13 Mei 2012

BAB I
PENDAHULUAN

A. Penegasan Istilah
1. Tradisi
Tradisi merupakan suatu kebiasaaan turun temurun1.
2. Arab Pegon
Arab pegon, yaitu sebuah tulisan, aksara atau huruf arab tanpa lambang atau tanda baca atau bunyi2. Dalam kamus Jawa-Indonesia, pegon berarti tidak biasa mengucapkan.3 Kata lain dari “pegon” yaitu gundhil berarti gundhul atau polos4. Sedangkan “huruf Arab pegon” digunakan untuk menuliskan terjemahan maupun makna yang tersurat didalam kitab kuning5 dengan menggunakan bahasa tertentu.
3. Pondok Pesantren
Merupakan sebuah institusi agama Islam,yang masih bercorak tradisional selain menyelenggarakan pengajaran agama juga menyediakan asrama sebagai usaha untuk lebih memperdalam pelajaran agama.
B. Latar Belakang Masalah
Arab pegon, sebenarnya hanya merupakan ungkapan yang digunakan oleh orang Jawa, sedangkan untuk daerah Sumatera disebut dengan aksara Arab-Melayu6. Jadi, huruf Arab pegon atau disebut dengan aksara Arab-Melayu ini merupakan tulisan dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa lokal. Dikatakan bahasa lokal karena ternyata tulisan Arab pegon itu tidak hanya menggunakan Bahasa Jawa saja tapi juga dipakai di daerah Jawa barat dengan menggunakan Bahasa Sunda, di Sulawesi menggunakan Bahasa Bugis, dan di wilayah Sumatera menggunakan Bahasa Melayu.
Keberadaan Arab pegon di Nusantara sangat erat kaitannya dengan syi’ar Agama Islam, diduga merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh para ulama sebagai upaya menyebarkan Agama Islam7. Selain itu aksara Arab ini juga digunakan dalam kesusasteraan Indonesia. Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat, dalam kesusasteraan Jawa ada juga yang ditulis dengan tulisan pegon atau gundhil, penggunaan huruf ini terutama untuk kesusasteraan Jawa yang bersifat agama Islam,8 aksara Arab yang dipakai dalam Bahasa Jawa disebut dengan aksara Pegon.9Bukan hanya kesusasteraan Jawa saja tapi ternyata mencakup Nusantara karena menurut Drs. Juwairiyah Dahlan, bagi mereka yang mempelajari kesusasteraan Indonesia seringkali menggunakan aksara Arab ini, bahkan di Malaysia disebut dengan aksara Jawi.
Dengan aksara Arab ini, telah ditulis dan dikarang ratusan buku mengenai ibadah, hikayat, tasawuf, sejarah nabi-nabi dan rosul serta buku-buku roman sejarah. Pada zaman penjajahan Belanda, sebelum tulisan latin diajarkan di sekolah-sekolah, seringkali aksara Arab dipergunakan dalam surat menyurat, bahkan dikampung-kampung pada umumnya sampai zaman permulaan kemerdekaan, banyak sekali orang yang masih buta aksara latin tetapi tidak buta aksara Arab, karena mereka sekurang-kurangnya dapat membaca aksara Arab, baik untuk membaca Al-Qur’an maupun menulis surat dalam bahasa daerah dengan aksara Arab.10Menurut Prof. Dr. Denys Lombard, menjelang tahun 1880 aksara Arab masih digunakan luas untuk menuliskan Bahasa Melayu dan beberapa bahasa setempat (seperti Bahasa Aceh atau Minangkabau) 11
Beragam usaha untuk mempertahankan penggunaan aksara Arab ini, salah satunya di daerah Sulawesi Selatan tepatnya di daerah Buton. Menurut Laode Zaedi,12 aksara Arab dengan Bahasa Bugis/Walio dianggap sebagai salah satu khasanah kebudayaan daerah dan kini sedang digalakkan pelestariannya, salah satu caranya yaitu dengan mengajarkan kepada murid-murid sekolah dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga perguruan tinggi sebagai salah satu pilihan dalam kurikulum muatan lokal.
Selain itu, keberadaan penggunaan Arab pegon di pondok pesantren terutama yang masih kuat kultur masyarakatnya13sampai saat ini masih tetap dipertahankan. Karena selama ini pesantren masih dianggap banyak membawa keberhasilan dalam pencapaian berhasilnya pelajaran dan pengajaran Bahasa Arab. Penerapan penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon dalam pengajarannya biasa disebut dengan Ngabsahi14atau Ngalogat15 dalam menerjemahkan dan memberi makna pada Kitab Kuning.
Pengertian umum yang beredar di kalangan pemerhati masalah pesantren adalah bahwa kitab kuning selalu dipandang sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa arab, atau berhuruf arab, sebagai produk pemikiran ulama masa lampau (as-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Dalam rumusan yang lebih rinci, definisi kitab kuning adalah kitab-kitab yang, ( a) ditulis oleh ulama-ulama “asing”, tetapi secara turun-temurun menjadi reference yang dipedomani oleh para ulama indonesia, (b) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang “independen”, dan c) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di timur tengah, dikenal dua istilah yang menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Katagori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qodimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (al-kutub al-ashriyyah). Perbedaan pertama dari yang kedua dicirikan, antaara lain, cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik, dan tanpa syakl (baca: sandangan- fatkhah, dhommah, kasroh). Dan sebutan kitab kuning pada dasarnya mengacu pada katagori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qodimah).
Spesifikasi kitab kuning secara umum terletak pada formatnya (lay-out), yang terdiri dari dua bagian: matn, teks asal (inti), dan syarh (komentar, teks penjelas atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu di letakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarh-karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matn-diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning. Ukuran panjang-lebar kertas yang digunakan kitab kuning pada umumnya kira-kira 26 cm (quarto). Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 2 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkn salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengajian, santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai-ulama.
Hal yang membedakan kitab kuning dari yang lainnya adalah metode mempelajarinya. Sudah dikenal bahwa ada dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren untuk mempelajari kitab kuning: adalah metode sorogan dan metode bandongan. Pada cara pertama, santri membacakan kitab kuning dihadapan kiai-ulama yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahw dan sharf). Sementara itu, pada cara kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiai-ulama sambil masing-masing memberikan catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa berupa syakl atau makna mufrodhat atau penjelasan (keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa di kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafi), memiliki cara membaca tersendiri yang dikenal dengan cara utawi-iki-iku, sebuah cara membaca dengan pendekatan tata bahasa (nahw dan sharf) yang ketat.
Selain kedua metode diatas, sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian kitab kuning, di lingkungan pesantren, dewasa ini telah berkembang metode jalsah (diskusi kelompok) dan halaqoh (seminar). Kedua metode ini lebih sering digunakan ditingkat kiai-ulama atau pengasuh pesantren, namun sekarang pun sudah sering dilakukan oleh santri. Guna membahas isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab kuning.16
Ilustrasi berikut ini dapat memberikan suatu gambaran yang jelas bagaimana metode ini dilaksanakan dalam praktik:
الحمد لله الدي فضل بني ادم بالعلم والعمل على جميع العالم
Teks tersebut diatas diambil dari kitab Ta’lim al Muta’lim. Huruf-huruf besar syang horisontal adalah teks asli Bahasa Arab, sedangkan huruf-huruf kecil di antara tulisan horisontal yang ditulis miring kebawah adalah terjemahannya dalam bahasa Jawa. Teks asli dalam Bahasa Arab ditulis dengan vowels (dalam bahasa Jawa disebut nganggo sandangan) atau Arab Pegon. Murid-murid harus belajar dari kitab-kitab gundul yang ditulis tanpa huruf hidup atau tanpa syakal. Ilustrasi tersebut menunjukkan bagaimana cara penerjemahan teks Arab ke dalam Bahasa Jawa. Perkataan Arab Al-Hamdu lillahi diterjemahkan utawi sekabehane puji iku keduwe Alloh, yang berarti ”Segala puji adalah kepunyaan Alloh”. Perkataan Al hamdu yang didahului oleh al dan diakhiri dengan huruf hidup U (dzamah U) dan dalam Bahasa Jawa didahului dengan kata utawi dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa perkataan tersebut adalah mubtda’ atau pokok kalimat. Hal ini sangat penting untuk diketahui oleh murid-murid, sebab kitab-kitab yang diajarkan dalam metode sorogan dan bandongan ditulis tanpa syakal, sehingga untuk dapat membacanya dengan benar dan cocok para murid harus menguasai tatabahasa Arab.17
Tulisan sebagai lambang tertulis dari suatu bahasa berfungsi sebagai alat untuk dibaca agar dipahami maksud yang terkandung didalamnya. Kemampuan membaca dipakai untuk memahami maksud tulisan sehingga membaca untuk menjadi paham. Pemakaian Bahasa Jawa dalam penulisan Arab Pegon sebagai sistem yang diterapkan di Pondok Pesantren merupakan salah satu simbol masuk dan bercampurnya Budaya Jawa sebagai usaha untuk lebih dapat memahami isi kitab kuning yang didalamnya menggunakan Bahasa Arab.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu upaya dalam pengembangan keilmuan yang mengkaji tentang permasalahan tradisi Arab pegon di pondok pesantren, dengan harapan dapat membantu mendudukkan pada proporsinya. Mengingat keterbatasan waktu dan pengetahuan, skripsi ini sengaja membatasi kajiannya pada proses penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon saja.
Pada kesempatan ini penulis mengambil studi kasus di Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta. Alasan pemilihan tempat merupakan salah satu hal yang sangat diperhatikan, selain karena secara geografis dekat dengan kampus Universitas Islam Negeri Yogyakarta, segala macam informasi mudah didapat, dan satu hal yang sangat penting yaitu karena Madrasah Salafiyah III ini masuk dalam lingkup salah satu pesantren tradisional yang dari awal pendiriannya hingga saat ini masih konsisten menggunakan Arab pegon.
C. Rumusan Masalah
Dengan berlandaskan pada latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka ada persoalan pokok yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Proses Penerjemahan Kitab Kuning Dengan Menggunakan Arab Pegon Pada Santri Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta?
Untuk memperjelas pembahasan tersebut, akan dibahas juga hal-hal sebagai berikut:
1. Problem pembelajaran kitab kuning dengan Arab pegon. Mencakup;
a. Problem apa saja yang muncul pada penerjemahan dengan Arab pegon?.
b. Apakah penerjemahan dengan Arab pegon dapat memberikan pemahaman yang utuh terhadap isi teks?
c. Problem apa saja yang muncul ketika santri mengkomunikasikan pemahaman kepada orang lain atas pembacaan kitab kuning yang menggunakan Arab pegon?.
2. Apa kelebihan dan kekurangan penggunaan Arab pegon bagi pemahaman terhadap isi teks pada santri.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mendeskripsikan penggunaan Arab pegon yang selama ini berkembang dalam pondok pesantren.
b. Mendeskripsikan problem-problem pembelajaran kitab kuning dengan Arab pegon
c. Mengetahui kelebihan dan kekurangan penggunaan Arab pegon bagi pemahaman terhadap isi teks pada siswa.
2. Kegunaan Penelitian
Sebagai sumbangan penulis terhadap dunia pendidikan berkenaan dengan penggunaan Arab pegon, serta untuk mengetahui latar belakang penggunaan tulisan huruf arab pegon dan hubungannya bagi perkembangan agama Islam di Nusantara.
E. Kerangka Teoritik
1. Metode Pengajaran Kitab Kuning di Pesantren
Metode dapat dipahami sebagai cara yang teratur dan sistematis untuk melaksanakan sesuatu,18 atau cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih metode yang akan digunakan dalam praktek pengajaran, antara lain:
a. Tujuan yang berbeda pada setiap mata pelajaran sesuai dengan jenis, fungsi dan sifat maupun isi pelajaran masing-masing.
b. Perbedaan latar belakang individual peserta didik, baik keturunan, usia perkembangan (kematangan), maupun tingkat berfikirnya.
c. Perbedaan dimana kondisi pendidikan itu berlangsung.
d. Perbedaan pribadi dan kemampuan guru masing-masing.
e. Fasilitas yang berbeda, baik kualitas maupun kuantitas.19
Dalam pesantren, ada beberapa metode yang biasa digunakan oleh kyai atau ustadz dalam melakukan pengajaran kitab kuning dengan Arab pegon. Terbagi dalam dua jenis, yaitu; pertama, secara individual atau biasa disebut dengan sistem sorogan. Kedua, secara berkelompok atau disebut dengan bandongan.. Selain kedua metode tersebut, sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian kitab kuning, di lingkungan pesantren dewasa ini telah berkembang metode jalsah (diskusi kelompok) dan halaqoh (seminar). Pada awalnya metode ini lebih sering digunakan pada tingkat kiai-ulama atau pengasuh pesantren, namun pada masa sekarang sudah biasa dilakukan oleh santri. Biasanya untuk membahas isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab kuning.20
1. Metode Sorogan
Sistem Individual dalam sistem pendidikan Islam tradisional disebut dengan sistem sorogan yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qur’an. Santri membacakan kitab kuning dihadapan kiai-ulama yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahw dan sharf).
Sorogan artinya belajar secara individu dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya.21 Sedangkan menurut Wahyu Utomo, metode sorogan merupakan sebuah sistem belajar dimana para santri maju satu persatu untuk membaca dan menguraikan isi kitab dihadapan seorang guru atau kiai.22 Dalam Pesantren, sistem sorogan terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Metode ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing Bahasa Arab.
Ciri utama penggunaan sistem individual ini adalah; (1) lebih mengutamakan proses belajar daripada mengajar, (2) merumuskan tujuan yang jelas, (3) mengusahakan partisipasi aktif dari pihak murid, (4) menggunakan banyak feedback atau balikan dan evaluasi, (5) memberi kesempatan kepada murid untuk maju dengan kecepatan masing-masing.23
2. Metode Bandongan
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren yaitu sistem bandongan atau seringkali disebut sistem weton. Secara etimologi, dalam kamus besar Bahasa Indonesia, bandongan diartikan dengan pengajaran dalam bentuk kelas (pada seklek agama).24Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam Bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit, berupa syakl atau makna mufrodhat atau penjelasan (keterangan tambahan). Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut dengan halaqoh yang arti bahasanya lingkaran murid atau sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru.
2. Proses Penerjemahan Kitab Kuning: Teori dan Praktek
A. Proses Terjemahan
Menerjemahkan merupakan suatu usaha penyampaian berita yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa penerima atau bahasa sasaran agar isinya benar-benar mendekati aslinya. Sedangkan tujuan penerjemahan yaitu menyampaikan berita ke dalam bahasa penerima (bahasa sasaran), yang berarti apa yang diterjemahkan harus dapat dimengerti dan tidak di salah fahami oleh orang-orang yang akan mendengarkan atau membaca hasil terjemahan tersebut.25
Meskipun teori dan praktek penerjemahan dari suatu Bahasa ke dalam bahasa lain pada umumnya hampir sama, namun dalam penerjemahan dari bahasa Arab ke latin Indonesia atau bahkan menggunakan bahasa daerah dengan cara penulisan Arab pegon ini jelas memiliki keunikan serta tingkat kesulitan tersendiri, diantaranya yaitu;
a. Harus bisa dan paham tulisan dengan huruf-huruf Arab
b. Mengerti dengan bahasa yang digunakan untuk menerjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa yang dituju
c. Mengetahui arti serta makna apa yang sedang ditulis.26
Kerangka Teori
Terjemahan tradisional dengan Arab pegon ini merupakan terjemahan pesan bahasa Arab sebagai bahasa sumber ke dalam bahasa Jawa, dengan memperhatikan unsur-unsur pembentuk teks, baik berupa unsur linguistik yaitu kosa kata, sintaksis, morfologi, retorik dan sejenis, dan unsur ekstralinguistik, berupa isi kandungan dari teks kitab kuning yang akan diterjemahkan.
Dalam terjemahan ini pesan dan unsur-unsur teks bahasa sumber mendapat perhatian seimbang untuk diterjemahkan. Kedua hal tersebut harus ditampakkan dalam bahasa sasaran dengan jelas. Menurut Aly Abubakar Basalamah, dalam artikelnya berjudul Memahami kitab kuning melalui terjemahan tradisional (suatu pendekatan tradisional terjemahan pondok pesantren), dalam terjemahan tradisional ini ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam usaha penerjemahannya, yaitu27 (1) isi atau pesan ,(2) unsur linguistik teks, dan (3) unsur ekstralinguistik teks.
Kemampuan menerjemahkan teks berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa, menuntut berbagai pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki oleh para santri. Menurut ahli tata bahasa tradisional tentang belajar bahasa,28 menerjemahkan dianggap metode yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan penguasaan terhadap bahasa yang dipelajari. Prinsip lain yang terpenuhi dalam melaksanakan terjemahan ialah bahwa ragam bahasa yang diutamakan dan perlu dipelajari adalah bahasa tulis. Dengan tulisan, seorang pelajar bahasa dapat terhindar dari pencemaran, sehingga apa yang dipelajari masih merupakan bahasa yang murni..
Menurut Henry Guntur Tarigan29, metode tarjamah tata bahasa pada hakikatnya mencakup; telaah eksplisit, kaidah tata bahasa dan kosakata serta penggunaan terjemahan. Dengan demikian terjemahan tata bahasa adalah suatu cara menelaah bahasa yang mendekati bahasa tersebut, pertama-tama melalui analisis kaidah bahasa secara terperinci diikuti oleh penerapan pengetahuan ini pada tugas penerjemahan kalimat-kalimat dan teks-teks kedalam dan dari bahasa sasaran. Oleh karena itu, membaca dan menulis merupakan fokus utama atau sasaran pokok.
