07 Desember 2022


 SUMBER PERUMUSAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Sumber dan Dalil

Kata  “dalil” itu berasal  dari  bahasa  Arab an terbagi kepada dua b
agian 

Dalil syara’ terbagi kepada  qath‘î dan zhannî.

Dalil syara’ terdiri dari dalil naqlî dan dalil ‘aqlî.

Al-Amidi membagi dalil kepada  dua kelompok, yaitu:

Pertama, dalil yang sahih menurut  dirinya  dan wajib diamal- kan, terdiri dari:

1. Dalil yang disampaikan oleh Nabi dalam bentuk yang terbaca, yaitu Al-Qur’an;

2. Dalil yang disampaikan Nabi dalam bentuk  yang tak terbaca, yaitu sunah.  Al-Qur’an  dan sunah 

    disebut dalil nash; dan

3. Dalil yang tidak disampaikan oleh Nabi atau bukan nash; ben- tuknya  terdiri dari:

a. terpelihara dari kesalahan, yaitu ijmâ’;

b. tidak terpelihara dari kesalahan tetapi dapat  dihubungkan kepada  nash, yaitu qiyâs; dan

c. tidak terpelihara dari kesalahan dan tidak pula dihubung- kan kepada  nash, yaitu istidlal.

Nash  dan  ijmâ’  adalah  dalil pokok  sedangkan  qiyâs dan  is- tidlâl adalah  cabang yang mengikut  kepada  nash dan ijmâ’.

Kedua, sesuatu yang diperkirakan dalil sahih, sebenarnya bukan dalil,  yaitu:  syar‘u man  qablanâ,  madzhab shahâbî,  istihsân  dan maslahah mursalah. Dari uraian  di atas, dalil syara’ dapat dikelompokkan pada dua kelompok:

1. Dalil-dalil syara’ yang disepakati, yaitu Qur’an,  sunah,  Ijmâ’,

dan Qiyâs.

2. Dalil-dalil  syara’ yang  tidak  disepakati, yaitu  istihsân,  maslahah mursalah, istishâb, ‘urf, syar‘u man qablanâ, dan mazhab shahâbî.

Al-Qur’an,  sunah, Ijma’, dan Qiyâs disepakati oleh ahlusunah sebagai  dalil  secara  prinsip,  walaupun berbeda  dalam  kadar penggunaannya. Keempatnya mendapat landasan hukum yang kuat dalam Al-Qur’an  dan sunah,  yaitu:

a. Landasan dalam Al-Qur’an adalah  surat an-Nisa’ (4): 59:

Hai  orang-orang  yang  beriman,  taatilah  Allah  dan  taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan  pendapat  tentang  sesuatu,  maka  kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an)  dan Rasul (sunah-Nya)...

Perintah  menaati  Allah berarti  perintah menjalankan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Perintah menaati Rasul berarti perintah mengamalkan apa  yang  disampaikan Rasul  dalam Sunnah-Nya. Perintah  mematuhi  Ulil Amri  berarti  perintah mengamalkan hukum  yang ditemukan berdasarkan ijmâ’. Pe- rintah mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan hukumnya kepada Allah dan Rasul berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan melalui qiyâs.

b. Landasan dalam sunah adalah kisah pembicaraan Nabi dengan Muaz  bin Jabal  sewaktu  ia diutus  oleh Nabi  untuk  menjadi penguasa  di Yaman.  Nabi  berkata, “Bagaimana Anda memu- tuskan  seandainya kepada  Anda dihadapkan suatu perkara?” Muaz  menjawab, “Saya  memutuskan berdasarkan apa  yang terdapat dalam  Al-Qur’an”. Nabi  bertanya lagi, “Seandainya Anda  tidak  menemukan pemecahannya dalam  Al-Qur’an?” Muaz  menjawab, “Saya  memutuskan berdasarkan apa  yang saya temukan dalam  sunah.” Kemudian  Nabi  bertanya lagi, “Seandainya dalam  sunah  pun Anda tidak  menemukan jawa- bannya?” Muaz  menjawab, “Saya mengamalkan ijtihad  den- gan nalar saya dan saya tidak akan berbuat kelengahan.” Atas jawaban   Muaz  tersebut  Nabi  puas  sekali  dan  mengatakan, “Segala pujian untuk  Allah yang telah memberikan taufik ke- pada utusan  Rasul Allah menurut  apa yang direlakannya.”

B. Al-Qur’an sebagai Sumber dan Dalil

1. Pengertian Al-Qur’an

Secara etimologis, Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kata qa-ra-a 

Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.

2. Al-Syaukani mengartikan Al-Qur’an  dengan: “Kalam  Allah yang diturunkan kepada  Nabi  Muhammad SAW., tertulis dalam  mus- haf, dinukilkan secara mutawâtir”.

3. Definisi Al-Qur’an yang dikemukakan Abu Zahrah ialah: “Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad”.

4. Menurut al-Sarkhisi, Al-Qur’an adalah: “Kitab  yang diturunkan kepada  Nabi Muhammad SAW., ditulis dalam mushaf,  diturun- kan dengan  huruf  yang tujuh  yang masyhur  dan dinukilkan secara mutawâtir”.

5. Al-Amidi memberikan definisi Al-Qur’an:  “Al-Kitab  adalah  Al- Qur’an yang diturunkan”.

6. Ibn Subki mendefinisikan Al-Qur’an: “Lafaz yang diturunkan kepada  Nabi Muhammad SAW., mengandung mukjizat  setiap suratnya, yang beribadah membacanya”.

Dengan  menganalisis  unsur-unsur setiap  definisi  di atas  dan membandingkan antara satu definisi dengan  lainnya,  dapat  ditarik suatu rumusan mengenai definisi Al-Qur’an, yaitu: “Lafaz berbahasa Arab  yang  diturunkan kepada  Nabi  Muhammad SAW., yang  di- nukilkan secara mutawâtir”.

Definisi  ini mengandung beberapa unsur  yang  menjelaskan hakikat Al-Qur’an,  yaitu:

1. Al-Qur’an  itu berbentuk lafaz. Ini mengandung arti bahwa  apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam  bentuk  makna  dan  di-lafaz-kan oleh Nabi  dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an. Umpamanya hadis qudsî atau hadis qaulî lainnya. Karenanya tidak ada ulama yang mengharuskan berwudhu jika hendak membacanya.

2. Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab. Ini mengandung arti bahwa Al-Qur’an  yang dialihbahasakan kepada  bahasa  lain atau  yang diibaratkan dengan  bahasa  lain bukanlah Al-Qur’an.  Karenanya shalat yang menggunakan terjemahan Al-Qur’an, tidak sah.

3. Al-Qur’an itu diturunkan kepada  Nabi  Muhammad SAW.. Ini mengandung arti bahwa  wahyu Allah yang disampaikan kepa- da nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut Al-Qur’an. Tetapi apa yang  dihikayatkan dalam  Al-Qur’an tentang  kehidupan dan syariat yang berlaku  bagi umat terdahulu adalah  Al-Qur’an.

4. Al-Qur’an itu dinukilkan secara  mutawâtir. Ini mengandung arti bahwa  ayat-ayat yang tidak  dinukilkan dalam  bentuk  mu- tawâtir  bukanlah Al-Qur’an.  Karenanya  ayat-ayat  syazzah atau  yang tidak  mutawatir penukilannya tidak  dapat  dijadi- kan hujah dalam istinbath  hukum.

Di samping 4 unsur pokok tersebut, ada beberapa unsur sebagai penjelasan tambahan yang ditemukan dalam sebagian dari beberapa definisi Al-Qur’an  di atas, yaitu:

a. Kata-kata “mengandung mukjizat  setiap suratnya”, memberi penjelasan  bahwa  setiap  ayat  Al Qur’an  mengandung daya mukjizat.  Oleh karena itu, hadis qudsî atau tafsiran Al-Qur’an dalam bahasa Arab, bukanlah Al-Qur’an karena tidak mengan- dung daya mukjizat.

b. Kata-kata “beribadah membacanya”, memberi  penjelasan  bah- wa  dengan  membaca  Al-Qur’an  berarti  melakukan suatu  per- buatan ibadah  yang berhak  mendapat pahala.  Karenanya mem- baca  hadis  qudsî  yang tidak  mengandung daya  ibadah  seperti Al-Qur’an,  tidak dapat disebut Al-Qur’an.

c. Kata-kata “tertulis dalam  mushaf” (dalam  definisi  Syaukani dan Sarkhisi), mengandung arti bahwa  apa-apa yang tidak ter- tulis  dalam  mushaf  walaupun wahyu  itu  diturunkan kepada Nabi, umpamanya ayat-ayat yang telah dinasakhkan, tidak lagi disebut Al-Qur’an.

2. Autentisitas Al-Qur’an

Umat  Islam sepakat  bahwa  kumpulan wahyu  Allah yang di- turunkan kepada  Nabi  Muhammad SAW. yang disebut  Al-Qur’an dan yang termuat dalam mushaf, adalah autentik (semuanya adalah betul-betul dari Allah SWT.), dan semua wahyu yang diterima  Nabi

Muhammad SAW. dari Allah melalui Malaikat Jibril telah termuat dalam  al-Qur’an. Keautentikan Al-Qur’an  ini dapat  dibuktikan dari  kehati-hatian para  sahabat Nabi  memeliharanya sebelum  ia dibukukan dan dikumpulkan. Begitu pula kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara  penggandaannya.

Sebelum dibukukan, ayat-ayat Al-Qur’an berada dalam rekaman teliti para  sahabat, baik  melalui  hafalan  yang kuat  dan  setia atau melalui  tulisan  di  tempat  yang  terpisah.  Ia  disampaikan dan disebarluaskan secara  periwayatan oleh orang  banyak  yang tidak mungkin bersekongkol untuk  berdusta. Bentuk periwayatan seperti itu dinamai periwayatan secara mutawâtir yang menghasilkan suatu kebenaran yang tidak  meragukan. Oleh  karena  itu, Al-Qur’an  itu bersifat autentik.

Begitu pula  pada  waktu  pembukuan Al-Qur’an  di masa  Abu Bakar. Pembukuannya dilakukan secara teliti dengan mencocokkan tulisan  yang  ada  dengan  hafalan  para  penghafal,  sehingga  kuat dugaan bahwa semua wahyu telah direkam dalam mushaf. Kemudian hasil pembukuan itu disimpan secara aman di tangan Abu Bakar, lalu pindah ke tangan Umar ibn Khattab dan setelah beliau wafat, pindah ke tangan Hafsah binti ‘Umar (istri Nabi). Terakhir diadakan pentas- hihan pada masa khalifah ‘Usman sehingga menghasilkan satu naskah autentik yang disebut mushaf Imam. Salinan dari naskah (mushaf) itu dikirimkan ke kota-kota besar lain, sedangkan  yang selain dari itu, dibakar. Mushaf Imam yang dijadikan standar itu dijadikan rujukan bagi perbanyakan dan pentashihan berikutnya, sehingga berkembang dalam bentuk aslinya sampai waktu ini. Inilah yang dimaksud Allah SWT. dalam Firman-Nya pada surat al-Hijr (15): 9:

a. Bacaan (Qira‘at) Al-Qur’an

Dari segi pembacaan (qirâ‘at), Al-Qur’an, terdapat perbedaan. Dari hasil penelitian  para ahli, 7 di antara qira‘at yang bekembang itu disepakati ke-mutawâtir-annya. Itulah yang disebut “qira‘at yang tujuh” atau qirâ‘at sab‘ah (

Bentuk lain dari qirâ‘at syâdzdzah itu adalah pengubahan kata, seperti Firman Allah dalam surat al-Maidah (5): 38:

b. Imam  Abu  Hanifah menerima  qirâ‘at syâdzdzah  (yang  tidak mutawatir) sebagai  sumber  dalam  penetapan hukum.  Dalam hal ini ia menetapkan bahwa puasa untuk kafarat sumpah yang tiga hari itu harus  dilakukan secara berturut-turut, sesuai den- gan  bunyi  teks  ayat  dalam  qirâ‘at syâdzdzah;  demikian  pula tangan  pencuri yang harus dipotong adalah  tangan  kanan.

