
beribadah haji harus melaksanakan ‘umrah terlebih dahulu, kemudian 
melakukan amalan-amalan haji pada satu kali perjalanan, sebagaimana yang
 dilakukan oleh para jama’ah haji yang datang dari berbagai negara yang 
jauh dari Makkah al-Mukarramah. Waktunya adalah bulan-bulan haji, yaitu:
 Syawwa>l, Z|ulqa’dah, Dan Z||ulh}ijjah, menurut kesepakatan ulama 
maz\hab. Namun mereka berbeda pendapat tentang bulan Z||ulh}ijjah: 
apakah satu bulan penuh termasuk bulan haji, atau sepertiga pertama? 
Menurut orang yang mengatakan bahwa ‘umrah itu wajib, gugurlah kewajiban
 itu bila telah melakukan ‘umrah yang bersama atau terpadu dengan haji.
Sayyid Al-Khui memberikan penjelasan tentang perbedaan antara ‘umrah 
mufradah (terpisah dari haji) dengan ‘umrah tamattu’ (bersama haji) 
dengan beberapa hal di bawah ini:
1. T{awa>f seorang wanita pada ‘umrah mufradah (terpisah dari haji) 
hukumnya wajib dikerjakan, tetapi tidak wajib dalam ‘umrah tamattu’ 
(‘umrah bersama haji).
2. Waktu ‘umrah tamattu’ (bersama haji) dimulai dari awal bulan 
Syawwa>l sampai pada hari kesembilan bulan Z|ulh}ijjah. Sedangkan 
waktu ‘umrah mufradah (‘umrah yang terpisah dari haji) adalah sepanjang 
tahun.
3. Orang yang melakukan ‘umrah tamattu’ (‘umrah bersama haji) hanya 
dibolehkan memendekkan rambutnya saja. Sedangkan orang yang melakukan 
‘umrah mufradah (berpisah dari haji) boleh memilih antara memendekkan 
atau mencukur rambutnya.
4. ‘Umrah tamatttu’ dan haji terjadi sekali dalam satu tahun tetapi kalau ‘umrah mufradah tidak.
Dalam buku ad-Di>n wa al-H{ajj ‘ala Maz\ahib al-Arba’ah karya 
al-Kara>rah dijelaskan bahwa Ima>m Ma>lik dan Ima>m 
asy-Sya>fi’i> mengatakan bahwa  orang yang melakukan ‘umrah 
mufradah dihalalkan melakukan apa saja, sampai bergaul dengan istrinya 
kalau dia telah bercukur atau memendekkan rambutnya, baik telah membayar
 (memberikan) kurban atau belum.
Syarat-Syarat dan Waktu ‘Umrah
Fuqaha’ telah sepakat di dalam menetapkan beberapa syarat bagi ibadah 
haji dan ‘umrah, di mana pelaksanaanya menjadi tidak wajib kalau salah 
satu dari syaratnya tidak ada.
Yang dimaksud dengan syarat-syarat tersebut adalah: 1). Beragama Islam. 
2). ‘Alig (dewasa). 4). Merdeka. 5), Istit}a>’ah (mampu). Beberapa 
syarat di atas telah menjadi kesepakatan para fuqaha.
Persyaratan-persyaratan ini, lebih jelasnya akan diterangkan satu persatu sebagai berikut:
1. Beragama Islam
Syarat pertama ini merupakan syarat mutlak bagi orang yang akan 
melaksanakan ibadah haji dan ‘umrah menurut maz\hab H{ana>fi, 
Sya>fi’i> dan H{anbali>. Sementara itu, menurut maz\hab 
Ma>liki, Islam adalah syarat sah, bukan syarat wajib. Karena itu, 
orang kafir tetap mempunyai (dikenai) kewajiban ini, namun hajinya tidak
 sah. Hal ini berhubungan  dengan hukum duniawi. Adapun mengenai urusan 
akhiratnya, maka ada perbedaan pendapat dari ulama fiqih. Apakah di 
akhirat kelak, (orang-orang kafir) akan disiksa karena tidak 
melaksanakan kewajiban ‘umrah atau tidak? Perbedaan seperti ini dapat 
dilihat dalam taklif syariat.  Adapun orang yang murtad, menurut maz\hab
 H{ana>fi> dan H{anbali>, ia tidak wajib (sunnah) melakukan 
ibadah ’umrah. Sedangkan menurut maz\hab Sya>fi’i, ibadah ‘umrah 
tetap diwajibkan atas orang murtad yang mampu, namun tidak sah hingga ia
 memeluk Islam kembali.
2. ‘Aqi>l
Orang yang tidak berakal seperti gila, ayan atau idiot tidak wajib 
‘umrah, kecuali ia sembuh dari penyakit itu. Dan seandainya ia tetap 
melaksanakan (‘umrah) dalam keadaan gila, maka ‘umrahnya tidak sah.
3. Ba>lig
Anak kecil (di bawah usia) tidak wajib ‘umrah, akan tetapi, kalau ia 
ber’umrah, maka ‘umrahnya dingggap sah, tetapi dikategorikan (dihukumi) 
sebagai ‘umrah sunnah.
4. Merdeka
Yang dimaksud dengan  merdeka di sini ialah bukan budak belian, hamba 
sahaya, yang terikat dengan tugas kewajiban yang dibebankan oleh 
tuannya. Sedangkan untuk ibadah ‘umrah ini, sangat memerlukan waktu yang
 lama. Di samping itu pula, sudah barang tentu budak tersebut tidak 
mempunyai biaya untuk ongkos haji, karena dia di bawah kekuasaan orang 
lain.
Pengertian budak dalam dunia Islam ialah para tawanan dalam peperangan 
antara muslim (jiha>d fi> sabililla>h) melawan musuh non Islam.
 Kemudian ada informasi mengatakan bahwa tawanan Islam diperbudak oleh 
musuh (non Islam). Maka tawanan musuh yang berada di tangan muslim 
berhak pula dibuat sebagai budak, boleh diperjual-belikan. Jadi dengan 
syarat, di pihak musuh terlebih dahulu memperbudak tawanan muslim yang 
berada di tangan mereka. Dengan demikian, andaikata ada perbudakan 
dewasa ini, maka tidak sesuai lagi dengan persyaratan tersebut. Berarti 
dewasa ini, dunia Islam tidak mengenal lagi perbudakan..
5. Mampu
Mampu artinya tidak wajib berhaji bagi orang yang tidak mampu. Dan kalau
 pun ia berhaji, maka hajinya sah. Hal ini selaras dengan firman Allah:
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا
Mengingat karena banyaknya kesukaran-kesukaran untuk pergi ke Baitullah,
 banyak hal yang menyangkut dalam kategori orang yang dianggap mampu 
atau kuasa untuk pergi melaksanakan ibadah ‘umrah. Mampu di sini  
meliputi dua hal: pertama, yang di dalamnya terkait laki-laki, 
perempuan, dan kedua, khusus wanita.
a. Yang di dalamnya terkait laki-laki dan perempuan, antara lain:
1) Mampu bekal dan kendaraan
Menurut Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah kemampuan atas bekal dan 
kendaraan ini dengan catatan ada bekal berlebih untuk menutupi hutang, 
kebutuhan pangan, sandang, papan, kendaraan yang biasa dipakai, 
alat-alat kerja serta untuk memenuhi kebutuhan nafkah wajib selama ia 
pergi. Sedangkan, menurut Malikiyyah, kemampuan di sini adalah 
kemungkinan secara fisik sampai ke Mekkah dan tempat-tempat ibadah, baik
 dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan. Hal ini juga dengan 
catatan, orang yang akan beribadah itu tidak terlalu terkena kesukaran 
yang berat.
2) Kesehatan badan atau jasmani
Untuk menunaikan ibadah haji diperlukan adanya kesehatan jasmani. 
Mengenai kesehatan badan atau jasmani ini, ulama berbeda pendapat, 
apakah termasuk syarat wajib atau bukan?
H{ana>fiyyah dan Ma>likiyyah tetap menganggap syarat wajib ‘umrah 
artinya tanpa kesehatan, maka ‘umrah tidak wajib dilaksanakan juga tidak
 perlu mewakilkan pelaksanaannya kepada orang lain dan atau mewasiatkan 
(kepada anaknya) untuk di’umrahkan.
Pendapat Sya>fiiyyah dan H{ana>bilah menyatakan bahwa kesehatan 
badan atau jasmani tidak termasuk syarat wajibnya haji. Mereka bersandar
 pada h}adi>s\ Nabi SAW, yang mengatakan: kemampuan berhaji ialah 
kalau seseorang telah memiliki bekal dan kendaraan, tidak termasuk di 
dalamnya kesehatan badan atau jasmani.
3) Perjalanan yang aman
Ima>m asy-Sya>fi’i, Ima>m Hanafi, dan Ima>m Ah}mad bin 
H{anbal sepakat mengatakan, bahwa amannya perjalanan termasuk syarat 
wajib melaksakan haji dan ‘umrah. Karena arti mampu, termasuk di 
dalamnya.
Sedang Ima>m yang lain mengatakan, bukan termasuk syarat wajib melainkan syarat yang tidak mutlak dan mengandung nilai wajib.
b. khusus bagi perempuan.
Seorang perempuan hendaklah ketika berangkat haji, bersama-sama dengan 
muhrimnya. Menurut Ima>m asy-Sya>fi’i, bahwa yang disyaratkan yang
 menjadi mahram itu adalah suaminya, atau dengan perempuan lain yang 
dipercaya bisa menjamin keamanan seorang perempuan dalam perjalanan 
pulang pergi. Menurut jumhur ulama, seorang suami tidak boleh melarang 
istrinya untuk melaksanakan ‘umrah (yang fard}u), baik diizinkan atau 
tidak ia pun boleh pergi berhaji tanpa izin suaminya. Sedang Ima>m 
Abu Hanifah dan Ima>m Ahmad sependapat atas disyaratkannya mahram 
dalam hal ini, bahkan kalau tidak ada mahram, maka wanita itu tidak 
haji, tetapi ia mewakilkan hajinya itu kepada orang lain. Sebab, ia 
dikategorikan sebagai orang yang lemah atau sakit dan tidak dapat 
melaksanakan ibadah haji secara sempurna.
Mengenai kapan ‘umrah dapat dilaksanakan? ‘Umrah dapat dilaksanakan di 
seluruh hari dalam setahun. Dan pada bulan Ramad}a>n, disunahkan 
berdasar pada sabda Nabi SAW:
فإذا جاء رمضان فاعتمري فإن عمرة فيه تعدل حجة
Menurut pandangan maz\hab H{ana>fi>, dimakruhkan (makru>h 
tah}ri>m) melakukan ‘umrah pada hari ‘Arafah dan empat hari 
sesudahnya, sehingga siapa yang melakukan ‘umrah pada hari-hari itu, 
diwajibkan membayar denda. Disebabkan hari-hari itu merupakan hari yang 
teramat sibuk dengan pelaksanaan haji, dan ‘umrah pada saat itu juga 
menyibukkan sesorang dari konsentrasi haji yang dapat saja mengakibatkan
 terjadinya cacat. Untuk itulah ia dimakruhkan. Sementara maz\hab 
Sya>fi’i> berpendapat bahwa sepanjang tahun merupakan waktu yang 
disediakan unuk ihram ‘umrah dan seluruh aktifitasnya tanpa terkecuali.
C. Rukun ‘Umrah
Rukun merupakan suatu perbuatan yang mesti dikerjakan (tidak dapat 
tidak), karena kalau ditinggalkan, maka ibadah ‘umrah tersebut tidak 
sah.
Menurut maz\hab Ma>liki dan H{anbali>, rukun ‘umrah adalah 
ih{ra>m, t}awa>f dan sa’i> antara s}afa> dan Marwah. Sedang 
menurut maz\hab H{ana>fi>, rukun ‘umrah hanya satu, yaitu 
t}awa>f sebanyak empat kali putaran. Adapun menurut maz\hab 
Sya>fi’i rukun ‘umrah ada 5 yaitu; ih}ra>m disertai niat, 
t}awa>f di Baitullah, sa’i> antara S{afa> dan Marwah, Bercukur 
untuk tah{allul, dan Tertib.
Berikut penjelasan tentang rukun ‘umrah:
1. Ih}ra>m
Ih}ra>m menurut maz\hab H{ana>fi> merupakan syarat ‘umrah, 
sedangkan menurut maz\\hab Ma>liki, Sya>fi’i dan H{anba>li> 
merupakan rukun. Ih}ra>m adalah niat seseorang untuk melakukan ibadah
 haji atau ‘umrah. Menurut maz\hab H{ana>fi>, ih}ra>m harus 
disertai dengan niat dan talbiah atau perbuatan yang mewakili talbiah, 
bisa berupa zikir apa saja atau menggiring hewan kurban. Sedang menurut 
maz\hab Ma>liki>, Sya>fi’i dan H{anba>li>, ih}ram harus 
disertai dengan niat, dan tidak diharuskan dengan pembacaan talbiah atau
 pun menggiring hewan kurban.  Pelaksanaan ih}ra>m untuk ‘umrah 
seperti pelaksanaan ihram untuk haji, hanya saja orang yang ber’umrah 
mengatakan:
Tuhanku, aku hendak melaksanakan ‘umrah, mudahkanlah aku dan terimalah 
‘umrah yang aku lakukan, sesungguhnya engkau Maha Mendengar dan Maha 
Mengetahui.
Selain mengucapkan talbiyah, disunnahkan juga bagi orang yang 
berih}ra>m untuk ‘umrah apa yang disunahkan pada orang yang 
berih}ra>m untuk haji. Begitu pula larangan ihram untuk haji dilarang
 pula dalam ihram untuk ‘umrah.  Untuk memulai ih}ra>m, seseorang 
harus memulainya dari miqat makani. Miqat makani ini berbeda-beda 
tergantung dari arah orang itu datang. Miqat penduduk Mesir, Syam 
(Suriah, Lebanon, Palestina dan Yordania), Maroko, Spanyol, Turki adalah
 Juhfah, sebuah desa antara Mekkah dan Madinah. Sedangkan miqat penduduk
 Irak dan masyriq adalah Z\|atu ‘Irqin. Sementara, miqat penduduk 
Madinah adalah Z|u al-H{ulaifah. Dan miqat penduduk Yaman dan 
orang–orang yang melalui jalan mereka adalah Yalamlam.
Dalam pada itu, seseorang yang sudah ih}ra>m, baik untuk haji maupun umrah dilarang melakukan beberapa hal, yaitu:
1. Larangan yang khusus bagi pria, yaitu:
a. Memakai pakaian berjahit, seperti celana, baju, jubah dan kain sarung.
b. Memakai tutup kepala, seperti topi, serban dan sebagainya, tetapi 
tidak dilarang memakai payung atau berteduh di bawah pohon dan lainnya.
c. Memakai sepatu yang menutupi dua mata kaki, tetapi dibolehkan memakai terompah.
Larangan tersebut diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam h}adis\, bunyinya:
حدثنا يحي بن يحي قال قرأت على مالك عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما أن 
رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل عما يلبس المحرم من الثياب؟ قال: لا يلبس
 القمص ولا العمائم ولا السراويلات ولا البرانس ولا الخفاف إلا أحد لا يجد 
نعلين فليلبس الخفين وليقطعهما أسفل من الكعبين ولا تلبسوا شيئا من الثياب 
مسه الزعفران ولا الورس
2. Larangan yang khusus bagi wanita, yaitu; menutup muka dan kedua telapak tangan.
3. Larangan bagi pria dan wanita adalah sebagai berikut:
a. Memakai pakaian yang dicelup dengan sesuatu yang harum, dan harumnya itu berkelanjutan sampai selesai ihram.
b. Bercukur atau menghilangkan rambut, seperti yang dijelaskan dalam surah al-Baqarah:
ولا تحلقوا رؤسكم حتى يبلغ الهدي محله
c. Memotong kuku. Dasar hukumnya adalah dengan menganalogikannya kepada 
larangan memotong rambut, kecuali jika kuku itu pecah yang mengakibatkan
 seseorang menjadi terganggu melaksanakan ibadah, maka kuku itu boleh 
dipotong tanpa mesti membayar fidyah.
d. Melangsungkan pernikahan, baik sebagai wali yang mengakadkan, sebagai
 wakil, atau sebagai calon suami atau istri menurut maz\hab 
Ma>liki>, Sya>fi’i dan H{anba>li>. Apabila orang yang 
sedang ihram tetap melakukan akad nikah, maka nikahnya tidak sah dan 
fasakh satu kali cerai menurut Ima>m Ma>lik. Sedang menurut 
Ima>m asy-Sya>fi’i dan Ahmad, maka nikahnya fasakh (rusak) tanpa 
cerai. Ketentuan ini didasarkan atas sabda Rasul SAW yang berbunyi:
لا ينكح المحرم ولا ينكح ولا يخطب
Sementara menurut maz\hab H{ana>fi>, hal ini diperbolehkan. Sebab 
ih}ra>m itu sendiri tidak menghalangi layaknya seorang wanita 
melakukan akad nikah. Yang dilarang adalah melakukan senggama. Jadi, 
ih}ra>m itu seperti haid}, nifa>s dan z\ihar sebelum dibayar 
kafaratnya. Persamaannya terletak dalam hal masing-masing menghalangi 
seggama, bukan sahnya akad. Pendapat ini juga berdasarkan perbuatan 
Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas:
عن ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم تزوج ميمونة وهو محرم
e. Dalam pada itu, semua maz\hab sepakat bahwa orang yang ih}ra>m 
dilarang melakukan jima’, berciuman, dan perbuatan-perbuatan yang 
mengarah pada jima’.
f. Berbantah, bertengkar dan melakukan kejahatan atau maksiat. Kedua larangan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
فمن فرض فيهن الحج فلا رفث ولا فسوق ولا جدال فى الحج
g. Memburu binatang buruan yang ada di darat, baik dengan membunuh atau 
pun menyembelih. Hal ini berlaku bila binatang itu halal dimakan, 
apabila binatang tersebut tidak halal dimakan, maka menurut maz\hab 
H{ana>fi>, Sya>fi’i dan H{anbali orang yang ihram boleh 
memburunya. Sedang menurut maz\hab Ma>liki>, tetap tidak 
diperbolehkan. Adapun binatang yang hidup di laut, menurut semua mazhab 
boleh diburu. Dasar larangan ini adalah firman Allah:
أحل لكم صيد البحر وطعامه متاعا لكم وللسيارة وحرم عليكم صيد البر ما دمتم حرما
h. Memakan daging binatang buruan yang didapat dengan suruhan atau atas bantuan sendiri
i. Mencabut rumput, memotong dahan atau menebang pohon yang ada di tanah haram.
