13 Desember 2022

 


PENGERTIAN, ARAH DAN TUJUAN DAKWAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ISLAM


A.     Pendahuluan

Sejarah sosial umat Islam lahir, tumbuh dan berkembang tidak bisa dipisahkan dengan riwayat jatuh bangunnya proses sosial umat Islam dalam berdakwah, secara teologis dakwah dianggap (mission sacre) proyek berpahala dan kedudukan dakwah itu sendiri bersifat conditio sine quanon adanya, tidak tercegah dan inheren. Tentang kenyataan ini harus diakui benar bahwa Nabi Muhammad SAW mengatakan dalam pesannya “Sampaikan apa yang kamu terima dariku meski satu ayat” karenanya wajar dalam pentas sejarah pendekatan kerja dakwah terus terlahir, baik yang bersifat teknis operasional maupun yang konseptual, tentu saja tidak bisa dilepas dengan konteks sosial, realitas yang spesifik, dakwah bersifat dinamis seiring dengan perkembangan laju persoalan dan kebutuhan masyarakat.

Masyarakat dalam kehidupan selalu mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan yang alami maupun yang dirancang oleh masyarakat itu sendiri. Perubahan itu tidak selalu lebih baik bahkan sering terjadi sebaliknya. Manusia akan mengalami krisis identitas dirinya sebagai makhluk yang mulia disisi Allah maupun bagi sesamanya. Karena itu dakwah juga mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan transformasi sosial yang berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

B.    Pengertian Dakwah

Secara etimologis, kata “dakwah” berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti: panggilan, ajakan, dan seruan. Sedangkan dalam ilmu tata bahasa Arab, kata dakwah adalah bentuk dari isim masdar yang berasal dari kata kerja : Ø¯Ø¹Ø§, يدعو, دعوة     artinya : menyeru, memanggil, mengajak.

Dalam pengertian yang integralistik dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara bertahap menuju perikehidupan yang Islami. oleh karenanya perlu memperhatikan unsur penting dalam berdakwah sehingga dakwah menghasilkan perubahan sikap bagi mad'u. Sedangkan ditinjau dari segi terminologi, banyak sekali perbedaan pendapat tentang definisi dakwah di kalangan para ahli, antara lain:

Menurut A. Hasmy dakwah yaitu mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan akidah dan syariat Islam yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah itu sendiri.[1]

Menurut Amrullah Ahmad .ed., dakwah Islam merupakan aktualisasi, Imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak manusia pada tataran kegiatan individual dan sosio kultural dalam rangka mengesahkan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan cara tertentu.[2]

Menurut Amin Rais, dakwah adalah gerakan simultan dalam berbagai bidang kehidupan untuk mengubah status quo agar nilai-nilai Islam memperoleh kesempatan untuk tumbuh subur demi kebahagiaan seluruh umat manusia.[3]

Menurut Farid Ma’ruf Noor, dakwah merupakan suatu perjuangan hidup untuk menegakkan dan menjunjung tinggi undang-undang Ilahi dalam seluruh aspek kehidupan manusia dan masyarakat sehingga ajaran Islam menjadi shibghah yang mendasari, menjiwai, dan mewarnai seluruh sikap dan tingkah laku dalam hidup dan kehidupannya.[4]

Menurut Abu Bakar Atjeh, dakwah adalah seruan kepada semua manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar, yang dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan nasehat yang baik.[5]

Menurut Toha Yahya Umar, dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana ke jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat.[6]

Dari beberapa definisi tersebut paling tidak dapat diambil kesimpulan tentang dakwah:

1.  Dakwah itu adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar dan terencana.

2.  Usaha dakwah  itu adalah  untuk memperbaiki situasi yang lebih baik dengan mengajak manusia untuk selalu ke jalan Allah SWT.

3.  Proses penyelenggaraan itu adalah untuk mencapai tujuan yang  bahagia dan sejahtera, baik di dunia maupun akhirat.

Dalam kaitannya dengan makna dakwah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara seksama, agar dakwah dapat dilaksanakan dengan baik.

