31 Desember 2022

PENGERTIAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN Al QUR’ANRUANG LINGKUP, FAIDAH SERTA URGENSI MEMPELAJARINYA

 

      A.    PENDAHULUAN


Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Kitab terakhir ini merupakan sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap Muslim. Al-Qur’an bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya ( Hablum min Allah wa hablum min an-nas), serta manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami ajaran Islam secara sempurna (kaffah), diperlukan pemahaman terhadap kandungan Al-Qur’an dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.

 Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar nabi Muhammad SAW. Diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafal maupun uslub-nya. Suatu bahasa yang kaya kosa kata dan sarat makna. Kendati Al-Qur’an berbahasa Arab, tidak berarti semua orang Arab atau orang yang mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami Al-Qur’an secara rinci. Al-Qur’an adalah kitab yang agung, memiliki nilai sastra yang tinggi. Meskipun diturunkan kepada bangsa Arab yang lima belas abad lalu terkenal dengan jiwa yang kasar. Al-Qur’an mampu meruntuhkan dominasi sya’ir-sya’ir sastrawan Arab, hingga tidak berdaya dihadapan Al-Qur’an.


Kitab suci Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam harus dipahami dengan benar. Hasbi Ash-Shidieqi menyatakan untuk dapat memahami Al-Qur’an dengan sempurna, bahkan untuk menterjemahkannya sekalipun, diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan, yang disebut Ulumul Qur”an.[1]

 

B.     Pengertian Ulumul Qur’an


Istilah Ulumul Qur’an, secara etimologis merupakan gabungan dari dua kata bahasa Arab ulum dan Al-Qur’an. Kata ulum bentuk jama’ dari kata ‘ilm yang merupakan bentuk masdhar dari kata ‘alima, ya’lamu yang berarti mengetahui.[2] Dalam kamus al-Muhit kata ‘alima disinonimkan dengan kata ‘arafa (mengetahui, mengenal).[3] Kata ‘ilm semakna dengan ma’rifah yang berarti “pengetahuan”. Sedangkan ‘ulum berarti sejumlah pengetahuan.


Kata Al-Qur’an dari segi bahasa adalah bentuk masdhar dari kata kerja Qara’a, berarti “bacaan”. Hal ini berdasarkan firman Allah:


Artinya: apabila kami telah selesai membacanya, maka ikutilah bacaannya. ( QS. Al – Qiyamah: 18)[4]

Kemudian dari makna masdhar ini dijadikan nama untuk kalamullah mukjizat bagi nabi Muhammad SAW.[5] Lebih lanjut terdapat beberapa pandangan ulama tentang nama Al-Qur’an itu sendiri, sebagaimana yang terungkap dalam kitab al- Madkhal li Dirasah al- Qur’an al-Karim,[6] sebagai berikut:


1.  Qur’an adalah kata sifat dari al-Qar’u yang bermakna al-jam’u (kumpulan). Selanjutnya kata ini digunakan sebagai salah satu nama bagi kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena Al-Qur’an terdiri dari sekumpulan surah dan ayat, memuat kisah-kisah, perintah dan larangan, dan mengumpulkan inti sari dari kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Pendapat ini dikemukakan al-Zujaj (w. 311)


2.   Kata Al-Qur’an adalah ism alam, bukan kata bentukan dan sejak awal digunakan sebagaimana bagi kitab suci umat Islam. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Syafi’I ( w.204).


Menurut Abu Syuhbah, dari beberapa pendapat di atas, yang paling tepat adalah pendapat yang mengatakan Al-Qur’an bentuk masdhar dari kata Qara-a.[7] Sedangkan Al-Qur’an menurut istilah adalah: “Firman Allah Swt, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang memiliki kemukjizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, yang tertulis dalam mushaf, dimulai dengan surat al- Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas.[8]


Kata ulum yang disandarkan kepada kata “Al-Qur’an” telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi kberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Secara istilah, para ulama telah merumuskan berbagai definisi Ulumul Qur’an.


a. Al-Zarqani merumuskan pengertian Ulumul Qur’an sebagai: beberapa pembahasan yang berhubungan dengan  Al-Qur’an al-Karim, dari segi turunnya, urut-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya, kemukjizatannya, nasikh dan mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya.[9]


b.   Manna’ al- Qathan memberikan definisi  bahwa Ulumul Qur’an adalah ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya, pengumpulan Al- Qur’an dan urut-urutannya, pengetahuan tentang ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, hal –hal lain yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an.[10]


c.       Menurut T.M Hasbi As-Shiddiqie

‘Ulumul Qur’an ialah pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, dari segi nuzulnya, tertibnya, mengumpulnya, menulisnya, membacanya dan menafsirkannya, I’jaznya, nasikh mansukhnya, menolak syubhat-syubhat yang dihadapkan kepadanya.[11]