2. T{awa>f  di Baitullah
T{awa>f artinya mengelilingi, maksudnya ialah mengelilingi Baitullah.
  T{awa>f ini disepakati umat Islam sebagai rukun dalam ‘umrah 
berdasarkan firman Allah:
وليطوفوابالبيت العتيق
Untuk melaksanakan t}awa>f dengan baik dan benar, seseorang harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
a. Menutup aurat yang harus ditutupi seperti halnya ketika salat.
b. Suci dari najis, hadas besar dan kecil.
c. Memulai t}awa>f dari hajar aswad, dengan menempatkan posisi tubuh bagian kiri sejajar dengan hajar aswad.
d. Mengelilingi Baitullah dari arah kiri tubuhnya.
e. Mengelilingi Baitullah sebanyak tujuh kali putaran.
f. Melakukan t}awa>f di Masjid al-haram.
g. Tidak berpaling dari t}awa>f kepada perbuatan lain.
3. Sa’i> antara S{afa> dan Marwah
Maz\hab Ma>liki, Sya>fi’i dan Hanbali memandang sa’i> sebagai 
rukun ‘umrah. Sehingga, tanpa sa’i>, ibadah  ‘umrah tidak sah, dan 
tidak dapat diganti dengan dam (denda menyembelih kambing). Sedangkan 
menurut maz\hab Hanafi, sa’i> merupakan wajib haji, bukan rukun haji,
 sehingga apabila ditinggalkan, tidak sampai membatalkan haji, namun 
wajib diganti dengan fidyah.
Untuk melaksanakan sa’i> dengan baik, orang yang sa’i> harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni:
a. Memulai sa’i> dari s}afa>, dan mengakhirinya di Marwah.
b. Melakukan sa’i> sebanyak tujuh kali. Perjalanan dari S{afa> ke 
Marwah dihitung sekali, dan dari Marwah ke S{afa> dihitung sekali.
c. Melakukan sa’i> setelah t}awa>f .
4. Bercukur untuk Tah}allul
Bercukur ini dilakukan setelah kita selesai mengerjakan sa’i>. 
Caranya adalah, paling sedikit kita menggunting rambut sebanyak tiga 
lembar. Kalau wanita, cukup menggunting ujung rambutnya, dan juga paling
 sedikit tiga lembar. Apabila ini sudah dilakukan, maka segala macam 
larangan dalam masa kita menggunakan pakaian ih}ra>m haji maupun 
‘umrah sudah dibolehkan atau dihalalkan (tah}allul). Kita diperbolehkan 
mengganti pakaian ih}ra>m dengan pakaian biasa.
5. Tertib
Rukun ‘umrah, hendaklah dikerjakan secara tertib atau berurut, sejak 
rukun pertama sampai terakhir. Berarti, kalau tidak ada salah satu saja 
rukun yang kita kerjakan itu tidak tertib, seperti mendahulukan 
sa’i>, kemudian baru t}awa>f maka ‘umrah kita batal.
BAB III
PENDAPAT MAZ|HAB MA<LIKI DAN MAZ|HAB SYAfii
1. Biografi Pendiri Maz\hab Ma>liki>
Ima>m Ma>lik bin Anas yang juga sering dipanggil dengan Abu> 
Abdilla>h nama lengkapnya adalah Ma>lik bin Anas bin Ma>lik bin
 ‘Amr bin Hari>s\ bin Gaiman. Menurut keterangan yang paling masyhur 
Ima>m Ma>lik dilahirkan pada tahun 93 H atau 712 M di kota 
Madinah. Keterangan ini diperkuat oleh az\-Z|ahaby dan Ibn Farihun.  
Ayahnya, Anas bin Ma>lik termasuk seorang tabi’in, sedangkan ibunya 
bernama al-‘A>liyah binti Syurai>k bin ‘Abd ar-Rahma>n bin 
Syurai>k al-Azdiyah.
Selama hidupnya, Ima>m Ma>lik tidak mau turut dalam urusan politik
 dan pemerintahan, bahkan sering menentang kebijakan kebijakan penguasa 
yang menyimpang dari kebenaran. Ia meninggal pada hari ahad tanggal 10 
Rabi’ul awal 179 H (789 M) dalam usia 87 tahun. Saat itu pemerintahan 
Islam berada di tangan Khalifah Harun ar-Rasyid dari Bani Abbasiyah.
Ima>m Ma>lik tumbuh dan mendapat pendidikan di kota Madinah dalam 
suasana yang diliputi para sahabat, tabi’in, kaum ansor dan para 
cendekiawan serta para ahli hukum agama, ia dibesarkan di lingkungan 
masyarakat yang berpendidikan dan mempunyai keyakinan beragama yang 
sangat kuat.
Dalam usia yang relatif muda, yaitu sekitar umur 10 tahun, Ima>m 
Ma>lik telah hafal al-Qur’an dan sejumlah H{adi>s\.  Ia 
mempelajari h}adi>s\ dari kakeknya yang ada saat itu yang merupakan 
seorang ulama terkenal dan dipandang sebagai perawi hadis. Di samping 
itu ayahnya Anas dan pamannya Ra>bi’ juga merupakan ulama h}adi>s\
 yang banyak meriwayatkan h}adi>s\  dari kakeknya. Ima>m Ma>lik
 juga belajar h}adi>s\  dari pamannya yang bernama Abu> Suhail, 
seorang ulama terkenal pada masa itu.
Setelah beliau menguasai dasar-dasar ilmu fiqh dan ilmu h}adi>s, beliau juga mengembangkan pengetahuaannya dengan jalan:
a. Menghadiri pertemuaan para ulama di Masjid al-Haram dan tempat-tempat
 lain di Makkah. Tempat tersebut selalu dikunjungi oleh para ulama dari 
berbagai penjuru dunia, terutama pada saat musim haji. Di situlah 
Ima>m Ma>lik beserta para ulama mengadakan diskusi mengenai ilmu 
agama Islam.
b. Ima>m Ma>lik mengadakan diskusi dengan ulama-ulama di Madinah. 
Dalam forum diskusi ini, Ima>m Ma>lik berjumpa dengan Ima>m 
Abu> H{ani>fah sewaktu beliau bermukim di Madinah.
c. Ima>m Ma>lik mengembangkan ilmu pengetahuannya juga dengan cara
 membaca kitab atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan ilmu agama.
d. Mengadakan diskusi dengan para muridnya yang bertempat di rumah 
beliau sendiri, yang juga dihadiri oleh ulama kenamaan pada zaman itu, 
seperti Muh}ammad bin H{asan.
Di antara karya Ima>m Ma>lik adalah kitab al-Muwat}t}a’.  Kitab 
tersebut ditulis pada tahun 144 H atas anjuran Khalifah Ja’far 
al-Mansur. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Abu Bakar al-Abhary, 
asar Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in yang tercantum dalam kitab 
al-Muwat}t}a’  sejumlah 1.720 buah. Kitab al-Muwat}t}a’  mengandung dua 
aspek, yaitu aspek hadis dan aspek fiqh. Adanya aspek h}adi>s\ itu 
adalah karena al-Muwat}t}a’  banyak mengandung h}adi>s – h}adi>s 
yang berasal dari rasulullah SAW.
Ima>m Ma>lik mengumpulkan sejumlah besar h}adi>s dalam kitabnya
 kemudian memilihnya selama bertahun-tahun. h}adi>s-h}adi>s itu 
dipilih oleh Ima>m Ma>lik setiap tahun, mana yang lebih sesuai 
untuk kaum muslim dan mana yang paling mendekati kebenaran. Ada yang 
meriwayatkan bahwa hal itu dilakukan Ima>m Ma>lik selama 40 tahun.
Adapun yang dimaksud kandungan dari aspek fiqh adalah karena kitab 
al-Muwat}t}a’ itu disusun berdasarkan sistematika dengan bab-bab 
pembahasan seperti layaknya kitab fiqh. Ada kitab t}aha>rah, 
s}ala>t, zaka>t, puasa, nikah dan seterusnya. Setiap kitab dibagi 
lagi menjadi fasal, yang fasalnya mengandung fasal-fasal yang hampir 
sejenis. Dengan demikian maka hadis-hadis di dalam al-Muwat}t}a’  itu 
menyerupai kitab fiqh.
Kitab al-Mudawwanah al-Kubra’ merupakan kumpulan risalah yang memuat 
tidak kurang dari 1.036 masalah dari fatwa Ima>m Ma>lik yang 
dikumpulkan Asad bin al-Furat al-Naissa>buri yang berasal dari Tunis.
2. Metode Istinbat Mazhab Ma>Liki
Ima>m Ma>lik tidak pernah menyusun dasar-dasar maz\hab yang 
dibangunnya dalam sebuah kitab, sebagaimana yang dilakukan oleh Ima>m
 as-Sya>fi’i>, yang membukukan sendiri dasar-dasar yang menjadi 
sumbernya dalam menggali hukum dan dan menerangkan sebab-sebab yang 
menyebabkan dasar itu dijadikan sebagai hujjah, serta kedudukan 
masing-masing dasar itu dalam teori istidla>l.
Oleh karena itu untuk mengetahuinya harus dilakukan penelusuran terhadap
 karya-karya monumental beliau yaitu kitab al-Muwat}t}a’ dan kitab fatwa
 beliau al-Mudawwanah al-Kubra’.  Dalam kitab al-Muwat}t}a’ diterangkan 
sebab-sebab Ima>m Ma>lik menjadikan al-Qur’an dan al-H{adi>s\ 
sebagai sumber utama. Selain itu Ima>m Ma>lik juga menerangkan 
alasannya menggunakan ijma’ ahli madinah sebagai dasar hukum dan dasar 
penggunaan qiyas untuk menetapkan hukum. Qadi al-Iyad dalam kitabnya 
al-Mada>rik sebagaimana dikutip oleh Hasbi as-Siddieqy  mengatakan 
dasar yang dijadikan sumber dalam menetapkan hukum adalah al-kita>b, 
as-sunnah, amal ahl al-madi>nah, dan al-qiya>s.  Di tempat lain 
as-Syatibi mengklaim bahwa ada empat macam dasar maz\hab Ma>liki 
dalam menetapkan hukum, yaitu al-kita>b, as-sunnah, ijma>’ dan 
ar-ra’yu. Adapun qaul as-saha>bah dimasukkan dalam kategori as-sunnah
 sementara al-maslahah al-mursalah, sadd az\-z\ari>ah, al-‘urf, 
istihsa>n serta istisha>b dimasukkan dalam kategori ar-ra’yu.  
Adapun penekanannya masing-masing dasar sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Imam Malik memandang al-Qur’an sebagai pokok pangkal hukum syari’at, 
pegangan umat Islam yang pertama. Al-Qur’an dalam pandangan Imam Malik 
adalah lafadz dan makna. Karenanya tidak boleh terjemahan al-Qur’an 
digunakan dalam shalat. Dalam memegang al-Qur’an ini meliputi 
pengambilan hukum berdasarkan z}ahir nas}s} al-Qur’an atau keumumannya, 
meliputi mafhu>m al-mukha>lafah yang dinamakan dalil dan 
mafhu>m al-muwa>faqah yang dinamakan  fahwa dengan memperhatikan 
illatnya.
b. As-Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Ima>m Ma>lik 
melakukan cara yang dilakukan dalam berpegang kepada al-Qur’an. Apabila 
dalil syar’i menghendaki penta’wilan maka yang dijadikan pegangan adalah
 arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna 
z}a>hir al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah sekalipun
 jelas, maka yang dipegang adalah makna z}a>hir al-Qur’an. Tetapi 
apabila makna yang dikandung oleh as-Sunnah tersebut dikuatkan oleh 
Ijma>’ Ahl al-Madi>nah, maka beliau lebih mengutamakan makna yang 
terkandung dalam sunnah dari pada z}a>hir al-Qur’an (sunnah yang 
dimaksud disini adalah sunnah mutawa>tir dan masyhu>r).
Adapun Ima>m Ma>lik berpendapat bahwa kedudukan as-sunnah terhadap al-Qur’an ada tiga:
1) Men-taqri>r hukum atau mengkokohkan hukum al-Qur’an.
2) Menerangkan apa yang dikehendaki al-Qur’an, men-taqyid kemutlakannya dan menjelaskan kemujmalannya.
3) Sunnah dapat mendatangkan hukum baru yang tidak disebut dalam al-Qur’an.
c. Ijma>’ Ahl al-Madi>nah
Ijma>’ ahl al-madi>nah ini ada beberapa macam diantaranya ijma’ 
ahl al-madina>h yang asalnya dari al-naql hasil dari mencontoh 
Rasulullah SAW. Bukan dari ijtihad ahl al-madina>h seperti ukuran 
mud, penentuan tempat atau tempat dilakukannya amalan rutin.
Di kalangan Maz\hab Ma>liki, ijma>’ ahl al-madi>nah lebih 
diutamakan dari pada khabar aha>d, sebab ijma>’ ahl al-madi>nah
 merupakan pemberitaan oleh jama’ah sedang khabar aha>d hanya 
merupakan pemberitaan perorangan. ijma’ ahl al-madi>nah ini ada 
beberapa tingkatan yaitu :
1) Kesepakatan ahl al-madi>nah yang asalnya adalah al-Naql.
2) Amalan ahl al-madi>nah sebelum terbunuhnya ‘Us\ma>n bin 
‘Affa>n. Hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui ada amalan 
ahl al-madi>nah waktu itu yang bertentangan dengan sunnah Rasul.
3) Amalan ahl al-madi>nah itu dijadikan pendukung, pentarji>h atas dua dalil yang saling bertentangan.
4) Amalan ahl al-madi>nah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW.
d. Fatwa Sahabat
Yang dimaksud sahabat disini adalah sahabat besar yang pengetahuan 
mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada an-naql. Menurut 
Ima>m Ma>lik, para sahabat besar tidak akan memberi fatwa kecuali 
atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian beliau 
mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan 
dengan hadis marfu>’ yang dapat diamalkan dari fatwa sahabat yang 
demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas dan adakalanya Ima>m 
Ma>lik menggunakan fatwa tabi’in besar sebagai pegangan dalam 
menentukan hukum.
e. Khabar Aha>d dan Qiyas.
Ima>m Ma>lik tidak mengakui khabar aha>d sebagai sesuatu yang 
datang dari Rasulullah SAW, jika khabar aha>d ini bertentangan dengan
 sesuatu yang sudah dikenal masyarakat Madinah, sekalipun hanya dalil 
dari hasil istinba>t kecuali khabar aha>d itu dikuatkan oleh 
dalil-dalil lain yang qat’i>. Dalam menggunakan khabar aha>d ini, 
Ima>m Ma>lik tidak selalu konsisten, kadang-kadang ia mendahulukan
 Qiyas daripada khabar aha>d. Kalau khabar aha>d itu tidak dikenal
 atau tidak populer dikalangan masyarakat Madinah maka hal itu dianggap 
sebagai petunjuk bahwa khabar aha>d bukan berasal dari Rasulullah 
SAW. Dengan demikian, khabar aha>d tersebut tidak digunakan sebagai 
dasar hukum, tetapi menggunakan qiyas dan maslahah.
f. Al-Istihsa>n
Menurut Maz\hab Ma>liki, al-istihsa>n adalah mengambil maslahah 
yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) 
dengan mengutamakan al-istidla>l al-mursal daripada qiyas. Dari 
Ta’ri>f di atas, jelas bahwa al-istihsa>n lebih mementingkan 
maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil 
kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa 
al-istihsa>n adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang 
dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, 
al-istihsa>n selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan 
sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau 
menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan 
hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke 
dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda. Dalil kedua ini dapat 
berwujud ijma’, ‘urf  atau al-maslahah al-mursalah.
g. Al-Mas}lah}ah} al- Mursalah
Al-Mas}lah}ah al-Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, 
baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash, dengan
 demikian maka al-mas}lah}ah} al-mursalah itu kembali  kepada memelihara
 tujuan syar’iat diturunkan.
Azas atau pondasi fiqh Islam adalah kemaslahatan umat, tiap-tiap 
maslahah dituntut oleh syara’ dan tiap-tiap yang memberi madarat   
dilarang oleh syara’. Ini adalah dasar yang disepakati ulama. Maz\hab 
Ma>liki menghargai maslahah dan menjadikannya sebagai salah satu 
dasar yang berdiri sendiri bahkan Maz\hab Ma>liki kadang-kadang 
mentahks}I>s}kan al-Qur’an dengan dasar maslahah.
h. Sadd az\-Z\|\ara>i ‘
Z|ari>’ah menurut lugah, bermakna wasi>lah  dan makna sadd 
az\-z\ari>’ah ialah menyumbat wasi>lah.  Maz\hab Ma>liki 
menggunakan sadd az\-z\ari>’ah sebagai landasan dalam menetapkan 
hukum. Menurut golongan ini semua jalan atau sebab yang menuju kepada 
haram atau terlarang hukumnya haram atau terlarang, dan semua jalan atau
 sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
i. Istis}h}a>b
Maz\hab Ma>liki menjadikan Istis}h}a>b sebagai landasan dalam 
menetapkan hukum. Istis}h}a>b  adalah tetapnya suatu ketentuan hukum 
untuk masa sekarang atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan 
hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah diyakini 
tersebut hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada, begitu 
pula sebaliknya. Misalnya seorang yang telah yakin sudah berwudhu, 
kemudian datang keraguan apakah sudah batal atau belum  maka hukum yang 
dimiliki oleh tersebut adalah belum batal wudhunya.
j. ‘Urf dan Adat Kebiasan.