Alasan yang dikemukakan Abu Hanifah adalah  bahwa  qirâ‘at syâdzdzah  meskipun  periwayatannya tidak meyakinkan sebagai ayat Al-Qur’an,  namun  setidaknya  ia sama dengan hadîts ahâd; sedangkan hadîts ahâd dapat dijadikan sumber dalam meng- istinbath-kan hukum.

Perbedaan pendapat ulama tentang qirâ‘at syâdzdzah itu juga ter- jadi dalam  hal boleh atau  tidaknya dibaca  dalam  waktu  shalat. Perbedaan  ini muncul karena  yang disuruh  dibaca dalam  shalat adalah  ayat Al-Qur’an,  sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Muzzammil (73): 20:

1. Imam  Syafi‘i berpendapat bahwa   basmalah itu  merupakan satu  ayat  dari  surat  Al-Qur’an  yang diawali  oleh  basmalah. Alasannya  adalah:

a. hadis Riwayat  Abdul Hamid  dari Ja’far, dari Nuh ibn Abi Jalal, dari Said al-Maqbari, dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad SAW. yang mengatakan bahwa  “alhamdulil- lah”  atau  surat  al-Fatihah (1) terdiri  dari  7 ayat,  satu  di antaranya adalah  basmalah.

b. hadis  yang dikeluarkan oleh Ibnu  Khuzaimah dalam  kitab sahihnya  dari  Umi Salamah  bahwa  Rasul  Allah membaca basmalah pada awal surat al-Fatihah dan surat-surat lainnya.

2. Imam Malik  berpendapat bahwa  basmalah di awal setiap surat bukan merupakan ayat dalam surat Al-Qur’an. Juga bukan salah satu ayat dalam  surat  al-Fatihah atau  surat  lainnya.  Alasannya bahwa  umat  Islam di Madinah tidak  membaca  basmalah pada awal  setiap  surat  dalam  shalat  yang  mereka  lakukan. Praktik demikian  itu sudah  berlaku  semenjak  masa Nabi  sampai  masa Imam  Malik,  padahal dalil  untuk  membaca  al-Fatihah  dalam shalat adalah secara pasti.

Kebiasaan  penduduk Madinah yang tidak  membaca  basmalah dalam  shalat  itu diperkuat dengan  hadis Nabi  yang diriwayat- kan Bukhari dan Muslim dari Anas ibn Malik yang mengatakan; “Saya  shalat  di belakang  Nabi,  juga di belakang  Abu Bakar,

‘Umar dan ‘Utsman; mereka memulai bacaan  al-Fatihah dalam shalat dengan “alhamdulillah”.

3. Imam  Abu  Hanifah   berpendapat bahwa  tertulisnya  basmalah dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa ia bagian dari Al-Qur’an, tetapi tidak menunjukkan bahwa  ia bagian dari surat Al-Qur’an yang didahului oleh basmalah itu. hadis-hadis Nabi yang me- nunjukkan bahwa  tidak  dibacanya  basmalah  itu  secara  keras dalam shalat waktu  membaca al-Fatihah mengisyaratkan bahwa ia bukan  bagian dari surat al-Fatihah. Disebutkannya basmalah dalam Al-Qur’an adalah untuk pemisah antara satu surat dengan surat lainnya. Sebuah hadis Nabi dari Ibnu Abbas yang dikeluar- kan  oleh Abu Daud  dengan  sanad  yang sahih  mengisyaratkan

bahwa  Nabi  tidak  mengetahui tanda  pemisah  antara surat  de- ngan surat lain sampai turunnya basmalah.

Oleh karena yang disuruh dibaca dalam shalat adalah Al-Qur’an seperti tersebut  dalam  ayat di atas,  sedangkan  kedudukan bas- malah  sebagai bagian  dari Al-Qur’an  diperselisihkan, maka  ter- dapat pula perbedaan dalam hal membacanya dalam shalat.

a. Ulama yang mengatakan bahwa  basmalah merupakan ba- gian dari surat Al-Qur’an membolehkan membaca basmalah dalam shalat.

b. Ulama yang mengatakan bahwa basmalah bukan bagian dari Al-Qur’an tidak membolehkan membacanya dalam shalat, baik secara jahar (keras) maupun secara sir (perlahan).

c. Ulama yang mengatakan bahwa basmalah adalah Al-Qur’an tetapi tidak termasuk bagian dari surat membolehkan mem- baca basmalah dalam  shalat  tetapi  hanya  secara sir, tidak boleh di-jahar-kan.

3. Fungsi dan Tujuan Turunnya Al-Qur’an

Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk di- sampaikan kepada umat manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka, khususnya umat Mukminin yang percaya akan kebenarannya. Kemaslahatan itu  dapat  berbentuk mendatangkan manfaat atau keberuntungan, maupun dalam bentuk melepaskan  manusia dari ke- mudaratan atau kecelakaan yang akan menimpanya.

Bila ditelusuri  ayat-ayat yang menjelaskan  fungsi turunnya Al-Qur’an  kepada  umat manusia,  terlihat  dalam  beberapa bentuk ungkapan yang di antaranya adalah:

1. Sebagai hudan (umat ini, tidak kurang dari 15 kali disebutkan dalam Al-Qur’an, umpamanya pada surat Luqman (31): 2-3:

Tá-Sín. (Surat) ini adalah ayat-ayat  Al-Qur’an, dan (ayat-ayat) kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman.

6. Sebagai “tibyân”

7. Sebagai  tafsîl ,  yaitu  memberikan penjelasan  secara rinci  sehingga  dapat  dilaksanakan sesuai  dengan  yang  dike- hendaki  Allah. Umpamanya dalam surat Yusuf  (12): 111:

Al-Qur’an  itu bukanlah  cerita yang dibuat-buat, akan  tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu ...

8. Sebagai Syifâu al-shudûr (kebenaran Rasul, karena  dalam Al-Qur’an terdapat daya mukjizat yang menunjukkan bahwa  pembawa Al-Qur’an  itu adalah  betul- betul seorang Rasul. Al-Qur’an itu bukan ciptaannya sendiri, tetapi ciptaan  Allah,  sedangkan  Rasul  hanya  menyampaikan Firman Allah tersebut. (Uraian tentang mukjizat Al-Qur’an akan dijelaskan tersendiri).

Al-Qur’an merupakan sumber petunjuk bagi kehidupan manusia. Petunjuk Al-Qur’an itu dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk.