Disamping bentuk pengajaran sorogan, menurut Drs. Roestiyah N.K, ada beberapa penyajian pengajaran individual lain yang mungkin dapat diterapkan pada santri.30
1. Perencanaan belajar bebas (Individu Study Plan)
Dalam hal ini ada persetujuan antara seorang santri dengan seorang ustadz dalam penentuan persetujuan secara garis besar, siswa menyiapkan sendiri bentuk ujian akhir, tidak ada peraturan yang mengikat tentang bagaimana menyiapkan ujian tersebut, ada ujian atau tidak terserah santri.
1. Belajar sendiri yang terarah (Self Directif Study)
Tujuan khusus disetujui bersama antara santri dan ustadz, tetapi tidak ada ketentuan bagaimana santri belajar, ustadz mungkin memberikan daftar tujuan instruksional khusus, mungkin juga memberikan daftar bacaan yang perlu atau sumber-sumber lain tetapi siswa tidak harus mempergunakannya apabila dia lulus, dan dia memperoleh kredit untuk itu.
2. Program pemusatan belajar (Learner-Centered Program)
Dalam penyajian ini santri yang menentukan untuk kepentingan dirinya, apa tujuannya, bagaimana dia akan belajar dan sesudah itu tugas apa yang akan dilakukannya kemudian.
3. Melangkah sendiri (Self Pacing)
Siswa menentukan sendiri langkah-langkah belajarnya, ustadz menentukan tujuan instruksional dan semua siswa harus memenuhi tuntutan rumusan tujuan instruksional itu, mungkin santri memakai materi yang sama untuk mencapai tujuan pelajaran, hanya saja kecepatan perkembangan masing-masing yang berbeda.
4. Siswa menentukan pengajaran (Student Determinded Instruction)
Dalam hal ini santri menentukan instruksi sistem sendiri, memungkinkan santri untuk memilih tujuan instruksional, memilih materi pelajaran, struktur, sumber atau latihan-latihan yang digunakan, memilih dan menentukan jadwal mata pelajaran apa yang akan diambil, menentukan sendiri langkah-langkah dalam memenuhi setiap tujuan instruksional, mengevaluasi sendiri apakah tujuan-tujuan instruksional tersebut dianggap tepat untuknya, juga pengajaran yang lebih tepat baginya.
Pembelajaran bahasa Arab di Indonesia, dilihat dari tujuannya nampaknya bisa dibedakan ke dalam dua katagori, yaitu belajar bahasa Arab sebagai tujuan dan belajar bahasa Arab sebagai alat.31 Bahasa Arab sebagai tujuan berarti siswa yang memepelajari bahasa Arab diharapkan mampu menguasai bahasa Arab secara aktif, baik dalam kemampuan muhadastah, istima’, qiro’ah maupun kitabah. Dengan dimilikinya empat kemampuan berbahasa tersebut, maka siswa diharapkan mampu berkomunikasi secara lisan maupun tertulis dalam bahasa Arab yang berarti mampu berbahasa Arab secara aktif maupun pasif.
Bahasa merupakan bagian integral dari pendidikan, bahasa membawa budaya secara psikologis, membentuk suatu masyarakat bahasa. Bahasa bukan hanya suatu alat pembentuk pola-pola perilaku individu untuk mencapai suatu basis konformitas sosial, namun merupakan suatu alat pengembangan sumber daya fisik dengan meningkatkan kapasitas produktif manusia. Fungsi utama suatu bahasa, termasuk bahasa Arab, adalah alat untuk mengungkapkan makna-makna (pikiran, perasaan, ide, gagasan dan sebagainya).
F. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan. Menggunakan studi kasus dalam penelitian lapangan guna mempelajari secara intensif latar belakang, status terakhir, dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan sosial seperti individu, kelompok, lembaga, atau komunitas. Bertujuan melakukan studi yang mendalam mengenai suatu unit sosial sedemikian rupa, sehinggga menghasilkan gambaran yang terorganisir dengan baik dan lengkap mengenai unit sosial tersebut.32
1. Sumber data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif. Sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan. Selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen, dan yang lainnya.33 Data kata-kata diperoleh dari hasil wawancara dengan berbagai sumber yang terlibat, mulai dari kyai, ustadz, santri, sampai pengurus pondok. Selain itu data juga diperoleh dari membaca dokumen atau berkas-berkas yang dimiliki oleh pengurus pondok maupun membaca kitab kuning milik santri yang terlibat.
2. Metode Pengumpulan Data
Ada beberapa metode yang di sesuaikan dengan bermacam-macam data yang akan dikumpulkan. Adapun metode-metode tersebut adalah:
a. Metode Observasi
Metode observasi ini dapat dilakukan dengan dua cara; pertama observasi partisipan, dimana seorang peneliti terlibat langsung atau terjun langsung ke lapangan.34 Dalam hal ini penulis secara langsung terlibat dalam proses belajar mengajar yang diberikan oleh kyai atau ustadz kepada santri di Pondok Pesantren Krapyak, tepatnya pada Madrasah Salafiah III, komplek Q,Yogyakarta. Kedua non-partisipan, yaitu peneliti tidak terlibat atau terjun langsung melainkan penulis hanya mengamati proses belajar mengajar dan mengamati bagaimana proses penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon yang dilakukan oleh santri.35
b. Metode Wawancara
Wawancara dilakukan dengan interview bebas, yaitu dilakukan tanpa adanya aturan-aturan tertentu atau kerangka-kerangka yang telah disiapkan terlebih dahulu.36
Wawancara akan ditujukan kepada semua pihak yang terkait, termasuk kyai, ustadz, santri, dan pengurus pondok. Hal-hal yang akan ditanyakan terutama mengenai proses belajar mengajar, berkaitan dengan penerjemahan kitab kuning yang menggunakan Arab pegon. Termasuk didalamnya pertanyaan mengenai kesulitan yang mereka dapatkan saat menerjemah, apakah itu berkaitan dengan aksara Arab yang dipakai atau bahasa Jawa-nya sendiri, serta pemahaman yang mereka dapatkan mengenai isi teks bacaan setelah mereka melakukan penerjemahan kitab kuning yang menggunakan Arab pegon.
c. Metode Dokumentasi
Data dalam bentuk tulisan,37 mengenai sejarah berdiri dan berkembangnya Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta, letak geografisnya, struktur organisasi, fasilitas pendidikan apa saja yang digunakan, juga data mengenai kyai, ustadz, santri, juga pengurus pondok pesantren.
Untuk mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan proses belajar mengajar yang ada dalam bentuk dokumentasi tulisan, terutama cara menerjemahkan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon,. Termasuk kurikulum yang digunakan, materi pelajaran yang diberikan, metode yang dipakai, juga kitab-kitab apa sajakah yang dipelajari selama berada di madrasah tersebut.
3. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul, penulis akan menggunakan analisa deskriptif untuk menganalisis data. Data yang telah terkumpul kemudian dirumuskan, dijelaskan dan dianalisis.
Dalam menganalisa data yang ada, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
a. Deduktif, yaitu analisa yang dilakukan oleh seseorang dengan cara berangkat dari fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian fakta-fakta tersebut diambil kesimpulan dengan menggunakan kaidah-kaidah logika.38
b. Induktif, yaitu suatu cara analisa data yang dimulai dengan hal-hal yang bersifat khusus, kemudian dijabarkan dan ditarik suatu generalisasi yang bersifat umum.
c. Selain kedua metode tersebut, penulis juga menggunakan metode analisa komparatif, yaitu membandingkan dua atau lebih pernyataan, peristiwa, ide-ide, gagasan dengan maksud untuk menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan di dalamnya.39
G . Sistematika Pembahasan
Untuk menjadikan penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terfokus, maka penulis menyajikan sistematika pembahasan sebagai gambaran umum penulisan skripsi. Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab I, Pendahuluan. Terdiri dari; penegasan istilah, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II. Tinjauan umum tentang Arab pegon. Meliputi; proses akulturasi budaya, hubungan antara kesusasteraan dengan Arab pegon, hubungan antara kitab kuning dalam pesantren dengan penggunaan Arab pegon.
Bab III. Tradisi Arab pegon di pondok pesantren. Meliputi; A) Gambaran umum tentang Madrasah Salafiyah III komplek Q, krapyak, Yogjakarta, mencakup; letak geografis, sejarah berdiri dan berkembangnya, struktur organisasi, fasilitas pendidikan, keadaan kyai, ustadz dan santri. B) Penggunaan Arab pegon dalam Madrasah Salafiyah III. Mencakup; Kurikulum yang digunakan, materi pelajaran yang diberikan, metode yang dipakai, serta proses belajar mengajar yang berlangsung. C). Problem pembelajaran kitab kuning dengan Arab pegon. Mencakup; (1) Problem penerjemahan dengan Arab pegon, (2) Problem pemahaman isi teks secara utuh, (3) Problem mengkomunikasikan pemahaman kepada orang lain atas pembacaan kitab kuning yang menggunakan Arab pegon. D) Kelebihan dan kekurangan penggunaan Arab pegon bagi pemahaman terhadap isi teks pada siswa.
Bab IV. Penutup. Mencakup; kesimpulan, Saran-saran, dan kata penutup.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ARAB PEGON
A. Proses Akulturasi Budaya
Menurut Koentjaraningrat,40 akulturasi merupakan suatu proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur tersebut lambat-laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu.
Akulturasi terjadi apabila kelompok-kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda saling berhubungan secara langsung dengan intensif, kemudian menimbulkan perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan. Di antara variabel-variabel yang banyak itu termasuk tingkat perbedaan kebudayaan; keadaan, intensitas, frekuensi dan semangat persaudaraan dalam hubungannya. Siapa yang dominan dan siapa yang tunduk, dan apakah datangnya pengaruh itu timbal balik atau tidak.41
Terjadinya akulturasi dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya;42 (1) Apabila ditemukan unsur-unsur baru, (2) Apabila unsur baru dipinjam dari kebudayaan lain, (3) Apabila unsur-unsur kebudayaan yang ada tidak lagi cocok dengan lingkungan, lalu ditinggalkan atau diganti dengan yang lebih baik, (4) Apabila ada unsur-unsur yang hilang karena gagal dalam perwujudan dari suatu angkatan ke angkatan berikutnya.
Dalam hal ini peristiwa akulturasi yang terjadi di Nusantara telah melahirkan produk kebudaayaan sehingga memunculkan terjadinya proses Islamisasi melalui Arab pegon.
Mengenai sejarah persebaran agama Islam di pulau Jawa dan beralihnya keyakinan penduduk Jawa ke agama Islam, pada umumnya para ahli sejarah belum banyak mengetahuinya. Masih perlu diadakan pengumpulan data dan penelitian untuk membuat suatu dokumentasi mengenai berbagai spekulasi serta hipotesa yang penting dari proses tersebut., juga ditunjang oleh fakta-fakta sejarah yang kuat. Sampai sekarang kita hanya dapat merasa puas dengan ikhtisar-ikhtisar yang bersifat sementara, seperti yang tercantum dalam karangan B.J.O. Schrieke, H.J. de Graaf, dan banyak yang lainnya.
Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Jawa, menyebutkan, bahwa Islam masuk ke Jawa melalui suatu negara yang baru muncul di pantai barat Jazirah Melayu, yaitu Malaka. Dalam abad ke-14, ketika kekuasaan Majapahit sebagai suatu kerajaan yang berdasarkan perdagangan mulai berkurang, maka bagian barat dari rute perdagangan yang melalui kepulauan Nusantara berhasil dikuasai oleh negara itu. Pelabuhannya sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang muslim dari Gujarat dan Persia. Namun, dalam abad ke-13 mereka membawa Islam, mula-mula ke pantai Timur Aceh.kemudian ke Malaka, dan selanjutnya sepanjang rute dagang ke pulau-pulau rempah di Indonesia Timur, juga ke kota-kota pelabuhan di pantai utara pulau Jawa. Dengan demikian agama Islam tiba dari Malaka dalam abad ke-14, bahkan mungkin sudah lebih awal. Pedagang-pedagang Jawa dari pelabuhan dagang Gresik, Demak dan Tuban pergi berdagang ke Malaka, dan sebaliknya pedagang-pedagang beragama Islam dari Malaka juga mengunjungi pulau Jawa. Kecuali itu banyak orang asing lain datang ke kota-kota pelabuhan di Jawa utara, seperti orang Persia, India Selatan, Cina dan Vietnam. Oleh karena itu, para ahli sejarah belum tahu pasti mengenai identitas para pedagang yang paling dahulu tiba di pantai utara pulau Jawa, tetapi mereka menduga bahwa pedagang-pedagang itu berpindah-pindah dari satu kota pelabuhan ke yang lain. Mulai dari Gujarat di sebelah barat, melalui jazirah Melayu, kemudian tiba di kota-kota pelabuhan di pantai utara pulau Jawa di sebelah timur.43
Kedatangan agama Islam yang mulai menyebar di Nusantara semenjak abad ke-13 M, ternyata juga tidak mengganggu budaya asli animisme-dinamisme di Jawa. Ini karena budaya asli tersebut mempunyai watak yang elastis44, sehingga ajaran Islam yang datang dapat menyebar ke Nusantara.
Masuknya Islam di pulau Jawa sejak awal hingga sekarang secara terus menerus masih merupakan suatu proses akulturasi. Tradisi Islam yang datang ke pulau Jawa sangat akomodatif terhadap tradisi Jawa, begitu juga sebaliknya, tradisi Jawa sangat apresiatif menerjemahkan tradisi Islam-Arab ke dalam sistem budaya Jawa. Agama sebagai salah satu unsur dari kebudayaan memiliki peran dalam perubahan kebudayaan itu sendiri.45
Proses interaksi antara Islam dan budaya lokal itu berlangsung terus-menerus tanpa henti, mengalami pertumbuhan ke arah yang lebih kompleks. Proses pertumbuhan yang berjalan rapi dikarenakan penyampaian pesan-pesan Islam yang ditempuh melalui pendekatan kultural. Dengan masuknya agama Islam di pulau Jawa, kemudian munculah pondok-pondok pesantren sebagai pusat pendidikan agama Islam.46 Dari pondok-pondok pesantren inilah kemudian lahir teks-teks keagamaan. Selain lahir di pondok pesantren , juga muncul dari lingkungan keraton.
Keberhasilan para wali yang mula-mula menyebarkan Islam dan mendirikan pondok pesantren, merupakan salah satu bukti bahwa mereka telah berhasil menyerap, kemudian menerjemahkan ke dalam bahasa kebudayaan masyarakatnya. Sehingga masyarakat melihat hasil “babaran” kebudayaan itu sebagai miliknya, sebagai sesuatu yang memancar dari cipta rasa mereka.47
Terutama pada masa Mataram Islam, Islam tidak mengalami perbenturan yang berarti dengan budaya Jawa.48 Bagi masyarakat pesantren, agama adalah nomor satu dan segalanya, sebaliknya para penguasa dan pendukung sastra budaya Jawa, kedudukan dan kekuasaan politik adalah yang nomor satu dan segalanya. Maka, sesudah Sultan Agung berhasil mematahkan kesultanan pesisiran yang didukung masyarakat pesantren, ia segera menyadari perlunya menetapkan strategi budaya untuk menghubungkan dua lingkungan budaya. Yaitu lingkungan budaya pesantren dengan sastra budaya agama yang berbahasa Arab dengan lingkungan budaya kejawen dengan sastra budaya Jawa yang berpusat di lingkungan istana kerajaan-kerajaan Jawa. Adapun strategi untuk membaurkan unsur-unsur Islam dalam budaya Jawa, dimulai dengan mengganti perhitungan tahun saka yang berdasarkan perjalanan matahari, menjadi perhitungan tahun hijriyah, yang berdasar pada perjalanan bulan.
Strategi yang dicanangkan Sultan Agung tersebut diatas ternyata menggairahkan para sastrawan kejawen untuk menekuni pokok-pokok ajaran Islam, untuk menyusun karya-karya baru dengan menyadap dan mengolah unsur-unsur ajaran Islam sebagai upaya untuk memperkaya pengembangan sastra budaya Jawa. Terutama aspek filsafat mistik sufisme yang sangat menarik untuk memperkaya sastra budaya Jawa.
Dalam sejarah masyarakat, bahasa memungkinkan manusia membentuk hubungan ruhaniyah. Secara jasmaniyah warga masyarakat terpisah antara satu dengan lainnya, tapi secara ruhaniyah mereka berhubungan. Tanpa hubungan ruhaniyah masyarakat tidak terbentuk. Dengan bahasa, si A menyampaikan apa yang ada dalam dirinya (pikiran, perasaan, keinginan, dan pengalaman) kepada si B, tanpa saluran tersebut si B tidak akan mengetahui apa yang dipikirkan, dirasakan, diinginkan dan dialami si A. Kemudian si B timbul reaksi., reaksi menimbulkan aksi lagi, melalui bahasa itu pula reaksi si B kemudian menimbulkan reaksi pula pada si A. sehingga terjadilah interaksi antara dua orang bahkan sekelompok orang. Dengan interaksi terwujudlah kerjasama dan kehidupan bersama antara kelompok pribadi itu, sehingga terbentuklah masyarakat. Sampai sekarang bahasa memainkan peranan utama dalam masyarakat.49
Dalam hal ini, bahasa yang digunakan sebagai penghubung dalam proses interaksi khususnya daerah Jawa tentu saja menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa kemudian mengalami proses akulturasi, salah satunya yaitu dengan timbulnya penggunaan aksara atau tulisan huruf Arab yang menggunakan bahasa Jawa, kemudian dikenal dengan tulisan Arab pegon. Belum diketahui siapakah yang pertama kali menggunakan cara ini. ada yang menyebutkan bahwa yang pertama kali menggunakan adalah para wali, sebagai upaya untuk memperlancar penyebaran agama Islam.