‘Urf adalah urusan yang disepakati oleh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya :
الأمر الذي تتّفق عليه جماعة من النّاس في مجارى حياتها
العمل المتكرّر من الأحاد والجماعة
Golongan Ma>likiyah meninggalkan qiyas apabila qiyas itu berlawanan 
dengan ‘urf, disamping itu golongan Ma>likiyah mentakhs}I>s}kan 
umum dan mentaqyidkan mutlak dengan ‘urf.
3. Pendapat Maz\hab Ma>liki> tentang Hukum ‘Umrah.
Maz\hab Ma>liki> berpendapat bahwa ‘umrah hukumnya sunnah 
mu’akkadah sekali seumur hidup.  Mereka mengemukakan alasan-alasan 
sebagai berikut:
a. Dalam  berbagai ayat yang menunjukkan kewajiban haji seperti firman 
Allah SWT, “Wa Lilla>hi ‘ala an-Na>si Hijj al-Baiti” , “Wa az\z\in
 fi an-Na>si bi al-Hajji”  dan ayat lainnya, ‘umrah tidak disebutkan.
b. Dalil h}adis\ berupa tanya jawab tentang hukum umrah, yang kemudian 
dijawab Nabi bahwa hukumnya tidak wajib. Hadis ini diriwayatkan oleh 
Ima>m at-Tirmiz\i, yang selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن عبد الأعلى الصنعاني حدثنا عمر بن علي عن الحجاج عن محمد بن 
المنكدر عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن العمرة أواجبة هي؟ قال
 لا وأن تعتمروا هو أفضل
c. Ayat dan h}adis\ yang dijadikan dalil oleh maz\hab Sya>fi’i 
seharusnya ditafsirkan (di-ihtimalkan) atas ibadah yang sudah mulai 
dilaksanakan. Sebab ungkapan firman Allah “Wa Atimmu al-Hajja wa 
al-’Umrata lillahi”   memberi pengertian bahwa ibadah itu sudah mulai 
dilakukan, dan apabila suatu ibadah sudah mulai dilakukan, maka hukum 
menyempurnakannya menjadi wajib, meskipun itu ibadah sunnah.
B. Maz\hab Sya>fi’i`
1. Biografi Pendiri Maz\hab Sya>fi’i
Imam asy-Sya>fi`’i sebagai pendiri maz\hab Sya>fi’i merupakan 
salah satu tokoh hukum Islam yang amat terkenal. Nama lengkapnya adalah 
Muh}ammad bin Idri>s asy-Sya>fi’i al-Quraisyi>. Dilahirkan di 
desa Gazah Palestina pada tahun 150 H / 767 M, dan wafat di Mesir pada 
tahun 204 H / 819 M. Silsilah beliau dengan Nabi Muhammad bertemu pada 
datuk mereka, Abd al-Manaf. Jelasnya adalah Muh}ammad bin Idri>s bin 
al-`Abba>s bin ‘`Us\ma>n bin Sya>fi’ bin Syu’`aib bin ‘`Ubaid 
bin Ali> Yazi>d bin Ha>syim bin Mut}t}alib bin ‘Abd 
al-Mana>f datuk Nabi Muhammad SAW.
Sya>fi’ bin Syu’`aib adalah yang menjadi nisbat asy-Syafi’i. 
Sya>fi’ bertemu Nabi pada masa kecilnya dan ayahnya masuk Islam pada 
saat perang Badar.  Jadi asy-Syafi’i adalah keturunan Quraisy, tetapi 
ibunya bukan dari keturunan Quraisy tetapi berasal dari suku ‘Ad (dari 
Yaman) bukan keturunan ‘Alawiyyah.
Sejak dilahirkan ia sudah menjadi yatim,  pengasuhan dan bimbingan waktu
 kecil adalah di bawah sang ibu. Sejak kecil asy-Sya>fi’i sudah 
menampakkan kecintaan dan kecerdasannya. Hal ini terlihat dengan 
kemampuannya menghafal al-Qur’an sejak usia 7 tahun, proses belajar 
pertama ia pergi ke daerah Huz\ail (pedalaman) yang mana  merupakan 
tempat orang-orang yang paling ahli dalam bahasa Arab. Imam 
asy-Sya>fi’i menimba ilmu dengan berbagai guru, baik yang berkaitan 
dengan sya`ir-sya`ir, tata bahasa maupun sastra-sastra Arab. Maka tak 
heran dia sangat ahli dalam kebahasaan Arab.
Ketika umurnya mencapai dua tahun, ibunya membawa ke Hijaz dan ke 
qabilahnya yaitu penduduk Yaman, karena ibunya Fatimah merupakan 
keturunan dari suku Azdiyah dan tinggal di suku tersebut. Akan tetapi 
ketika umurnya mendekati usia 10 tahun, ibunya khawatir kalau nasab 
anaknya yang mulia dari suku Quraisy akan dilupakan dan dihilangkannya, 
sehingga ibunya membawa asy-Sya>fi’i ke Mekah. Perpindahan ini 
dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu:
1. Mekah adalah tanah kelahiran bapak dan nenek moyang Ima>m 
asy-Sya>fi’i. Maka ibunya ingin anaknya dibesarkan diantara keluarga 
ayahnya yang mempunyai kedudukan sosial yang terpandang dan mendapat 
berbagai fasilitas dari Bait al-Mal, karena administrasi pemerintahan 
pada waktu itu memang menyediakan tunjangan khusus bagi segenap anggota 
keluarga Quraisy dari keturunan Ha>syim dan Mut}t}alib yaitu keluarga
 dekat Nabi SAW.
2. Karena kota Mekah merupakan tempat ulama, fuqaha’, para penyair dan 
para sastrawan sehingga Ima>m asy-Sya>fi’i dapat berkembang dalam 
bahasa Arab yang murni dan mengambil cabang-cabang keilmuan yang 
dikehendaki. Walaupun Yaman dan Palestina itu lebih utama bagi ibunya 
karena daerah kaumnya yaitu Azdiyah.
Ima>m asy-Sya>fi’i memulai kegiatannya menuntut ilmu sejak masa 
kecilya di Mekah. Walaupun ia dibesarkan sebagai anak yatim piatu dalam 
asuhan ibunya serta hidup dalam kekurangan dan kesempitan, akan tetapi 
semangat untuk menuntut ilmunya tidak pudar. Sang ibu, Fatimah, 
mengirimkan asy-Sya>fi’i unrtuk belajar ke Kutta>b (semacam taman 
kanak-kanak). Dengan kemauannya yang keras dan dorongan dari ibunya, ia 
mendatangi para ulama dan menulis apa yang bermanfaat mengenai hal-hal  
yang penting.
Dari pengembaraan ilmiah yang telah dilakukan, Ima>m asy-Sya>fi’i 
dapat mengenal berbagai macam ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh 
para ulama; mulai pemikiran ulama yang didasarkan pada h}adis\ maupun 
ra’yu, tetapi ia banyak dipengaruhi oleh corak pemikiran Irak yang 
dijadikan dasar pengembangan maz\habnya pertama kali di Mekah, yaitu 
dengan mengaktifkan kembali halaqah di Masjid al-Haram.
Untuk pendalaman h}adis\, Ima>m asy-Sya>fi’i pergi ke Madinah  
dengan berguru kepada Ima>m Ma>lik bin Anas. Ia mampu 
menyelesaikan pendidikan dengan baik, hal ini dibuktikan dengan 
kemampuan menghafal kitab al-Muwat}t}a>’ karya Ima>m Ma>lik 
yang dibaca dengan  di depan sang guru, hal ini membuat kekaguman 
tersendiri bagi Ima>m Ma>lik.
Karena merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, ia kemudian  pergi
 ke Irak, untuk memperdalam lagi ilmu fikih, kepada para murid Abu> 
H{ani>fah yang masih ada. Dalam perantauannya tersebut, Ima>m 
asy-Sya>fi’i sempat mengunjungi Persia dan beberapa tempat lain.  
Pada waktu itu dia menyusun kitab us}u>l fiqh yang pertama dalam 
Islam yaitu “ar-Risa>lah”.
Sebagai pecinta ilmu, asy-Sya>fi’i mempunyai banyak guru, begitu 
banyaknya guru Ima>m asy-Sya>fi’i sehingga Ima>m Ibn H{ajar 
al-‘Asqala>ni> menyusun satu buku khusus yang bernama T}awali 
at-Tasib yang di dalamnya disebut nama-nama ulama yang pernah menjadi 
guru Ima>m asy-Sya>fi’i, antara lain: Ima>m Muslim bin 
Kha>lid, Ima>m Ibrahi>m bin Sa’id, Ima>m Sufya>n bin 
Uyainah, Ima>m Ma>lik bin Anas, Ima>m Ibra>hi>m bin 
Muh}ammad, Ima>m Yah}ya> bin H{asan, Ima>m Waki>’, Ima>m 
Fud}ail bin ‘Iya>d}.
Aktivitas di bidang pendidikan dimulai dengan mengajar di Madinah dan 
menjadi asisten Ima>m Ma>lik. Waktu itu usianya sekitar 29 tahun. 
Sebagai ulama fikih namanya mulai dikenal, muridnya pun berdatangan dari
 berbagai penjuru wilayah Islam. Selain sebagai ulama fikih ia pun 
dikenal sebagai ulama ahli h}adis\, tafsi>r, bahasa dan sastra Arab, 
ilmu falak, ilmu us}u>l dan ilmu ta>rikh.
Ima>m asy-Sya>fi’i digelari Na>s}ir as-Sunnah artinya pembela 
Sunnah karena sangat menjunjung tinggi Sunnah Nabi Muhammad SAW. Abd 
al-H{ali>m al-Jundi, menulis  buku dengan judul, al-Ima>m 
asy-Sya>fi’i, Na>s}ir as-Sunnah wa Wa>d}i’ al-Us}u>l. Di 
dalamnya diuraikan secara rinci bagaimana sikap dan pembelaan 
asy-Sya>fi’i terhadap Sunnah. Intinya adalah bahwa Ima>m 
asy-Sya>fi’i sangat mengutamakan Sunnah Nabi SAW dalam melandasi 
pendapat-pendapat dan ijtihadnya. Karena itu ia sangat berhati-hati 
dalam menggunakan qiyas. Menurutnya, qiyas hanya dapat digunakan dalam 
keadaan terpaksa yaitu dalam masalah mu’amalah (kemasyarakatan) yang 
tidak didapati nas}s}nya secara pasti dan jelas di dalam al-Qur’an  atau
 H{adis\ s}ah}ih}, atau tidak dijumpai dalam ijma’ sahabat. Qiyas sama 
sekali tidak dibenarkan dalam urusan ibadah. Dalam penggunaan qiyas, 
asy-Sya>fi’`i menegaskan bahwa harus diperhatikan nas-nas Al-Qur’an 
dan Sunnah yang telah ada.
Ima>m asy-Sya>fi’i tinggal di Baghdad selama 2 tahun. Atas 
wewenang yang diberikan gurunya, Muslim bin Kha>lid az-Zanji> 
–seorang ulama besar yang menjadi mufti di Mekah–, Ima>m 
asy-Sya>fi’i mengeluarkan fatwa-fatwa selama tinggal di Baghdad. 
Pendapat-pendapat Ima>m asy-Sya>fi’i yang difatwakan tersebut 
dinamakan dengan  qaul qadim. Ketika itu, pengaruh maz\hab Sya>fi’i  
mulai tersebar luas di kalangan masyarakat, kemudian untuk sementara 
waktu dia terpaksa  pergi meninggalkan  Bagdad menuju Makkah untuk 
memenuhi panggilan  hati yang masih haus ilmu pengetahuan.
Pada tahun 198 H. asy-Sya>fi’`i kembali ke Baghdad untuk merawat dan 
mengembangkan benih-benih maz\hab yang telah ditebarkan. Pada saat 
itulah pengaruhnya mengalami perkembangan pesat. Hampir tidak ada 
lapisan masyarakat Baghdad yang tidak tersentuh oleh roda pemikirannya, 
dan di antara pilar-pilar pendukung maz\hab Sya>fi’`i yang masyhur 
adalah Ah}mad bin H{anbal, az-Za’farani, Abu S|aur, al-Karabisi. Keempat
 orang inilah yang tercatat sebagai periwayat qaul qadim yang tertuang 
dalam kitab al-Hujjah.
A. Kemudian asy-Sya>fi’i merasa terpanggil untuk memperluas lagi 
maz\habnya,  dengan berbekal semangat dan tekad dia mengembara ke negeri
 Mesir. Di negeri ini, asy-Sya>fi’i meneliti dan menelaah lebih dalam
 lagi ketetapan fatwa-fatwanya selama di Baghdad, kemudian muncullah 
rumusan-rumusan baru yang kemudian terkenal dengan istilah qaul 
jadi>d yang tertulis dalam kitab al-Umm, al-Imla, Mukhtas}ar Muzani 
dan al-Buwaiti. Di antara pendukung dan periwayat qaul jadid yang 
terkenal adalah : al-Buwaiti, ar-Rabi` al-Jaizi, al-Muradi, al-H{armalah
 dan Abdullah bin az-Zubair al-Makki.
Masa muda asy-Sya>fi’i dihabiskan untuk menuntut ilmu pengetahuan di 
pusat-pusat ilmu pengetahuan, seperti kota Mekah, Madinah, Kufah, Syam 
dan Mesir. Beliau mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk 
mempelajari ilmu tafsir, fiqih, dan hadis kepada guru-guru yang banyak 
tersebar di berbagai pelosok negerinya.
Guru-guru asy- Sya>fi’i terdiri dari berbagai aliran. Misalnya Sufyan
 bin Uyainah di Mekah dan Ima>m Ma>lik bin Anas adalah golongan 
ahli h}adi>s, di Irak beliau berguru pada golongan dari ahli ra’yi, 
aliran Imam Hanafi dan di Yaman golongan fiqh aliran maz\hab al-Auza’i. 
Karena bermacam-macam aliran itulah, maka Ima>m Sya>fi’i terkenal 
sebagai ima>m yang sangat hati-hati dalam menentukan hukum serta 
beliau terkenal sebagai ahli qiyas.
B. Adapun murid-murid beliau tersebar di negeri, di Mekah ada Abu Bakar 
al-H{umai>di, Ibrahi>m bin Muh}ammad al-`Abba>s, Abu Bakar 
Muh}ammad bin Idris, Mu>sa bin Abi al-Ja>rud, kemudian di Bagdad, 
diantara muridnya adalah H}asan as-Sa’bah az-Za’farani, al-H{usain bin 
Ali> al-Karabisiy, Abu T{ur al-Kalbiy dan Ahmad bin Muhammad. 
Sedangkan di Mesir di antara muridnya adalah al-Buwait}i, Isma>’il, 
al-Muza>ni>, Muh}ammad bin Abdulla>h bin ‘Abd al-H{akam dan 
ar-Rabi>’ bin Sulaiman.
Sebagai seorang ilmuwan yang multi disipliner, Ima>m asy-Sya>fi’i 
memiliki karya ilmiah yang sangat banyak. Menurut riwayat Ima>m 
Abu> Muh}ammad al-H{asan bin Muh}ammad al-Marwaziy –seperti yang 
dikutip an-Nawawi–  bahwa karya ilmiah Ima>m asy-Sya>fi’i mencapai
 113 kitab tentang tafsir, fiqih, kesusastraan arab dan lainnya.36 
Metode Ima>m asy-Sya>fi’i dalam mengarang buku itu ada yang 
langsung ditulis sendiri atau pun dengan cara mendiktekan kepada 
murid-muridnya. Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang kapan 
Ima>m asy-Sya>fi’i mulai menulis pendapat-pendapat dan 
pemikirannya. Apakah ketika beliau berada di Mekah atau ketika berada di
 Bagdad. Menurut riwayat yang masyhur, beliau mulai menulis karyanya 
ketika di Mekah sebelum datang ke Iraq untuk yang kedua kalinya. 
Karya-karya beliau terkenal dengan materi yang luas dan analisa yang 
dalam khususnya ar-Risa>lah dan al-Umm. Di antara karya-karyanya, 
yaitu:
1. Ar-Risa>lah. Kitab ini merupakan kitab pertama kali yang ditulis 
ulama dalam bidang us}u>l fiqih. Kitab ini disusun dua kali, pertama 
ketika beliau berada di Bagdad yang kemudian dikenal dengan 
ar-Risa>lah al-Qadi>mah, yang kedua ketika beliau berada di Mesir 
yang dikenal dengan ar-Risa>lah al-Jadi>dah. Namun yang sampai 
kepada kita sekarang adalah ar-Risa>lah yang kedua.
2. Kitab al-Hujjah. Kitab ini termasuk dalam qaul qadim dalam bidang 
fiqih dan furu’, karena disusun ketika Ima>m asy-Sya>fi’i berada 
di Bagdad. Isi kitab ini secara umum ditujukan untuk menanggapi pendapat
 yang dikemukakan oleh ulama Iraq khususnya pendapat Muhammad bin 
al-Hasan.