Pertama,  petunjuk langsung.  Maksudnya, dalam  Al-Qur’an itu terdapat aturan, ketentuan, dan petunjuk dalam bentuk tuntutan, larangan, atau membiarkan. Di sini terdapat batasan mengenai apa saja yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT., maupun dalam hubungannya dengan sesama ma- nusia dan alam sekitarnya.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa bila manusia mengikuti petunjuk dan  batas-batas yang  telah  ditentukan Allah,  maka  selamatlah kehidupannya di dunia  maupun di akhirat. Tetapi  bila  manusia melampaui ketentuan Allah, baik meninggalkan yang disuruh atau mengerjakan yang dilarang,  akan celakalah hidupnya di dunia dan di akhirat, ia akan memikul dosa dengan pembalasan yang buruk. Allah SWT. Berfirman dalam surat al-Nisa’ (4): 13 dan 14:

(Hukum-hukum tersebut) adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa  taat kepada  Allah  dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai- sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul- Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan Allah, niscaya Allah me- masukkannya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.

Petunjuk  Al-Qur’an  dalam  bentuk  ini menjadi  sumber  pokok dalam perumusan hukum  Islam.

Kedua,  petunjuk yang  tidak  langsung.  Maksudnya, dalam Al-Qur’an  terdapat pokok-pokok dasar  ilmu  pengetahuan yang melingkupi segenap bidang. Pokok dasar ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an  itu memerlukan pengembangan melalui nalar  manusia sehingga menjadi satu ilmu yang sistematis. Melalui penerapan ilmu hasil nalar itu, manusia  akan mendapatkan rahmat dan membukakan matanya untuk menempuh kehidupan di dunia sebagai persiapan bagi kehidupannya di akhirat.

Penjelasan Al-Qur’an tentang  ilmu pengetahuan ada yang ber- bentuk  keterangan tentang  hakikat kejadian  alam dan sekitarnya. Umpamanya Firman Allah dalam surat Ali ‘Imran (3): 190:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang- orang yang berakal.

Di samping  menjelaskan  hakikat sesuatu  yang berbentuk dasar ilmu pengetahuan, Al-Qur’an juga banyak  sekali mendorong manusia untuk berpikir dan memerhatikan serta merenungkan sesuatu kejadian. Umpamanya Firman Allah dalam surat al-Ghasyiyah (88): 17-20:

Maka  apakah  mereka  tidak  memerhatikan unta  bagaimana diciptakan?  Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?  Dan gunung- gunung  bagaimana  ia ditegakkan? Dan  bumi  bagaimana  ia dihamparkan?

Dari hasil penelitian itu, manusia akan dapat memperoleh  ilmu pengetahuan tentang  alam dengan petunjuk ayat-ayat atau tanda- tanda  yang diperlihatkan Allah.

Al-Qur’an  diturunkan Allah  secara  berangsur-angsur dalam waktu yang cukup panjang, hampir sama dengan masa risalah Nabi Muhammad, yaitu selama 22 tahun  2 bulan dan 22 hari. Maksud diturunkannya Al-Qur’an  secara  berangsur-angsur, di antaranya adalah  sebagai  jawaban  terhadap sangkaan  orang  musyrik,  se- bagaimana disebutkan dalam surat al-Furqan (25): 32:

Berkatalah orang-orang yang kafir, “Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun  saja?”Demikianlah, supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).

Ada dua maksud turunnya Al-Qur’an secara berangsur itu, yaitu:

1. Untuk  tatsbît  al fu‘âd (Mula-mula proses  perubahan itu ditujukan terhadap hal-hal yang mudah,  sehingga tidak  begitu sulit bagi umat untuk  me- matuhinya. Setelah umat dapat secara baik melaksanakannya, baru  datang  ayat  berikutnya yang  bersifat  agak  lebih  sulit. Setelah tahap ini berjalan dengan baik, tibalah ayat berikutnya yang menetapkan secara pasti hukum  yang berlaku  untuk  hal tersebut.  Dengan demikian,  hukum dapat  berlaku  dengan lan- car tanpa  menimbulkan gejolak sosial. Seandainya  ketentuan hukum  itu datang  secara tiba-tiba dan  sekaligus,  maka  akan sulit menerapkan hukum  itu, di samping  akan  menimbulkan gejolak sosial di tengah umat.

Contoh dalam  hal ini adalah  penetapan hukum  haramnya me- minum khamar. Mula-mula turun  ayat yang isinya baru sekadar menyatakan bahwa  meminum  khamar itu  berdosa.  Meskipun manfaatnya banyak tetapi kerusakan yang ditimbulkannya lebih banyak lagi. Ini disebutkan dalam surat al-Baqarah (2): 219:

Mereka  bertanya  kepadamu tentang  khamar   dan  judi. Katakanlah, “Pada keduanya itu terdapat  dosa besar dan be- berapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.”

Dengan  turunnya ayat itu, kebiasaan minum  khamar mulai di- tinggalkan  sebagian umat, tetapi belum sempurna dan tidak me- nyeluruh. Bahkan ada juga yang meminumnya di saat mendekati waktu  shalat,  sehingga ia melaksanakan shalat  dalam  keadaan mabuk. Sesudah itu turun ayat yang melarang seseorang melaku- kan shalat sesudah minum khamar dan masih mabuk. Ketentuan itu tertera dalam surat an-Nisa:  (4): 43:

Janganlah kamu  shalat,  sedang kamu  dalam  keadaan  mabuk, sehingga kamu  mengerti apa yang kamu  ucapkan.

Dengan  turunnya ayat  tersebut,  minum  khamar menjadi  sa- ngat terbatas waktunya. Namun karena masih belum tegasnya larangan meminum  khamar itu, maka masih ada yang minum khamar di luar waktu  shalat.  Setelah pelaksanaan hukum  ini berjalan  dengan  baik, baru  turun  ayat Al-Qur’an  yang secara jelas  dan  tegas  melarang   meminum   khamar,  melalui  surat al-Maidah (5): 90:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)  berhala,  mengundi nasib  dengan  panah ,  adalah  perbuatan  keji  termasuk perbuatan  setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu.