Sebuah agama akan tersebar dan berkembang dengan baik apabila para penyiar agama yang bersangkutan memiliki kesanggupan dan pengetahuan yang luas tentang kebudayaan dan segala seluk beluk kehidupan masyarakat, termasuk bahasa, adat istiadat, kesusasteraan, seni, pandangan hidup, dan gambaran dunia yang ada. Dalam hal ini, para wali di Jawa berhasil menjadi penyebar Islam karena mereka mengenal dengan baik, bukan saja ilmu-ilmu agama, tetapi juga kebudayaan Jawa.
B. Hubungan antara Kesusasteraan dengan Arab Pegon
Datangnya agama Islam di Indonesia menyebabkan tersebarnya pula aksara Arab.50 Aksara Arab ini dengan berbagai modifikasi digunakan dalam bahasa Melayu, bahasa Jawa dan beberapa bahasa daerah lainnya. Aksara Arab yang kini di Malaysia disebut aksara Jawi, yang dipakai untuk bahasa Indonesia (waktu dulu) disebut aksara Arab Melayu atau Arab Indonesia, dan yang dipakai dalam bahasa Jawa disebut aksara pegon.
Indonesia sudah lama mengenal tulisan Arab. Setidak-tidaknya digunakan dalam pertengahan abad ke-13 M, tulisan Arab ketika itu sudah digunakan oleh golongan yang terbatas di Indonesia.51 Kesusasteraan Melayu yang tertua, sebagian ditulis dengan tulisan Arab bahasa Melayu, bahkan sampai waktu yang terakhir ini masih ada hasil-hasil kesusasteraan Indonesia yang ditulis dengan huruf Arab tersebut
Kesusasteraan Nusantara yang bercorak tulisan mulai berkembang dengan pesat setelah kedatangan agama Islam. Karya-karya kesusasteraan Nusantara juga dipengaruhi Islam yang dituliskan oleh penulis Islam Nusantara dengan tujuan menjadikanya sebagai media penyampaian pengajaran Islam kepada pembacanya. Para penyiar Islam juga mengambil kesempatan yang sama untuk menyalurkan unsur-unsur pemikiran Islam dalam masyarakat Nusantara. Penulis-penulis Islam menyalurkan karya-karya dari sumber peradaban Islam yang diterapkan dalam ide-ide keislaman yang ada di Nusantara kemudian karya-karya tersebut dijadikan media untuk berdakwah.52
Banyak teks sastra yang tadinya bernafaskan Hindu Budha digubah oleh pujangga keraton menjadi bernafaskan Islam.53 Penggubahan dan penciptaan secara besar-besaran dalam suasana religius Islam di lingkungan keraton Jawa terjadi pada abad ke-18 dan 19 sewaktu kekuasaan keraton semakin terjepit secara politik oleh pemerintah kolonial Belanda. Jumlah naskah dari lingkungan non kraton (diantaranya lingkungan pondok pesantren) dan keraton belum bisa dihitung karena banyaknya, sebagian sudah rusak karena dimakan usia.
Diantara 1196 naskah koleksi Widya Budaya (perpustakaan keraton Yogyakarta) yang dapat diidentifikasikan sebagai karya Produksi Hamengku Buwono II sampai dengan Hamengku Buwono IX, berupa karya baru, saduran dan setengah saduran dan salinan. Naskah-naskah tersebut dikelompokkan atas naskah babad, silsilah, sastra, pewayangan, suluk, piwulang, primbon, jawuko, penanggalan, bahasa, dan tari54.
Di samping menulis naskah dengan huruf Jawa, para pekerja sastra tersebut (umumnya abdi dhalem) juga menulis naskah dengan huruf Arab pegon, yaitu huruf Arab tanpa memakai sandangan (fatkhah, dhomah dan kasroh). Naskah yang ditulis dengan huruf Arab pegon antara lain serat Menak, serat Ambiya, produksi zaman Hamengku Buwono V dan hikayat Bayan Budiman yang tidak mencantumkan waktu penyalinan dan diperkirakan ditulis sesudah masa Hamengku Buwono V.
Serat Ambiya ini tidak terdapat nama penulisnya, namun disebutkan bahwa serat ini ditulis atas prakarsa Hamengku Buwono V. penanda waktu dalam Serat Ambiya meliputi hari, tanggal dan tahun Jawa, nama tahun Jawa, jam, tarikh Islam, bulan dan tahun Hijriyah, nama musim, nama lambang, bulan dan tahun Masehi, angka merta, nama wuku, sengkalan tahun Jawa.
Pembacaan serat Ambiya dengan cara bergantian dengan serat yang lainnya, berlangsung pada setiap hari jum’at dalam acara mocopatan di Bangsal Sri Manganti keraton Yogyakarta.55
Ragam bahasa digunakan, bukan saja bahasa Jawa, namun juga menggunakan bahasa daerah lainnya. Berikut beberapa kitab yang memakai aksara Arab dan berbahasa daerah, koleksi perpustakaan Nasional Republik Nusantara; (1) Hikayat Sang Boma; beraksara Arab dengan bahasa Melayu, (2) Hikayat Sultan Taburat; beraksara Arab dengan bahasa Melayu, (3) Kutika; beraksara Bugis dan Arab dengan bahasa Bugis, (4) Undang-undang Johor; beraksara Arab dengan bahasa Melayu.56
C. Hubungan antara Kitab Kuning dalam Pesantren dengan Penggunaan Arab Pegon
Pesantren merupakan salah satu tradisi pengajaran agama Islam yang juga berlangsung di pulau Jawa. Alasan pokok dari munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab-kitab ini dikenal di Nusantara sebagai kitab kuning.
Pengetahuan kita mengenai asal usul pesantren sangat sedikit. Kita bahkan tidak mengetahui kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya. Namun menurut Martin Van Bruinessen,57 lembaga pesantren belum ada sebelum abad ke-18, namun hal itu tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari sebelumnya. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16. Beberapa kitab pada zaman itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Melayu, sementara beberapa pengarang Nusantara juga telah menulis kitab-kitab sastra dalam bahasa tersebut dengan gaya dan isi yang serupa.
Seiring dengan masuknya Islam, aksara Arab juga ikut serta didalamnya. aksara atau tulisan arab yang dipadukan dengan bahasa Jawa atau disebut dengan Arab pegon ini dijadikan sebagai sarana penyampai pesan yang terkandung, baik itu melalui karangan para sastrawan maupun digunakan untuk menerjemahkan (mema’nai) kitab kuning yang dipelajari di pesantren tradisional.
Mempelajari kitab kuning di pesantren dengan pendekatan tradisional menggunakan sistem terjemahan menggantung, karena bahasa sasaran (dalam hal ini menggunakan bahasa Jawa) yang digunakan diletakkan menggantung pada bahasa sumber (bahasa Arab) dan proses penerjemahnnya berlangsung terhadap setiap kata, frase dan berbagai unsur gramatikal yang ada. Biasanya terjemahan ini dilakukan ke dalam bahasa Jawa khas pesantren, yang umumnya sangat terkait dengan urutan dan struktur bahasa Arab. Tahap berikutnya adalah penerjemahannya kembali ke dalam bahasa sasaran, yang biasanya merupakan bahasa Jawa yang wajar.
Kebanyakan kitab Arab klasik yang dipelajari di pesantren adalah kitab komentar (syarah) atau komentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua (matn). Format kitab kuning yang paling umum dipakai di pesantren, kertasnya sedikit lebih kecil dari kertas kuarto (26 cm) dan tidak dijilid.
Secara garis besar, lembaga-lembaga pesantren pada dewasa ini dikelompokkan dalam 2 kelompok besar, yaitu;58 (1) Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistem madrasah diterapkan untuk mempermudah sistem sorogan yang dipakai dalam pengajian-pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengetahuan umum. Termasuk Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta. (2) Pesantren Khalafi. Pesantren jenis ini telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum, namun juga tetap mempertahankan sebagian kitab-kitab klasik..
Mengenai isi kitab kuning, terbagi menjadi dua kelompok;59 (1) Kelompok ajaran, mencakup (i) Ajaran dasar, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, (ii) Ajaran yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi ulama-ulama Islam terhadap ajaran dasar tersebut. (2) Kelompok bukan ajaran. Maksudnya, sesuatu yang datang ke dalam Islam sebagai hasil perkembangan Islam dalam sejarah seperti lembaga-lembaga kemasyarakatan, kebudayaan, metode keilmuan, termasuk ijtihad dan pemikiran para ahli.
Metode penalaran yang dipakai dalam pembahasan kitab kuning, diantaranya;
1. Metode Deduktif (istinbath). Model ini banyak dipakai untuk menjabarkan dalil-dalil keagamaan (Al-Qur’an dan Al-Hadis), masalah-masalah fiqhiyah, termasuk masalah yang di produk melalui ushul fiqh aliran mutakalimin.
2. Metode Induktif (istiqro’I). Merupakan pengambilan kesimpulan umum dari soal-soal khusus. Metode ini juga dipergunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk menetapkan suatu hukum.
3. Metode Genetika (takwini). Yaitu cara berfikir mencari kejelasan suatu masalah dengan melihat sebab-sebab terjadinya, atau melihat sejarah kemunculan masalah itu. Biasanya digunakan oleh ulama ahli hadis dalam meneliti status hadis dari segi riwayah dan diroyah.
4. Metode dialektika (Jadali). Adalah cara berfikir yang uraiannya jelas diangkat dari pertanyaan atau dari pernyataan seseorang yang dipertanyakan.
Penyajian kitab kuning dilihat dari kandungan makna terbagi menjadi dua: (1) Kitab kuning yang berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara polos. (2) Kitab kuning meyajikan materi yang terbentuk kaidah-kaidah keilmuan seperti nahwu, ushul fiqh, mustholah hadis dan semacamnya.
Kitab kuning dilihat dari kadar penyajiannya, terbagi menjadi tiga: (a) Kitab yang tersusun secara ringkas (mukhtasar), yang hanya menyajikan pokok-pokok masalah, baik muncul dalam bentuk nazhom (syi’ir), atau berbentuk ulasan biasa (natsar). (b) Kitab yang membawakan uraian panjang lebar, menyajikan argumentasi ilmiah secara komperatif dan banyak mengutip ulasan para ulama dengan hujjahnya masing-masing. (c) Kitab yang menyajikan materi yang tidak terlalu panjang dan luas (mutawassithoh).
Dilihat dari penampilan uraiannya, kitab kuning memiliki lima dasar, yaitu (a) Mengulas pembagian sesuatu yang umum menjadi sesuatu yang khusus, yang global menjadi terinci. (b) Menyajikan redaksi yang teratur dengan menampilkan beberapa pernyataan untuk menuju suatu kesimpulan yang benar-benar dituju. (c) Membuat ulasan-ulasan tertentu dalam mengurai uraian-uraian yang dianggap perlu. (d) Memberikan batasan-batasan jelas. (e) Menampilkan beberapa alasan pernyataan yang dianggap perlu.
Suatu tulisan kitab kuning diarahkan untuk menjelaskan suatu topik tertentu, tetapi beberapa tulisan kitab kuning ada yang memerlukan penjelasan lebih luas lagi, yang oleh para ahli disebut syarah atau khasyiyah. Kebutuhan akan syarah ini antara lain karena (1) Kemahiran seorang pengarang dalam menampilkan redaksi, sehingga ia mampu memaparkan pengertian yang mendalam dengan bahasa yang sangat singkat. (2) Pengarang membuang suatu alasan karena dinilai telah jelas dengan sendirinya, maka penulis syarah merasa perlu memunculkan kembali ulasan yang dibuang itu. (3) Suatu pernyataan terkadang memerlukan ulasan tegas karena pernyataan itu muncul dalam bahasa sindiran (majas dan kinayah).
Adapun bahasa kitab kuning yang baik yaitu yang berbentuk matn atau syarh atau hasyiyah, maka semuanya tetap memelihara ketata bahasaan Arab (nahwu dan shorof). Kitab kuning dilihat dari segi bahasa tampak berbeda satu sama lain. Kitab-kitab yang disusun oleh ulama kuno (salaf) memilki bahasa yang lebih klasik daripada kitab-kitab yang disusun oleh ulama belakangan (khalaf). Begitu pula penyajian materi memiliki gaya yang berbeda pula, misalnya kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh imam-imam mujtahid sangat berbeda dengan fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama pengikutnya. Perbedaan bahasa ini terkadang membawa perbedaan penafsiran, perbedaan asumsi bahkan perbedaan konsep tentang suatu masalah. Karena itu wajar jika pengikut satu madzhab saling berbeda interpretasi terhadap pendapat mazhabnya.
BAB III
TRADISI ARAB PEGON DI PONDOK PESANTREN
A. Gambaran Umum Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak,
Yogyakarta
1. Letak Geografis
Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta ini terletak di dusun Krapyak, desa Panggungharjo, kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Alamat Madrasah Salafiyah III yang berada di jalan KH. Ali Maksum ini adalah; Po Box 1286,Krapyak, Yogyakarta. Telp (0274) 377374.
Secara Geografis, jarak tempuh dusun Krapyak adalah kurang lebih 1,5 KM dari kantor desa Panggungharjo, 2,5 KM dari kecamatan, 8 Km dari kabupaten, dan 2 KM dari kota propinsi.
2. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya
Sejarah berdirinya Madrasah Salafiyah III ini tidak terlepas dari sejarah pondok pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, yang didirikan oleh KH..M.Munawwir pada tanggal 15 November 1910M. Kemudian, pada tanggal 22 September 1989 didirikanlah pondok pesantren putri (PPP) Al-Munawwir, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta yang pendiriannya dipelopori oleh KH. Ahmad Warson Munawwir.60
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Putri Al-Munawwir, yang selanjutnya untuk sistem kepesantrenannya disebut dengan Madrasah Salafiyah III ini, bermula dari usul dan saran KH. Ali Ma’sum (Guru, kakak ipar dan pengasuh periode ke-3) kepada KH. Ahmad Warson Munawwir untuk menampung dan mendirikan asrama bagi para santri-santri putri yang ingin mendalami ilmu-ilmu kepesantrenan sambil menimba ilmu pegetahuan umum di lembaga-lembaga pendidikan umum seperti SMP. SMU, dan perguruan tinggi yang tersebar di daerah Yogyakarta.
Dalam perjalanan sejarahnya, mula-mula KH.Ahmad Warson Munawwir menyediakan sebuah ruangan (kamar) yang tidak terpakai untuk tempat beberapa santri yang sudah mendaftar. Tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama, informasi keberadaan pesantren ini kemudian tersebar luas kepada para alumni, dan kaum muslimin yang sejak lama ingin memondokkan putri-putrinya di pesantren ini sambil belajar di sekolah umum.
Pada awal berdirinya, pendidikan santri langsung ditangani oleh KH. Ahmad Warson Munawwir karena saat itu santrinya baru beberapa orang dan memungkinkan untuk ditangani sendiri. Namun setelah jumlah santrinya semakin banyak dan tidak mungkin ditangani sendiri, maka untuk menjalankan sistem pengajaran santri selain ditangani langsung oleh Kyai Warson (panggilan untuk KH. Ahmad Warson), juga dibantu oleh beberapa santri senior, dan untuk pelaksana harian ditangani oleh kepengurusan yang merupakan bagian dari kepengurusan pondok pesantren ini.
Setelah enam hingga tujuh tahun kependidikan berjalan, dan perkembangan santri yang semakin bertambah, dirasa perlu adanya penanganan tersendiri agar lebih terarah tercapainya tujuan pendidikan. Maka pada tahun 1996 dibentuklah kepengurusan tersendiri untuk menangani masalah kependidikan yang terlepas dari kepengurusan pondok pesantren.
Pada awalnya, perkembangan kepengurusan tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik, namun pada tahun 1998 pendidikan santri ditangani oleh sebuah kepengurusan tersendiri yang mulai terorganisir, yaitu pengurus Madrasah Salafiyah III, Pondok Pesantren AL-Munawwir Komplek Q, Krapyak Yogyakarta. Sejak itu [1998-sekarang], perangkat kemadrasahan dilengkapi dengan susunan personalia yang lengkap dengan pedoman umum serta tata tertib santrinya.
Pada tahun pelajaran 1424H-1425H /2004-2005 M, jumlah santri Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta ini berjumlah 325 santri dengan tenaga pengajar/ustadz 22 orang.
3. Struktur Organisasi
Madrasah Salafiyah III dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajarannya telah ditangani oleh suatu kepengurusan yang dilengkapi dengan struktur dan personalianya. Kepengurusan ini dimaksudkan agar kelangsungan dan ketertiban bisa terjaga dengan baik,serta untuk mempermudah dan memperlancar para santri dalam menekuni dan mendalami ilmu-ilmu kepesantrenan. Selain itu, kepengurusan ini dimaksudkan untuk membantu Kyai Warson dalam mengemban amanat para wali santri yang telah jauh datang dari berbagai wilayah di Nusantara demi tercapai cita-citanya yaitu agar putra putrinya memperoleh ilmu-ilmu keagamaan yang memadai.