Definisi nomor satu dan dua di atas pada dasarnya sama. Keduanya menunjukkan bahwa ulumul Qur’an adalah kumpulan sejumlah pembahasan yang pada mulanya merupakan ilmu-ilmu yang berdiri sendiri. Ilmu-ilmu ini tidak keluar dari ilmu agama dan bahasa. Masing-masing menampilkan sejumlah aspek pembahasan yang dianggap penting. Objek pembahasannya adalah Al-Qur’an.


Adapun perbedaannya terletak pada tiga hal:


1)  Aspek pembahasannya; definisi pertama menampilkan sembilan aspek pembahasannya dan yang kedua menampilkan hanya lima daripadanya.

2)  Meskipun ke duanya tidak membataskan pembahasannya pada aspek-aspek yang ditampilkan, namun definisi pertama lebih luas cakupannya dari yang ke dua. Sebab, definisi pertama diawali dengan kata Mabaahitsu yang merupakan bentuk jama’ yang tidak berhingga dan menyebut secara eksplisit penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan terhadap Al-Qur’an sebagai bagian dari pembahasannya. Sedangkan definisi yang kedua tidak demikian.

3)      Pada perbedaan aspek pembahasan yang ditampilkan tidak semuanya sama di antara ke duanya. Definisi pertama disebutkan bahwa penulisan Al-Qur’an, Qiraat, penafsiran dan kemu’jizatan Al-Qur’an sebagai bagian pembahasannya. Sementara itu, dalam definisi ke dua semua itu tidak disebutkan.[12]


Melihat persamaan dan perbedaan antara kedua definisi di atas dapat diketahui bahwa definisi pertama lebih lengkap dibanding dengan definisi ke dua. Dengan demikian definisi kedua lebih akomodatif terhadap ilmu-ilmu Al- Qur’an yang selalu berkembang sebagaimana akan terlihat pada uraian sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ulumul Qur’an.


Penjelasan-penjelasan di atas juga menunjukkan adanya dua unsur penting dalam definisi Ulumul Qur’an. Pertama, bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah pembahasan. Kedua, pembahasan-pembahasan ini mempunyai hubungan dengan  Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi manusia.

 

C.    Ruang lingkup ‘Ulum Al-Qur’an


Berdasarkan pengertian ‘Ulum Al-Qur’an di atas dapat dipahami tentang ruang lingkup Ulum Al-Qur’an, yaitu semua ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an berupa ilmu agama dan ilmu ‘Ibrab Al-Qur’an. Bahkan As-Suyuthi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syadali memperluasnya sehingga memasukkan kedokteran, ilmu ukur, astronomi dan sebagainya ke dalam pembahasan ‘Ulumul Qur’an.[13]


Namun As-Shiddiqie sebagaimana yang dikutip oleh Ramli Abdul Wahid mengatakan bahwa segala macam pembahasan ‘Ulumul Qur’an kembali kepada beberapa pokok persoalan sebagai berikut:

1.      Persoalan Nuzul, ayat-ayat Makiyah atau Madaniyah, sebab turun ayat, yang mula-mula turun dan yang terakhir turun, yang berulang-ulang turun, yang turun terpisah pisah, dan yang turun sekaligus

2.      Persoalan sanad, meliputi hal-hal yang berhubungan dengan sanad yang muthawatir, yang ahad, yang Syaz, bentuk-bentuk Qirat, para periwayat dan penghafal Al-Qur’an dan cara tahammul ( penerimaan riwayatnya) 

3.      Persoalan adad Qiraat, masalah waqaf (berhenti), ibtida’ (cara memulai), imalah( cara memanjangkan) takhfif Hazah (cara meringankan Hamzah), idgham (memasukkan bunyi huruf nun mati ke dalam huruf sesudahnya)

4.      Persoalan yang menyangkut lafal Al-Qur’an yaitu Gharib (pelik), Mu’rab (menerima perubahan akhir kata), majaz (metafora), musytarak, muradif (sinonim), isti’arah (metaphor), tasybih (penyerupaan).