Beban hukum dalam Al-Qur’an yang harus dipikul oleh umat itu begitu banyak.  Kalau ayat Al-Qur’an  itu turun  sekaligus secara serentak,  berarti  semua  beban  hukum  itu dalam  waktu  bersa- maan  akan  dipikul  oleh umat  yang masih asing dengan  hukum itu. Oleh karena  itu, kebijaksanaan Allah berlaku  atas umat de- ngan  bertahapnya dalam  menurunkan ayat  Al-Qur’an.  Setelah umat  terbiasa  melakukan suatu  kewajiban baru  disusul dengan kewajiban berikutnya. Dengan demikian,  kewajiban atau beban hukum itu dapat diterapkan terhadap umat tanpa menimbulkan masalah sosial dan keagamaan.

2. Alasan penahapan turunnya ayat Al-Qur’an  itu adalah  dengan tujuan  untuk  adanya  tartîl. Secara harfiah,  tartîl berarti  “mem- baca dengan  baik dan mudah”. Prinsip tartîl  ini adalah  bahwa Al-Qur’an  itu turun  kepada  suatu  kaum  yang pada  umumnya adalah  ummî  atau  tidak  mampu  membaca  dan menulis.  Allah menghendaki ayat-ayat Al-Qur’an  dapat  dihafal  oleh umat  de- ngan baik secara menyeluruh  sehingga autentisitas Al-Qur’an dapat  terjamin.   Untuk  memudahkan umat  dalam  menghafal Al-Qur’an,  Allah menurunkan Al-Qur’an  sedikit  demi sedikit, secara bertahap. Setiap kali ayat Al-Qur’an turun  dalam jumlah

tertentu, maka umat mudah untuk menghafal dan membacanya. Sekiranya ayat yang turun  pada tahap  yang lalu sudah terhafal dengan baik, baru turun  ayat berikutnya, sehingga tamat  dalam masa yang cukup panjang itu. Seandainya semua ayat Al-Qur’an turun  sekaligus, tentu tidak mungkin dapat  dihafal dengan baik mengingat jumlah ayat Al-Qur’an itu begitu banyak.

Ayat-ayat al-Qur’an—terutama yang termasuk ayat-ayat hukum-biasanya diturunkan Allah sebagai jawaban  atas masalah atau ka- sus yang terjadi dalam masyarakat. Masalah itu tentu tidak seren- tak munculnya. Karenanya tidak  mungkin  ayat hukum  itu akan turun sekaligus.

Tahap turunnya Al-Qur’an itu dibagi ke dalam dua tahap atau periode,  yaitu:

a. Periode sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Ayat-ayat  yang turun  dalam tahap  ini disebut Makiyah ).

Ayat Al-Qur’an yang turun dalam periode pertama ini lebih diarahkan kepada pembentukan ‘aqidah dan moral Islam. Ayat-ayat  hukum  belum banyak  turun  dalam periode ini.

b. Periode sesudah  Nabi  hijrah  ke Madinah. Ayat-ayat  yang diturunkan dalam periode ini disebut Madaniyah.

Ayat Al-Qur’an yang diturunkan dalam tahap  ini lebih di- arahkan pada pembentukan masyarakat Islam, di samping pemantapan akidah.  Pada periode  ini lebih banyak  turun ayat-ayat hukum,  terutama yang menyangkut mu‘âmalah dalam arti luas.

4. Mukjizat Al-Qur’an

Dalam  uraian  tentang  definisi Al-Qur’an  disebutkan bahwa  sa- lah satu kriteria,  yaitu “mengandung daya mukjizat  setiap surat dan ayatnya”.

Secara  etimologis  (lughawî),  “mukjizat” berarti  sesuatu  yang dapat melemahkan, sehingga orang lain tidak dapat berbuat yang sama atau melebihi. Setiap Rasul yang diutus untuk  menyampaikan risalah mempunyai  mukjizat.  Hal  ini berarti  ia mempunyai  satu  daya  atau kekuatan yang dapat melemahkan kekuatan lain sehingga tidak ada yangmampu berbuat hal yang sama atau melebihinya. Dengan demikian, di mata umatnya, Rasul itu dianggap mempunyai  keluarbiasaan.

Mukjizat bagi seorang Rasul merupakan salah satu identitas dari kerasulannya. Identitas  kerasulan itu berbeda  antara seorang  Rasul dengan Rasul lainnya. Mukjizat biasanya diberikan Allah dalam bentuk sesuatu yang umum berlaku pada masanya dan Rasul memunculkan keluarbiasaannya.

Pada  masa  Nabi  Musa,  berkembang ilmu sihir dan  sering di- jadikan  sebagai salah satu alat kompetisi,  seperti tali menjadi  ular. Nabi Musa tampil dengan mukjizat dengan kemampuan mengubah tongkat menjadi ular yang mampu mengalahkan ular-ular hasil sihir umat Nabi Musa pada masa itu. Pada masa Nabi Isa, berkembang ilmu pedukunan dan  pengobatan, namun  ada  saja penyakit  yang tidak  dapat  disembuhkan oleh  tabib  dan  dukun  pada  masa  itu, seperti penyakit buta dan sopak. Nabi Isa tampil dengan kemampuan mengobati  penyakit buta dan sopak itu dengan izin Allah, sehingga di mata orang banyak, Nabi Isa mempunyai keunggulan yang dapat melemahkan kemampuan semua orang pada masa itu.

Pada masa Nabi  Muhammad diutus,  orang-orang berbangga dengan kemampuan bersyair dengan keindahan bahasa yang selalu dikompetisikan secara  berkala.  Nabi  Muhammad tampil  dengan Al-Qur’an  yang  keindahan bahasanya tidak  dapat  ditandingi sastrawan masa itu.

Mukjizat Nabi  Muhammad yang terbesar  adalah  Al-Qur’an. Mukjizatnya berbeda dari mukjizat rasul-rasul sebelumnya yang rata- rata bersifat fisik yang dapat disaksikan dengan mata. Mukjizat Nabi Muhammad bersifat maknawi, tidak dapat dilihat keistimewaannya dengan mata, tetapi dapat  dirasakan. Karena itu, mukjizatnya akan tetap  berlaku  sepanjang  masa,  meskipun  Nabi  yang memilikinya sudah tidak ada. Hal ini sesuai dengan kedudukan Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir.