3. Al-Musnad. Musnad asy-Sya>fi’i merupakan kitab yang berisi riwayat
 hadis-hadis asy-Sya>fi’i. Sistematika penyusunan dan pembahasan 
kitab ini mengikuti sistematika kitab-kitab fiqih yakni secara 
berurutan, diawali dengan masalah ibadah, kemudian munakahah, kemudian 
masalah jiha>d, kemudian masalah qad}a>’ dan jinayah. Kitab ini 
termasuk kitab yang diperhatikan ulama h}adis\ pada abad kedua Hijriah 
dan merupakan kitab h}adis\ pertama yang sampai kepada kita yang 
menggunakan “mi’ya>r” ilmu h}adis\.
4. Kitab al-Umm. Kitab al-Umm merupakan kitab yang berisi 
masalah-masalah fiqih yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran 
Ima>m asy-Sya>fi’i yang terdapat dalam kitab ar-Risalah. Kitab 
al-Umm ini diriwayatkan oleh ar-Rabi>’ bin Sulaima>n 
al-Mura>di.
B. Metode Istinbat Mazhab Syafi’i
Dalam memetik (istinba>t}) suatu hukum, Ima>m asy-Sya>fi’i 
dalam bukunya ar-Risa>lah menjelaskan bahwa ia memakai empat dasar: 
al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas. Kelima dasar ini yang kemudian 
dikenal sebagai dasar-dasar maz\hab Sya>fi’i. Dasar pertama dan utama
 dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an. Apabila dalam al-Qur’an tidak 
ditemukan  hukum suatu masalah, ia beralih pada Sunnah Nabi SAW. 
as-Sunnah yang dipakai adalah as-Sunnah yang nilai kuantitasnya 
mutawatir (perawinya banyak) maupun ahad (perawinya satu orang) yang 
berkualitas s}ah}ih} dan h}asan, bahkan as-sunnah d}a`if. Adapun 
syarat-syarat untuk as-sunnah d}a`if adalah; tidak terlalu lemah, 
dibenarkan oleh kaidah umum atau dasar kulli (umum) dari nas}s}, tidak 
bertentangan dengan dalil yang kuat atau s}ah}ih} dan h}adis\ tersebut 
bukan untuk menetapkan halal dan haram atau masalah keimanan, melainkan 
sekedar untuk keutamaan amal (fad}a>’il al-`a’ma>l) atau untuk 
himbauan (targi>b) dan anjuran (tarhi>b).
Dalam pandangan asy-Sya>fi’i, hadis\ mempunyai kedudukan yang begitu 
tinggi setingkat dengan al-Qur’an dalam kedudukannya sebagai sumber 
hukum Islam yang harus diamalkan. Karena, menurut Ima>m 
asy-Sya>fi’i, hadis\ itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan 
al-Qur’an. Bahkan menurutnya, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah 
SAW pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang ia peroleh dari 
memahami al-Qur’an.
Dan satu hal yang perlu diketahui bahwa Ima>m asy-Sya>fi’i tidak 
bersikap fanatik terhadap pendapat-pendapatnya, hal ini nampak pada 
suatu ketika ia pernah berkata: “Demi Allah aku tidak peduli apakah 
kebenaran itu nampak melalui lidahku atau melalui lidah orang lain.”.  
Adapun penjelasan dari masing-masing sumber hukum tersebut adalah 
sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Asy-Sya>fi’i> menegaskan bahwa al-Qur’an membawa petunjuk, 
menerangkan yang halal dan yang haram, menjanjikan balasan; surga bagi 
yang ta’at dan neraka bagi yang durhaka, serta memberikan perbandingan 
dengan kisah-kisah umat terdahulu. Semua yang diturunkan Allah dalam 
al-Qur’an adalah h}ujjah (dalil, argumen) dan rahmat. Menurutnya, setiap
 kasus yang terjadi pada seseorang pasti mempunyai dalil dan petunjuk 
dalam al-Qur’an.
Menurut asy-Sya>fi’i, al-Qur’an mengandung 3 hal yaitu; amr, nahi dan
 khabar serta apa yang tercantum di dalamnya dalam bentuk istikhba>r 
dan istifha>m, maksudnya adalah penetapan (taqri>r) atau ancaman. 
Yang dikehendaki dari amr adalah wajib, sunnah dan mubah, sedang yang 
dikehendaki dari nahi adalah haram, makruh dan tanzih.
Kemudian, nas}-nas} hukum yang terkandung dalam al-Qur’an –kira-kira 500
 ayat– terbagi dalam 6 macam; 1). Umu>m dan Khusu>s. 2). Mujmal 
dan Mufassar. 3). Mut}laq dan Muqayyad. 4). Is\ba>t [positif] dan 
Nafi> [negatif]. 5). Muhkam dan Muta>syabih. 6). Na>sikh dan 
Mansu>kh.
b. As-Sunnah
Asy-Sya>fi’i> menegaskan bahwa as-Sunnah merupakan hujjah yang 
wajib diikuti, sama halnya dengan al-Qur’an. Untuk mendukung pendapatnya
 ini, ia mengajukan dalil, baik berupa dalil naqli maupun dalil aqli. 
Asy-Sya>fi’i mengemukakan bahwa Allah secara tegas mewajibkan manusia
 menaati Rasulullah SAW.
As-Sunnah selain sebagai sumber yang kedua setelah al-Qur`an juga 
sebagai pelengkap yang menginterpretasikan isi kandungan al-Qur`an, 
sehingga kedudukan as-Sunnah atas al-Qur`an sebagai berikut:
1. Ta`kid, menguatkan dan mengokohkan al-Qur`an.
2. Tabyin, menjelaskan maksud nas al-Qur`an.
3. Tasbit, menetapkan hukum yang tidak ada ketentuan nasnya dalam al-Qur`an.
Mengenai pembagian khabar (sunnah), maz\hab Sya>fi’i membaginya 
menjadi 3; khabar mustafid}, khabar mutawa>tir dan khabar a>had. 
Al-Ma>wardi> juga tidak lupa berbicara masalah keadaan serta 
sifat-sifat para rawi, isnad serta hal-ihwalnya.
Mengenai khabar mutawa>tir, maz\hab Sya>fi’i> memandang 
kebenarannya bersifat pasti sehingga khabar itu mutlak harus diterima 
sebagai dalil. Sedang selain khabar mutawa>tir, kesahihan khabar itu 
dapat diketahui melalui penelitian dengan menggunakan kriteria tertentu.
 Secara lebih rinci, persyaratan h}adis\ s}ah}ih} itu diuraikan oleh 
asy-Sya>fi’i> sebagai berikut:
1. Sanad h}adis\ itu haruslah bersambung sampai kepada Nabi SAW.
2. Perawinya harus s\iqah (terpercaya) dalam hal keagamaannya dan dikenal sebagai orang yang selalu bicara benar.
3. Perawi mengerti makna h}adis\ yang diriwayatkannya serta mengetahui 
hal-hal yang dapat mengubah makna (bila ia meriwayatkan dengan makna), 
atau dapat menyampaikan hadis\nya persis seperti yang didengarnya jika 
ia meriwayatkan berdasarkan hafalan, atau memelihara kitabnya jika ia 
meriwayatkan dari kitab.
4. Riwayatnya selalu sesuai dengan riwayat para ahli (ahl al-hifz} wa as\-s\iqa>t).
5. Perawi tidak melakukan  tadli>s, artinya tidak meriwayatkan dari 
seseorang kecuali h}adis\ yang benar-benar didengarnya dari orang 
tersebut.
6. Persyaratan ini harus dipenuhi pada setiap tingkatan dalam jalur periwayatan hadi>s\ tersebut.
c. Ijma’
Ijma’ menurut para ulama us}u>l adalah kesepakatan para mujtahid 
dalam suatu masa setelah wafatnya Nabi SAW atas suatu perkara agama. 
Asy-Sya>fi’i> menegaskan bahwa ijma’ merupakan dalil yang kuat, 
pasti, serta berlaku secara luas pada semua bidang. Sesuatu yang telah 
disepakati oleh generasi terdahulu, walaupun mereka tidak mengemukakan 
dalil Kitab atau Sunnah, dipandangnya sama dengan hukum yang diatur 
berdasarkan Sunnah yang telah disepakati. Menurutnya, kesepakatan atas 
suatu hukum menunjukkan bahwa hukum itu tidak semata-mata bersumber dari
 ra’yu (pendapat) karena ra’yu akan selalu berbeda-beda.
Ima>m asy-Sya>fi’i mendefinisikan ijma` sebagai konsensus ulama’ 
di masa tertentu atas suatu perkara berdasarkan riwayat  Rasul. Karena 
menurutnya mereka tidak mungkin sepakat dalam perkara yang bertentangan 
dengan as-Sunnah.
Ima>m asy-Sya>fi’i membagi ijma`menjadi dua yaitu ijma>’ 
s}ari>h dan ijma>’ suku>ti>. Namum yang paling diterima 
olehnya adalah ijma>’ s}ari>h  sebagai dalil hukum. Hal ini 
menurutnya, dikarenakan kesepakatan itu disandarkan kepada nas}s}, dan 
berasal dari secara tegas dan jelas sehingga tidak mengandung keraguan. 
Sedangkan ijma>’ suku>ti> ditolaknya karena bukan merupakan 
kesepakatan semua mujtahid. Dan diamnya mujtahid menurutnya, belum tentu
 mengindikasikan persetujuannya.
Melihat kondisi kehidupan para ulama di masanya yang telah terjadi 
ikhtilaf dikalangan mereka, maka menurutnya, ijma` hanya terjadi dalam 
pokok-pokok fard}u dan yang telah mempunyai dasar atau sumber hukum.
d. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan perkara yang tidak ada nas}s} hukumnya kepada  
perkara lain yang sudah ada nas}s}} hukumnya karena adanya persamaan 
illat hukum. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa ulama yang pertama 
kali mengkaji qiyas (merumuskan kaidah-kaidah dan dasar-dasarnya) adalah
 asy-Sya>fi’i.  Asy-Sya>fi’i> menyatakan bahwa qiyas itu ada 
beberapa macam dengan tingkat kejelasan dan kekuatan yang berbeda. Suatu
 qiyas dianggap berada pada tingkatan paling kuat apabila keberadaan 
hukum pada far’ (kasus cabang) lebih kuat (aula) daripada keberadaannya 
pada as}l (kasus pokok).
Sejalan dengan itu, berdasarkan tingkat kejelasan illah sebagai landasan
 penetapan hukum bagi far’, para ulama membagi qiyas menjadi tiga macam 
sebagai berikut:
1. Qiyas aqwa>, yakni apabila berlakunya hukum pada far’ lebih kuat 
daripada berlakunya pada as}l karena keberadaan illah lebih nyata pada 
far’ daripada  as}l Sebagai contoh, asy-Sya>fi’i> mengemukakan 
sebuah hadi>s\ yang menyatakan bahwa Allah mengharamkan seorang 
mukmin berprasangka buruk kepada orang mukmin lainnya. Berdasarkan ini, 
menuduhnya secara tegas tentu lebih utama lagi keharamannya.
2. Qiyas musa>wi,> yaitu apabila hukum far’ sama derajatnya dengan
 hukum as}l. Al-Gazza>li> mengemukakan contohnya sebagai berikut. 
Rasulullah SAW mengatakan, bila seorang laki-laki mengalami kepailtan 
(ifla>s) atau meninggal dunia, maka pemilik tiap-tiap barang (yang 
ada di tangan orang yang meninggal tersebut) lebih berhak atas 
barangnya. Berdasarkan qiyas, ketentuan tersebut diberlakukan juga bagi 
perempuan yang mengalami keadaan yang sama.
3. Qiyas ad}’af, yaitu apabila keberadaan hukum pada far’ lebih lemah daripada keberadaannya pada as}l.
C. Qiyas merupakan dalil syara’ yang telah ditetapkan secara meyakinkan. 
Qiyas mempunyai beberapa unsur yang harus dipenuhi yaitu, maqi>s, 
maqi>s ‘alaih dan illat. Karenanya, suatu peristiwa tidak boleh 
diqiyaskan kepada suatu peristiwa yang telah ada nas}s} hukumnya 
berdasarkan kesamaan perkara yang bukan illat syar’i. Qiyas termasuk 
perkara yang amat rumit yang hanya dilakukan oleh para ulama mumpuni 
yang memahami nas}-nas}, hukum-hukum dan realitas. Ima>m 
Sya>fi’i>, seperti yang dikutip an-Nabha>ni>, berkata bahwa 
tidak seorang pun boleh melakukan qiyas sehingga ia menjadi ‘alim, 
mengetahui dengan baik sunnah Nabi, pendapat para ulama salaf dan bahasa
 Arab. Ia juga harus mempunyai akal yang sehat sehingga mampu membedakan
 antara yang rancu (musytabih), tidak tergesa-gesa mengeluarkan 
pendapat, dan tidak enggan mendengar pendapat orang yang menentangnya. 
Sebab dengan mendengarkan orang lain, bisa jadi mengingatkan apa yang 
terlewat dan kesalahan yang ia yakini benarnya.
3. Pendapat Maz\hab Sya>fi’i tentang Hukum Umrah
Maz\hab Sya>fi’i berpendapat bahwa ‘umrah hukumnya wajib dilakukan 
sekali seumur hidup.  Mereka mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Allah SWT berfirman:
وأتموا الحج والعمرة لله
Ayat ini memerintahkan kita agar menyempurnakan ibadah haji dan ‘umrah. 
Menyempurnakan artinya melakukan sesuatu hingga tuntas dan utuh. Maka 
hal ini menunjukkan bahwa perintah menyempurnakan ibadah haji dan ‘umrah
 hukumnya wajib. Selain itu, pada umumnya al-Amr itu menunjukkan arti 
wajib, dan pada dasarnya antara ma’tuf ‘alaih yaitu lafal al-hajji dan 
ma’tuf yaitu lafal al-’umrah mempunyai kesamaan hukum.
b. Dalil berupa h}adis\, mengenai pertanyaan ‘Am Ah}mad bin H{anbal, yang selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن فضيل قال ثنا حبيب بن أبي عمرة عن عائشة ابنة طلحة عن عائشة 
قالت قلت يا رسول الله هل على النساء من جهاد ؟ قال نعم عليهن جهاد لا قتال
 فيه الحج والعمرة
BAB IV
ANALISIS DAN TARJIhan h}adi>s\
Ketika seorang mujtahid menetapkan suatu hukum maka hal itu tidak bisa 
dipisahkan dari keberadaan dalil-dalil yang mendasarinya. Maz\hab 
Ma>liki> berpendapat bahwa ‘umrah hukumnya sunnah mu’akkadah 
sekali seumur hidup.  Dalil yang digunakan adalah h}adi>s\ berupa 
tanya jawab tentang hukum ‘umrah, yang kemudian dijawab Nabi bahwa 
hukumnya tidak wajib. H{adi>s\ ini diriwayatkan oleh Ima>m 
at-Tirmiz\i, yang selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن عبد الأعلى الصنعاني حدثنا عمر بن علي عن الحجاج عن محمد بن 
المنكدر عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن العمرة أواجبة هي؟ قال
 لا وأن تعتمروا هو أفضل
Sedangkan maz\hab Sya>fi’i berpendapat bahwa ‘umrah hukumnya wajib
 dilakukan sekali seumur hidup. Dalil yang digunakan adalah h}adi>s\ 
mengenai pertanyaan ‘As tersebut diriwayatkan oleh Ima>m Ah}mad bin 
H{anbal, yang selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن فضيل قال ثنا حبيب بن أبي عمرة عن عائشة ابنة طلحة عن عائشة 
قالت قلت يا رسول الله هل على النساء من جهاد ؟ قال نعم عليهن جهاد لا قتال
 فيه الحج والعمرة
Untuk mengetahui validitas (kesahi>han) dalil yang digunakan baik 
oleh maz\hab Ma>liki maupun maz\hab Sya>fi’i yang dalam hal ini 
berupa h}adi>s\, maka perlu diperhatikan kaidah-kaidah yang 
berhubungan dengan kesahihan sanad h}adi>s\ dan matannya. Dalam 
penelitian sanad, ada beberapa kaedah yang harus dipenuhi sebagai syarat
 untuk menentukan kesahihannya. Kaedah-kaedah tersebut dapat dibagi 
menjadi dua bagian,  yakni kaedah-kaedah yang bersifat umum (mayor) dan 
kaedah yang bersifat khusus (minor). Unsur-unsur kaedah mayor kesahihan 
sanad h}adi>s\ adalah:
a. Sanadnya bersambung (muttas}il)
b. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat ‘adil.
c. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat d}a>bit}.
d. Sanad h}adi>s\ itu terhindar syuz\u>z\.
e. Sanad h}adi>s\ itu terhindar dari illat.
Dari kaedah-kaedah mayor tersebut diperinci lagi kepada kaedah-kaedah 
minor yang harus dipenuhi sebagai syarat h}adi>s itu berkualitas 
(s}ah}i>h} sanadnya). Unsur-unsur kaedah minor di atas antara lain:
a. Sanad bersambung.
Suatu sanad dapat dikatakan bersambung apabila :
1. Seluruh perawi dalam sanad itu benar-benar s\iqah (adil dan d}a>bit}).
2. Antara masing-masing perawi dengan perawi terdekat sebelumnya yang 
ada dalam sanad itu benar-benar telah ada hubungan periwayatan 
h}adi>s\ secara sah menurut ketentuan at-tahammul wa ‘ada> 
al-h}adi>s.
b. Periwayat bersifat ‘adil
Seseorang dapat dikatakan adil, bila memenuhi persyaratan berikut:
1. Muslim.
2. Mukalaf.
3. Melaksanakan ketentuan agama.
4. Memelihara muru’ah.
c. Periwayat bersifat d}a>bit.