Adapun susunan kepengurusan Madrasah Salafiyah III pada tahun 2004/2005 adalah sebagai berikut:
Pengasuh : KH. A Warson Munawwir
Litbang : Drs. H.Habib Abdus Syakur
Drs.Muslih Ilyas
Drs. A Thoifur, M.Si
Taufiq Ahmad
Abdullah Mustaqim M.A g
Drs.Junaidi Abd. Syakur
Dindin Wahyudin, S Ag
Kepala Madrasah : Agus Najib,S A g
Waka Ur. Kurikulum dan Pengajaran : Lu’luatul Nafsiah
Waka II Ur. Kesantrian : H.M. Kholid AR, S. Hut :
Waka III Ur.Sarana dan Humas : Drs H.Suhadi Khozin
Kepala Tata Usaha : Muhammad Mawardi
Bagian-bagian:
Bag. Jadwal dan piket : Yanti
Bag. Kurikulum : Maryam
Eli Kamaliyah
Bag. Perpus/Kitab : Nur Rofi’ah
Bag. Bp : Muflihah
Khotimah
Lutfiyah Baiti
Bag.Sarana dan Prasarana : Rahmawati Hamzah
Aam Siti Masyrifah
Bag.Humas : Laela Fitriana
Amanah
Biro-Biro:
Adm. Keuangan : Nur Hasanah
Hana Kurniaawati FN
Adm.Kesantrian : Iim Fatimah
Adm.Pengajaran/Guru : Astuti Maharani
Hestining Rahayu
Adm. Surat-menyurat : Millatul Aisyah Ardhani
4. Fasilitas Pengajaran
Agar penyelenggaraaan pendidikan dapat tercapai dengan baik, Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta selama ini telah memiliki beragam sarana yang menunjang tercapainya keberhasilan belajar mengajar. Baik itu sarana fisik maupun non fisik. Di samping fasilitas pokok tersebut, terdapat pula fasilitas menunjang lainnya berupa buku-buku/kitab-kitab tambahan.
(1). Fasilitas Gedung
Secara umum kondisi gedung di Madrasah Salafiyah III ini cukup memadai, karena gedung tersebut adalah milik sendiri. Gedung yang dimiliki adalah gedung berlantai I, II dan III, dan semuanya diperuntukkan untuk kegiatan belajar-mengajar dan sarana perkantoran.
Gedung Madrasah Salafiyah III yang dipakai untuk belajar-mengajar ada dua lokasi, yaitu gedung utama yang terdiri dari lima ruangan dan gedung perintis satu ruangan. Sedangkan gedung untuk perkantoran dan ruang ketrampialn komputer menjadi satu ruang.
(2) Perangkat Moubelar
Perlengkapan moubelar yang dimiliki oleh Madrasah salafiyah III ini terdiri dari perlengkapan alat-alat kantor seperti meja, kursi, mesin ketik, komputer dan sebagainya.
Tabel 1
Peralatan Moubelar Madrasah Salafiyah III
No Keperluan Jenis Barang Jumlah
1. Ruang guru dan ruang tamu 1. Meja dan kursi
2. Almari 1 Set
1 Buah
2. Ruang kepala 1. Meja dan kursi
2. Almari 1 Set
1Buah
3. Ruang TU 1. Meja dan Kursi
2. Almari 1 Set
1 Buah
4. Ruang perpustakan 1. Meja
2. Almari 6 Buah
4 Buah
5. Ruang Kelas 1. Meja Ganda
2. Kursi Tunggal
3. Papan Tulis
4. Meja Tunggal 50 Buah
100 Buah
7 Buah
10 Buah
6. Ruang Komputer 1. Meja dan Kursi
2. Komputer
3. Printer
4. Almari 10 Set
8 Set
5 Buah
1 Buah
(3). Perpustakaan
Madrasah Salafiyah III ini telah memiliki perpustkaan sendiri. Didalamnya telah tersedia beragam buku-buku serta kitab-kitab yang berisi pengetahuan Umum dan keagamaan.
Sedangkan Fasilitas pendukung yang berupa non fisik, mencakup; (1) Penghargaan yang diberikan kepada santri yang berprestasi, (2) Kajian kitab-kitab salaf, baik berupa pengajian bandongan maupun sorogan. (3) Pengadaan beragam workshop yang dapat menunjang kehlian tenaga pengajar dan para santri.
5. Keadaan Kyai, Ustadz dan Santri
a. Keadaan Kyai
Pengasuh dalam hal ini merupakan pimpinan tertinggi dalam sebuah pondok pesantren, yang juga berpeeran sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan penentu kebijakan terhadap segala keputusan yang diambil. Sebab pengasuh merupakan pendiri sekaligus pemilik pondok pesantren ini. Meskipun demikian, pengasuh akan meminta pertimbangan kepada pengurus juga santrinya sebelum mengambil keputusan bagi keberlangsungan pesantren.
Madrasah Salafiyah III yang masuk dalam Pondok Pesantren Putri Al-Munawwir, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta ini, diasuh oleh seorang kyai yang bernama KH. Ahmad Warson Munawwir. Beliau adalah putra KH. Munawwir, yang juga pendiri pesantren Al-Munawwir, Krapyak. Ibunya bernama Hj. Sukis, Kyai Warson dilahirkan pada tanggal 30 November 1094, bertepatan dengan tanggal 20 Sya’ban 1354 H, di bantul, Yogyakarta. Sejak kecil beliau sudah ditinggal wafat oleh ayahnya, kemudian beliau memperoleh pendidikan dari kakak iparnya, yaitu KH. Ali Maksum.
Disamping sebagai pengasuh dan pengajar di dalam pesantrennya, Kyai Warson juga aktif dalam beragam organisasi. Meskipun Kyai Warson sibuk dalam berorganisasi, namun beliau tidak pernah melupakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengasuh. Beliau masih tetap mengajar kitab kepada santrinya, hal ini dilakukan setiap habis melaksanakan jama’ah sholat subuh dengan para santrinya yang di imami oleh beliau sendiri. Disamping itu, beliau selalu meluangkan waktu seminggu sekali pada hari ahad pagi untuk mengajarkan kitab tentang akhlak dan tasawuf, dengan pertimbangan pada hari itu para santrinya libur dari kegiatan sekolah juga kegiatan perkuliahan.
Keberadaan rumah kyai yang masih satu komplek dengan asrama santri juga semakin mempermudah pengasuh untuk mengontrol dan mengawasi aktivitas santrinya. Beliau sangat memperhatikan santri-santrinya, terutama jika ada diantara santrinya yang tidak mengikuti pengajaran, maka beliau akan memanggilnya. Oleh karena itu beliau sangat disegani dan dihormati oleh santri-santrinya. Adapun interaksi positif antara kyai dan santri dalam pesantren lebih menyerupai sebuah keluarga besar yang penuh tata krama kehidupan islami sebagai sarana untuk mengarahkan santri kepada tujuan pendidikan pesantren yang diharapkan.
b. Keadaan Ustadz
Ustadz yang mengajar di Madrasah Salafiyah III ini, semuanya adalah alumni pesantren krapyak dan merupakan santri senior. Di antara para ustadz ada yang juga menempuh pendidikan di luar pesntren di samping belajar di pesantren.
Ada beberapa kriteria yang diperuntukkan bagi para ustadz yang diterima mengajar di Madrasah Salafiyah III ini;
(1) Mempunyai kemampuan materi yang diajarkan
(2) Berkepribadian baik, sehingga dapat dijadikan sebagi suri tauladan yang baik
(3) Mempunyai keyakinan dan sifat kemandirian sesuai dengan lingkungan di Madrasah Salafiyah III ini
(4) Ikhlas mengbdikan diri dan bersemangat tinggi sebagai tenaga pengajar di Madrasah Salafiyah III.
Berikut ini adalah daftar tabel ustadz dan tingkat pendidikannya;
Tabel 2
Daftar Ustadz/ah dan Tingkat Pendidikan Terakhir
No Nama Pendidikan Bidang
1. K.H. A. Warson Munawwir Pesantren Tafsir, Fiqh
2. Ny. Hj Khusnul Khotimah Pesantren Al-Qur’an
3. H. M. Fairuz Warson Peesantren Al-Qur’an
4. H. M. Kholid Abd. Razzaq SI/IPB Tajwid
5. KH. Hafidz Abd. Qodir Pesantren Al-Qur’an
6. Taufiq Ahmad Pesantren Fiqh
7. Muslih Ilyas SI/IAIN Fiqh
8. Thoifur S2/UGM Akhlaq
9. Habib Abd. Syakur S2/IAIN Bhs. Arab
10. Suhadi Khozin SI/IAIN Tauhid
11. Djunaidi Abd. Syakur SI/IAIN Nahwu
12. Muhtarom Busyro SI/IAIN Fiqh
13. Dindin Wahyudin SI/IAIN Bhs. Arab
14. Zainal Abidin Pesantren Fiqh
15. Masykur Al-Karim Pesantren Fiqh
16. M. Yusuf Thoha Pesantren Nahwu
17. Abdul Mustaqim S2/IAIN Bhs. Arab
18. Agus najib SI/IAIN Nahwu
19. Thoha Maksum SI/IAIN Nahwu
20. Abdul latief SI/IAIN Akhlaq
21. Alfiatuz Zuhriyah SI/IAIN Akhlaq
22. Yunan SI/UGM Bhs. Arab
23. Muhammad Mawardi SI/UGM Fiqh
24. Siti Muhanik SI/UNY Tajwid
25. Siti Halimah SI/IAIN Lughoh
26. LU’luatun Nafisah SI/UII Tauhid
27. Nuriyati Si/IAIN Amaliyah
28. Alawiyah Razzaq SI/IAIN Lughoh
29. Laila Fitriana SI/UII Tarikh
c. Keadaan Santri
Jumlah santri Madrasah Salafiyah III pada tahun ajaran 2004-2005 ini berjumlah 325 orang, dengan latar belakang pendidikan yang sangat beragam. Diantara mereka ada yang lulusan SD/Madrasah Ibtida’iyah, SMP/Madrasah Tsanawiyah, SMU/ Madrasah Aliyah. Di pesantren ini, selain mereka belajar tentang agama juga belajar pengetahuan umum di lembaga pendidikan non pesantren. Disamping mereka berstatus sebagai santri, kebanyakan dari mereka juga berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa.
Meskipun berasal dari latar belakang pendidikan dan daerah yang berbeda-beda, namun secara garis besar, santri yang berasrama di pesantren ini dikelompokkan menjadi dua katagori, yaitu;
(1) Santri yang belajar di lembaga pendidikan umum (SMP/Tsanawiyah, SMU/Aliyah, dan perguruan tinggi), serta aktif mengikuti program kepesantrenan dan kemadrasahan serta tinggal di pondok pesantren.
(2) Santri Takhassus, yaitu santri yang khusus menghafal Al-Qur’an dan pengajian kitab serta program Madrasah Salafiyah III.
Setiap santri yang mengikuti pendidikan di Madrasah Salafiyah III ini, diwajibkan untuk tinggal di asrama yaitu didalam pondok pesantren. Adanya asrama pesantren ini untuk memberikan kesempatan kepada santri agar dapat melakukan interaksi belajar setiap saat, baik sesama santri maupun dengan para ustadz pengajar yang ada.
Kondisi lingkungan seperti ini sangat baik bagi proses pengajaran kitab kuning terutama dengan metode sorogan yang membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Sehingga kesulitan belajar yang sering dihadapi santri akan dapat teratasi karena mereka mudah untuk bertukar pikiran antar sesama santri bahkan berkonsultasi dengan para ustadzah atau santri senior dalam belajar kitab kuning tanpa dibatasi waktu yang mengikat.
B. Penggunaan Arab pegon di Madrasah Salafiyah III
1. Kurikulum
Dalam pesantren, yang disebut dengan kurikulum pesantren sebenarnya meliputi seluruh kegiatan yang dilakukan di pesantren selama sehari semalam. Sama halnya dengan Madrasah Salafiyah III, madrasah ini dikembangkan dengan muatan kurikulum kepesantrenan atau tahassus, ditambah dengan beberapa keterampilan yang dapat menunjang keberhasilan tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
Tujuan kurikulum pengajaran kitab kuning di Madrasah Salafiyah III ini mengacu pada tujuan institusional pondok pesantren Al-Munawwir, yaitu:
a. Menghasilkan pribadi muslim yang beriman, berakhlak karimah (akhlak Qur’ani), beramal sholeh, cakap serta memiliki kesadaran dan tanggung jawab atas kesejahteraan umat dan masa depan negara Republik Nusantara.
b. Menghasilkan pribadi muslim yang beriman, pandai membaca Al-Qur’an beserta tafsirnya dan hadis-hadisnya.
c. Menghasilkan pribadi muslim yang memahami ajaran Islam serta berilmu pengetahuan yang luas dan mendalam sesuai dengan tradisi pesantren, juga mengerti isi kitab kuning (kitab salaf ash-shohih).
d. Menghasilkan pribadi muslim yang memiliki keahlian, kecakapan dan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bangsa dan agama.
Tujuan pengajaran yang masih bersifat umum di atas dapat diperinci lagi menjadi tujuan pengajaran khusus sebagai berikut;
(a) Melatih santri agar mampu melafalkan teks kalimat berbahasa Arab tanpa harokat (teks gundul) dengan fasih.
(b) Melatih santri agar mampu menerjemahkan teks kalimat berbahasa Arab dengan benar.
(c) Melatih santri agar mampu menjelaskan maksud teks kalimat berbahasa Arab dengan baik.
(d) Melatih santri agar mampu menerangkan kedudukan kata dalam teks kalimat berbahasa Arab dengan tepat.
Di dalam pesantren sendiri, terdapat dua bentuk pengajaran yang digunakan, yaitu pengajaran klasikal/semester dan pengajaran ekstra kurikuler yang meliputi pengajian bandongan dan sorogan. Dalam setiap diadakan pengajaran kitab kuning, baik itu masuk dalam kelas klasikal maupun pengajian bandongan dan sorogan maka setiap santri diwajibkan untuk selalu menggunakan Arab pegon guna mema’nai atau dalam rangka menerjemahkan bahasa Arab yang tercantum dalam kitab dengan menggunakan aksara Arab berbahasa Jawa yang telah diajarkan. Adapun pelaksanaan pengajaran dilakukan pada waktu-waktu yang telah ditetapkan;
1. Pagi hari. (ba’da subuh), yaitu pengajaran kitab fiqih Muhadzab dan tafsir Al-Muraghi. Adapun pesertanya adalah seluruh santri mahasiswi, selain itu juga di adakan pengajian sorogan untuk santri pelajar sebelum berangkat sekolah. Setelah itu bagi santri mahasiswa dilanjutkan dengan pengajian bandongan dengan kitab At-Taqrib sebagai pegangan wajib disamping kitab-kitab pilihan lainnya. Khusus pada hari minggu pagi setelah pengajian sorogan diadakan pengajian tentang pelajaran Akhlak dengan kitab Mau’idlotul Mukminin dan Ta’limul Muta’lim untuk santri pelajar.
2. Sore Hari, yaitu pengajaran kitab Riyadus sholihin yang diikuti oleh seluruh santri, baik mahasiswi maupun pelajar.
3. Malam hari, yaitu pelajaran klasikal dan pengajaran Al-Qur’an.
Tabel III
Susunan program kurikulum yang digunakan pada sistem pengajaran klasikal didalam kelas
NO Mata pelajaran Jumlah Jam Pada Kelas
I’dad I II III IV V
1. Al-Qur’an 2 2 2 2 2 2
2. Ilmu Tafsir - - - - 1 1
3. Ilmu Tajwid 1 1 - - - -
4. Ilmu Tauhid - 1 - 1 - -
5. Ulumus Syari’ah
a. Fiqh
b. Q. Fiqhiyah 1 1 1 1 1 1
6. Akhlak/Tasawuf 1 - 1 - - 1
7. Ulumul Lughoh
a. Bhs Arab
b. Nahwu
c. Shorof
2
-
-
1
-
1
1
2
1
1
1
1
1
2
-
1
-
-
8. Tarikh - 1 - - - -
9. Praktek Ibadah 1 - - - - -
10. Qirtub - - - - - 1
11. Bahsul masail - - - - - 1
12. Munaqosah - - - - - 2
Jumlah 8 8 8 8 8 10
Adapun aspek-aspek yang diukur dalam pengajaran kitab kuning meliputi:
a). Qiro’ah, yaitu untuk mengukur kemampuan santri dalam melafalkan teks kalimat berbahasa Arab tanpa harokat (teks gundul) dengan fasih
b). Tarjamah, yaitu untuk mengukur kemampuan santri dalam menerjemahkan teks kalimat berbahasa Arab dengan benar
c). Tafhim, yaitu untuk mengukur kemampuan santri dalam menjelaskan maksud teks kalimat berbahsa Arab dengan baik
d). Nahwu/shorof, yaitu untuk mengukur kmampuan santri dalam menerangkan kedudukan kata dalam teks kalimat berbahasa Arab dengan tepat.
Kurikulum yang dilaksanakan oleh pondok pesantren ini pada saat bulan ramadhan biasanya sedikit berbeda dari hari biasanya. Misalnya saja, pada saat bulan ramadhan pelajaran klasikal sengaja ditiadakan dan sebagai gantinya biasanya diganti dengan pengajian bandongan dengan ustadz tertentu juga kitab-kitab tertentu pula.
2. Materi Pelajaran
Agar dapat memenuhi target dalam pencapaian tujuan penguasaan materi yang telah direncanakan, maka perlu adanya pemilihan terhadap kitab-kitab yang dianggap representatif untuk digunakan selama proses pengajaran di Madrasah Salafiyah III in, diantaranya;
(1). Pengajian Al-Qur’an, yang digunakan adalah kitab al-Qur’an Al-Karim
(2) Ilmu Tafsir, menggunakan kitab Rawa’iul Bayan dan Tafsir Ahkam
(3).Ilmu Tajwid, menggunakan kitab Tuhfatul Athfal, Hidayatul Mustafidz, dan Al-Muqtathofat.
(4). Hadis, menggunakan kitab Ibanatul Ahkam
(5). Ilmu Tauhid, menggunakan kitab Jawahirul Kalamiyah,Al-qo’id Hasan Al-Bana, dan kitab Minhajul Muslim
(6).Ulum As-syari’ah, kitab yang digunakan
a. Fiqh: Al-Mabadi’ al-Fiqhyyahi
b. Ushul Fiqh: Ghoyatul Wushul fi ‘ilmil Wushul, Al-Waroqot
c. Qowa’idul Fiqh: Idhlohu Qowaidul Fiqhiyah
(7). Akhlak, kitab yang digunakan Taisirul Kholaq, Minhajul Muslim, Mau’idlotul Mukminin, Ta ‘limul Muta’alim.