Mukjizat Al-Qur’an  tidak  terdapat pada  lembaran  fisiknya, tetapi  dalam  bahasa  dan  maksud  yang terkandung di dalamnya. Ia mempunyai  keluarbiasaan yang  secara  akal  tidak  mungkin dihasilkan sendiri  oleh Nabi  Muhammad. Hal  itu menunjukkan bahwa  Al-Qur’an  itu seluruhnya memang berasal dari Allah SWT. Bentuk  kemukjizatan Al-Qur’an  dapat  dirangkum dalam  hal-hal sebagai berikut:

1. Dari segi keindahan bahasa.

Al-Qur’an  mempunyai  keindahan bahasa  yang  tidak  mung- kin  ditandingi ahli  bahasa   Arab  mana  pun.  Hal  ini  sudah mendapat pengakuan umum  dari orang  yang mengerti  dzauq (rasa)  bahasa  Arab.  Keindahan itu  terdapat dalam  penggu- naan kata,  susunan  kata,  dan kalimat;  ungkapan, dan hubun- gan antara satu ungkapan dengan lainnya.  Allah SWT. dalam surat  al-Baqarah (2): 23 menantang orang-orang yang mera- gukan  kebenaran Al-Qur’an   untuk   menandinginya  dengan cara mendatangkan yang sejenis ayat Al-Qur’an:

yang hidup pada masa para nabi itu. Al-Qur’an bercerita tentang Ashhabul Kahfi dan tentang  Zulqarnain yang diakui kebenaran- nya oleh ahli sejarah  dan ulama  ahli kitab,  padahal Nabi  send- iri tidak  pernah  belajar  dari  ulama  ahli kitab  mana  pun,  tidak pernah bergaul dengan mereka, juga tidak mampu membaca peninggalan tertulis dari agama-agama sebelumnya.  Hal ini dit- erangkan Allah dalam surat al-Ankabut: (29): 48:

Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu  kitab  pun  dan  kamu  tidak  (pernah)  menulis  suatu kitab  dengan  tangan  kananmu; andaikata  (kamu  pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkari(mu).

3. Dari  segi pemberitaan Al-Qur’an  tentang  hal-hal  yang akan terjadi  dan  ternyata memang  kemudian terjadi.  Umpamanya berita  tentang  kekalahan Persia oleh Romawi,  sesudah  keka- lahan  Romawi   sebagaimana disebutkan  Allah  dalam  surat ar-Rum  (30): 2-4:

Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang.

Allah SWT. menyebutkan nama-nama tempat  yang belum ada pada waktu  ayat itu turun,  kemudian di belakang hari ternyata memang ada, seperti tentang Masjidilharam dan Masjidilaqsha, yang diterangkan dalam surat al-Isra (17): 1:

Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dan Masjidilharam  ke Masjidilaqsha.

4. Dari segi kandungannya akan hakikat kejadian  alam dengan seisinya serta hubungan antara satu dengan lainnya. Pemberitaan seperti ini merupakan hal-hal yang luar biasa yang kemudian ter- ungkap kebenarannya melalui penggalian ilmu pengetahuan dan teknologi.  Umpamanya tentang  proses  kejadian  manusia  yang diungkapkan Allah dalam surat al-Mukminun (23): 12-14:

Dan  sesungguhnya  Kami  telah  menciptakan manusia  dari sari pati  (herasal) dari tanah.  Kemudian Kami  jadikan  sari pati air itu mani  (yang disimpan)  dalam  tempat  yang kukuh (rahim). Kemudian  air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal  darah itu kami  jadikan  segumpal  daging, dan segumpal  daging itu  Kami  jadikan  tulang  belulang  dan  lalu tulang  belulang itu kami  bungkus  dengan  daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha- suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.

5. Dari segi kandungannya mengenai pedoman hidup yang menun- tun manusia mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhi- rat; tentang  halal dan haram, tentang  salah dan benar,  tentang buruk  dan baik; tentang  yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dan tentang  etika pergaulan.

Demikianlah hal-hal pokok  yang terdapat dalam Al-Qur’an yang menjadikannya luar biasa.  Kemukjizatannya itu tampak dengan nyata, karena hal-hal luar biasa yang terkadung dalam Al-Qur’an itu muncul  dari  seorang  manusia  biasa  yang tidak  pernah  bela- jar  ilmu  pengetahuan dan  sejarah;  tidak  pernah  hidup  dalam

lingkungan keilmuan  yang ada  kemungkinan menularkan ilmu kepadanya; bahkan tidak  pandai  menulis  dan  membaca.  Hal itu  menunjukkan bahwa  Al-Qur’an  bukan  hasil  karya  Nabi Muhammad SAW.. Tidak  mungkin  ia  mampu  menghasilkan karya agung yang bernama Qur’an  itu. Mengenai hal ini, Allah SWT. berfirman dalam surat Yunus (10): 15:

Dan  apabila dibacakan  kepada  mereka  ayat-ayat  Kami yang nyata,  orang-orang  yang  tidak  mengharapkan pertemuan dengan  Kami  berkata.  “Datangkanlah Al-Qur’an  yang  lain dari ini atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak  diriku  sendiri. Aku  tidak  mengikut kecuali  apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya  aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”

5. Ibarat Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum

Al-Qur’an bukanlah kitab undang-undang yang menggunakan ibarat tertentu dalam menjelaskan hukum. Al-Qur’an adalah sumber hidayah yang di dalamnya terkandung norma dan kaidah yang dapat diformulasikan dalam bentuk  hukum  dan undang  undang.

Dalam menjelaskan hukum, Al-Qur’an menggunakan beberapa cara dan ibarat, yaitu dalam bentuk  tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut  suruhan atau  perintah, atau  tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.

Suruhan atau perintah menunjukkan keharusan untuk berbuat seperti keharusan melaksanakan shalat dengan perintah Allah dalam surat an-Nisa’ (4): 77:

Larangan menunjukkan keharusan meninggalkan perbuatan yang dilarang,  seperti larangan membunuh dalam Firman Allah:

Keharusan  meninggalkan suatu  perbuatan, Al-Qur’an  sering menggunakan kata  “harrama” (     ). Umpamanya tidak  bolehnya seseorang kawin dengan ibu, anak,  dan saudaranya dikemukakan dengan ungkapan:

Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab  (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok pokok isi Al-Qur’an  dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.