Pertama, dakwah sering disalah artikan sebagai pesan yang datang dari luar. Pemahaman ini akan membawa konsekuensi kesalah langkah-an dakwah, baik dalam formulasi pendekatan atau metodologis, maupun formulasi pesan dakwahnya. Karena dakwah dianggap dari luar, maka langkah pendekatan lebih diwarnai dengan pendekatan interventif, dan para dai lebih mendudukkan diri sebagai orang asing, tidak terkait dengan apa yang dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Kedua, dakwah sering diartikan menjadi sekadar ceramah dalam arti sempit. Kesalahan ini sebenarnya sudah sering diungkapkan, akan tetapi dalam pelaksanaannya tetap saja terjadi penciutan makna, sehingga orientasi dakwah sering pada hal-hal yang bersifat rohani saja. Istilah “dakwah pembangunan” adalah contoh yang menggambarkan seolah-olah ada dakwah yang tidak membangun atau dalam makna lain, dakwah yang pesan-pesannya penuh dengan tipuan sponsor.

Ketiga, masyarakat yang dijadikan sasaran dakwah sering dianggap masyarakat yang vacum ataupun steril, padahal dakwah sekarang ini berhadapan dengan satu setting masyarakat dengan beragam corak dan keadaannya, dengan berbagai persoalannya, masyarakat yang serba nilai dan majemuk dalam tata kehidupannya, masyarakat yang berubah dengan cepatnya, yang mengarah pada masyarakat fungsional, masyarakat teknologis, masyarakat saintifik dan masyarakat terbuka.

Keempat, Sudah menjadi tugas manusia untuk menyampaikan saja (al-Ghaasyiah: 21-22), sedangkan masalah hasil akhir dari kegiatan dakwah diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Allah sajalah yang mampu memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada manusia, Rasulullah SAW sendiripun tidak mampu memberikan hidayahnya kepada orang yang dicintainya (al-Qashash: 56). Akan tetapi, sikap ini tidaklah berarti menafikan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dari kegiatan dakwah yang dilakukan. Dakwah, jika ingin berhasil dengan baik, haruslah memenuhi prinsip-prinsip manajerial yang terarah dan terpadu, dan inilah mungkin salah satu maksud hadis Nabi, “Sesungguhnya Allah sangat mencintai jika salah seorang di antara kamu beramal, amalnya itu dituntaskan.” (HR Thabrani). Karena itu, sudah tidak pada tempatnya lagi kalau kita tetap mempertahankan kegiatan dakwah yang asal-asalan.

Kelima, secara konseptual Allah SWT akan menjamin kemenangan hak para pendakwah, karena yang hak jelas akan mengalahkan yang bathil (al-Isra’:81). Akan tetapi, sering dilupakan bahwa untuk berlakunya sunatullah yang lain, yaitu kesungguhan (ar-Ra’d: 11). Hal ini berkaitan dengan erat dengan cara bagaimana dakwah tersebut dilakukan, yaitu dengan al-Hikmah, mau’idzatil hasanan, dan mujadalah billatii hiya ahsan (an-Nahl: 125).

Berbicara tentang dakwah adalah berbicara tentang komunikasi, karena komunikasi adalah kegiatan informatif, yakni agar orang lain mengerti, mengetahui dan kegiatan persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan suatu faham atau keyakinan, melakukan suatu kegiatan atau perbuatan dan lain-lain. Keduanya (dakwah dan komunikasi) merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan.

Dakwah adalah komunikasi, akan tetapi komunikasi belum tentu dakwah, adapun yang membedakannya adalah terletak pada isi dan orientasi pada kegiatan dakwah dan kegiatan komunikasi. Pada komunikasi, isi pesannya umum bisa juga berupa ajaran agama, sementara orientasi pesannya adalah pada pencapaian tujuan dari komunikasi itu sendiri, yaitu munculnya efek dan hasil yang berupa perubahan pada sasaran. Sedangkan pada dakwah isi pesannya jelas berupa ajaran Islam dan orientasinya adalah penggunaan metode yang benar menurut ukuran Islam. Dakwah merupakan komunikasi ajaran-ajaran Islam dari seorang da’i kepada ummat manusia dikarenakan didalamnya terjadi proses komunikasi

 

 

C.    Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Islam

Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris “empowerment” yang secara harfiah bisa diartikan sebagai “pemberkuasaan”, dalam arti pemberian atau peningkatan “kekuasaan” (power) kepada masyarakat yang tidak beruntung.