5.      Persoalan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum yaitu ayat yang bermakna umum yang dikhususkan oleh sunnah, yang nash, yang zhahir, yang mujmal (global), yang munfashal (yang terinci), yang manthuq (makna yang berdasarkan pengutaraan), nasikh mansukh, mutlaq (tidak terbatas) dan muqayyad (terbatas) dan lain sebagainya

6.      Persoalan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan lafal fashl (pisah), washal (berhubungan), ijaz ( singkat), ithnab ( panjang) musawah (sama) dan Qashr (pendek).[14]

 

D.    Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan ‘Ulumul Qur’an


Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ‘Ulumul Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul  Qur’an menjelma menjadi suatu cabang disiplin ilmu setelah melalui proses pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam hal ini tentu banyak Pribadi dan kondisi yang membuatnya  sebagai cabang ilmu yang penting untuk memahami kitab suci Al Qur’an. Berikut ini kita lihat bagaimana alur lahirnya cabang ilmu ini. 

1.      Masa Sebelum Penulisan


Pada masa Rasulullah dan para sahabat, Ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis.  Para sahabat adalah orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa  Ara yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul SAW. Bila mereka menemukan ksulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW. Sebagai contoh, ketika turun ayat:                 

Dan mereka tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman…..”( Q.S Al-An’am: 82).[15] Para sahabat bertannya: “ siapa dari kami yang tidak menganiaya (menzalimi) dirinya?”. Nabi menafsirkan kata zulm di sini dengan syirik berdasarkan ayat:   

 (sesungguhnya Syirik itu kezaliman yang besar ( Q.S Luqman:13)[16]

Ada tiga faktor yang menyebabkan Ulumul Qur’an tidak dibukukan di masa Rasul dan Sahabat.

a.  Kondisinya tidak membutuhkan karena kemampuan mereka yang besar untuk memahami Al-Qur'an dan rasul dapat menjelaskan maksudnya.

b.      Para sahabat sedikit sekali yang pandai menulis

c.       Adanya larangan Rasul untuk menuliskan selain Al-Qur’an.


Semuanya ini merupakan faktor yang menyebabkan tidak tertulisnya ilmu ini baik di masa Nabi maupun di zaman sahabat.[17]

2.      Masa Penulisan Ulumul Qur’an

Di zaman khalifah usman Bin Affan wilayah Islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara penakluk Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan sahabat akan terjadinya perpecahan di kalangan muslimin tentang bacaan Al-Qur’an,  selama mereka tidak memiliki sebuah Al-Qur’an yang menjadi standar bagi bacaan mereka. Sehingga disalinlah dari tulisan aslinya sebuah Al-Qur’an yang disebut Mushaf Imam. Dengan terlaksananya penyalinan ini, maka berarti Usman telah meletakkan suatu dasar Ulumul Qur’an yang disebut Rasm Al-Qur’an atau Ilmu  al- Rasm al- Utsmani.[18]

Pada masa Ali terjadi perkembangan baru dalam ilmu Qur’an. Karena melihat banyaknya umat Islam yang berasal dari bangsa non Arab, kemerosotan dalam bahasa Arab, dan kesalahan pembacaan Al-Qur’an.  Ali menyuruh Abu al-Aswad al-Duali untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini dilakukan untuk memelihara bahasa Arab dari pencemaran dan menjaga Al-Qur’an dari keteledoran pembacanya. Tindakan khalifah Ali ini dianggap perintis bagi lahirnya ilmu nahwu dan I’rab Al-Qur’an.[19]

Pada zaman Bani Umayyah, kegiatan para sahabat dan tabi’in terkenal dengan usaha-usaha mereka yang tertumpu pada penyebaran ilmu-ilmu Al-Qur’an melalui jalan periwayatan dan pengajaran secara lisan, bukan melalui tulisan atau catatn. Kegiatan-kegiatan ini dipandang sebagai persiapan bagi masa pembukuannya. Orang yang paling  berjasa dalam usaha periwayatan ini adalah khalifah yang empat, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah Ibn al-Zubair dari kalangan sahabat. Sedangkan dari kalangan tabi’in ialah Mujahid, Atha’, Ikrimah, Qatadah, Al-Hasan al-Bashri, Sa’id Ibn Jubair, dan Zaid Ibn Aslam di Madinah. Kemudian Malik bin Anas dari generasi tabi’tabi’in. mereka semuanya dianggap sebagai peletak batu pertama bagi apa yang disebut ilmu tafsir, ilmu asban al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu gharib al- Qur’an dan lainnya.