Unsur-unsur kaedah minor dari kaedah mayor perawi yang d}a>bit} adalah:
1. Perawi memahami dengan baik riwayat yang telah diterimanya.
2. Perawi itu hafal dengan baik riwayat yang telah diterimanya.
3. Perawi itu mampu meriwayatkan riwayat yang telah dihafalnya itu 
dengan baik kapan saja dia menghendaki dan sampai saat dia menyampaikan 
riwayat itu kepada orang lain.
d. Terhindar dari Syuz\u>z\ (Kejanggalan)
Menurut pendapat Ima>m as-Sy>afi’i, unsur-unsur kaedah minor dari 
 kaedah ini adalah sebuah h}adi>s\ dikatakan berkemungkinan 
mengandung sya>z\ apabila:
1. H{adi>s\ itu memiliki lebih dari satu sanad.
2. Para periwayat h}adi>s\ itu seterusnya s\iqah.
3. Matn atau sanad itu ada yang mengandung pertentangan.
e. Terhindar dari ‘Illat
Unsur-unsur kaedah minor yang ditetapkan dari kaedah mayor di atas adalah sebuah hadis dinyatakan ber’illat apabila :
1. Sanad yang tampak muttas}il dan marfu>’ ternyata muttas}il tetapi mauqu>f.
2. Sanad yang tampaknya muttas}il dan marfu>’, ternyata muttas}il tapi mursal (hanya sampai pada tabi’in)
3. Terjadi percampuran antara satu h}adi>s\ dengan h}adi>s\ lain.
4. Terjadi kesalahan penyebutan riwayat karena kemiripan nama dan sebagainya sedang kualitasnya tidak sama-sama s\iqah.
Sedangkan untuk menentukan suatu matn yang berkualitas s}ah}i>h} maka
 ada dua unsur kesahihan matn yang harus dipenuhi yaitu :
a. Terhindar dari syuz\u>z\ (kejanggalan)
b. Terhindar dari ‘illat (cacat).
Penelitian mengenai kesahihan matn ini tidak mudah dilakukan apalagi 
kitab-kitab khusus yang menghimpun berbagai matn yang mengandung 
syuz\u>z\ ataupun illat belum ada.  Selain persyaratan di atas, ulama
 h}adi>s\ menerangkan tanda-tanda yang berfungsi sebagai tolak ukur 
bagi matn yang s}ah}i>h}. Adapun tolak ukur penelitian matn 
(Ma’a>yir Naqd al-Matn) yang dikemukakan para ulama tidaklah seragam,
 ada yang terlalu ketat ada pula yang longgar. Menurut al-Kha>t}ib 
al-Bagdadi, suatu matn h}adi>s\ baru yang dinyatakan maqbu>l 
(diterima karena berkualitas s}ah}i>h}) apabila:
a. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
b. Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang muhkam.
c. Tidak bertentangan dengan h}adi>s\  mutawa>tir.
d. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama salaf.
e. Tidak bertentangan dengan h}adi>s\  a>ha>d yang kesahihannya lebih kuat.
Pendapat tersebut kelihatan cukup selektif, namun ada pula yang 
melonggarkan persyaratan tersebut sebagaimana Ibn al-Jauzi> dalam 
karyanya “al-Maudu>rat” yang dikutip oleh Syuhudi Ismail menyatakan: 
“Setiap h}adi>s\ yang bertentangan dengan akal ataupun ketentuan 
agama maka ketahuilah bahwa h}adi>s\ tersebut adalah h}adi>s\ 
palsu.”   Selanjutnya jumhur ulama h}adi>s\ menjelaskan tanda-tanda 
matn h}adi>s\ yang palsu itu adalah:
a. Susunan bahasa rancu.
b. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan akal sehat dan sulit diinterpretasikan secara rasional.
c. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam.
d. Kandungan pernyatannya bertentangan dengan sunnatulla>h.
e. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an ataupun h}adi>s\ mutawa>tir.
f. Kandungan pernyataannya berada di luar kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran hukum Islam.
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai metode penerimaan dan penyampaian 
h}adi>s\  (at-Tah}ammul wa Ada>’ al-H{adi>s\) yang dalam hal 
ini ada delapan macam, yaitu:
a. Sama’ min lafz}i asy-Syaikhihi, yakni mendengar sendiri dari 
perkataan gurunya, baik secara didiktekan maupun tidak, baik dari 
tulisan maupun hafalan. Cara yang demikian merupakan cara yang 
tertinggi, sedang lafal-lafal yang digunakan dalam metode ini adalah 
akhbarani>, akhbarana>, haddas\ani>, haddas\ana>, sami’tu 
dan sami’na>.
b. Al-Qira>’ah ‘ala> asy-Syaikh (al-‘Arad}), yakni si pembaca 
menyuguhkan h}adis\nya ke hadapan sang guru, baik ia sendiri yang 
membaca maupun orang lain yang membacanya sedang dia mendengarnya, 
sedang lafal-lafal yang dipergunakan dalam metode ini adalah qara’tu 
‘alaihi, quri’a ‘ala> fula>n wa ana> asma’u, haddas\ana> 
atau akhbarana> qiratan ‘alaihi.
c. Al-Ija>zah, yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain 
untuk meriwayatkan h}adi>s\ dari padanya atau kitab-kitab 
periwayatannya yang metode ini diperselisihkan oleh para ulama tapi 
jumhur muh}addis\i>n membolehkan periwayatan dengan metode ini, 
metode ija>zah ini ada tiga tipe antara lain :
1. Ija>zah fi Mu’ayyanin li Mu’ayyanin, adalah izin meriwayatkan 
sesuatu yang tertentu kepada orang tertentu dengan lafal Ajaztu laka 
riwa>yah al-kita>b al-fula>ni ‘anni>.
2. Ija>zah Fi> Gairi Mu’ayyanin li Mu’ayyanin, adalah izin untuk 
meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tertentu 
dengan lafal Ajaztu laka jami>’a masmu>’ati> aw 
marwiyya>ti>.
3. Ija>zah Gairi Mu’ayyanin, adalah izin untuk meriwayatkan sesuatu 
yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu dengan lafal Ajaztu
 li al-muslimi>na jami>’a masmu>’ati>.
d. Al-Muna>walah, yakni seorang guru memberikan sebuah naskah asli 
kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksi untuk diriwayatkan. 
Metode al-Muna>walah ini ada dua tipe :
1. Dengan dibarengi ija>zah, lafal yang digunakan antara lain 
Ha>z\a> sama>’i au riwa>yati> ‘an fula>nin fa arwihi 
au anbi’ni au anbi’na.
2. Tanpa dibarengi ija>zah, lafal yang digunakan antara lain 
Ha>z\a> sama>’i au riwa>yati, na>wilni>, 
na>wilna>.
e. Al-Muka>tabah, yakni seorang guru yang menulis sendiri atau 
menyuruh orang lain menulis beberapa h}adi>s\ kepada orang di tempat 
lain yang ada di hadapannya, metode inipun ada dua tipe yaitu :
1. Dengan dibarengi ija>zah, lafal yang digunakan antara lain Ajaztu 
laka ma> katabtuhu ilaika, Ajaztu ma> katabtuhu ilaika.
2. Tanpa dibarengi ija>zah, lafal yang digunakan antara lain 
H{addas\ani> fula>nun kita>batan, akhbarani> fula>nun 
kita>batan, kataba ilayya fula>nun.
f. Al-Wija>dah, yakni memperoleh tulisan h}adi>s\ orang lain yang 
tidak diriwayatkannya baik dengan lafal as-Sama>’, al-Qira>’ah 
maupun selainnya, dari pemilik h}adi>s\ atau pemilik tulisan 
tersebut. Metode ini pun masih diperselisihkan di kalangan ulama. Lafal 
yang digunakan adalah Qara’tu bi khat}t}i fula>nin, Wajadtu bi 
khat}t}i fula>nin, Haddas\ana> fula>nun wija>datan.
g. Al-Was}iyyah, yakni pesan seseorang yang dikatakan mati atau 
bepergian, dengan sebuah kitab supaya diriwayatkan. Ibnu Sirin 
membolehkan periwayatan dengan metode ini sedang jumhur ulama tidak 
membolehkannya kecuali dengan ija>zah dari pewasiat. Lafal yang 
digunakan adalah Aus}a> ilayya fula>nun bi kita>bin qa>la 
fi>hi haddas\ana>…..
h. Al-I’la>m, yakni pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa 
h}adi>s\ yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima
 dari seorang guru, dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid 
meriwayatkannya. H{adi>s\ yang diriwayatkan berdasarkan al-I’la>m 
ini tidak boleh, karena adanya kemungkinan bahwa sang guru telah 
mengetahui bahwasanya dalam h}adi>s\ tersebut ada cacatnya. Lafal 
yang digunakan adalah a’lamani> fula>nun qala haddas\ana> …..
Sedangkan cara meriwayatkan (menyampaikan) h}adi>s\ yang dalam ilmu 
hadisnya disebut Ada>’ al-H{adi>s\  ini pun berbeda-beda karena 
cara yang dipakai untuk menerima h}adi>s\ dari guru yang memberikan 
pun berbeda-beda. Perbedaan lafal dalam menyampaikan h}adi>s\ ini 
mengakibatkan perbedaan nilai suatu h}adi>s\ yang diriwayatkan.  
Lafal-lafal untuk menyampaikan h}adi>s\ itu dapat dikelompokkan 
kepada dua kelompok yaitu:
a. Lafal untuk meriwayatkan hadis bagi para ra>wi’ yang mendengar 
langsung dari gurunya, lafal-lafal itu  tersusun sebagai berikut :
سمعنا، سمعت  Kedua lafal  ini menjadikan nilai h}adi>s\ yang diriwayatkannya tinggi martabatnya,
kemudian lafal :  حدثني, حدثنا (دثنا، نا، ثنا، نى، ثنى)
kemudian lafal :  (أخانا، أبانا، أرنا، انا) أخبرنا، أخبرنى
kemudian lafal  نباء ناء)  أنباءنا
 نباء ناء)  أنباءنا
kemudian lafal :ذكرلى (لنا) فلان، قال لى (لنا)
Terkadang pula digunakan lafal قثنا  berarti قال حدثنا atau  قثنى yang berarti قال حدثنى
b. Lafal riwayat bagi ra>wi  yang mungkin mendengar sendiri atau 
tidak mendengar sendiri. Lafal yang digunakan adalah Anna, ‘an, h}ukiya,
 ruwiya.
c. H{adi>s\ yang diriwayatkan dengan s}igat ini tidak dapat digunakan
 untuk menetapkan bahwa Nabi benar-benar menyabdakan, kecuali ada 
qarinah lain.
Untuk h}adi>s\ Mu’an’an (yang meriwayatkan dengan lafal ‘an) dan 
h}adi>s\ yang Muannan (yang diriwayatkan dengan lafal anna) dapat 
dinilai bersambung sanadnya bila telah memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Pada sanad h}adi>s\ yang bersangkutan tidak terdapat tadli>s (penyembunyian cacat).
b. Para periwayat yang namanya beriring dan di antarai oleh lambang ‘an ataupun anna itu telah terjadi pertemuan.
c. Periwayatan yang menggunakan lambang ‘an ataupun anna adalah periwayatan yang terpercaya (s\iqah).
Berdasakan teori-teori kesahihan h}adi>s\ di atas, penyusun akan 
mencoba menganalisis sanad dan matn h}adi>s\\ mengenai permasalahan 
ini sehingga bisa diketahui valid tidaknya h}adi>s\\  itu dijadikan 
hujjah.
Dalil yang digunakan maz\hab Ma>liki adalah h}adi>s\ yang diriwayatkan oleh Ima>m at-Tirmizi berbunyi:
حدثنا محمد بن عبد الأعلى الصنعاني حدثنا عمر بن علي عن الحجاج عن محمد بن 
المنكدر عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن العمرة أواجبة هي؟ قال
 لا وأن تعتمروا هو أفضل
Setelah mendapatkan sanad h}adi>s\ tersebut, maka perlu diteliti 
biografi para perawi untuk mengetahui apakah sanadnya muttas}il atau 
tidak serta apakah para perawi di atas adil dan d}a>bit}. 
Berikut 
pemaparan biografi mereka:
1. Ima>m at-Tirmiz\i
a. Nama Lengkap: Muh}ammad bin ‘I> bin Saurah bin Mu>sa> 
ad}-D{{ah}h}ak Abu I< at-Tirmiz\i>. Beliau wafat pada tahun 279 H.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru beliau banyak 
sekali antara lain, Qutaibah, 
Abu> Mus}’ab, al-Bukhari> dan 
lain-lain. Murid b eliau juga banyak sekali antara lain, Ahmad bin 
‘Abdullah bin Da>u>d al-Marwazi, Muhammad bin Mahbu>b Abu 
al-‘Abbas,  Ahmad bin Yu>suf an-Nasafi.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1). Ibn Hibban: Muh}ammad bin ‘I>m h}adis\ yang diakui kapasitas 
keilmuan dan kepribadiannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sanad 
beliau dengan Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni muttas}il.
2. Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni
a. Nama Lengkap: Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni 
al-Qaisi> Abu> ‘Abdilla>h. Beliau berdiam di kota Basrah dan 
wafat di kota yang sama pada tahun 254 H.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru Muh{ammad bin 
‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni cukup banyak, antara lain; Marwa>n 
bin Mu’a>wiyah, ‘Umar bin Ali> al-Muqaddami>, Mu’tamir bin 
Sulaima>n dan lain-lain. Murid beliau juga banyak antara lain; Muslim
 dan Abu> Da>u>d, at-Tirmizi, an-Nasa>’i>, Ibnu Ma>jah
 dan Hila>l bin al-‘Ala>’, Abu> Zur’ah dan lain-lain.
c. Pernyataan para ulama kritikus hadis tentang dirinya:
1). Abu> Zur’ah: Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni s\iqah.
2). Abu> H{a>tim: Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni s\iqah.
3). Ibn H{ibba>n: Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni s\iqah.
4). Al-Bukha>ri>: Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni s\iqah.
5). An-Nasa>’i>: Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni merupakan orang yang terbaik.
Tampak dari penilaian para kritikus h}adi>s\, Muh{ammad bin ‘Abd 
al-A’la> as}-S{an’a>ni adalah orang yang s\iqah. Dengan demikian, 
sanad beliau dengan ‘Umar bin ‘Ali muttas}il.
3. ‘Umar bin ‘Ali>
a. Nama Lengkap: ‘Umar bin ‘Ali> bin ‘At}a>’ bin Miqdam (al-Muqaddami>).
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru  ‘Umar bin 
‘Ali> bin ‘At}a>’ bin Miqdam (al-Muqaddami>) banyak sekali, 
antara lain Isma>’il bin Abi> Kha>lid, Yah}ya> bin Sai>d 
al-Ans}a>ri>, Hisya>m bin Urwah dan lain-lain. Murid beliau 
juga banyak, antara lain Abu> Z{afar ‘Abd as-Sala>m bin Mut}ahhar,
 Qutaibah bin Sai>d, Muh}ammad bin Hisya>m bin Abi Khairah 
as-Sudu>si>, dan lain-lain.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1). ‘Abdullah bin Ahmad: ‘Umar bin ‘Ali merupakan orang yang baik, namun mudallis.
2). Yahya bin Main; ‘Umar bin ‘Ali adalah mudallis, namun baik perangainya.
3). Ibn Sa’d: ‘Umar bin ‘Ali s\iqah, juga mudallis berat.
4). Hisyam bin ‘Urwah: ‘Umar bin ‘Ali adalah orang baik, tetapi 
mudallis. Aku tidak menerima riwayatnya kecuali ia berkata 
haddas\ana>.
5). Al-A’masy: ‘Umar bin ‘Ali adalah orang baik, tetapi mudallis. Aku 
tidak menerima riwayatnya kecuali ia berkata haddas\ana>.
6). Abu Hatim: Ia orang jujur. Kalau tidak karena tadlis-nya, tentu kami
 akan menerimanya. Namun kami khawatir ia mengambil h}adi>s\ dari 
orang yang tidak s\iqah.
7). Ibn ‘Adiyy: Saya harap ia tidak mengapa.
8). Ibn Hibban: ‘Umar bin ‘Ali adalah orang s\iqah.
9). As-Sa>ji>: ‘Umar bin ‘Ali  orang yang sangat jujur.
10). Al-‘ijli: ‘Umar bin ‘Ali orang yang s\iqah.
Tampak dari penilaian para kritikus h}adi>s\, ‘Umar bin ‘Ali 
merupakan orang yang s\iqah, dapat dipercaya, meskipun ia menggunakan 
lambang ‘an dalam periwayatannya. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa 
‘Umar bin ‘Ali muttas}il sanadnya dengan H{ajja>j.
4. Hajja>j bin Art}a>h
a. Nama Lengkap: Hajja>j bin Art}}a>h bin S||aur bin Hubairah bin 
Syara>hi>l an-Nakha’i> Abu> Art}a>h al-Kufi>. Beliau 
berdiam dikufah dan wafat dikota yang sama  pada tahun 145 H.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru beliau  banyak 
sekali, antara lain asy-Sya’bi>, At}a>’ bin Abi Raba>h}, Amr 
bin Syu’aib dan lain-lain. Murid Beliau juga banyak, antara lain 
Mans}u>r bin al-Mu’tamir, Muh}ammad bin Isha>q, Qais bin Sa’ad 
al-Makki> dan lain-lain.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1) Al-‘Ijli>: Hajja>j bin Art}}a>h faqih, namun dia lemah. Ia 
pernah berkata, ‘Kecintaan akan harta dan kedudukan telah 
membinasakanku.’
2) Yahya bin Ma’i>n: Hajja>j bin Art}}a>h sangat jujur, dan tidak kuat serta mudallis.
3) Ibn al-Madini: Saya tinggalkan (hadis-hadis) Hajja>j bin 
Art}}a>h dengan sengaja dan tidak saya tulis hadisnya sama sekali.