(8). Ulumul Lughoh Al-Arobiyah;
a. Bahasa Arab : Al-Arobiyah Bin Namadzij
b. Nahwu: Alfiyah, Jurumiyah, Mulakhosh Qowaidul Lughoh.
c. Shorof: Qowaidul I’lal, At-Tasrif Al-Isytiqoqi, At-Tasyrif Ma’ad Dhoma’ir, Qowaiddul Asasiyah.
d. Al-Qiro’ah/Mahfudhot: Alala
(9). Tarikh: Khulashoh Nurul Yaqin, Tarikh Daulah Umayah Wa Abasiyah.
(10) Kitab yang diperkenankan untuk sorogan:
– Kelas I’dad dan I : Safinatun Najah
– Kelas II dan III : Fathul Mu’in
– Kelas IV : Ahkamun Nisa’
– Kelas V : Bebas ( Bidang Fiqh/ Akhlaq/ Nahwu /Shorof)
(11).Kitab-kitab yang digunakan pada pengajian Bandongan : Fiqih Muhadzab, Tafsir Al-Muraghi, At-Taqrib, Mau’idlotul Mukminin, Ta’limul Muta’lim dan Riyadus sholihin.
Untuk pengajian sorogan yang diperbolehkan memilih kitab sendiri secara bebas, maka sebagian besar santri lebih banyak memilih kitab Taqrib sebagai bahan kajiannya meskipun ada juga yang menggunakan kitab kuning lainnya. Hal ini disebabkan kitab Taqrib sebagai kitab fiqih dasar sangat berguna bagi santri dalam melaksanakan ibadah sehari-hari. Dalam pengajaran sorogan, santri disamping memperoleh latihan keterampilan membaca kitab juga dapat mengambil pelajaran dari materi kitab kuning yang dibacanya.
Hal ini sesuai dengan prinsip korelasi dan konsentrasi dalam pengajaran yang menghendaki, bahwa adanya hubungan di antara obyek pelajaran secara utuh dan bulat.61
3. Metode dan Sistem Pengajaran
Metode pengajaran sebagai suatu strategi atau tehnik belajar mengajar merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan proses pengajaran. Pemilihan metode pengajaran yang tepat akan menjadikan proses belajar mengajar dapat berjalan menarik dan memudahkan tercapainya tujuan pengajaran.
Berikut adalah beberapa tehnik belajar mengajar yang selalu digunakan dalam setiap kegiatan proses belajar mengajar di Madrasah Salafiyah III, meliputi:
a. Tehnik drill/latihan siap
b. Tehnik ceramah
c. Tehik tanya jawab
d. Tehnik pembagian tugas
Disini penulis akan menjelaskan tentang berbagai macam penggunaan tehnik diatas;
a. Tehnik drill/latihan siap
Tehnik drill merupakan tehnik pengajaran pokok dalam setiap pengajaran di Madrasah Salafiyah III.. Karenanya tehnik ini selalu digunakan dalam setiap proses pengajaran. Penggunaaan tehnik drill ini berfungsi untuk melatih santri dalam belajar kitab kuning secara mandiri melalui bimbingan ustadz.
Melalui tehnik drill ini, santri dapat belajar kitab kuning dengan menggunakan beberapa metode sebagai berikut:
- Latihan membaca
- Latihan tarjamah
- Latihan tata bahasa/ gramatika
Agar lebih jelas, maka penulis akan memberikan sedikit uraian tentang tehnik latihan diatas;
(1). Latihan membaca
Kitab Kuning merupakan referensi pokok dan sumber literatur bagi bahan pengajaran keagamaan di pondok pesantren salaf pada umumnya. Dalam mempelajari Kitab Kuning tersebut berarti juga belajar bagaimana cara membaca kitab dengan baik. Oleh karena itu, penggunaan tehnik latihan membaca menjadi mutlak diperlukan.
(2). Latihan tarjamah
Kitab kuning adalah kitab atau buku berbahasa asing yaitu bahasa Arab. Kegiatan membaca buku-buku berbahasa Arab tersebut tidak bisa dilepaskan dari kegiatan menerjemah. Dengan demikian latihan menerjemah sangat penting untuk membantu pemahaman dalam belajar baca kitab kuning.
Dalam hal ini tentu saja juga berkaitan dengan penggunaan Arab pegon untuk melakukan pemaknaan terhadap kitab kuning yang sedang dibaca dan kemudian diterjemahkan. Agar dapat menunjang kegiatan ini, maka santri Madrasah Salafiyah III ini juga diharapkan sedikit banyak dapat mengerti, memahami dan menguasai bahasa Jawa. Karena memang dengan bahasa Jawa itulah dilakukannya proses penerjemahan pada kitab yang sedang dibaca atau di ajarkan oleh ustadz.
(3). Latihan tata bahasa /gramatika
Agar diperoleh hasil penerjemahan dan pemahaman yang baik dalam membaca kitab kuning, maka latihan gramatikal juga digunakan sebagai kegiatan untuk mempraktekkan penerapan kaidah-kaidah tata bahasa Arab dalam bacaan teks kitab kuning.
Ketiga latihan ini biasa dipakai secara bersamaan dan saling melengkapi.
b. Tehnik ceramah.
Tehnik cermah merupakan cara mengajar yang digunakan untuk menyampaikan keterangan atau uraian tentang suatu pokok masalah secara lisan. Tehnik ini digunakan jika santri belum memahami tentang materi yang dikaji secara jelas, maka ustadz akan menggunakan tehnik pengajaran ceramah untuk menjelaskan materi secara lebih mendalam.
Dengan tehnik ceramah ini, biasanya seorang ustadz juga menggunakannya dalam pengajian klasikal, sorogan maupun bandongan.
c. Tehnik Tanya Jawab (Dialog)
Untuk menciptakan kehidupan interaksi belajar mengajar yang baik, maka dalam metode pembelajarannya Madrasah Salafiyah III salah satunya juga menggunakan tehnik tanya jawab atau dialog. Tujuannya yaitu agar dapat memberikan motivasi dan menumbuhkan minat serta perhatian sehingga dapat membangkitkan pemikiran santri untuk bertanya atau menjawab pertanyaan setiap materi yang diajarkan sehingga santri dapat memahaminya secara lebih mendalam dan luas serta mampu menjelaskan langkah berfikir dalam memecahkan masalah tentang fakta yang sedang dipelajari.
d. Tehnik pemberian tugas (resitasi)
Tehnik ini digunakan sebagai pelengkap dari tehnik-tehnik yang sudah ada. Bentuk pemberian tugas ini berupa pertanyaan atau tugas mencari keterangan tambahan yang diperlukan berkaitan dengan materi yang sedang dikaji. Tehnik ini bertujuan agar santri mendapatkan hasil belajar yang lebih mantap serta mampu berfikir aktif. Di samping itu juga dapat mengembangkan daya insiatif dan kreatif yang dimilikinya.
Dapat disimpulkan bahwa pemberian tugas dalam pengajaran sorogan khususnya hanya dilakukan kadang-kadang. Hal ini dikarenakan meskipun pemberian tugas sangat penting dan bermanfaat bagi proses belajar mengajar namun sebaiknya dilakukan secara berkala atau tidak terlalu sering.22 Agar pemberian tugas ini tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan santri secara wajar, mengingat sebagaian besar santri memiliki kegiatan baik didalam maupun diluar pesamtren yang akan sangat menyita waktunya.
4. Proses Belajar Mengajar
a. Proses pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan
Dalam proses pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan ini, tahapan tersebut terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan sebelum pengajaran, tahapan pengajaran dan tahapan sesudah pengajaran.
Dari hasil observasi terhadap proses pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan di Madrasah Salafiyah III ini, penulis dapat menguraikan sebagai berikut:
(1). Tahapan Sebelum Pengajaran
Tahap ini disebut juga tahap perencanaan. Dalam pengajaran sorogan tahap perencanaan dilakukan oleh santri dengan mempersiapkan materi sebelum pengajaran dimulai. Santri menyalin materi kitab kuning yang akan dikajinya terlebih dahulu ke dalam buku tulis yang telah disediakan khusus untuk pengajian sorogan. Materi kitab kuning tersebut ditulis tanpa disertai harokat/ syakal serta terjemahannya, sehingga santri harus mempersiapkan juga cara membacanya.
(2). Tahap Pengajaran
Dalam tahapan ini, santri melakukan interaksi dengan ustadz pengajar sorogan untuk memperoleh bimbingan dalam belajar kitab kuning sesuai dengan yang telah direncanakannya. Adapun langkah-langkah tahapan pengajaran dalam pengajian sorogan adalah:
(a).Santri membaca materi kitab kuning yang sudah dipersiapkannya secara persorangan di hadapan ustadz pengajar sorogannya.
(b).Ustadz sorogan mendengarkan bacaan kitab kuning tersebut dan akan menegur serta membenarkannya secara langsung jika terjadi kesalahan bacaan.
(c).Setelah selesai membaca, santri diberi kesempatan bertanya tentang beberapa hal yang belum jelas mengenai materi bacaan dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya.
(d).Ustadz sorogan menjawab pertanyaan yang diajukan santri dan menjelaskannya.
(e).Kemudian ustadz pengajar sorogan akan memberikan beberapa pertanyaan atau tugas kepada santri tentang materi kitab kuning yang telah dipahaminya.
(6). Sebagai akhir untuk menutup proses pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan, yaitu ustadz akan menantandatangani materi kitab kuning yang telah dibaca tersebut.
(7). Setelah materi kitab kuning yang telah ditandatangani tersebut genap berjumlah 8x dalam sebulan dengan hitungan 2x dalam seminggu, maka untuk menandakan santri tersebut telah melaksanakan kewajibannya mengikuti pengajian, kemudian buku tersebut di cap/ stempel yang dilakukan oleh pengurus bagian kurikulum Madrasah Salafiyah III. Namun apabila santri tersebut dalam satu bulan tidak bisa mencukupi ketentuan 8x yang telah ditetapkan oleh pengurus, maka santri tersebut akan dikenakan sangsi. Sangsi tersebut diatur sesuai dengan kebijakan pengurus yang berlaku, yaitu santri tidak boleh mengikuti ujian kenaikan tingkat apabila keikutsertaannya dalam pengaajian sorogan kurang dari 80% dari yang waktu yang yang telah ditetapkan.
(3). Tahapan Sesudah Pengajaran
Tahap ini digunakan untuk melakukan penilaian terhadap proses belajar mengajar yang berlangsung, sehingga dari hasil penilaian tersebut dapat diketahui keberhasilan pelaksanaan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan yang telah dilakukan, baik oleh santri maupun ustadz pengajar sorogannya. Penilaian tersebut dilakukan oleh ustadz pengajar sorogan kepada santrinya setiap saat santri setelah selesai melakukan setoran sorogan.
b. Proses pengajaran kitab kuning dengan metode bandongan
Dari hasil observasi terhadap proses pengajaran kitab kuning dengan metode bandongan di Madrasah Salafiyah III ini, proses belajar mengajar yang berlangsung tampak lebih mudah karena untuk dapat mengikuti pengajian ini, santri tidak dikenakan ketentuan khusus seperti yang di terapkan sesuai aturan yang dibuat oleh pengurus dari pihak madrasah.
Santri memang diharapkan untuk dapat menghadiri pengajian bandongan ini (biasanya dilaksanakan di mushola pondok), pengajian ini bersifat umum. Pengajian yang diperuntukkan oleh seluruh santri mahasiswi atau untuk santri pelajar, atau bahkan keduanya ini, tidak dituntut prosentase kehadirannya. Untuk kesiapan mengikuti pengajian, meskipun para santri yang mengikuti pengajian tersebut diwajibkan untuk memiliki dan membawa kitab dari pengajian yang sedang dilaksanakan, namun masih saja ada beberapa santri yang sengaja datang untuk menghadiri pengajian tersebut meskipun tidak dengan membawa kitab yang ditentukan.
Malahan, dalam mengikuti pengajian bandongan tersebut, tidak seluruh santri yang menghadirinya secara khusuk mendengarkan pembacaan serta penjelasan yang dilakukan oleh ustadz pengajar bandongan, selalu tampak satu-dua yang malahan asyik ngobrol dengan santri disebelahnya. Kekhusukan santri biasanya tampak jika yang menjadi ustadz pengajar bandongan adalah Kyai Warson, sedangkan untuk ustadz yang lain santri tampak lebih santai menanggapinya.
Proses pengajian bandongan yang berlangsung adalah sebagai berikut;
(a). Para santri datang dan menghadiri mushola yang ditetapkan sebagai tempat pengajian bandongan, masing-masing santri sambil membawa kitabnya masing masing. Mereka kemudian duduk dengan cara mengelilingi atau menghadap ke arah meja ustadz yang terletak didepannya, seperti halnya saat orang menghadiri ceramah agama.
(b). Kemudian ustadz hadir dan memulai pengajian dengan cara membacakan materi kelanjutan dari hari sebelumnya. Setelah membaca, kemudian diterjemahkan dengan Arab pegon sambil sesekali menerangkan susunan gramatikal bahasanya juga menjelaskan artinya
(c). Santri mendengarkan dan menyimak kitab masing-masing serta membuat beberapa catatan mengenai hal-hal yang dianggapnya penting.
Adakalanya ustadz pengajar memberikan kesempatan untuk bertanya kepada para santrinya, namun untuk pengajian bandongan hal tersebut jarang sekali terjadi. Dalam pengajian jenis ini pula tidak dapat diketahui secara pasti para santri menjadi paham pada kitab yang sedang diajarkan ataukah tidak, selain karena jumlah santri yang mengikuti pengajian ini dalam jumlah yang banyak, ditambah tidak adanya kontrol juga tidak adanya evaluasi dalam pengajian ini. Sehingga tidak dapat terdeteksi lebih banyak prosentase kehadiran ataukah ketidak hadiran karena sedikit banyak hal itu juga berpengaruh terhadap pemahaman santri terhadap kitab yang sedang diajarkan.
c. Proses Penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon pada santri Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta
Mempelajari kitab kuning dengan pendekatan tradisional menggunakan Arab pegon sebagai bahasa sasaran yang ditulis secara menggantung ini, diletakkan pada bahasa sumber (bahasa Arab). Proses penerjemahannya berlangsung setiap kata, frase dan berbagai unsur gramatikal yang ada.
Terjemahan tradisional dengan Arab pegon ini merupakan terjemahan pesan bahasa Arab sebagai bahasa sumber ke dalam bahasa Jawa, dengan memperhatikan unsur-unsur pembentuk teks, baik berupa unsur linguistik yaitu kosa kata, sintaksis, morfologi, retorik dan sejenis, dan unsur ekstralinguistik, berupa isi kandungan dari teks kitab kuning yang akan diterjemahkan. Dalam terjemahan ini pesan dan unsur-unsur teks bahasa sumber mendapat perhatian seimbang untuk diterjemahkan. Kedua hal tersebut harus ditampakkan dalam bahasa sasaran dengan jelas. Jadi yang diterjemahkan dalam terjemahan tradisional ini adalah62 (1) isi atau pesan ,(2) unsur linguistik teks, dan (3) unsur ekstralinguistik teks.
Contoh proses penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon yang dilakukan oleh santri;
الحمد لله رب العا لمين
“Al-Hamdu utawi sekabehane jenise puji iku lilahi tetep kagungane Allah” (segala puji bagi Allah).
Kata utawi dalam terjemahan tersebut digunakan untuk menunjukkan status mubtada (subjek isim, kata benda), dan dilambangkan dengan huruf م (mim) serta ditulis diatas kata al-hamdu. Kata sekabehane jenise, untuk menunjukkan ال (al) listigraraqil jins, yaitu (al) yang digunakan untuk makna cakupan, segala (istigraqiyah), sedang kata puji untuk menunjuk leksikal hamdu.
Kata iku yang dilambangkan dengan huruf خ menunjukkan status khobar, (lillahi, “bagi Allah), tetep untuk menunjukkan ta’alluq jar wa majrur (keterkaitan fungsi jar dan majrur yang wajib dibuang, yaitu kata mustaqorrun, yang berarti tetep (tetap) atau kata istaqarra (tetap dengan dibatasi waktu lampau), kaduwe menunjukkan arti leksikal kata li (al-jar) yang men-jarkan kata “Allah’, sedangkan “Allah” adalah terjemahan dari Allah.
Yang diterjemahkan dalam kalimat tersebut mencakup unsur pembentuk teks linguistik, ektralinguistik dan isi atau pesan teks. Unsur linguistik yang diterjemahkan adalah mubtada, “utawi”, khabar, “iku”, istigraqul jins, “sekabehe”, “jenise”, ta’aluq, “tetep” (semuanya sebagai unsur tata bahasa); alhamdu, “puji”, dan llahi, kagungane Allah (sebagai unsur leksikal), dan jinsul hamdi al-arba’i, “jenis puji yang empat” (sebagai yang dimaksudkan kata jenis puji) sebagai terjemahan unsur ekstralinguistik yang berupa pengetahuan yang berhubungan dengan tauhid. Adapun pesan yang dihasilkan dari terjemahan adalah segala puji milik Allah. Salah satu kelebihan dari penggunaan terjamahan ini adalah ditampakkannya semua unsur teks dalam bahasa sasaran, sehingga kalimat yang diterjemah dapat membuat santri paham pada struktur tata bahasanya secara lebih detail.
Dalam kalimat tersebut diatas, bahasa sasaran yaitu bahasa Jawa yang dipakaipun susunan dan urutannya mengikuti urutan kata atau frase dalam kalimat bahasa Arab. Dalam tata bahasa Arab, kalimat diatas disebut jumlah ismiyah (kalimat nominal).
Contoh kedua;
نويت الوضوء
“Nawitu wus niat sapa ingsun al-wudhu’a ing wudu”
(saya berniat wudhu).