Pada abad ke 2 H ulumul Qu’an memasuki masa pembukuan. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm al-‘ulum Al-Qur’aniah ( induk ilmu-ilmu Al-Qur’an). Penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah Ibn al-Hajjaj, Sufyan Ibn ‘Uyaynah, dan Wali’ Ibn al-Jarrah.

Pada abad ke-3 terkenal seorang tokoh tafsir, yaitu Ibn Jarir al-Thabari. Dia orang pertama membentangkan  berbagai pendapat dan mentarjih sebagiannya atas lainnya. Ia juga mengemukakan I’rab dan istinbath ( penggalian hukum dari Al-Qur’an). Di abad ini juga lahir ilmu asbab al-Nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu tentang ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah. 

Berikut ini dapat kita lihat karya ulama pada abad ke -3, yaitu:


1.      Kitab Asbab al-Nuzul karangan Ali Ibn Al-Madini

2.   Kitab nasikh dan mansukh, Qiraat dan keutamaan Al-Qur’an disusun oleh Abu ‘Ubaid al-Qasim Ibn Salam.

3.      Kitab tentang ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah karya Muhammad Ibn Ayyub al Dharis[20]


Pada abad ke-4 lahir ilmu gharib Al-Qur’an dan beberapa kitab Ulumul Qur’an. Adapun Ulama ulumul Qur’an pada masa ini adalah:


1.      Abu Bakar Muhammad Ibn al-Qasim al-Anbari, kitabnya ‘Ajaib Ulumul Qur’an.

Isi kitab ini tentang keutamaan Al-Qur’an, turunnya atas tujuh huruf, penulisan mushaf-mushaf, jumlah surah, ayat dan kata –kata Al-Qur’an.

2.      Abu al-Hasan al-‘Asy’ari, kitabnya Al-Mukhtazan fi Ulumul Qur’an

3.      Abu Bakar al-Sijistani, kitabnya Gharib Al-Qur’an

4.      Muhammad Ibn Ali al- Adfawi, kitabnya Al- Istighna fi Ulumul Qur’an[21]

 

Pada abad ke-5 muncul pula tokoh dalam ilmu qiraat. Adapun para tokoh serta karyanya adalah;

1.      Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa’id al- Hufi, kitabnya Al- Burhan fi Ulumul Qur’an dan I’rab Al-Qur’an

2.      Abu Amr al- Dani, kitabnya Al-Taisir fi al-Qiraat al-Sab’I dan Al- Muhkam fi al- Nuqath

3.      Al- Mawardi, kitabnya tentang amtsal Qur’an.[22]


Pada abad ke-6 lahir pula ilmu Mubhamat Al-Qur’an. Abu Qasim Abdur Rahman al-Suahaili mengarang Mubhamat Al-Qur’an. Ilmu ini menerangkan lafal-lafal Al-Qur’an yang maksudnya apa dan siapa tidak jelas. Ibn al-Jauzi menulis kitab Funun al- Afnan Fi ‘Aja’ib Al-Qur’an dan kitab Al- Mujtaba fi Ulum Tata’allaq bi Al-Qur’an[23]


Pada abad ke-7 Ibn Abd al-Salam yang terkenal dengan sebutan Al’Izz mengarang kitab Majaz Al-Qur’an. ‘Alam al- Din al- Sakhawi mengarang tentang Qiraat. Ia menulis kitab Hidayah al- Murtab fi al- Mutasyabih. Abu Syamah Abd al-Rahman Ibn Ismail al- Maqdisi, menlis kitab Al- Mursyid al- Wajiz fi ma Yata’allaq bi al- Qur’an al- ‘Aziz.


Pada abad ke-8 H muncul beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru tentang Al-Qur’an, seperti berikut ini:


1.      Ibn Abi al- Ishba’, kitabnya tentang badai Al-Qur’an.

Ilmu ini membahas berbagai macam keindahan bahasa dalam Al-Qur’an.