4) Abu H{a>tim: Hajja>j bin Art}}a>h sangat jujur namun 
mudallis. Apabila ia mengatakan haddas\ana, maka ia benar, tidak 
diragukan kejujuran dan hafalannya, tetapi kalau pendengaran h}adis\nya 
diragukan, maka h}adis\nya tidak dijadikan hujjah.
5) Ibn al-Mubarak: Hajja>j bin Art}}a>h mudallis, dan matru>k (hadisnya ditinggalkan).
6) An-Nasa>’i: Hajja>j bin Art}}a>h tidak kuat.
7) Ibn ‘Adiyy: Para ulama mencela periwayatan Hajja>j bin Art}}a>h karena ia men-tadlis dari az-Zuhri dan perawi lainnya.
  Ya’qu>b bin Syaibah: Hajja>j bin Art}}a>h seorang yang lemah hadisnya, dan melakukan banyak id}tira>b (kesalahan).
9) As-Sa>ji>: Hajja>j bin Art}}a>h mudallis, sangat jujur, 
buruk hafalannya, dan hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah dalam 
masalah furu’ dan hukum.
Dari pernyataan para kritikus di atas, Hajja>j bin Art}}a>h 
merupakan seorang mudallis yang lemah, buruk hafalannya, namun juga 
seorang yang faqih. Semua kritikus hadis sepakat ia adalah orang yang 
hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali ia berkata bahwa ia 
menerima hadis dengan kata haddas\ana>. Berhubung, Hajja>j bin 
Art}}a>h tidak mengatakan menerima hadis\ ini dengan lambang 
haddas\ana, namun dengan lambang ‘an, dapat dikatakan bahwa Hajja>j 
bin Art}}a>h tidak muttas}il sanadnya dengan Muh}}ammad bin 
al-Munkadir. Atau, bisa pula Hajja>j bin Art}}a>h sesungguhnya 
menerima hadis\ ini dari perawi lain, lalu menisbatkannya secara 
langsung kepada Muh}}ammad bin al-Munkadir. Atau Hajja>j bin 
Art}}a>h memang benar menerima hadis ini dari Muh}}ammad bin 
al-Munkadir, tetapi lupa materi hadis\nya secara keseluruhan, tentang 
konteks hadis\nya, atau ia menganggap apa yang sebenarnya bukan hadis\ 
sebagai hadis\ yang berasal dari Nabi.
5. Muh}}ammad bin al-Munkadir
a. Nama Lengkap: Muh}ammad bin al-Munkadir bin Abdilla>>h bin 
al-Hudair bin ‘Abd al-‘Uzza> bin Aris\ bin H{a>ris\ah bin Sa’ad 
bin Taim bin Murrah at-Taimi> Abu> ‘Abdilla>h. Beliau berdiam 
di Madinah dan wafat di kota yang sama pada tahun 131 H.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru Muhammad bin 
al-Munkadir bin Abdilla>h bin al-Hudair banyak sekali, antara lain 
Abu> Hurairah, ‘A Ayyu>b, dan lain-lain. Murid beliau juga banyak 
antara lain Zaid bin Aslam, ‘Amr bin Di>na>r, az-Zuhri>, dan 
lain-lain.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1) Ishaq bin Rahawaih: Muh}ammad bin al-Munkadir merupakan orang yang 
jujur, dan tidak ada orang yang lebih layak diterima hadis\nya  selain 
dia.
2) Al-Humaidi: Muh}ammad bin al-Munkadir siqah.
3) Yahya bin Ma’in: Muh}ammad bin al-Munkadir siqah.
4) Abu Hatim: Muh}ammad bin al-Munkadir siqah.
5) Ibn Hibban: Muh}ammad bin al-Munkadir siqah dan merupakan salah satu tokoh qari’.
Dari penilaian para kritikus hadis di atas, tampak Muh}ammad bin 
al-Munkadir merupakan orang yang siqah, sehingga meskipun ia menggunakan
 lambang ‘an dalam periwayatannya ia dapat dipercaya. Artinya, Muh}ammad
 bin al-Munkadir muttasil sanadnya dengan Jabir RA.
6. Ja>bir bin Abdulla>h.
a. Nama Lengkap: Ja>bir bin Abdulla>h bin ‘Amr bin H{ara>m bin 
S|a’labah al-Khazraji> as-Silmi> Abu ‘Abdilla>h. Beliau berdiam
 dikota Madinah dan wafat dikota yang sama pada tahun 78H.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru Ja>bir bin 
Abdulla>h banyak sekali, antara lain Nabi Muhammad SAW, Abu> 
Bakar, ‘Umar, ‘Ali>, Abu> ‘Ubaidah, dan lain-lain. Dan di antara 
murid beliau Sai>d bin Musayyab, asy-Sya’bi>, At}a’ bin Abi> 
Raba>h}, dan lain-lain.
Beliau merupakan s}ah}a>bat, suatu tingkatan yang paling tinggi yang 
tidak perlu diteliti kembali sifat ‘adalahnya. Mengenai Ja>bir bin 
Abdulla>h, sejarah mencatat bahwa beliau tidak ketinggalan mengikuti 
satu peperangan pun setelah ayahnya, Abdullah wafat.
Dari pemaparan biografi para periwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa 
semua rawi yang meriwayatkan hadis di atas s\iqah dan sanadnya muttas}il
  kecuali Hajja>j bin Art}}a>h. Hajja>j bin Art}}a>h yang di
 kalangan ahli h}adis\ dikenal sebagai seorang yang mudallis. Semua 
kritikus h}adis\ sepakat ia adalah orang yang h}adis\nya tidak dapat 
dijadikan hujjah, kecuali ia berkata bahwa ia menerima h}adis\ dengan 
kata haddas\ana>. Berhubung, Hajja>j bin Art}}a>h tidak 
mengatakan menerima h}adis\  ini dengan lambang haddas\ana, namun dengan
 lambang ‘an, dapat dikatakan bahwa Hajja>j bin Art}}a>h tidak 
muttas}il sanadnya dengan Muh}}ammad bin al-Munkadir. Atau, bisa pula 
Hajja>j bin Art}}a>h sesungguhnya menerima h}adis \ ini dari 
perawi lain, lalu menisbatkannya secara langsung kepada Muh}}ammad bin 
al-Munkadir. Atau Hajja>j bin Art}}a>h memang benar menerima 
h}adis\ ini dari Muh}}ammad bin al-Munkadir, tetapi lupa materi 
h}adis\nya secara keseluruhan, tentang konteks h}adis\nya, atau ia 
menganggap apa yang sebenarnya bukan h}adis\ sebagai h}adis\  yang 
berasal dari Nabi. Dengan demikian, h}adis\ ini merupakan h}adis\ 
d}a’if.
Untuk menilai sejauh mana kesahihan matan h}adis\, maka isi h}adis\ itu 
harus diuji dengan al-Qur’an, as-Sunah yang lebih kuat, fakta sejarah 
dan akal sehat. Namun, perlu diingat tidak semua h}adis\ yang 
bertentangan dengan salah satu keempat tolok ukur pasti ditolak. Untuk 
menilai kesahihan matan h}adis, diperlukan ketelitian, kecermatan yang 
mumpuni, di samping pengalaman yang cukup.
Pertama, al-Qur’an. Dari titik ini, timbul pertanyaan isi h}adis itu 
sesuai atau tidak dengan isi al-Qur’an? Sejauh pengetahuan penyusun, 
ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan masalah ‘umrah, tak ada yang 
menjelaskan hukumnya secara definitif. Dalam hal ini, ada ayat yang 
berbunyi:
وأتموا الحج والعمرة لله
Dalam ayat ini, disebutkan lafal al-’Umrah yang dikaitkan dengan lafal 
al-Hajj yang diperintahkan untuk disempurnakan. Dalam memahami ayat ini,
 para ulama berbeda pendapat. Satu hal yang mereka sepakati yakni hukum 
haji adalah wajib. Sedangkan mengenai al-’Umrah yang menjadi ma’t}uf 
dari ma’t}uf ‘alaih lafal al-Hajj, para ulama berbeda pendapat. Ulama 
yang mengatakan bahwa hukum ma’t}uf  dan ma’t}uf ‘alaih adalah sama, 
akan mengatakan bahwa umrah juga wajib hukumnya. Sedangkan, ulama yang 
mengatakan bahwa ma’t}uf tidak mesti sama dengan hukum ma’t}uf ‘alaih 
akan mengatakan bahwa hukum umrah tidak mesti sama dengan hukum haji. 
Pada langkah ini, belum bisa diputuskan apa hukum umrah dalam al-Qur’an.
Kedua, as-Sunnah yang lebih kuat. Hadis\ yang dijadikan dalil oleh 
maz\hab Maliki menyatakan dengan gamblang bahwa hukum umrah tidak wajib.
 Kemudian, hal ini perlu diteliti apakah ada hadis\ lain yang semakna 
dengannya atau malah bertentangan? Sejauh penelusuran penyusun memang 
ada hadis\ yang memperkuat matan hadis\ ini, di samping ada pula  
h}adi>s\ lain yang menentang matan h}adi>s\ ini.
Di antara h}adi>s\ yang memperkuatnya yaitu h}adi>s\ yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah yang berbunyi:
حدثنا هشام بن عمار حدثنا الحسن بن يحيى الخشني حدثنا عمر بن قيس أخبرني 
طلحة بن يحيى عن عمه إسحق بن طلحة عن طلحة بن عبيد الله أنه سمع رسول الله 
صلى الله عليه وسلم يقول الحج جهاد والعمرة تطوع
Matan h}adi>s\ di atas menyamakan haji dengan jihad, sementara umrah 
dikatakan tat}awwu’ yaitu tidak wajib. Untuk mengetahui apakah rangkaian
 periwayatan matan di atas bersambung atau tidak, penyusun menelusurinya
 lewat CD Kutub at-Tis’ah. Ternyata didapat keterangan bahwa semua 
perawinya s\iqah kecuali Umar bin Qais. Ia adalah seorang yang matruk 
al-h}adi>s. Ini artinya h}adi>s\-h}adi>s\nya tidak dapat 
dijadikan hujjah. Dan karenanya, gugurlah hadis\ “al-Hajj Jihad wa 
al-Umrah tat}awwu’”, yaitu tidak dapat dijadikan syahid (penguat) 
h}adi>s\ yang dijadikan dalil oleh maz\hab Maliki.
Langkah ketiga yaitu membenturkannya dengan fakta sejarah, atau bisa 
pula sabab al-wurud atau konteks h}adi>s\ ini disampaikan. Sejauh 
pengetahuan penyusun, dalam kitab al-Bayan wa at-Ta’rif , h}adi>s\ 
yang dijadikan dalil oleh maz\hab Maliki tidak tercantum di dalamnya. 
Ini artinya h}adi>s\ itu tidak atau belum diketahui sabab al-wurudnya
 atau memang tidak ada. Dan kapan h}adi>s\ ini mulai beredar juga 
sulit dilacak, apakah muncul setelah firman Allah atau sebelumnya? Hal 
ini sulit dilacak.
Langkah terakhir menilik sejauh mana keselarasannya dengan akal sehat. 
H}adi>s\ ini yang berkaitan dengan amal ibadah tentu tidak perlu dan 
memang tidak layak ditimbang dengan akal. Karena ibadah yang berkaitan 
dengan ritual, secara konsensus umat, diterima secara ta’abbudi  
sehingga amat tidak layak ditimbang dengan akal.
Akan tetapi ada satu hal yang mengganjal penyusun kenapa h}adi>s\ ini
 menjelaskan hukum umrah secara gamblang seperti layaknya kitab fiqh 
atau orang alim ditanya tentang suatu persoalan agama? Padahal istilah 
wajib dan sebagainya belum muncul pada masa Nabi SAW. Pada masa itu, 
belum dikenal adanya pembagian lima macam hukum yang kini telah 
dibakukan.
Dari kecurigaan ini, penyusun menyangsikan h}adi>s\ ini berasal 
langsung dari Nabi SAW. Menurut penyusun, matan h}adi>s\ ini berasal 
dari selain Nabi, bisa tingkatan sahabat atau di bawahnya. Menurut 
dugaan penyusun, matan h}adi>s\ ini adalah perkataaan s}ahabat Jabir,
 yang kemudian oleh salah seorang perawi di bawahnya dinisbatkan kepada 
Nabi. Ini berdasarkan keterangan as-San’a>ni> yang mengatakan 
h}adi>s\ itu mauquf pada Jabir.
Dengan demikian, menurut hemat penyusun matan h}adi>s\ ini pun 
d}a’if, dan berarti h}adi>s\ ini berkualitas d}a’if, d}aif pada sanad
 dan juga matannya.
Adapun dalil yang digunakan maz|\hab Sya>fi’i adalah h}adi>s\ 
mengenai pertanyaan ‘As\ tersebut diriwayatkan oleh Ima>m Ah}mad bin 
H{anbal yang berbunyi:
حدثنا محمد بن فضيل قال ثنا حبيب بن أبي عمرة عن عائشة ابنة طلحة عن عائشة 
قالت قلت يا رسول الله هل على النساء من جهاد ؟ قال نعم عليهن جهاد لا قتال
 فيه الحج والعمرة
Setelah mendapatkan sanad h}adi>s\ tersebut, maka perlu diteliti 
biografi para perawi untuk mengetahui apakah sanadnya muttas}il atau 
tidak serta apakah para perawi di atas adil dan d}a>bit}. Berikut 
pemaparan biografi mereka:
1. Ah}mad bin H{anbal
a. Nama lengkapnya: Ah}mad bin Muh}ammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad 
asy-Syaiba>ni> Abu> Abdilla>h al-Marwa>zi> 
al-Bagda>di> (164-241 H).
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru Ahmad bin Hanbal 
cukup banyak, antara lain Sufya>n bin ‘Uyainah, Yahya> bin 
Sa’I>d al-Qat}t}a>n, asy-Sya>fi’i> dan lain-lain. Murid 
beliau juga banyak, antara lain al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> 
Dau>d, asy-Sya>fi’i>, Yahya> bin Ma’i>>>n, dua 
orang putranya Abdulla>h dan Sa>lih dan lain-lain.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1) Ibnu Ma’i>n: Saya tidak melihat orang yang lebih baik (pengetahuannya di bidang h}adi>s\) melebihi Ahmad.
2) Al-Qat}t}}a>n: Tidak ada orang datang kepada saya yang kebaikannya melebihi Ahmad. Beliau adalah hiasan umat.
3) Asy-Sya>fi’i>: Saya keluar dari Bagdad dan di belakang saya 
tidak ada orang yang lebih paham tentang Islam, lebih zuhud, lebih 
wara’, dan lebih berilmu daripada Ahmad.
4) An-Nasa>’i: Ahmad itu adalah seorang ulama yang s\iqah dan ma’mu>n.
5) Ibn Sa’ad: Ahmad itu s\iqah, s\abt dan s}adu>q.
Tidak ada seorang kritikus pun yang mencela Ahmad bin Hanbal. Pujian 
yang diberikan orang kepadanya adalah pujian yang berperingkat tinggi 
dan tertinggi. Dengan demikian, pernyataannya yang mengatakan bahwa dia 
telah menerima riwayat hadis di atas dari Muhammad bin Fudail dengan 
metode as-sima>’ dapat dipercaya. Hal ini berarti bahwa sanad anatara
 beliau dan Muh}ammad bin Fud{ail bersambung sanadnya.
2. Muh}ammad bin Fud{ail
a. Nama Lengkap: Muh}ammad bin Fud{ail bin Gazwa>n bin Jari>r 
ad{-D{abbi>. Beliau berdiam di Kufah dan wafat di kota yang sama pada
 tahun 295 H.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis\: Beberapa Guru 
Muh}ammad bin Fud{ail bin Gazwa>n bin Jari>r ad{-D{abbi, antara 
lain Isma’i>l bin Abi> Kha>lid, Abi> Ish}a>q 
asy-Syaiba>ni>, Yah}ya> bin Sa’i>d  al-Ans}a>ri> dan 
lain-lain. Sedangkan di antara murid beliau, Ah}mad bin Hanbal, ‘Amr bin
 Ali> al- Falla>si>, Abdulla>h bin ‘Umar dan lain-lain.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1). Us\ma>n ad-Da>rimi>: Muh}ammad bin Fud{ail s\iqah.
2). Yah{ya> bin Ma’i>n: Muh}ammad bin Fud{ail s\iqah.
3). Abu Zur’ah: Muh}ammad bin Fud{ail sangat jujur.
4). Abu> H{a>tim: Muh}ammad bin Fud{ail nerupakan syaikh (kapasitas keilmuannya diakui).
5). Abu Daud: Muh}ammad bin Fud{ail merupakan orang syi’ah.
6). Ibn Hibban: Muh}ammad bin Fud{ail s\iqah, namun syi’ahnya berlebih-lebihan.
7). Ibn Sa’d: Muh}ammad bin Fud{ail s\iqah dan sangat jujur serta banyak meriwayatkan h}adis\.
8). Al-‘Ijli: Muh}ammad bin Fud{ail s\iqah namun syi’ah.
Dari pernyataan kritikus ulama di atas, tampak Muh}ammad bin Fud{ail 
merupakan orang yang jujur, s\iqah, namun berhaluan syi’ah. Meskipun, ia
 berhaluan syi’ah, h}adisnya dapat diterima sepanjang h}adis yang 
diriwayatkannya tidak menonjolkan ajaran-ajaran syi’ah. Dan karena, 
h}adis ini tidak bersinggungan dengan aliran kelompoknya, maka dapat 
dikatakan bahwa Muh}ammad bin Fud{ail s\iqah, dapat diterima dan 
muttas}il sanadnya dengan H{abi>b bin Abi> ‘Amrah.