Kata wus dalam kalimat tersebut menunjukkan kala (zaman, waktu), fi’il (kata kerja) madi (bentuk lampau), niat menunjukkan arti leksikal kata nawa, sapa menunjukkan fail (subjek verbal ), ingsun menunjukkan arti leksikal kata tu, ing menunjukkan maf’ul-bih (objek langsung) yang dilambangkan denganمف yang ditulis di atas kata al-wudu’a , sedangkan kata wudhu menunjukkan arti leksikal kata alwudu’a.
Unsur linguistik yang diterjamahkan dalam kalimat tersebut adalah zaman (waktu) “wus”, fail “sapa”, maf’ul-bih “ing” (sebagai unsur tata bahasa), nawa “niat”, tu “ingsun”, dan al-wudhu’a “wudu” (sebagai unsur leksikal). Unsur ekstralinguistiknya adalah al-whudu’a dalam arti fiqh, sedangkan pesan atau isi yang diterjemahkan adalah saya berniat wudhu.
Contoh ketiga;
و ان تصوم خير لكم ان كنتم تعملو ن
(Wa antasuumu khairul lakum inkuntum ta’lamuuna)
1 2 3 4 5 6
1= lan “dan “ (leksikal)
2= utawi “atau” (sintaksis)
arep ”akan” (morfologis)
yenta “bahkan” , jika (morfologis)
pasa “puasa” (leksikal
sapa ”siapa” (sintaksis)
sira kabeh “kamu semua” (Leksikal)
3= iku “itu” (leksikal)
kang “yang”(morfologis)
luwih ” lebih”(morfologis)
becik “baik” (leksikal)
4= luwih becik “lebih baik” (sintaksis)
keduwe sira kabeh “bagi kamu semua” (leksikal)
5= lamun “jika” (leksikal)
wus “telah” (morfologi)
ana ”ada” (sintaksis)
sapa ”siapa” (sintaksis)
sira kabeh ”kamu semua” (leksikal)
6= Iku ”itu” (leksikal)
weruh “tahu” (leksikal)
sapa ” siapa” (leksikal)
sira kabeh ”kamu semua” (leksikal)
ing “di” dalam” (retorik)
haqiqota-shaumi “ hahikate puasa” (retorik, sintaksis)
Adapun isi atau pesan dari kalimat tersebut adalah pasa sira kabeh iku luwih becik yen sira kabeh weruh (hakikate pasa), yaitu puasa kamu akan lebih baik apabila kamu semua mengerti (hakikat puasa). Keseluruhan teks tersebut berbunyi: wa antasuumu lan utawi arep yento pasa sapa sira kabeh iku khairun kang luwih becik lakum keduwe sira kabeh inkuntum lamun ana sapa sira kabeh iku ta’lamuna weruh sapa sira kabeh haqiqotash shaum hakikate pasa.
Untuk dapat mengontrol kebenaran pesan dan penyampaian terjemahan ini dalam mengungkapkan bahasa sasaran, yaitu menggunakan beberapa cara; (1) tetap mencantumkan teks aslinya (2) memperlihatkan semua piranti yang dipakai untuk menggali pesan yang dimaksud, yaitu berupa ilmu tentang bahasa teks atau linguistik dan ilmu-ilmu terkait lainnya.
Ketepatan penerjemahan pesan dalam kalimat-kalimat contoh diatas, pada dasarnya merupakan tujuan yang penting dalam penerjemahan tradisional dengan Arab pegon ini. Akan tetapi ketepatan penerjemahan pesan atau isi tersebut harus dikontrol dengan menerjemahkan unsur-unsur teks yang lainnya, yaitu linguistik dan ekstralinguistik.
Timbul kesan bahwa terjemahan semacam ini lebih mementingkan bentuk atau persamaan bentuk linguistiknya, terutama apabila dilihat dari penampilannya namun sebenarnya terjemahan semacam ini juga sangat memperhatikan isi atau pesan yang terkandung didalamnya.
Dalam setiap terjemahan tradisional yang menggunakan Arab pegon selalu mencantumkan teks sumber. Mencantumkan teks bahasa sumber dalam terjemahan ini adalah sebuah upaya strategis untuk menanggulangi kelemahan hasil karya terjemahan pada umumnya, sebab sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli, tidak ada karya terjemahan yang dapat mewakili bahasa sumber secara lengkap. Dengan demikian seorang pembaca hasil karya terjemahan dapat diberi kesempatan untuk dapat melakukan koreksi terhadap karya terjemahan yang sedang dibacanya tanpa harus dengan susah payah melacak teks sumbernya. Oleh karena itu, terjemahan ini memberikan kesempatan untuk dapat menangkap isi atau pesan yang diperkirakan dapat berbeda dengan penerjemah yang lain, namun tetap bersumber pada teks yang sama.
Pencantuman teks sumber dan penampakan unsur-unsur teks sumber dalam bahasa sasaran, dapat dijadikan tolak ukur penilaian kemampuan penerjemahan yang dilakukan oleh santri. Dengan tetap mencantumkan teks asli dan menampakkan semua piranti yang dipakai dalam menerjemahkan, maka terjemahan tradisional ini dapat memberikan kesempatan terhadap kemungkinan munculnya arti dan makna yang berbeda. Sehingga terjemahan semacam ini tidak saja sebagai referensi pesan yang diterima oleh santri yang membacanya, akan tetapi juga sebagai bahan perbandingan bagi pesan yang ditemukannya sendiri melalui teks asli yang ikut terbaca bersamaan dengan membaca karya yang diterjemahkan.
Beberapa hal yang terdapat dalam terjemahan tradisional dengan Arab pegon ini;63 (1) simbol-simbol linguistik, (2) bahasa-bahasa simbolik (3) penampakan gramatika bahasa sumber dalam bahasa sasaran, yang sekaligus membedakannya dari pendekatan penerjemahan yang lain.
Berikut simbol-simbol yang digunakan dalam terjemahan kitab kuning dengan Arab pegon:
No Simbol bacaan Tempat Variasi tata bahasa Penempatan struktur
1 2 3 4 5
1. ب
Bayane Atas Tanda ‘atf bayan/bayan (leksikal)
ر ايت زيدا و غيره من عمر وبكر
2. بد
Rupane Atas Tanda badal (leksikal) ا كلت الر غيف نصفة
3. تم
Apane Atas Tanda tamyiz (leksikal) كثير زيد علما
4. ج
Pira-pira Bawah Tanda jamak (morfologis) تعلمت العلوم
5. ج
Mangka Atas Tanda jawab (leksikal) ان تجتهد تنجح
6. ج
Mangka Atas Tanda ‘atf dengan fa dan tsumma (leksikal) حضر التلميد ثم المدرس
7. ما
Hale Atas Tanda hal (leksikal) قراء الطا لب جا لسا
8. خ
Iku Atas Tanda khabar (leksikal) الحيا ة صفة قديمة بدا ته
9. ص
Kang Atas Tanda sifat (leksikal) الحمد لله المنز ه عن صفة الحدوث
10. ظ
Ing dhalem Atas Tanda zarf (leksikal) يصوم عمر والخميس
11. ع
Krana Atas Tanda maf’ul liajlih (leksikal) دهبت الى المعهد تعلما
12. عط Atas Tanda ma’tuf dan ma’tuf alaih (leksikal) يقول الفقير المتصف با لدل والتقصير
13. غة
Senajan Atas Tanda ghayah (leksikal) ان الموت ملا قيكم ولوكنتم في بروج مشيده
14. ف
Apa Atas Tanda fa’il bukan orang (leksikal) تسير السيا رة
15. سن
Sapa Atas Tanda fail orang (‘aqil) تعلم الطا لب مجتهدا
16. م
Utawi Atas Tanda mubtada’ (leksikal) زيد قا ئم
17. مف
Ing Atas Tanda maf’ul bih (leksikal) ضرب زيد عمرا
18. نف
Ora Atas Tanda nafi (leksikal) وما الله بغا فل عما تعملون
19. مط
Kelawan Atas Tanda maf’ul mutlaq (leksikal) نصر خا لد بكرا نصرا
20. تعق Atas Tanda ta’aluq قر ات القر ان في المسجد
21. ..
Kelakohan Bawah Tanda dhomir sya’n leksikal (leksikal) فا علم انه لا اله الا اللله
Adapun bahasa simbolik yang digunakan dalam terjemahan ini adalah kosakata bahasa Jawa khas yang dapat menunjuk pada variasi gramatikal bahasa sumber, yaitu bahasa Arab. Maksud dari bahasa Jawa khas adalah bahasa Jawa tersebut tidak seperti bahasa Jawa yang digunakan sehari-hari, artinya tidak fungfsional dalam aturan bahsa Jawa yang baku.
Berikut adalah bahasa-bahasa simbolik yang sering digunakan dalam terjemahan kitab kuning dengan Arab pegon ini;
1. apane =tamyiz=sintaksis=apanya
2. anging pesthine=qasr=retorika=hanya
3. bayane=bayan=sintaksis=jelasnya
4. hale=hal=sintaksis=keadaannya
5. ing dhalem=zarf=sintaksis=di dalam
6. iku=khabar=sintaksis=itu
7. kang=sifat naat=sintaksis=yang
8. ing=maf’ul bih=sintaksis=obyek penderita
9. kelawan=maf’ul mutlaq=sintaksis=dengan
10. kelakoohan=dhamir sya’n=sintaksis=bahwasanya
11. apa/sapa=fa’il=sintaksis=apa/siapa
12. rupane=badal=sintaksis=atau/bermula
13. utawi=mubtada’=sintaksis=atau/bermula
14. yento=masdar mu’awal=morfologis=itulah
15. pengulangan =ta’aluq=sintaksis
Dalam menghadapi teks kitab kuning seperti ini, seseorang yang ingin menerjemahkannya dengan Arab pegon terlebih dahulu harus menguasai seluk beluk bahasa Arab dan cara mengungkapkan pesan atau isinya. Penguasaan bahasa Arab tidak saja karena bahasa Arab sebagai bahasa teks kitab kuning, namun karena beberapa ciri bahasa Arab harus dapat mewarnai bahasa sasaran.
C. Problem Pembelajaran Kitab Kuning dengan Arab Pegon
1. Problem Penerjemahan dengan Arab Pegon
Belajar membaca kitab kuning, berarti belajar bahasa asing. Dalam mempelajari bahasa asing, salah satu kegiatannya adalah menerjemah. Menurut pandangan tata bahasa tradisional tentang belajar bahasa,25 menerjemahkan dianggap metode yang paling efktif untuk meningkatkan kemampuan penguasaan terhadap bahasa yang dipelajari. Prinsip lain yang terpenuhi dalam melaksanakan terjemahan ialah bahwa ragam bahasa yang diutamakan dan perlu dipelajari adalah bahasa tulis. Dengan tulisan, seorang pelajar bahasa dapat terhindar dari pencemaran, sehingga apa yang dipelajari masih merupakan bahasa yang murni.
Menurut Henry Guntur Tarigan64, metode tarjamah tata bahasa pada hakikatnya mencakup; telaah eksplisit, kaidah tata bahasa dan kosakata serta penggunaan terjemahan. Dengan demikian terjemahan tata bahasa adalah suatu cara menelaah bahasa yang mendekati bahasa tersebut, pertama-tama melalui analisis kaidah bahasa secara terperinci diikuti oleh penerapan pengetahuan ini pada tugas penerjemahan kalimat-kalimat dan teks-teks kedalam dan dari bahasa sasaran. Oleh karena itu, membaca dan menulis merupakan fokus utama atau sasaran pokok.
Dalam penerjemahan kitab kuning, hal yang lebih ditekankan kepada penerjemah (dalam hal ini adalah santri) dari bahasa sasaran ke bahasa ibu adalah membaca teks-teks Arab namun belum sampai pada keterampilan menulis kitab yang berbahasa Arab. Masih menurut Henry Guntur Tarigan, bahwa dalam metode terjamah tata bahasa, bahasa asli atau bahasa ibu merupakan media pengajaran bahasa yang dipakai untuk menjelaskan butir-butir atau hal-hal baru yang memudahkan pembuatan perbandingan antara bahasa asing dan bahasa ibu. Oleh karena itu pula, bahasa Jawa (yang merupkan bahasa ibu) dipakai dalam penerjemahan kitab kuning di pesantren dalam pengajaran kitab kuning.65
Menerjemahkan adalah menyampaikan berita yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa penerima atau bahasa sasaran agar isinya benar-benar mendekati aslinya. Sedangkan tujuan penerjemahan yaitu menyampaikan berita ke dalam bahasa penerima (bahasa sasaran), yang berarti apa yang diterjemahkan harus dapat dimengerti dan tidak di salah fahami oleh orang-orang yang akan mendengarkan atau membaca hasil terjemahan tersebut.66
Kemampuan menerjemahkan teks berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa khususnya dalam pengajaran kitab kuning didalam pondok pesantren, menuntut berbagai pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki oleh para santri. Beragam pengetahuan tentang penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon telah disebutkan pada bagian sebelum ini. Hal tersebut tentu saja menimbulkan berbagai problem pada santri, meskipun setiap santri tentu tidak mengalami problem yang sama.
Problem-problem penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon yang penulis temukan selama melakukan penelitian pada Madrasah Salafiyah III ini, pada dasarnya terbagi menjadi dua katagori, yaitu problematika linguistik dan non linguistik.
a. Problematika Linguistik
(1). Problem morfologis
Morfologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari bentuk-bentuk kata dan perubahan bentuk kata serta makna akibat perubahan bentuk itu.67 Dalam bahasa Arab, morfologi identik dengan ilmu shorof yang merupakan cabang linguistik yang mempelajari perubahan bentuk kata dari satu wazan menjadi beberapa wazan lainnya yang membawa konsekuensi pada perubahan makna.68
Umumnya kesalahan penerjemahan terletak pada kesalahan menentukan katagori jenis kata tertentu yang dilambangkan dengan kesalahan membaca (memberi syakal/harokat). Kesalahan membaca ini jelas membawa konsekuensi pada penentuan makna yang salah, yang berakibat pada kesalahan penerjemahan secara keseluruhan.
(2). Problem sintaksis
Sintaksis merupakan bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa dan frase.69 Dalam linguistik bahasa Arab, sintaksis dikenal dengan sebutan ilmu nahwu , yaitu linguistik yang mempelajari tentang kalimat serta segala hal yang berkaitan dengannya.
Kesalahan sintaksis dalam proses penerjemahan umumnya berkaitan dengan kesalahan menentukan peran kata atau frase dalam hubungan sintaksis tertentu. Dengan kata lain, kesalahan sintaksis lebih sering disebabkan karena ketidakmampuan atau kesalahan dalam melakukan analisis bahasa sumber yang dalam hal ini adalah bahasa Arab. Seperti diketahui, bahwa analisis bahasa sumber merupakan langkah awal dalam proses penerjemahan yang harus dilakukan oleh penerjemah sebelum ia melakukan restrukturisasi (penyusunan kembali) isi atau pesan dari materi terjemahan dalam bahasa sasaran. Kesalahan dalam melakukan analisis kalimat bahasa sumber akan berakibat pada kesalahan pemahaman terhadap isi atau pesan yang diterjemahkan, yang nantinya akan diwujudkan dalam hasil terjemahan bahasa sasaran.
Pada umumnya, kesalahan yang banyak dilakukan adalah kesalahan dalam menentukan jenis kalimat dan kedudukan kata atau frase dalam sebuah kalimat. Misalnya kata mana yang menduduki posisi subjek (musnad ilaih), predikat (musnad), objek (maf’ul bih) atau keterangan. Kesalahan tersebut antara lain diwujudkan dengan kesalahan I’rob, yakni kesalahan dalam memberi harokat/syakal huruf terakhir suatu kata dalam sebuah kalimat.
(3). Problem semantik
Semantik merupakan cabang sistematika bahasa yang menyelidiki tentang makna atau arti.70 Dalam bahasa Arab, semantik identik dengan ilmu dalali yaitu ilmu yang mempelajari hubungan antara lambang dengan maknanya atau arti yang dimaksud oleh lambang bahasa tersebut. Dalam semantik dikenal adanya dua makna, yaitu makna leksikal dan makna kontekstual atau gramatikal. Makna leksikal adalah makna yang diperoleh dari kamus, sedangkan makna kontekstuaal atau gramatikal adalah makna yang diperoleh akibat proses gramatikal tertentu atau berada dalam konteks tertentu.
Problematika semantik dalam penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon ini pada umumnya berkaitan dengan kesalahan menentukan padaan kata yang tepat dalam bahasa sasaran.
(4). Problematika restrukturisasi
Yang dimaksud dengan problematika restrukturisasi adalah kesulitan-ksulitan yang dihadapi santri ketika berusaha melakukan penyusunan kembali makna atau isi terjemahan yang berupa Arab pegon dan diterjemahkan secara terpisah-pisah kedalam bahasa sasaran. Pada umumnya kesalahan yang dilakukan pada tahap ini karena masih adanya interferensi struktur bahasa Arab sebagi bahasa sumber ke dalam bahasa Jawa atau Nusantara sebagai bahasa sasaran..
b. Problem non linguistik
Selain faktor linguistik, juga ada beberapa faktor non linguistik yang menjadi problem dalam proses penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon;
1. Banyak santri yang belum menguasai bahasa sumber (bahasa Arab) dengan baik.71
2. Belum dikuasainya bahasa sasaran dengan lebih baik, dalam hal ini menyangkut bahasa Jawa yang digunakan.
Umumnya para santri bukan saja datang dari lingkungan daerah Jawa saja, namun banyak juga dari mereka yang berasal dari daerah luar Jawa yang belum tentu dapat berbahasa Jawa. Hal ini tentu saja menyulitkan santri dalam mengikuti setiap pengajaran kitab kuning, karena meskipun ada beberapa ustadz yang ketika mengajar sudah menggunakan dua bahasa (Jawa-Nusantara) namun umumnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.