1. Ayat muhkâm adalah  ayat yang jelas maknanya, tersingkap  secara terang,  sehingga menghindarkan keraguan dalam mengar- tikannya dan  menghilangkan adanya  beberapa kemungkinan pemahaman.

2. Ayat mutasyâbih adalah  kebalikan dari yang muhkam, yaitu ayat yang tidak  pasti arti dan maknanya, sehingga dapat  dipa- hami dengan beberapa kemungkinan.

Ada  beberapa kemungkinan pemahaman itu dapat  disebabkan oleh dua hal:

a. Lafaz itu dapat digunakan untuk dua maksud dengan pema- haman  yang sama.  Umpamanya kata  quru’  (“Allah bersemayam” diartikan “Allah berkuasa”. Sedangkan ulama yang  tidak  mau  menggunakan takwil,  tetap  mengartikan ayat mutasyâbihât itu menurut  apa adanya.

Dari  segi penjelasannya terhadap hukum,  ada  beberapa cara yang digunakan Al-Qur’an,  yaitu:

1. Secara Juz’i (terperinci).  Maksudnya, Al-Qur’an menjelaskan  se- cara terperinci.  Allah dalam  Al-Qur’an  memberikan penjelasan secara lengkap,  sehingga dapat  dilaksanakan menurut  apa ada- nya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan sunah-Nya. Umpa- manya  ayat-ayat tentang  kewarisan yang terdapat dalam  surat an-Nisa’ (4): 11 dan 12. Tentang  sanksi terhadap kejahatan zina dalam surat al-Nur (24): 4. Penjelasan yang terperinci dalam ayat seperti di atas, sudah  terang maksudnya dan tidak  memberikan peluang adanya kemungkinan pemahaman lain. Dari segi kejelas- an artinya, ayat tersebut termasuk  ayat muhkamât.

2. Secara Kullî (global). Maksudnya, penjelasan  Al-Qur’an  terha- dap hukum berlaku secara garis besar, sehingga masih memerlu- kan penjelasan  dalam pelaksanaannya. Yang paling berwenang memberikan penjelasan  terhadap maksud  ayat yang berbentuk garis  besar  itu  adalah  Nabi  Muhammad dengan  sunah-Nya. Penjelasan  dari Nabi  sendiri di antaranya ada yang berbentuk pasti sehingga tidak  memberikan kemungkinan adanya  pema- haman  lain. Di samping  itu, ada  pula  penjelasan  Nabi  dalam bentuk  yang masih samar dan memberikan kemungkinan ada- nya beberapa pemahaman.

3. Secara Isyarah. Al-Qur’an  memberikan penjelasan  terhadap apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelas- an secara  ibarat. Di samping  itu,  juga memberikan pengertian secara isyarat kepada  maksud  lain. Dengan  demikian,  satu ayat Al-Qur’an  dapat   memberikan beberapa  maksud.   Umpamanya Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 233:

Ayat tersebut,  mengandung arti adanya  kewajiban suami un- tuk memberi belanja dan pakaian bagi istrinya. Tetapi di balik pengertian  itu, mujtahid menangkap isyarat  adanya  kemung- kinan maksud lain yang terkandung dalam ayat tersebut, yaitu bahwa  “nasab seorang anak dihubungkan kepada  ayahnya”.

Ayat Al-Qur’an  dalam  bentuk  yang muhkam dengan  penjelas- an yang lengkap, penunjukannya terhadap hukum adalah  pasti (qath‘î dilâlah). Dalam ayat itu tidak mungkin ada maksud lain dan  tidak  mungkin  pula  ditanggapi  dengan  tanggapan yang berbeda.  Hukum  yang ditunjuk  secara pasti ini berlaku  secara universal dan tidak akan mengalami perubahan walaupun wak- tu dan tempatnya sudah berubah.

Penunjukan yang pasti,  ini pada  umumnya berlaku  dalam  bi- dang ‘akidah (seperti keesaan Allah), dan mengenai ibadah-iba- dah pokok  (seperti keharusan melakukan shalat),  serta dalam masalah  norma  yang tidak akan mengalami  perubahan (seperti keharusan berbuat baik kepada  ibu dan bapak).

Ayat Al-Qur’an  yang disampaikan secara mutasyâbih, dalam bentuk penjelasan yang bersifat garis besar dan ayat-ayat yang mengandung isyarat, penunjukannya terhadap hukum bersifat zhanni  (tidak  meyakinkan); karenanya dapat  dipahami  den- gan beberapa kemungkinan pemahaman. Perbedaan  pemaha- man itu akan menghasilkan versi hukum  yang berbeda-beda.

Ayat Al-Qur’an  yang penjelasannya bersifat  zhannî  ini umum- nya  berlaku   dalam  bidang  mu‘amalah  dalam  arti  luas  yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidup- an  masyarakat. Karena  kehidupan masyarakat itu  senantiasa berkembang, maka  penerapan hukumnya pun akan  mengalami perubahan. Dalam bidang inilah berlaku ungkapan: “Perubahan hukum  itu berdasarkan perubahan waktu  dan tempat.” Juga berlaku  reformulasi hukum  bila keadaan menghendaki. Umpa- manya mengenai poligami yang dalam suatu waktu  dan tempat dinyatakan boleh,  tetapi  pada  waktu  dan  tempat  lain dapat  di nyatakan tidak boleh (dilarang).

7. Hukum yang Terkandung dalam Al-Qur’an

Sesuai dengan definisi hukum syara’ sebagaimana telah dijelaskan, hanya  sebagian  kecil dari  ayat-ayat Al-Qur’an  yang mengandung hukum,   yaitu  yang  menyangkut perbuatan  mukalaf   dalam bentuk  tuntutan, pilihan  berbuat, dan  ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut  mengatur kehidupan manusia,  baik dalam hubungannya dengan Allah SWT. maupun dalam hubungannya dengan manusia  dan alam sekitarnya.