2.      Ibn Qayyim, menulis tentang Aqsamul Qur’an

3.      Najamuddin al-Thufi, menulis tentang Hujaj Al-Qur’an. Isi kitab ini tentang bukti-bukti yang dipergunakan Al-Qur’an dalam menetapkan suatu hukum

4.      Abu Hasan al-Mawardi menyusun ilmu amstal Al-Qur’an

5.      Badruddin al-Zarkasyi, kitanya Al- Burhan fi Ulum Al-Qur’an.[24]

           

Pada abad ke-9 muncul beberapa ulama melanjutkan perkembangan ilmu-ilmu Qur’an, yaitu:


1.  Jalaluddin al- Bulqini, kitabnya Mawaqi’ al- Ulum min Mawaqi’ al- Nujum. Menurut Al-Suyuthi, Al-Buqini dipandang sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap.  Sebab  dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an


2.   Muhammad Ibn Sulaiman al-Kafiaji, kitabnya Al-Tafsir fi Qawa’id al-Tafsir. Di dalamnya diterangkan makna tafsir, takwil, Al-Qur’an, surat dan ayat. Juga dijelaskan dalam kitabnya itu tentang syarat-syarat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.


3.      Jalaluddin al-Suyuthi, kitabnya Al-Tahbir fi Ulum al-Tafsir(873 H). Kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Menurut sebagian Ulama. Kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an yang paling lengkap. Al-Suyuthi merasa belum puas, beliau menyusun lagi sebuah kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Di dalam kitab ini terdapat 80 mcam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis. Menurut al- Zarqani kitab ini merupakan kitab pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Setelah wafatnya Al-Suyuthi tidak terlihat munculnya penulis yang memiliki kemampuan seperti kemampuannya. Sehingga terjadi kevakuman sejak wafatnya Imam Al-Suyuthi sampai dengan akhir abad ke 13 H.[25]

Sejak penghujung abad ke-13 H hingga abad ke -15, perhatian ulama terhadap penyusunan kitab-kitab Ulumul Qur’an kembali bangkit. Kebangkitan ini sejalan dengan kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama lainnya.diantara Ulama yang menulis tentang Ulumul Qur’an ialah:


1.      Syeikh Thahir Al-Jazairi, kitabnya Al-Tibyan li Ba’dh Al- Mabahits Al-Muta’alliqah bi Al-Qur’an.

2.      Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi (1332 H) kitabnya, Mahaasin Al-Takwil

3.      Muhammad Abd Al-‘Azhim Al-Zarqani, kitabnya Manaahil Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an.

4.      Musthafa Shadiq Al-Rafi’, kitabnya I’jaz Al-Qur’an

5.      Sayyid Quttub, kitabnya Al-Thaswir al-Fanni Fi Al-Qur’an dan Fi Zilal Al-Qur’an

6.      Muhammad Rasyid, kitabnya Tafsir al-Mannar

7.      Shubhi al-Shalih, kitabnya Mabaahits Fi Ulum Al-Qur’an

8.      T.M. Hasbi Ash-Shiddieqi, kitabnya ilmu-ilmu Qur’an

9.      Rif’at Syauki Nawawi dan Ali Hasan, kitabnya Pengantar ilmu Tafsir

10.  M. Quraish Shihab, kitabnya membumikan Al-Qur’an.[26]

 

            Adapun mengenai kapan lahirnya istilah Ulum Al-Qur’an, terdapat tiga pendapat, yaitu:


1.  Pendapat umum di kalangan para penulis sejarah ‘Ulum Al-Qur’an mengatakan bahwa lahirnya istilah ‘Ulum Al-Qur’an pertama kali ialah pada abad ke-7[27]

2.  Ibn Sa’id yang terkenal dengan sebutan Al-Hufi, dengan demikian menurutnya, istilah ini lahir pada permulaan abad ke-15[28]

3. Shubhi Al-Shalih berpendapat lain. Menurutnya, orang yang pertama kali menggunakan istilah ‘Ulum Al-Qur’an ialah Ibn Al-Mirzaban. Dia berpendapat seperti ini berlandasan pada penemuannya tentang beberapa kitab yang berbicara tentang kajian Al-Qur’an yang telah mempergunakan istilah ‘Ulum Al-Qur’an. Yang paling awal menurutnya ialah kitab Ibn Al-Mirzaban yang berjudul Al-Hawi Fi ‘Ulum Al-Qur’an yang ditulis pada abad ke-3 H. Hal ini juga disepakti oleh Hasbi As-shiddieqi.[29]

 

E.     Urgensi mempelajari Al-Qur’an


Adapun tujuan dari mempelajari ‘Ulumul Qur’an adalah:

1.      Agar dapat memahami kalam Allah ‘Aza Wajalla sejalan dengan keterangan yang dikutip oleh para sahabat dan para tabi’in tentang interprestasi mereka terhadap  Al-Qur’an

2.      Agar mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir) dalam menafsirkan  Al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.