3. Adanya perbedaan dalam tata cara penulisan antara huruf Arab yang berbahasa Arab dengan penulisan Arab pegon.
Berbeda dengan penerjemahan antar bahasa yang menggunakan huruf yang sama, penerjemahan dari bahasa Arab ke selain bahasa Arab tentu meminta perhatian tersendiri, termasuk masalah hurufnya. Diantaranya yaitu;
C : ج contohnya, سو جي فو جي جها ي
G : contohnya, كو نا
NG : غ contohnya, ا عدا لم وو غكغ
NYA : ث ب contohnya, ديدا لمي 72
Deskrates : ديكا رث
Goebbels : غو بلس
Pengajaran : فعا جران
Problem mengenai perbedaan bahasa juga perbedaan huruf ini, sudah mulai diperkenalkan juga sedikit diajarkan pada kelas awal di Madrasah Salafiyah III. Namun menurut beberapa orang santri, hal tersebut belum begitu maksimal karena pengenalan huruf yang ada dengan apa yang digunakan oleh santri belum berjalan teratur. Masing-masing santri dalam menggunakan Arab pegon ini berbeda, sehingga apa yang ditulis oleh satu santri belum tentu dapat dibaca oleh santri yang lain. Hal ini memang bukanlah masalah yang besar, namun kurang lebih akan dapat menghambat proses jalannya sistem belajar mengajar antar sesama santri karena masing-masing Arab pegon yang digunakan masih bersifat individu. Misalnya saja dalam penulisan kata kebijaksanaan, ada santri yang menulisnya dengan كبجكسنا , sedangkan menurut buku pedoman membaca Arab Melayu karangan Romdoni kebijaksanaan ditulis dengan كبجقسنا ن73
Agar problem ini dapat mudah diatasi, agaknya para pengguna Arab pegon mulai sekarang harus sudah mulai berfikir untuk membuat kamus khusus Arab pegon untuk para santrinya.
4. Isi atau materi dari bentuk naskah yang diterjemahkan.
Sebuah teks yang berisi permasalahan tertentu pada salah satu bidang tertentu, tentu berbeda dengan bidang yang lainnya. Menyangkut.perbedaan corak, gaya penuturan dan istilah-istilah teknis yang digunakan dalam bidang disiplin yang berbeda.
Misalnya saja ketika santri harus menerjemahkan kitab yang berisi tentang ilmu tasawuf tentu berbeda ketika menerjemahkan kitab yang berisi tentang ilmu balaghoh atau yang lainnya. Masing-masing memiliki perbedaan dan pula harus dilakukan pendekatan yang berbeda agar santri akhirnya mampu meenerjemahkan kitab tersebut dengan baik dan benar..
5. Kondisi pada saat menerjemahkan
Proses penerjemahan yang dilakukan dengan tergesa-gesa tentu akan berbeda hasilnya dengan proses penerjemahan yang dilakukan dengan tenang dan waktu yang cukup.Misalnya saja pada saat pengajian bandongan, jika para santri yang mengikuti pengajian tersebut dapat serius mengikuti pengajaran yang diberikan tentu saja akan berdampak positif bagi perkembangan keilmuan para santri.
2. Problem Pemahaman Isi Teks secara Utuh
Apakah penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon dapat memberikan pemahaman yang utuh terhadap isi teks?. Pertanyaan seperti itulah yang seringkali dilontarkan oleh orang-orang yang khususnya berada di luar pesantren.
Faktor pemahaman dalam setiap proses belajar-mengajar termasuk proses penggunaan Arab pegon dalam terjemahan kitab kuning, merupakan salah satu tujuan pokok. Setiap santri selalu mengharapkan bahwa apa yang dipelajarinya dapat membuat pengetahuan keilmuannya bertambah, namun ternyata tidak semua santri dapat sukses mendapatkannya. Ada saja problem yang muncul sehingga santri harus terus bekerja keras untuk dapat memahami isi teks secara utuh setiap terjemahan Arab pegon pada kitab kuning yang dipelajarinya.
Timbulnya problem pemahaman isi teks secara utuh ini dikarenakan adanya perbedaan pada setiap individu santri. Diantaranya; faktor perkembangan kemampuan dasar, ada santri yang cerdas namun ada juga yang sedang-sedang saja dan ada pula yang lamban dalam menerima pelajaran, faktor lingkungan, termasuk lingkungan pendidikan yang menimbulkan perbedaan seperti dalam cara berfikir antara pelajar dan mahasiswa, juga faktor kepribadian, contohnya perbedaan minat dan bakat sehingga ada anak yang rajin tetapi juga ada anak yang malas.73Perlu adanya perhatian terhadap perbedaan individu, sesuai dengan minat dan kemampuan santri yang ingin belajar kitab kuning.
Di kalangan santri sendiri, khususnya pada santri Madrasah Salafiyah III, Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, terdapat beberapa permasalahan yang membuat sebagian santri belum mampu memahami isi teks kitab kuning yang dipelajarinya secara utuh, yaitu;
5. Mutu Pengajaran.74
Di dalam pesantren terdapat dua macam pola pengajaran tradisional, yaitu bandongan dan sorogan yang didalamnya tercakup kelebihan dan kekurangannya. Namun, jika dilihat dari kapasitas jumlah muridnya, penggunan pengajaran sistem bandongan didalam pesantren akan memberikan dampak tersendiri. Pada pengajaran bandongan, yang mengikutinya adalah sebagian santri atau keseluruhan santri dengan jumlah diatas 40 orang.
Hal yang harus diperhatikan oleh seorang ustadz pengajar adalah keseluruhan santri, dalam satu jam pengajian yang terdiri kurang dari 60 menit, akan sulit bagi ustadz untuk memberi waktu yang cukup bagi setiap anak. Ustadz mencoba menyesuaikan pengajarannya dengan kemampuan santri rata-rata, namun apakah hal itu juga disadari oleh setiap ustadz?. Menurut penuturan beberapa santri, ia sering merasa kesulitan saat mengikuti pengajian bandongan yang ustadznya dianggap terlalu cepat mema’nani kitab.
Menurut Dr. Henry Guntur Tarigan, ada 4 segi dalam keterampilan berbahasa, yaitu:75 (1) keterampilan menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan membaca, (4) keterampilan menulis. Menyimak dan membaca merupakan keterampilan pemahaman yang disebut juga dengan ketrampilan reseptif. Sedangkan berbicara dan menulis (mengarang) merupakan keterampilan pengungkapan pikiran yang disebut juga dengan keterampilan produktif.76 Ke-empat ketrampilan diatas juga terdiri atas tingkah laku bahasa lisan yaitu berbicara dan menyimak serta tingkah laku bahasa tulis yaitu menulis dan membaca.77
Pengajaran membaca kitab merupakan pengajaran bahasa tulis yang bersifat reseptif, namun demikian bukan berarti pasif. Karena dalam membaca kitab, santri dituntut untuk memahami teks-teks Arab yang dibacanya. Sebagaimana dikatakan Dra. Juwairiyah Dahlan, bahwa dalam mempelajari bahasa Arab siswa akan memahami bahasa Arab (tulisannya) terlebih dahulu sebelum tulisan itu dibacanya, bukannya membaca baru kemudian memahaminya.78 Hal ini disebabkan penulisan huruf Arab biasanya tanpa disertai harokat, sedangkan harokat pada huruf akhir akan sangat menentukan pemahaman, arti dan maksudnya.
2. Persoalan penggunaan bahasa
Meskipun penggunaan Arab pegon ini hanya menggunakan bahasa Jawa yang banyak digunakan sehari-hari dan tampak mudah dipahami, namun bagi orang yang berada di luar Jawa atau yang tidak menggunakan bahasa Jawa tetaplah merasa kesulitan.
3. Kecepatan menangkap pelajaran
Setiap santri merupakan individu yang berbeda-beda, ada santri yang cepat menangkap pelajaran, namun ada pula yang lamban menerimanya. Menghadapi keadaan yang seperti ini, jelas memerlukan sistem pengajaran yang berbeda dengan kemampuan penangkapan yang berbeda.
Penggunaan sistem pengajaran sorogan di pesantren yang merupakan salah satu sistem pengajaran individual yang ada, jelas dapat dikembangkan lagi sesuai daya kreatifitas pengajar yang ada. Disamping bentuk pengajaran sorogan, menurut Drs. Roestiyah N.K, ada beberapa penyajian pengajaran individual lain yang mungkin dapat diterapkan pada santri.79
1. Perencanaan belajar bebas (Individu Study Plan)
Dalam hal ini ada persetujuan antara seorang santri dengan seorang ustadz dalam penentuan persetujuan secara garis besar, siswa menyiapkan sendiri bentuk ujian akhir, tidak ada peraturan yang mengikat tentang bagaimana menyiapkan ujian tersebut, ada ujian atau tidak terserah santri.
6. Belajar sendiri yang terarah (Self Directif Study)
Tujuan khusus disetujui bersama antara santri dan ustadz, tetapi tidak ada ketentuan bagaimana santri belajar, ustadz mungkin memberikan daftar tujuan instruksional khusus, mungkin juga memberikan daftar bacaan yang perlu atau sumber-sumber lain tetapi siswa tidak harus mempergunakannya apabila dia lulus, dan dia memperoleh kredit untuk itu.
7. Program pemusatan belajar (Learner-Centered Program)
Dalam penyajian ini santri yang menentukan untuk kepentingan dirinya, apa tujuannya, bagaimana dia akan belajar dan sesudah itu tugas apa yang akan dilakukannya kemudian.
8. Melangkah sendiri (Self Pacing)
Siswa menentukan sendiri langkah-langkah belajarnya, ustadz menentukan tujuan instruksional dan semua siswa harus memenuhi tuntutan rumusan tujuan instruksional itu, mungkin santri memakai materi yang sama untuk mencapai tujuan pelajaran, hanya saja kecepatan perkembangan masing-masing yang berbeda.
9. Siswa menentukan pengajaran (Student Determinded Instruction)
Dalam hal ini santri menentukan instruksi sistem sendiri, memungkinkan santri untuk memilih tujuan instruksional, memilih materi pelajaran, struktur, sumber atau latihan-latihan yang digunakan, memilih dan menentukan jadwal mata pelajaran apa yang akan diambil, menentukan sendiri langkah-langkah dalam memenuhi setiap tujuan instruksional, mengevaluasi sendiri apakah tujuan-tujuan instruksional tersebut dianggap tepat untuknya, juga pengajaran yang lebih tepat baginya.
Prinsip pembelajaran adalah melakukan kegiatan, tidak ada belajar yang tanpa aktivitas.80 Prinsip aktivitas dalam pengajaran meliputi aktivitas mengajar yang dilakukan oleh ustadz dan santri. Dalam pandangan ilmu jiwa modern, aktivitas mengajar hanyalah sebatas tugas guru untuk mengatur lingkungan belajar sebaik-baiknya, mengarahkan dan membimbing santri agar dapat belajar dan mengembangkan kemampuannya secara kreatif. Sehingga aktivitas belajar lebih dominan dibanding aktivitas mengajar yang membawa impliksi bahwa siswalah yang aktif mengembangkan aktivitasnya sendiri.
Aktivitas belajar santri dalam pengajaran sorogan meliputi kegaiatan fisik maupun mental. Aktifitas fisik dapat dilakukan santri dengan keterlibatannya secara langsung dalam membaca kitab kuning, sedangkan aktivitas mental berupa aktivitas berfikir. Demikian juga sebaliknya, ketika santri belajar membaca kitab, maka pikiran harus tertuju dan terpusat pada bacaan.
Peran aktif santri dalam pengajaran sorogan memungkinkan santri mendapat pengalaman secara langsung. Terutama sekali pengetahuan tentang bahasa Arab yang sangat berguna bagi santri ketika meembaca teks-teks berbahasa arab, serta dapat meningkatkan kemampuan membaca teks-teks berbahasa Arab.
4. Ketekunan santri
Ketekunan itu nyata dari jumlah waktu yang diberikan oleh santri untuk mempelajari sesuatu. Jika santri memberikan waktu yang kurang dari yang diperlukan utuk mempelajarinya, maka ia tidak akan menguasai bahan itu sepenuhnya. Ketekunan belajar ini tampaknya bertalian dengan sikap dan minat terhadap pelajaran. Bila suatu pelajaran karena sesuatu hal tidak menarik minatnya, maka tentu sulit bagi santri untuk dapat menangkap apa yang diajarkan.81
5. Waktu yang tersedia untuk belajar
Dalam sistem pendidikan di pesantren, meskipun kurikulum yang diterapkan tidak selalu juga menentukan waktu tertentu untuk pelajaran tertentu, namun tetep ditentukan misalnya untuk satu semester atau satu tahun. Maksudnya, agar bahan yang sama dikuasai semua murid dalam jangka waktu yang sama. Padahal, menentukan satu waktu yang sama untuk bahan yang sama tidak akan sesuai bagi semua murid berhubungan dengan perbedaan individual. Bagi murid yang pandai waktu itu mungkin terlampau lama, sedangkan untuk murid yang tidak terlalu pandai waktu yang ditentukan itu mungkin tidak cukup.
Apa yang harus dipelajari santri di pondok pesantren mungkin saja sama banyaknya dengan apa yang dipelajari santri pada aktivitasnya di luar pesantren, misalnya untuk santri yang juga berstatus sebagai pelajar atau santri yang juga menjalankan tugasnya sebagai mahasiswa. Ada juga santri yang aktif namun ada yang tidak aktif, semuanya ikut berpengaruh pada pemahaman santri terhadap penerimaan pengajaran kitab yang menuntut pemahaman atas apa yang tertuang dalam isi teks kitab tersebut. Selain karena dibutuhkan waktu yang cukup, juga dibutuhkan konsentrasi yang tinggi. .
3.Problem Mengkomunikasikan Pemahaman Kepada Orang Lain Atas Pembacaan Kitab Kuning yang Menggunakan Arab pegon
Pembelajaran bahasa Arab di Indonesia, dilihat dari tujuannya nampaknya bisa dibedakan ke dalam dua katagori, yaitu belajar bahasa Arab sebagai tujuan dan belajar bahasa Arab sebagai alat.82 Bahasa Arab sebagai tujuan berarti siswa yang memepelajari bahasa Arab diharapkan mampu menguasai bahasa Arab secara aktif, baik dalam kemampuan muhadastah, istima’, qiro’ah maupun kitabah. Dengan dimilikinya empat kemampuan berbahasa tersebut, maka siswa diharapkan mampu berkomunikasi secara lisan maupun tertulis dalam bahasa Arab yang berarti mampu berbahasa Arab secara aktif maupun pasif.
Bahasa merupakan bagian integral dari pendidikan, bahasa membawa budaya secara psikologis, membentuk suatu masyarakat bahasa. Bahasa bukan hanya suatu alat pembentuk pola-pola perilaku individu untuk mencapai suatu basis konformitas sosial, namun merupakan suatu alat pengembangan sumber daya fisik dengan meningkatkan kapasitas produktif manusia. Fungsi utama suatu bahasa, termasuk bahasa Arab, adalah alat untuk mengungkapkan makna-makna (pikiran, perasaan, ide, gagasan dan sebagainya).
Problem apa sajakah yang muncul ketika santri berusaha mengkomunikasikan pemahaman kepda orang lain atas pembacan kitab kuning yang menggunakan Arab pegon?. Pertanyaan seperti ini muncul karena penulis melihat fenomena yang selama ini ada di pesantren, dimana santri yang lebih dari dua kali mempelajari satu kitab yang sama pun belum tentu memahami, mengerti, dan belum tentu dapat menyampaikan apa yang selama ini dipelajarinya.
Jangankan memahami satu kitab, memahami satu paragraf dari satu uraian yang diajarkan oleh ustadz pun terkadang masih sulit dilakukan. Hal ini semakin terlihat ketika berlangsung pengajian bandongan, seorang ustadz dalam satu kali pertemuan membaca hingga satu lembar penuh salah satu kitab, padahal dalam satu lembar saja terdapat puluhan kalimat dan belasan paragraf. Untuk ustadz yang jeli, biasanya dalam satu kali pertemuan satu jam tersebut, seorang ustadz berusaha membaca sedikit kemudian menerjemahkan, menerangkan struktur kalimatnya dan menerangkan isi pesan didalamnya, bahkan ada juga yang sampai mendiskusikannya. Namun sayangnya hal ini jarang terjadi. Akibatnya santri saat mengikuti pengajian bandongan banyak yang terlihat tidak serius, terlihat sambil mengantuk atau bercanda meskipun ada juga santri yang serius.
Untuk pengajian sorogan, sistem yang diterapkan cukup membuat santri mau mempelajari kitab kuning lebih mendalam, namun sayangnya intensitas waktunya yang hanya 8x dalam sebulan. Berikut adalah penjabaran dari beberapa problem yang dialami santri ketika berusaha mengkumunikasikan pemahaman kepada orang lain atas pembacaan kitab kuning yang menggunakan Arab pegon;
1. Problem gramatika bahasa
Agar dapat menerjemahkan kitab dengan baik, terlebih dahulu harus mempelajari tata bahasa bahasa Arab, termasuk nahwu-shorof, namun tidak semua santri menguasainya. Padahal.tanpa pemahaman keduanya, sangat sulit untuk dapat menerjemahkan kitab kuning dengan baik dan benar.
2. Problem penggunaan metode terjemahan kata demi kata
Dalam penggunaan terjemahan jenis ini, urutan kata-kata bahasa sumber dipertahankan dan kosakatanya diterjemahkan apa adanya berdasarkan kamus. Kegunaan utama terjemahan kata demi kata adalah untuk memahami sistem dan struktur bahasa sumber. Penggunaan terjemahan jenis ini memang baik, namun sangat berpengaruh pada ketrampilan pemahaman pada santri, sehingga umumnya santri ketika diharuskan mengutarakan kembali uraian tentang apa yang diterjemahkan, mereka lamban dan merasa kesulitan.