3. H{abi>b bin Abi> ‘Amrah
a. Nama Lengkap: H{abi>b bin Abi> ‘Amrah al-Qas}s}a>b Abu> 
‘Abdillah al-H}amani>. Beliau berdiam di Kufah dan wafat di tempat 
yang sama pada tahun 142 H.
b. Guru dan murid dalam periwayatan : Guru H{abi>b bin Abi> ‘Amrah
 antara lain Muja>hid, Sai>d bin Zubair, ‘Ar, Syu’bah, Kha>lid 
 al-Wa>sit}i> dan lain-lain.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1) Yahya bin Ma’in: H{abi>b bin Abi> ‘Amrah s\iqah.
2) An-Nasa’i>: H{abi>b bin Abi> ‘Amrah s\iqah.
3) Abu H{a>tim: H{abi>b bin Abi> ‘Amrah merupakan orang yang s}a>lih.
4) Ahmad bin H{anbal: H{abi>b bin Abi> ‘Amrah orang yang mumpuni keilmuannya dan s\iqah.
5) Ibn H{ibban: H{abi>b bin Abi> ‘Amrah s\iqah.
Berdasarkan pernyataan para kritikus di atas, dapat disimpulkan bahwa 
H{abi>b bin Abi> ‘Amrah s\iqah, sehingga pernyataannya bahwa ia 
menerima h}adis\ dari ‘A<isyah binti T{alh{ah, meskipun menggunakan 
lambang ‘an dapat diterima.
4. ‘A<isyah binti T{alh{ah
a. Nama Lengkap: ‘Ah.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis:  Guru beliau antara 
lain, ‘A Bakr. Muridnya antara lain,  H{abi>b bin Abi> ‘Amrah, 
Sa>lim bin Abi> Umayyah, ‘Abdulla>h bin al-H{a>ris\ dan 
lain-lain.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1) Yah}ya> bin Ma’i>n: ‘A: ‘An: ‘A<isyah binti T{alh{ah s\iqah.
Berdasarkan pernyataan para kritikus di atas, dapat disimpulkan bahwa 
‘A<isyah binti T{alh{ah s\iqah, sehingga pernyataannya bahwa ia 
menerima h}adis\ dari ‘A Bakr, meskipun menggunakan lambang ‘an dapat 
diterima.
5. ‘A Bakr
a. Nama Lengkap: ‘A Bakr as{-S{iddi>q Ummu ‘Abdillah at-Taymiyyah. Beliau berdiam dan wafat di kota Madinah pada tahun 58 H.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis:  Guru beliau antara  
lain, Rasulullah SAW, Abu Bakar as-Siddiq, Hamzah, Fa>t}imah binti 
Rasul, ‘Umar bin Khat}t}a>b dan lain-lain. Murid-muridnya antara 
lain, Ibrahim bin Ya>zid bin Syuraih, Abu ‘Abdillah, Abu ‘Iyad}, ‘A: 
Jika ilmu ‘A<isyah dikumpulkan bersama istri-istri Nabi yang lain dan
 ilmu perempuan yang lain, maka ilmu ‘A<isyahlah yang lebih utama.
2) ‘Urwah: ‘A Raba>h: ‘A Burdah meriwayatkan dari ayahnya: Jika kami 
mempunyai masalah, maka kami pergi ke ‘Abat, suatu tingkatan yang paling
 tinggi yang tidak perlu diteliti kembali sifat ‘adalahnya.
Dari penelitian tentang kepribadian para perawi di atas, nampak bahwa 
semua rawi yang meriwayatkan h}adis\ di atas s\iqah dan sanadnya 
muttas}il. Dengan demikian, sanad hadis ini berkualitas s}ah}ih}.
Untuk meneliti kesahihan matan h}adis yang dijadikan dalil oleh maz\hab 
Syafi’i, perlu diadakan kajian ulang apakah isi h}adis itu sesuai dengan
 al-Qur’an, as-Sunnah yang lebih kuat, fakta sejarah dan akal sehat. 
Mengenai akal sehat, di muka telah diterangkan bahwa ibadah umrah 
bersifat ta’abbudi  yang tidak bisa dicerna akal.
Meskipun h}adis ini secara sanad sahih, namun matannya perlu diteliti 
sebab yang dinamakan h}adis adalah kesatuan antara sanad dan matan.
Pertama, al-Qur’an. Dalam ayat al-Qur’an yang menyebutkan lafal al-Umrah
 tidak disebutkan secara pasti apa hukumnya. Dan para ulama dalam hal 
ini berbeda pendapat, ada yang mengatakan wajib dan ada yang mengatakan 
tidak wajib. Karenanya, langkah pertama belum bisa menentukan apakah 
hukum umrah dalam al-Qur’an.
Langkah kedua, yakni mencari h}adis yang sesuai dengan matan h}adis di 
atas, dan yang juga bertentangan. Dalam pada itu, ternyata ada h}adis 
yang semakna dengan matan h}adis di atas, dan ada pula yang bertenangan 
dengannya.
Di antaranya h}adis yang mendukung matan h}adis ini adalah as\ar riwayat Abu Dawud yang berbunyi:
حدثنا محمد بن قدامة بن أعين وعثمان بن أبي شيبة المعنى قالا حدثنا جرير بن
 عبد الحميد عن منصور عن أبي وائل قال قال الصبي بن معبد كنت رجلا أعرابيا 
نصرانيا فأسلمت حتى أتيت عمر بن الخطاب فقلت له يا أمير المؤمنين إني كنت 
رجلا أعرابيا نصرانيا وإني أسلمت وأنا حريص على الجهاد وإني وجدت الحج 
والعمرة مكتوبين علي فأتيت رجلا من قومي فقال لي اجمعهما واذبح ما استيسر 
من الهدي وإني أهللت بهما معا فقال لي عمر رضي الله عنه هديت لسنة نبيك صلى
 الله عليه وسلم
Dari penelusuran para perawi h}adis ini, didapat keterangan semua 
perawinya s\iqah, yang berarti secara sanad dapat dipertanggungjawabkan.
 Namun, ada pula hadis lain yang bertentangan dengan h}adis yang 
dijadikan dalil mazhab Syafi’i, yaitu h}adis “al-Hajj jihad wa al-Umrah 
tatawwu’.” Hadis\ ini diriwayatkan Imam Ibnu Majah, dan setelah diteliti
 ada perawi yang tidak siqah. Karenanya, h}adis ini tidak mengganggu 
h}adis yang mendukung dalil mazhab Syafi’i.
Langkah ketiga yaitu melihat lebih jauh fakta sejarah yang melingkupi 
h}adis\ itu. Setelah meneliti, didapat keterangan bahwa h}adis itu 
muncul adanya kecemburuan kaum wanita terhdap kaum pria. Kaum wanita 
merasa berkecil hati karena mereka tidak diwajibkan berjihad, padahal 
pahala yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya amat besar. Maka dari itu, 
Aisyah bertanya kepada Rasul apakah kaum wanita juga wajib berjihad agar
 memperoleh balasan pahal yang besar? Nabi menjawab bahwa kaum wanita 
juga wajib berjihad yang tidak perlu menumpahkan darah yaitu haji dan 
umrah.
Menarik untuk dicermati bahwa kedua ibadah ini dikatakan Nabi sebagai 
jihad kaum wanita. Padahal kaum pria juga diwajibkan melaksanakan ibadah
 haji. Dalam pada itu, timbul pertanyaan apakah umrah diwajibkan kepada 
kaum wanita saja? Ternyata tidak, bahkan Nabi dan para sahabat juga 
melakukan umrah. Ini artinya, sabda Nabi berkaitan dengan jihad bagi 
wanita adalah ibadah haji dan umrah yang bila dilaksanakan dengan baik 
dan benar pahalanya akan setara dengan jihad yang dilakukan kaum pria. 
Hal ini merupakan keistimewaan yang diberikan kepada kaum wanita, mereka
 tidak perlu berjihad; berperang di medan laga, namun hanya dengan 
melaksanakan ibadah haji dan umrah, mereka bisa mendapat pahala jihad.
Semua ulama sepakat bahwa haji adalah wajib, sedangkan mengenai umrah 
mereka berbeda pendapat. Dalam hadis ini, umrah disetarakan dengan 
jihad, yang artinya umrah itu hukumnya wajib, dan dalam hal ini, Nabi 
tidak mengkhususkan kewajiban ini pada kaum wanita saja, yang artinya 
juga wajib bagi kaum pria. Karena memang tidak ada nas\s\ syar’i yang 
menjelaskan hal itu. Ini bisa kita lihat pada praktek Nabi yang juga 
melaksanakan umrah. Dengan demikian, kaum pria di samping wajib berjihad
 juga diwajibkan melaksanakan ibadah haji dan umrah jika mampu. Makna 
seperti inilah yang bisa disimpulkan karena memang tidak ada nass yang 
mengatakan bahwa umrah itu hanya wajib bagi kaum wanita.
Dalam pada itu, bila kita meninjau ulang firman Allah:
وأتموا الحج والعمرة لله
Fi’il amr dalam ayat di atas masuk kategori amr. Dan amr dalam pandangan
 ulama us}u>l mempunyai arti yang berbeda-beda. Menurut jumhur, amr 
pada dasarnya menunjukkan arti wajib. Namun ada pula ulama, seperti 
al-Gazza>li, al-A yang mengatakan bahwa amr itu harus ditangguhkan 
terlebih dahulu (tawaqquf) sampai didapatkan qarinah (indikasi) yang 
mengatakan bahwa amr itu menunjukkan arti wajib, sunnah atau pun mubah. 
Bila pendapat kedua yang dipegang, berarti ada qarinah berupa h}adis\ 
–yaitu h}adis\ ini dan yang semakna dengannya– yang menjelaskan makna 
ayat di atas. Yaitu perintah menyempurnakan ibadah haji dan umrah ini 
hukumnya wajib.
Dengan demikian, matan h}adis ini yang dijadikan dalil oleh mazhab Syafi’i juga berkualitas s}ah}ih}.
B. Tarjih
Setelah memaparkan dan mendiskusikan takhrij h}adis\ yang dijadikan 
dalil oleh maz\hab Syafi’i dan maz\hab Maliki, penyusun men-tarjih 
pendapat maz\hab Sya>fi’i dengan alasan:
1) Perawi h}adi>s\ maz\hab Sya>fi’i yaitu ‘As\ maz\hab 
Ma>>liki yaitu Ja>bir. Periwayatan oleh perawi seperti ini 
dianggap lebih kuat karena ketetapan hati kepadanya lebih tinggi, dan 
adanya z}ann dengan ucapannya lebih kuat.
2) Perawi h}adi>s\ maz\hab Sya>fi’i yaitu ‘Abir, perawi h}adis 
maz\hab Ma>liki>. Periwayatan oleh perawi dengan sifat tersebut 
adalah lebih kuat karena ia lebih kuat menimbulkan zann.
3) Perawi h}adi>s\ maz\hab Sya>fi’i yaitu ‘Abir– yang tidak 
seperti itu. Karena perawi yang terlibat langsung lebih tahu tentang apa
 yang diriwayatkannya.
4) Perawi h}adi>s\ maz\hab Sya>fi’i yaitu Abir, meskipun faqih, 
namun tidak sefaqih A Burdah dari ayahnya bahwa mereka jika mempunyai 
masalah, maka mereka akan pergi ke As\ maz\hab Sya>fi’i lebih tinggi 
nilai isna>dnya (rangkaian perawi) dibanding h}adi>s\ maz\hab 
Ma>liki, dalam arti lebih pendek jarak antara Nabi dengan yang 
Ima>m yang membukukan h}adis\ itu. Karena dengan semakin pendek jarak
 isnadnya, maka semakin jauh kemungkinan adanya kesalahan dan 
kebohongan.
6) H{adi>s\ maz\hab Ma>liki diperselisihkan tentang mauqu>fnya 
 dibanding h}adi>s\ maz\hab Sya>fi’i yang disepakati marfu’nya 
kepada Nabi. Perawi h}adi>s\ maz\hab Sya>>>fi’i, yaitu 
Ani>,  h}adis\ yang dijadikan dalil maz\hab Ma>liki> mauqu>f
 pada Ja>bir. Sesungguhnya orang yang ditanya oleh orang Arab 
pedesaan itu adalalah Ja>bir sendiri, bukan Nabi.
7) H{adi>s\ maz\hab Sya>fi’i menimbulkan hukum wajib, sedang 
h}adi>s\ maz\hab Ma>liki menimbulkan hukum nadb. H{adi>s\ dalam
 bentuk wajib didahulukan daripada yang nadb karena pada yang wajib 
menuntut kehati-hatian.
  8.Salah satu perawi h}adis\ maz\hab Ma>>>liki, yaitu Hajja>j 
bin Art}a>>>h dikenal mudallis, buruk hafalannya sehingga 
kualitas h}a>di>s\ yang diriwayatkannya patut dipertanyakan. Dari 
keterangan juga disebutkan, bahwa ia meriwayatkan h}adi>s\ dari orang
 yang didengarnya langsung dan juga dari orang yang tidak didengarnya. 
Sehingga apa yang diriwayatkannya menjadi tidak akurat.
9) H{adi>>s\ yang dijadikan dalil oleh maz\hab Sya>fi’i 
berkualitas s}ah}i>h}. Sedangkan h}adi>s\ yang dijadikan dalil 
oleh maz\hab Ma>liki merupakan h}adi>s d}a’if yaitu h}adi>s\ 
mudallas.
10) H{adi>>s\ yang dijadikan dalil oleh maz\hab Sya>fi’i 
diriwayatkan dengan cara langsung mendengar dari Nabi, sedangkan 
h}adi>s yang dijadikan dalil oleh maz\hab Ma>liki khabar yang 
berlaku pada tempat dan masa Nabi. Khabar yang diriwayatkan melalui 
pendengaran lebih utama karena jauh dari kemungkinan adanya kesalahan.
Dengan demikian menurut hemat penyusun, Imam Syafi’i mungkin menetapkan 
wajibnya hukum umrah berdasarkan kaidah kebahasaan yang berlaku. Yaitu, 
adanya kesamaan hukum antara ma’tuf alaih dengan ma’tuf, sehingga beliau
 berpendapat bahwa hukum haji dan umrah itu sama yaitu wajib. Asumsi 
pertama dikarenakan lafal al-Umrah diatafkan kepada lafal al-Hajj dengan
 menggunakan huruf ataf  wawu yang hal ini sesuai dengan kaidah 
Al-fiyyah Ibnu Malik :
قاعطف بوا و سا بقا اولا حقا  #  في الحكم او مصاحبا موافقا
Dari kaidah di atas dapat dipahami bahwa huruf at}af wawu merupakan 
salah satu huruf yang berfungsi sebagai penengah antara kalimat 
sesudahnya dengan kalimat sebelumnya yang dalam hal ini mengikuti 
kesemuanya, baik dari segi lafal maupun hukumnya   yang mendahuluinya, 
belakangan ataupun secara bersamaan. Karena huruf at}af wawu itu sendiri
 mempunyai fungsi mutlak. Sesuai dengan kaidah :
فالعطف مطلق بوا و
Apabila mengacu pada penafsiran Imam Syafi’i terhadap ayat “wa atimmu 
al-hajja wa al-umrata lillahi.” ditafsirkan dengan kerjakanlah haji dan 
umrah secara sempurna maka tidaklah cukup berhaji dengan meninggalkan 
umrah.
Menilik dari uraian di atas dapat kita lihat bahwasanya penyusun lebih 
cenderung kepada imam Syafi’i yang menyatakan hukum melakukan umrah 
merupakan suatu kewajiban.berdasar h}adis yang menjelaskan salah satu 
dasar fondasi Islam adalah ibadah ‘umrah. H{adis\ tersebut diriwayatkan 
oleh Ima>m al-Baihaqi yang selengkapnya berbunyi:
أخبرنا علي بن محمد بن عبد الله بن بشران العدل أنبأ أبو جعفر محمد بن عمرو
 البختري الرزاز ثنا محمد بن عبيد الله بن يزيد ثنا يونس بن محمد ثنا معتمر
 هو ابن سليمان عن أبيه عن يحي بن يعمر قال قلت لابن عمر يا أبا عبد الرحمن
 إن قوما يزعمون أن ليس قدر قال فهل عندنا منهم أحد قال قلت لا فابلغهم عني
 إذا لقيتهم أن ابن عمر برئ إلى الله منكم وأنتم برء اء منه سمعت عمر بن 
الخطاب رضي الله عنه قال بينما نحن جلوس عند رسول الله صلى الله عليه وسلم 
إذ جاء رجل عليه سحناء سفر و ليس من أهل البلد يتخطى حتى ورك بين يدي رسول 
الله صلى الله عليه وسلم كما يجلس أحدنا فى الصلوة ثم وضع يده على ركبتي 
رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا محمد ما الإسلام ؟ فال أن تشهد أن لا
 إله إلا الله و أن محمدا رسول الله و أن تقيم الصلوة وتؤتي الزكوة و تحج 
البيت و تعتمر و تغتسل من الجنابة و تتم الوضؤ وتصوم رمضان قال فإن فعلت 
هذا فأنا مسلم قال نعم قال صدقت
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini, ada beberapa hal yang dapat penyusun simpulkan :
1. Maz\hab Ma>liki> yang berpendapat bahwa ibadah ‘umrah itu 
hukumnya sunnah dilaksanakan sekali seumur hidup berlandaskan dalil 
berupa h}adis\ yang diriwayatkan oleh Ima>m at-Tirmiz\i dari 
Ja>bir RA. Sementara maz\hab Sya>fi’i yang berpendapat bahwa 
ibadah ‘umrah itu hukumnya wajib dilaksanakan sekali seumur hidup 
berlandaskan dalil berupa h}adis\ yang diriwayatkan oleh Ima>m Ah}mad
 bin H{anbal dari Aliki yang melalui rangkaian sanad Muh}ammad ‘Abd 
al-A’la> as}-S}an’a>ni>, ‘Umar bin ‘Ali>, H{ajja>j bin 
Art{a>h, Muh}ammad bin al-Munkadir dari sahabat Ja>bir RA ternyata
 berkualitas d}a’if sanadnya. Kesemua rawi ini s\iqah kecuali 
H{ajja>j bin Art}a>h yang dikenal mudallis dan buruk hafalannya. 