Secara garis besar hukum-hukum dalam Al-Qur’an dapat dibagi tiga macam:

Pertama, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia de- ngan Allah SWT. mengenai  apa-apa yang harus  diyakini  dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan  Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang  menyangkut keyakinan ini disebut  hukum  i’tiqâdiyah  yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau “Ushuluddin”.

Kedua,  hukum-hukum yang  mengatur hubungan pergaulan manusia  mengenai  sifat-sifat  baik  yang  harus  dimiliki  dan  sifat- sifat buruk  yang harus  dijauhi  dalam  kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.

Ketiga, hukum-hukum yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT., dalam hubungan dengan sesama manusia,  dan dalam bentuk  apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari‘ah”.

Hukum  amaliyah tersebut,  secara garis besar terbagi dua:

1. Hukum   yang  mengatur tingkah   laku  dan  perbuatan lahiri- ah  manusia  dalam  hubungannya dengan  Allah SWT., seperti shalat,  puasa,  zakat,  dan haji. Hukum  ini disebut  hukum  ‘iba- dah dalam arti khusus.

2. Hukum-hukum yang mengatur tingkah  laku lahiriah  manusia dalam  hubungannya dengan  manusia   atau  alam  sekitarnya, seperti jual beli, kawin, pembunuhan, dan lainnya. Hukum-hu- kum ini disebut hukum  mu‘âmalah dalam arti umum.

Bentuk  hukum  yang pertama disebut  “ibadah  dalam  arti khu- sus” karena  mu’amalah pun sebenarnya termasuk  ke dalam per- buatan ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Sedangkan bentuk hukum yang kedua disebut “mu‘âmalah dalam arti umum”, karena  mencakup  semua bentuk  pergaulan manusia  dalam kehidupan bermasyarakat.

Dilihat dari segi pemberlakuannya bagi hubungan sesama manu- sia, bentuk hukum mu‘amalah itu ada beberapa macam, yaitu:

a. Hukum  yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang menyangkut kebutuhannya akan harta bagi keperluan hidupnya. Bentuk hukum  ini disebut  “hukum mu’amalat dalam arti khusus”. Contohnya seperti: jual beli, sewa me- nyewa, pinjam-meminjam dan lainnya.

b. Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan kebutuhannya akan penyaluran nafsu syah- wat secara sah dan yang berkaitan dengan itu. Bentuk hukum ini disebut “hukum munakahat”. Contohnya, seperti: kawin, cerai, rujuk, dan pengasuhan atas anak yang dilahirkan.

c. Hukum  yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang menyangkut perpindahan harta  yang tersebab  oleh karena adanya kematian. Bentuk hukum ini disebut hukum “mawarits” dan “wasiat”.

d. Hukum  yang mengatur hubungan antara manusia  dengan manusia  lainnya yang berkaitan dengan usaha pencegahan terjadinya kejahatan atas harta,  maupun kejahatan penya- luran nafsu syahwat atau menyangkut kejahatan dan sanksi bagi pelanggarnya. Bentuk hukum ini disebut hukum jinayah atau pidana.  Contohnya, seperti: pencurian, pembunuhan, perzinahan, dan lainnya.

e. Hukum  yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan  usaha  penyelesaian  akibat  tindak kejahatan di pengadilan. Bentuk hukum ini disebut hukum “murafa‘at” atau hukum  “qadha’”, disebut juga “hukum acara”. Contohnya, seperti: kesaksian,  gugatan,  dan pem- buktian di pengadilan.

f. Hukum  yang mengatur hubungan antara manusia  dengan manusia  lain  yang  berkaitan dengan  kehidupan berma- syarakat  dan bernegara disebut hukum dusturiyah. Umpa- manya tentang  ulil amri, khalifah,  baitul mal, disebut juga hukum  tata negara.

g. Hukum  yang mengatur hubungan manusia  dengan sesamanya dalam suatu negara dengan manusia di negara lain, dalam keadaan damai dan keadaan perang. Bentuk hukum ini disebut “hukum an- tarnegara” atau “hukum dualiyah”, disebut juga dengan “hukum internasional”. Contohnya, seperti tentang  tawanan, ekstradisi, perjanjian, pampasan perang, dan lainnya.

Demikianlah di antara bentuk-bentuk hukum yang terkandung dalam  Al-Qur’an.  Dengan  demikian,  jelas bahwa  Al-Qur’an  itu mengandung dasar-dasar hukum  dari  semua  bentuk  hukum  yang berkembang di dunia. Sebagian dari hukum itu penjelasannya sudah jelas dan diterangkan secara terperinci  dalam  ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagian lainnya diterangkan dalam Al-Qur’an tetapi secara umum dan dalam bentuk garis besarnya, sehingga memerlukan akal (nalar) manusia  untuk  merumuskannya dengan bahasa  hukum.

8. Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Fiqh

Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah ten- tang tingkah  laku manusia  mukalaf,  maka  dapat  dikatakan bahwa pembuat hukum  (law giver) adalah  Allah SWT.. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam  kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Qur’an. Dengan  demikian,  ditetapkan bahwa  Al-Qur’an  itu sumber  utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Qur’an itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk  menemukan hu- kum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.

Karena  kedudukan Al-Qur’an  itu  sebagai  sumber  utama  dan pertama bagi penetapan hukum,  maka  bila seseorang  ingin mene- mukan  hukum  untuk  suatu kejadian,  tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawaban penyelesaiannya dari Al-Qur’an. Selama hukumnya dapat  diselesaikan  dengan  Al-Qur’an,  maka  ia tidak boleh mencari jawaban  lain di luar Al-Qur’an.

Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber utama atau pokok hukum Islam, berarti Al-Qur’an itu menjadi sumber dari  segala  sumber  hukum.  Karena  itu,  jika  akan  menggunakan sumber  hukum  lain di luar  Al-Qur’an,  maka  harus  sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an  dan tidak  boleh melakukan sesuatu  yang ber- tentangan dengan Al-Qur’an.  Hal ini berarti bahwa sumber-sumber hukum  selain Al-Qur’an  tidak  boleh menyalahi  apa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an.

Kekuatan hujah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum fiqh terkandung dalam  ayat Al-Qur’an  yang menyuruh umat  manusia mematuhi Allah.  Hal  ini  disebutkan lebih  dari  30  kali  dalam Al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah itu berarti perintah mengikuti apa-apa yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an.


0 Comment