3. Problem dengan bahasa yang digunakan
Bahasa pada prinsipnya dugunakan oleh para pemakainya sebagai pembawa pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Namun hal ini tidak akan dapat terpenuhi jika para pemakai bahasa tersebut (santri) tidak mengetahui arti serta makna dari bahasa yang digunakan. Arab pegon merupakan tulisan dengan aksara Arab menggunakan bahasa Jawa, digunakan pada pesantren-pesantren tradisional yang ada di Jawa. Penggunaan bahasa Jawa bagi orang Jawa maupun yang mengerti bahasa Jawa bukanlah suatu problem, namun bagi yang sama sekali tidak mengerti bahasa Jawa hal tersebut merupakan problem yang sangat besar. Hal seperti ini tentu dapat diminimalisir dengan penggunaan dwi bahasa yaitu Jawa-Indonesia pada setiap kali proses belajar mengajar kitab kuning.
4. Adanya kesulitan materi
Meskipun para santri telah lama belajar kitab kuning dan sudah pernah memperoleh pendidikan dari beberapa pesantren, namun kesulitan materi kitab tetap dialami. Ada beberapa tingkatan dalam materi yang digunakan, yaitu mudah, sedang dan sulit. Ada beberapa kitab yang didalamnya berisi tingkatan gramatikal yang lebih rumit dibanding dengan kitab yang lain, adapula yang tingkat balaghohnya sangat tinggi sehingga untuk dapat mempelajarinya terlebih dahulu santri harus memulainya dengan kitab lain yang balaghohnya lebih rendah.
Ada beragam cara yang dapat mempermudah para santri dalam mengatasi kesulitan materi juga lebih mempermudah komunikasi,83 yaitu;
(1). Belajar kelompok, belajar bersama dan saling membantu dalam pelajaran. Santri sering lebih paham akan apa yang disampaikan temannya daripada oleh ustadz. Bahasa yang digunakan oleh santri lebih mudah ditangkap santri lain, maka memanfaatkan bantuan santri dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan bahan yang dipelajari.
(2). Bantuan tutor, yaitu orang yang dapat membantu santri secara individual.
(3).Adanya kitab penunjang selain kitab yang diajarkan, hal ini dapat memberikan pemahaman lebih kepada santri selain apa yang sedang dipelajarinya.
5. Kesanggupan untuk memahami pengajaran
Jika santri tidak dapat memahami apa yang dikatakan atau disampaikan oleh ustadznya, atau apabila ustadz tidak dapat berkomunikasi dengan santrinya, maka besar kemungkinan santri tidak dapat menguasai kitab yang diajarkan. Karena kemampuan santri untuk menguasai suatu kitab banyak bergantung pada kemampuannya untuk memahami ucapan ustadznya.
Adapun asas-asas atau prinsip-prinsip secara umum yang harus diperhatikan dalam setiap belajar mengajar;84 pertama, motivasi; dalam kegiatan belajar mengajar, keyakinan akan tujuan serta minat belajar anak harus dibangkitkan terlebih dahulu sesuai dengan tingkat perkembangan kematangannya. Kedua, keingintahuan; pada dasarnya anak didik selalu ingin tahu segala sesuatu disekitarnya. Keingintahuan ini akan berkembang juga, jika didukung oleh lingkungan yang bersikap terbuka. Hubungan yang akrab antara ustadz dan santri dapat mengembangkan rasa keingintahuannya. Ketiga, mengalami sendiri; anak didik atau santri adalah manusia hidup yang pada dasarnya memiliki dorongan kuat untuk bekerja aktif. Aktifitas ini bisa dikembangkan jika didukung oleh lingkungan yang melibatkan santri dalam belajar. Keempat, pemecahan masalah; dengan mengalami sendiri dapat menimbulkan bermacam-macam pertanyaan bagi mereka yang telah berkembang keingintahuannya. Menimbulkan dan mengembangkan pertanyaan dalam kegiatan belajar-mengajar berarti mengembangkan kemampuan anak untuk mmengembangkan kemampuan anak untuk menemukan masalah kemudian memecahkannya. Untuk itulah bimbingan sangat diperlukan dalam penmgembangan kemampuan memecahkan masalah ini. Kelima, analisis sintesis; erat hubungannya dengan pemecahan masalah adalah asas analisis sintesis. Dalam memahami sesuatu, berfikir analisis sintesis sangat penting agr diperoleh pengetahuan tentang sesuatu. Berfikir analisis dilakukan untuk menemukan ciri-ciri sesuatu, sedangkan berfikir analisis dilakukan untuk menyatakan hubungan dari ciri-ciri tersebuty dalam suatu pernyataan yang utuh. Oleh karena itu, analisis sintesis sangat menunjang dalam berfikir kritis. Keenam, perbedaan individual; anak didik bukanlah manusia yang memiliki kesamaan, baik dalam kemampuan maupun kematangan. Setiap anak didik memiliki tingkat kemampuan belajar tersendiri atau tingkat kesiapan berfikir abstrak tersendiri pula.
D. Kelebihan dan kekurangan penggunaan Arab pegon bagi pemahaman isi teks pada santri
Arab pegon yang sangat kental dengan khasanah budaya Jawa ini, meskipun telah ratusan tahun bahkan melampaui beberapa abad, diantara pro-kontra antara kelompok pesantren tradisional yang tetap memakainya dengan pesantren yang dianggap modern-tanpa Arab pegon, pastilah memiliki alasan masing-masing yang membuat keduanya tetap mempertahankan atau menghilangkan.
Ada kelebihan juga terdapat kekurangan dalam penggunaan Arab pegon ini, diantaranya yaitu;.
1. Beberapa kelebihan dalam penggunaan Arab pegon;
(1). Salah satu kelebihan dari penggunaan terjamahan ini adalah ditampakkannya semua unsur teks dalam bahasa sasaran, sehingga kalimat yang diterjemah dapat membuat santri paham pada struktur tata bahasanya secara lebih detail.
(2). Santri bisa mengetahui kedudukan kalimat dalam setiap tulisan.
(3). Meenggunakan simbol-simbol linguistik tertentu, sehingga mempermudah untuk mengetahui kedudukan kalimat.
(4).Mendapatkan banyak kosakata. Hal ini bisa diamati karena dalam membaca kitab satu fasal saja, mencapai ratusan kosakata, apalagi jika beberapa fasal.
(5). Para santri dapat menghayati dzauqul arabiyah. (rasa bahasa). Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap pemahaman santri akan nilai makna yang terkandung didalamnya kitab.
(6). Keunikan yang patut dilestarikan. Menggunakan Arab pegon berarti sedikit banyak kita telah berusaha menjaga kelestarian khasanah budaya Nusantara, khususnya budaya bahasa Jawa.
2. Kekurangan atau kelemahan dalam penggunan Arab pegon;
(1). Membutuhkan waktu yang lama.
Untuk dapat memahami satu paragraf saja, seorang santri diharuskan membaca serta menerjemahkan dengan menggunakan beragam unsur, mencakup unsur struktur bahasa (nahwu-shorof), kosakata, balaghohnya, serta isi kandungannya.
(2). Membutuhkan tenaga pengajar yang banyak.
Apabila proses belajar-mengajar kitab kuning ini diharapkan dapat memberikan pemahaman penuh kepda santri, maka nyata dibutuhkan tenaga pengajar yang cukup banyak untuk jumlah santri yang berlimpah. Karena jika melihat sistem pengajaran yang ada yaitu bandongan dan sorogan, maka yang dinilai lebih teliti dalam memberikan pengajaran kepada santri adalah pengajian sorogan. Namun sorogan ini membutuhkan waktu yang lama, tenaga pengajar yang banyak juga kedisiplinan tinggi dalam belajar.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan dan menganalisis proses penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon pada santri Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, maka penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Proses penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon ini mengungkap tiga hal, yaitu (1) isi atau pesan (2) unsur linguistik teks dan (3) unsur ekstralinguistik teks.
2. Problematika penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon yang timbul pada santri terbagi menjadi dua katagori, yaitu (1) Problem linguistik, mencakup morfologis, sintaksis, semantik, dan restrukturisasi. (2) Problem non linguistik, mencakup kurangnya penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran, perbedaan tata cara penulisan antara huruf Arab yang berbahasa Arab dengan penulisan Arab pegon, kesulitan materi kitab yang diterjemah, serta kondisi pada saat menerjemahkan.
3. Setiap santri selalu mengharapkan bahwa apa yang dipelajarinya dapat membuat pengetahuan keilmuannya bertambah, namun ternyata tidak semua santri dapat sukses mendapatkannya. Problem yang dialami santri dalam hal ini yaitu; mutu pengajaran, persoalan penggunaan bahasa, kecepatan menangkap pelajaran, ketekunan santri, waktu yang tersedia untuk belajar.
4. Problem yang muncul ketika santri mengkomunikasikan pemahamannya kepada orang lain atas pembacaan kitab kuning yang menggunakan Arab pegon, yaitu; problem gramatika bahasa, penggunaan metode terjemahan kata demi kata, bahasa yang digunakan, kesulitan materi, dan kesanggupan untuk memahami pengajaran.
5. Kelebihan penggunaan Arab pegon yaitu;
a. Memperlihatkan semua unsur teks yang ada
b. Santri dapat mengetahui kedudukan kalimat dalam setiap tulisan
c. Menggunakan simbol-simbol linguistik tertentu yang memudahkan santri mengetahui kedudukan kalimat
d. Mendapatkan banyak kosakata
e. Para santri dapat menghayati dzauqul arabiyah. (rasa bahasa)
f. Menggunakan Arab pegon berarti sedikit banyak kita telah berusaha menjaga kelestarian khasanah budaya Nusantara, khususnya budaya bahasa Jawa.
6. Kekurangannya penggunaan Arab pegon, yaitu membutuhkan waktu yang
lama dan tenaga pengajar yang banyak
B. Saran-saran
1. Pimpinan Pondok Pesantren;
Mempertahankan serta mengembangkan berlangsungnya proses pengajaran kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon.
2. Pimpinan Madrasah Salafiyah III;
a. Mengembangkan pelaksanaan pengajaran kitab kuning dengan metode–metode baru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan pesantren.
b. Membuat tata tertib yang mengatur kedisiplinan serta mengontrol pelaksanaannya dan melakukan tindakan tegas bagi yang melanggar.
c. Meningkatkan kinerja kepengurusan madrasah, khususnya yang menangani masalah kegiatan belajar-mengajar.
3. Para ustadz
a. Hendaknya dalam mengajar kitab kuning, para ustadz agar lebih memperhatikan keadaan santrinya, termasuk memperhatikan para santri yang belum mengerti bahasa Jawa.
b. Menjaga kedisiplinan dalam mengajar kitab kuning.
4. Para Santri
Menggunakan kesempatan menimba ilmu dengan sebaik-baiknya.
C. Kata Penutup
Matur sembah nuwun kepada Allah penguasa bumi raya yang telah memberi kemudahan dan jalan terang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mambantu dalam penulisan skripsi ini.
Yogyakarta, 14 Nopember 2004
Penyusun
Tafsiyatun Rohanah
DAFTAR PUSTAKA
A, Djunaidi, Syakur, Pondok Pesantren Putri Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta
Madrasah Salafiyah III, Lana Usaha Press, Yogyakarta, 2002
Abdul Fuad, Hamid, Proses Belajar Mengajar Bahasa, Jakarta, Depdikbud, 1987
Abdurrahman, Dudung, Pengantar Metodologi Penelitian dan Penulisan Karya
Ilmiah, Yogyakarta, IKFA Prees, 1998
Abubakar Aly, Basalamah, “Memahami Kitab Kuning Melalui Terjemahan
Tradisional (Suatu Pendekatan Tradisional terjemahan Pondok Pesantren)”, Pesantren, Nomor Perdana, 1984
Alpandie, Imansyah, Didaktik Metodik Pendidikan Umum, Usaha Nasional,
Surabaya, 1984
A.M, Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, Cet ke-5, 1994
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Bina Aksara, Jakarta, 1989
Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat:Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995
Chaer, Abdul, Linguistik umum, , Jakarta Rineka Cipta, 1994
Chozin A, Nasuha, Epistemologi Kitab Kuning, Jurnal Pesantren. No.1/Vo l.
VI/1989
Dahlan, Juwairiyah, Metode Belajar Mengajar Bahasa arab, Surabaya, Penerbit
Al-Ikhlas, 1992
Dawam M, Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Yogyakarta, 1995
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta, LP3ES Cet.,ke-4, 1994
Effendi, S., Beberapa Pokok Pikiran tentang Pengajaran Bahasa, (Pengajaran
Bahasa Arab dan Sastra), Nomor I/I/1975
Fatkhan, Muh, Sinkretisme Jawa-Islam, Jurnal Religi. Vol. I/ No 2, Juli 2002
Gazalba, Siti, Masyarakat Islam (Pengantar Sosiologi dan Sosiografi), Bulan
Bintang, Jakarta, 1976
Guntur Henry, Tarigan, Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa,
Bandung, Angkasa, 1984
__________________,Metodologi Pengajaran Bahasa, Jakarta, Depdikbud, 1989
Hadi, Sutrisno, Metodologi research I, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM
Hamid, Ismail, Kesusasteraan Indonesia Lama Bercorak Islam, Pustaka Al-
Husna, Jakarta, 1989
Hartono, Belajar Menerjemahkan, UMM Press, Malang Cet ke-2, 2003
William A, Haviland (terj), Antropologi Jilid 2, Erlangga, Jakarta, edisi ke-4,1993
Hidayah, Irfatul, Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama dalam Proses
Marginalisasi Budaya Lokal, Jurnal Religi, Vol. II, No. 2 Juli-Desember 2003
Israr, C, Sejarah Kesenian Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, h. 27.
Keseng, Syahruddin, Linguistik Terapan: Pengantar Menuju Pengajaran Bahasa
yang Sukses, Jakarta, Depdikbud, 1989
Katalog Pameran Manuskrip Nusantara, Yogyakarta, September 2004
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta, Balai Pustaka, 1994
¬____________, Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta, Gramedia, 1976
____________ , Pengantar Antropologi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1996
Kompas, Melihat palembang dari naskah kuno, Senin 29 september 2003
Lexy J, Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, Cet ke-11, 2000
Lombard, Denys, Nusa jawa:Silang Budaya Jilid I, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2000
Marsono, Pergumulan Islam dalam Sistem Nilai Budaya Jawa,Religi,VolII, NO.2,
Juli-Desember 2003
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994
Mochtar, Affandi, Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi; Pesantren Tradisi Kitab Kuning Sebuah Observasi Umum, Bandung, Pustaka Hidayah, 1999
Munif, Abdul, Problem Penerjemahan Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia; Suatu
Pendekatan Error Analysis, Makalah Program Diskusi Ilmiah dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, 2000
Nasution, S, Berbagai pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta,
Bumi Aksara, Cet ke-7, 2000
Nasution, S, Metode Reseach: Penelitian Ilmiah, Jakarta, Bumi Aksara, 2002
N.K, Roestiyah, Masalah Pengajaran sebagai Suatu Sistem, Jakarta, Rineka
Cipta,1994
N.K, Roestiyah, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, Rineka Cipta, 1991
Parera, JD., Teori Semantik, Erlangga, Jakarta, 1991
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al barry,Kamus ilmiah populer, Surabaya,
Penerbit Arkola 1994
Pateda, Mansoer, Linguistik:Sebuah Pengantar, Bandung, Angkasa, 1990
Purwadi, Kamus Jawa-Indonesia, Jakarta, Pustaka Widyatama, 2003
Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia-Sintaksis, Yogyakarta, UP Karyono, 1981
Riyadi, Slamet, Tradisi Kehidupan Sastra di Kesultanan Yogyakarta, Gama
Media, Yogyakarta, 2002
Romdoni, Pedoman Membaca Arab Melayu, Intimedia, Jakarta, 2004
Sandtono, E, Pedoman Penerjemahan, Jakarta, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1985
Saudah, Ali, Makalah Penerjemahan Arab-Indonesia dan Masalahnya, Panitia
Pertemuan Ilmiah Nasional Bahasa Arab I, Malang, 1999
Surakhmad, Winarno, Metodologi Pengajaran Nasional, Jemmars, Jakarta, 1979
Taufiq dan Idris BA, Mengenal Kebudayaan Islam,PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1983
Utari, Sri, dan Subyakto Nababan, Metodologi Pengajaran Berbahasa, Jakarta,
Depdikbud, 1988
Utomo, Wahyu, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternative Masa
Depan, Jakarta,Gema Insan Press, Cet. Ke-4, 1997
Yusuf, Tayar dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, Jakarta, Rajawali Press, 1994
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Serat Menak berhuruf Arab pegon…………………………………100
Lampiran II : Hikayat Bayan Budiman………………………………………….…101
Lampiran III : Daftar Naskah Tulisan Tangan Arab-Melayu………………….102
Lampiran IV : Siroj Al-Ma’rifah……………………………………………………..106
Lampiran V : Kitab Fatkhul Qorib al-Mujib………………………………………107
Lampiran VI : Salinan Catatan Milik Salah Satu Santri………………………..108
Lampiran VII : Bukti Seminar Proposal………………………………………….109
Lampiran VIII : Surat Keterangan/Ijin dari BAPEDA……………………………110
Lampiran IX : Permohonan Izin Riset Kepada kepala Madrasah Salafiyah III…111
Lampiran X : Surat Pernyataan Riset dari Madrasah Salafiyah III…………….112
Lampiran XI : Permohonan Izin riset Kepada Gubernur………………………..113
Lampiran XII : Sertifikat KKN…………………………………………………..114
Lampiran XIII : Sertifikat PPL II…………………………………………………115

0 Comment