H{adis\ ini dalam istilah ‘ulu>m al-h}adis\ disebut h}adis\ mudallas 
yang termasuk kategori h}adis\ d}a’if. Dan setelah diteliti matan 
h}adisnya, disimpulkan bahwa matannya juga d}a’if karena redaksinya 
hampir sama dengan redaksi kitab fiqh, di samping pembagian lima macam 
hukum belum dikenal pada masa Nabi. Karenanya, matan h}adis itu 
dicurigai merupakan perkataan sahabat Jabir, bukan sabda Rasul.  Dengan 
demikian, h}adis yang dijadikan dalil oleh maz\hab maliki d}aif sanad 
dan matannya. Sedangkan h}adis\ yang dijadikan dalil oleh maz\hab 
Sya>fi’i yang melalui rangkaian sanad Muh}ammad bin Fud}ail, 
H{abi>b bin Abi> ‘Amrah, ‘A<isyah binti T{alh}ah dari sahabat 
‘A Bakar as}-S{iddi>q berkualitas s}ah}ih} sanadnya karena semua 
perawinya s\iqah dan bersambung sanadnya. Mengenai matannya, setelah 
diteliti, ternyata juga sejalan dengan h}adis lain yang sanadnya dapat 
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, h}adis yang dijadikan dalil oleh
 maz\hab Syafi’i s}ah}ih} sanad dan matannya.
3. Menurut penyusun, pendapat yang lebih raji>h adalah pendapat 
maz\hab Sya>fi’i karena berlandaskan h}adis\ yang s}ah}ih}.
B. Saran-saran
1. Perbedaan antara berbagai maz\hab adalah suatu rahmat yang harus 
disikapi dengan arif, bukan dengan menonjolkan fanatisme kubu per kubu. 
Adanya berbagai macam perbedaan justru akan membuka cakrawala pemikiran 
kita sehingga kita dapat melihat persoalan dengan lebih jelas.
2. Manakala terdapat pertentangan dalil dalam masalah hukum Islam 
hendaknya ditela’ah kembali validitasnya dan segala sesuatu yang 
berkaitan agar bisa diambil metode yang tepat, apakah dengan kompromi, 
nasakh atau pun tarji>h.
3. Penelitian ini bukanlah penelitian final, namun merupakan suatu 
penelitian yang selanjutnya dapat mengeksploitasi lebih lanjut dan 
menghubungkan dengan disiplin ilmu yang lain secara integral.
Akhirnya penyusun mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga kepada 
Allah Yang Maha Kuasa, dengan petunjuk, kekuatan dan rahmat-Nya sehingga
 penelitian ini dapat terselesaikan. Namun penelitian ini menurut 
penyusun jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang 
konstruktif dapat diberikan untuk kesempurnaan penelitian yang akan 
datang.
DAFTAR PUSTAKA
A. Kelompok Al-Qur’an/Tafsir
Departemen Agama Republik Indonesia. al-Qur’an dan Terjemahnya. 
Jakarta:  Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an. 1981/1982.
Hamka, Tafsi>r al-Azha>r, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
S{abuni, M. ‘Ali> as-, Rawa>i’ al-Baya>n: Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m, Mekkah: tnp, t.t.
B. Kelompok Hadis/Ulumul-Hadis
‘Asqala>ni, Ahmad bin ‘Ali> bin Hajar al-, Tahz\i>b 
at-Tahz\i>b, Hyderabad: Majlis Da’irah al-Ma’a>rif an-Niz}amiyyah,
 1325 H.
…………, al-Isabah fi Tamyiz as}-S{ahabah, Beirut: Dar Sadir, 1328 H.
Ah}mad bin H{anbal, Musnad Ah}mad bin H{anbal, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Bukha>ri, al-, Ta>>ri>kh al-Bukha>ri al-Kabi>>r, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986.
H{ajja>j. Yu>suf Mizzi al-, Tahz\ib al-Kama>l fi Asma> 
ar-Rija>l,  ditahqiq oleh Ah}mad ‘Ali> ‘Ubaid dan H{{asan Ahmad 
Aga>, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Ibn H{ajar, Fath al-Ba>ri>, Ttp: Maktabah as-Salafi, t.t.
Isma’il, M. Syuhudi, Kaedah Kesahi>han H{adi>s, cet. 2 Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
………, Metodologi Penelitian H{adi>s Nabi, cet.1 Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Naisa>bu>ri, al-Ima>m Abu> al-H{usain Muslim ibn 
al-H{ajja>j ibn Muslim al-Qusyairi an-, al-Ja>mi’ as{-S{ah}ih}, 
Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Rahman, Fatchur, Ikhtis}ar Must}alah H{adi>s, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974.
S{an’a>ni as}-, Subul as-Sala>>m, Ttp: Maktabah Dahlan, t.t.
T{ahha>n, Mah}mu>d, Taisi>r Mus}t}alah al H}adi>s, T. tp: Dar al-Fikr, t.t.
Tirmizi>, Abu> ‘Isa> Muh}ammad bin ‘Isa> bin Sau>rah at-, Sunan at-Tirmizi>, Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
Z|ahabi, az\-, al-Kasyif fi Ma’rifah Man Lah Riwayah fi al –Kutub as-Sittah, T.tp: Dar al-Kutub al-H}adis\iyyah, t.t.
C. Kelompok Fiqh/Us}u>l Fiqh
Abd. Madjid, Ahmad, Seluk Beluk Ibadah Haji dan ‘Umrah,  Surabaya: Mutiara Ilmu, 1993.
Asnawi, ‘Abd ar-Rah}im al-, T{aba>qat asy-Sya>fi’iyyah,  Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987.
Beik, Khudori, Ta>rikh al-Tasyri’ al-Islamiy, Indonesia: Dar Ihya wa al-Kutub al-Arabiyyah, 1981.
Dahlan, Abdul Azis, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Daqir, ‘Abd al-Ganiy ad-, al-Ima>m asy-Sya>fi’i: Faqi>h as-Sunnah al-Akbar, Damaskus: Dar al-Qalam, 1990.
Do’i, Abd. Rahman I, Shariah The Islamic Law, alih bahasa Basri Iba dan Wadi Maskuri, cet. 1 , Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Gazza>li, al-, al-Mustas}fa>, Beirut: Dar a-Fikr, t.t.
Ghazali, M. Basri dan Djumadris, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992.
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Indonesia: Dar Ihya’, t.t.
Jaziri, Abdur-Rahman al-, al-Fiqh ‘alal-Mazahib al-‘Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
Khallaf, Abd al-Wahhab, Ilm Usul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Qalam, 1978.
Maltawi, Hasan Kamil al-, Fiqh al-‘Iba>dah ‘ala maz\hab 
al-Ima>m Ma>lik, Kairo: Maktabah asy-Syakhs}iyyah al-Misriyyah, 
1996.
Maqdisi, Ibn Qudamah al-, asy-Syarh al-Kabir, dicetak bersama dengan Ibn Qudamah, al-Mugni, Mesir: tnp, 1346 H.
Matdawam, Noor, Pelaksanaan Haji dan ‘Umrah, Yogyakarta: Yayasan “BINA KARIER” LP5BIP, 1986.
Mawardi, al-, al-Hawi al-Kabir, diedit oleh Mahmud Matraji, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Mughniyyah, M. Jawad, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B, dkk., Jakarta: Lentera Basritama, 1996.
Nahrawi, Ahmad, al-Ima>m asy-Sya>fi’i fi> Maz\habaih 
al-Qadi>m wa al-Jadi>d, diterbitkan oleh pengarangnya untuk 
kalangan terbatas, 1994.
Nasution, Lahmuddin,  Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i,  Bandung: Rosda Karya, 2001.
Nawawi, Abi Zakariya Muhyi ad-Din an-, Tahz\\ib al-Asma>’ wa al-Lugah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
Nawawi, an-, al-Majmu’, Kairo: Zakaria ‘Ali Yusuf, t.t.
Qardawi, Yusuf al-, Fiqh Perbedaan Pendapat antar Gerakan Islam, cet. ke-4 , Jakarta: Robbani Press, 2002.
Ramli, Mutawakil, Mari Memabrurkan Haji: Kajian dari Berbagai Mazhab, Bekasi: Gugus Press, 2002.
Shiddieqy, Hasbi ash-, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Mazhab dalam Membina Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Shiddieqy, M. Hasbi ash-, Pedoman Haji, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Suyuti, Abul -Fadl Abdur-Rahman as-, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib 
an-Nawawi, diedit oleh ‘Abdul-Wahhab ‘Abdul-Latif, Beirut: Dar al-Fikr, 
1988.
Sya>fi’i, Asy- >, ar-Risa>lah, ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Sya>kir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1309 H.
Sya>t}ibi, Abu> Isha>q asy- >, al-Muwa>faqa>t, Ttp: Da>r al-Fikr al-‘Ara>bi>, 1975.
Syarifuddin, Amir, , Usul Fiqh I, Jakarta: Logos, 1999.
Syarqa>wi, Abd ar-Rahma>n as-, Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah, alih bahasa Mujiyo Nurcholis, cet. 1 Bandung: al-Bayan, 1974.
Syirazi, Abu Ishaq asy-, al-Muhazzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Syurbasi, A. Asy-, Al-Aimmah al-Arba`ah, terjemahan Jalil Huda dan A. Ahmadi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1993.
Tim Penyusun, Mengenal Istilah dan Rumus Fuqoha, Kediri: MHM, 1997.
Yafie, Ali. Menggagas Fiqih Sosial,  Bandung: Mizan, 1995.
Yanggo, Huzaimah Tahida, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997.
Zahrah, M. Abu>, asy-Sya>fi’i Haya>tuh wa ‘As}ruh wa 
A<<<lik Ila> Muwat}t}a’, cet. 3, Beirut: Da>r al-Fikr, 
1973 M / 1393 H), I: 17-19.
Zuhaili, Wahbah az-, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
D. Kelompok Buku lain
Ali, Atabik dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus al-’Ashri, Jogjakarta: Multi Karya Grafika, t.t..
Bakker, Anton, Metode-metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.
Bisri, Adib dan Munawwir AF, Kamus al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progresif 1999.
Cholil, Munawwar, Biografi Empat Serangkai Imam mazhab, cet. ke-9, (Jakarta : Bulan Bintang, 1955), hlm. 200.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fak. Psikologi UGM, 1980.
Madjid, Nurcholish, Perjalanan Religius ‘Umrah dan Haji, Jakarta: Paramadina, 1997
Munawwir, A. Warson Kamus al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, cet.3 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, Van Hoeve, 1994), IV: 328.
.
.
Lampiran I
TERJEMAHAN
BAB HLM FOOTNOTE TERJEMAHAN
I 4 9 Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu 
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
10 Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.
9 19 Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu 
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
20 Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.
10 21 Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi kepada Muhammad bin Abdul A’la 
as-San’ani diteruskan kepada ‘Umar bin Ali dari Hajjaj Muhammad bin 
al-Munkadir dari Jabir bin Abdullah, Bahwasannya  seseorang bertanya 
kepada Rosulullah SAW: “beritahu kepada saya apakah ‘umrah itu wajib 
atau tidak?”Rosulullah menjawab: “Tidak, tetapi jika kamu melaksanakan 
‘umrah itu lebih baik bagi engkau.
22 Diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal kepada Muhammad bin fudhail
 dari ‘Aisyah binti Thalhah dari  ‘Aisyah binti Rasulullah SAW dikatakan
 bahwasannya : ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah: ‘Ya Rasulullah, 
Apakah wanita itu berkewajiban untuk berjihad? Rosulullah SAW menjawab: 
‘Benar, yaitu jihad yang tidak ada peperangan didalamnya, haji dan 
‘umrah”.
II 24 9 Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu 
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
26 12 Maka apabila bulan Ramadhan datang, maka lakukanlah ibadah 
‘umrah. Karena (pahala) ‘umrah di bulan Ramadhan sebanding dengan ibadah
 haji.
30 18 Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami (Imam Muslim), dia 
berkata, ‘Saya membaca (hadis) kepada Imam Malik’, dari Nafi’, dari Ibn 
‘Umar, bahwasanya Rasulullah SAW ditanya mengenai apa yang (boleh) 
dipakai orang yang sedang ihram? Lalu Rasul menjawab, “Orang yang sedang
 ihram tidak boleh mengenakan kemeja, serban, celana, mantel, sepatu 
kulit (yang menutupi kedua mata kaki), kecuali apabila seseorang tidak 
menemukan sandal. Hendaklah ia memakai sepatu kulit (khuff), dan 
potonglah hingga di bawah kedua mata kaki. Dan janganlah kalian 
mengenakan busana yang diberi minyak za’faran atau wars (parfum).
19 Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihan.
31 20 Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, menikahkan atau pun melamar.
21 (Diriwayatkan) dari Ibn ‘Abbas RA, bahwasanya Rasul SAW menikahi Maimunah ketika beliau sedang ihram.
32 22 Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan 
mengerjakan haji, maka tidak boleh rafas, berbuat fasik dan  
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakn haji.
23 Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan yang berasal 
dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu  dan bagi para pejalan kaki.
 Dan diharamkan bagi kalian buruan yang ada di darat selama kalian masih
 ihram.
33 26 Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).
III 44 15 Urusan yang disepakati oleh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya.
16 Perbuatan yang diulang-ulang oleh seseorang dan atau segolongan.
45 21 LIHAT BAB I, HLM. 10, FN. 21.
63 62 LIHAT BAB I, HLM. 4, FN. 10.
63 LIHAT BAB I, HLM. 10, FN. 22.
IV 64 2 LIHAT BAB I, HLM. 10, FN. 21.
65 3 LIHAT BAB I, HLM. 10, FN. 22.
74 17 LIHAT BAB I, HLM. 10, FN. 21.
84 24 LIHAT BAB I, HLM. 4, FN. 10.
86 25 Hisyam bin Ammar menceritakan kepada kami (Ibn Majah), al-hasan 
bin Yahya al-Khusyani menceritakan kepada kami, umar bin Qais 
menceritakan kepada kami, Talhah bin Yahya menceritakan kepada kami, 
dari pamannya Ishaq bin Talhah, dari Talhah bin Ubaidillah, bahwasanya 
ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Ibadah haji itu jihad dan umrah 
itu sunnah,”
88 26 LIHAT BAB I, HLM. 10, FN. 22.
95 33 Muhammad bin Qudamah bin A’yun dan Usman bin Abi Syaibah 
menceritakan kepada kami (Abu Daud), keduanya berkata, Jarir bin Abd 
al-Hamid menceritakan kepada kami, dari Mansur, dari Abi Wa’il, ia 
berkata, as-Subai bin Ma’bad berkata, “Saya adalah orang Arab yang 
beragama Kristen, lalu saya masuk Islam, kemudian saya mendatangi Umar 
bin Khattab, dan berkata kepadanya, ‘Wahai Amir al-Mu’minin, saya adalah
 orang Arab yang beragama Kristen lalu saya masuk Islam dan saya sangat 
ingin berjihad. Saya tahu bahwa haji dan umrah itu diwajibkan atasku, 
lalu saya mendatangi salah seorang pria dari kaumku, lalu ia menjawab, 
gabunglah haji dan umrah itu dan sembelihlah hewan kurban semampumu, dan
 saya melakukan ihram untuk melaksanakan haji dan umrah itu sekaligus.’ 
Lalu Umar menjawab, ‘Anda telah diberi petunjuk untuk mengikuti sunnah 
Nabi SAW,”
97 34 LIHAT BAB I, HLM. 4, FN. 10.
100 36 Maka hubungkanlah antara kata sebelumnya dan kata setelahnya dengan wawu, dan hukumnya sama dan selaras.
101 38 Wawu merupakan huruf penghubung yang bersifat mutlak.
102 40 Ali bin Muhammad bin Abdillah bin Busyran al-Adl menuturkan 
kepada kami (al-Baihaqi), Abu Ja’far Muhammad bin Amr al-Bukhturi 
menuturkan kepada kami, Muhammad bin Ubaidillah bin Yazid menuturkan 
kepada kami, Yunus bin Muhammad menuturkan kepada kami, mu’tamir bin 
Sulaiman menuturkan kepada kami, dari ayahnya, dari Yahya bin Ya’mar, ia
 berkata, “Saya berkata kepada Ibn Umar, ‘Wahai Abu Abdirrahman, ada 
satu kaum yang berprasangka bahwa takdir itu tidak ada.’ Ibn Umar 
bertanya, “Adakah salah seorang mereka di antara kita?” Yahya menjawab, 
“Tidak.” Lalu Ibn Umar berkata, “Maka sampaikanlah kepada mereka apabila
 kamu bertemu dengan mereka bahwa Ibn Umar berlepas diri dari kalian, 
dan kalian berlepas dari Allah. Sesungguhnya saya mendengar Umar bin 
Khattab berkata, “Tatkala kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW
 tiba-tiba datang seorang pria yang baru datang bepergian, dan ia 
bukanlah penduduk sini, lalu ia mendekat hingga duduk bersimpuh di 
hadapan Rasulullah SAW seperti salah seorang dari kami duduk dalam 
shalat, kemudian ia meletakkan tangannya di atas kedua lutut Rasulullah 
SAW, lalu bertanya, “Wahai Muhammad, apa Islam itu?” Rasul menjawab, 
“Kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, bahwa Muhammad adalah 
utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, 
berumrah, mandi jinabat, menyempurnakan wudhu dan berpuasa di bulan 
Ramadhan.” Lalu ia bertanya lagi, “Apakah bila saya melakukannya saya 
adalah orang muslim?” Rasul menjawab, “Ya.” Lalu pria itu berkata, 
“Engkau benar.”


.jpeg) 
 
 
 
 
 
0 Comment