3.      Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an

4.      Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.[30]                   

Hubungan ‘Ulumul Qur’an dengan tafsir juga dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:

a.      Fungsi ‘Ulumul Qur’an sebagai alat untuk menafsirkan, yaitu:


1) Ulumul Qur’an akan menentukan bagi seseorang yang membuat syarah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dapat dipertanggung jawabkan. Maka bagi mafassir ‘Ulumul Qur’an secara mutlak merupakan alat yang harus lebih dahulu dikuasai sebelum menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

2)      Dengan menguasai ‘Ulumul Qur’an seseorang baru bisa membuka dan menyelami apa yang terkandung dalam Al-Qur’an

3)      ‘Ulumul Qur’an sebagai kunci pembuka dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya dan mempunyai kedudukan sebagai ilmu pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an.

b.      Fungsi ‘Ulumul Qur’an sebagai Standar atau Ukuran Tafsir

Apabila dilihat dari segi ilmu, ‘Ulumul Qur’an sebagai standar atau ukuran tafsir Al-Qur’an artinya semakin tinggi dan mendalam ‘Ulumul Qur’an dikuasai oleh seseorang mufassir maka tafsir yang diberikan akan semakin mendekati kebenaran, maka dengan ‘Ulumul Qur’an akan dapat dibedakan tafsir yang shahih dan tafsir yang tidak shahih.


Ada beberapa syarat dari ahli tafsir ( mufassir) yaitu:


1)   Akidahnya bersih

2)   Tidak mengikuti hawa nafsu

3)   Mufassir mengerti Ushul at-Tafsir

4)   Pandai dalam ilmu riwayah dan dirayah hadits

5)   Mufassir mengetahui dasar-dasar agama

6)   Mufassir mengerti ushul fiqh

7)   Mufassir menguasai bahasa Arab[31]



Baca Juga;//..........


👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉

 

Bedasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa ‘Ulumul Qur’an sangat penting dipelajari dalam rangka sebagai pijakan dasar dalam menafsirkan Al-Qur’an oleh para mufassir. Dapat dikatakan semakin dikuasainya ‘Ulumul Qur’an oleh mufassir maka semakin tinggilah kualitas tafsir yang dibuatnya.



[1] T.M. Hasbi Ash-Shidieqi, Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), Cet. VII, H. 112

[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), Cet. VIII, h. 277

[3] Mujid al-Din Muhammad bin Ya’qub al-Farizi, al-Qamus al- Muhith, (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1952/1371 H ), Juz. IV, Cet. II, H. 155

[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Jakarta: PT. Syamil Cipta Media, 2004), h. 507

[5] Muhammad ‘Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, Manahil al- Irfan fi Ulum al-Qur’an, ( Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmi’ah, 1996/1416 H), Juz I, h.16

[6] Lihat: Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al- Madkhal li Dirasah al- Qur’an al- Karim, (Beirut: Dar al- Jil, 1992/1412), h.19-20

[7] Muhammad bin Muhammad Abu Sya’bah, al- Madkhal li Dirasah al-Qur’an al- Karim, h. 19-20

[8] Ibid.,

[9] Muhammad Abdul ‘Azim, Manahil al- ‘Irfan fi ulum al- Qur’an, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 27

[10]  Manna’ Al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qu’an. ( Beirut: Al- Syarikah al-Muttahidah li al-tauzi’, 1973), h. 15

[11] T.M. Hasbi As-Shiddiqie, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.10-11

[12] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, ( Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), Cet. Ke IV, h. 9

[13] Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 11

[14] Ramli Abdul Wahid, op.cit., h8

[15] Departemen Agama, op.cit, h.138

[16] Ibid., h.412

[17] Shubhi Al-Shalih, Mabaahits fi Ulumul Qur’an,( Beirut: Dar al-‘ilm al-Malayin, 1977), h.120

[18] Muhammad Abdul ‘Azim Al-Zarqani, op.cit., h. 30

[19] Kahar Mansyur, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.32

[20] Shubhi al- Shalih, op.cit., h. 121-122

[21] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqi, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973. H.14

[22] Ibid.

[23] Nawawi, Rifat Syauqi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 221

[24] Ibid., h. 222

[25] Ramli Abdul Wahid, op.cit., h.20

[26] Ibid., h.21

[27] Muhammad Abd Al-‘Azhim Az-Zarqani, 0p.cit., h.34

[28] Ibid., h. 34-35

[29] T.M. Hasbi As-Shiddiqie, op.cit., h.16

[30]  Muhammad ‘Ali Al-Shabuni, loc., h.18

[31] Ibid., h. 218-219

0 Comment