Sekilas, makna pemberdayaan memiliki makna luas dari beberapa sudut pandang. Agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat.

Robinson menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak.[7]Sedangkan Ife mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya.[8]

Payne menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan.[9] Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.

Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat untuk berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi, dan mengendalikan kelembagaan masyarakat secara bertanggung jawab demi perbaikan kehidupannya. Pemberdayaan juga diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau kekuatan (strength) kepada masyarakat.

Secara etimologis pengembangan berarti membina dan meningkatkan kualitas, dan masyarakat Islam berarti kumpulan manusia yang beragama Islam yang memilih hubungan dan keterkaitan ideologis satu dengan yang lainnya. Manusia memiliki fitrah keagamaan, sehingga manusia membutuhkan agama. Kelahiran Islam, yang ditandai dengan lahirnya Nabi Muhammad SAW pada tahun gajah tanggal 12 Rabiul awal, atau tahun 570 M, adalah sebuah momen penting dalam sejarah Islam. Karena dari sinilah dimulai perjalanan panjang pengembangan masyarakat Islam yang menyatu dalam dakwah syi'ar Islam di jazirah arab.

Pengembangan masyarakat (community development) merupakan wawasan dasar bersistem tentang asumsi perubahan sosial terancang yang tepat dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan teori dasar pengembangan masyarakat yang menonjol pada saat ini adalah teori ekologi dan teori Sumber daya manusia. Teori ekologik mengemukakan tentang “batas pertumbuhan”. Untuk sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui perlu dikendalikan pertumbuhannya. Teori ekologik menyarankan  kebijaksanaan  pertumbuhan diarahkan sedemikian rupa sehingga dapat membekukan proses pertumbuhan (zero growth) untuk produksi dan penduduk.

Sering dikatakan bahwa pengembangan masyarakat Islam adalah wujud dari dakwah bil Hal. Tokoh Amrullah Ahmad, Nanih Machendrawati, dan Agus Ahmad mendefinisikan  bahwa pengembangan masyarakat Isam adalah suatu sistem tindakan nyata yang menawarkan alternatif model pemecahan masalah ummah dalam bidang sosial, ekonomi, dan lingkung-an dalam perspektif Islam. Menstransformasikan dan melembagakan semua segi ajaran Islam dalam kehidupan keluarga (usrah) kelompok sosial (jamaah), dan masyarakat (ummah). Model empiris pengembangan perilaku individual dan kolektif dalam dimensi amal sholeh (karya terbaik), dengan titik tekan pada pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

Tim Islamic Community Development Model dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN pernah juga merumuskan definisi untuk model pengembangan masyarakat Islam, terdiri dari unsur-unsur:

1     Mengutamakan perilaku pengembangan atau pemberdayaan masyarakat yang beragama Islam atau organisasi yang berasaskan Islam.

2     Mengutamakan pemberdayaan umat Islam yang tertinggal dalam segala hal.

3     Mengutamakan penggunaan dana yang bersumber dari dana filantropi Islam seperti Zakat Mall, Zakat Fitrah, Infak atau Sodaqoh.

4     Pendekatan pemberdayaan menggunakan pendekatan ke-Islaman.

5     Filantropi Islam jika dijadikan sebagai bantuan modal sebaiknya menggunakan sistem bagi hasil.

6     Pendamping atau agen perubah diutamakan yang beragama Islam dan

7     Melibatkan institusi mitra lokal yang berasaskan Islam.

Pranarka dan Vidhyandika menjelaskan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecendrungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagai kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kedua, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, hal tersebut dikarenakan belum ada definisi yang tegas mengenai konsep pemberdayaan. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. 

Pertama akan kita pahami pengertian tentang pemberdayaan. Menurut Sulistiyani secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan.[10] Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses pemberian daya (kekuatan/kemampuan) kepada pihak yang belum berdaya. Kedua pengertian tentang masyarakat, menurut Soetomo masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling berinteraksi secara kontinyu, sehingga terdapat relasi sosial yang terpola, terorganisasi.[11]

Menurut Sunyoto Usman, pemberdayaan masyarakat adalah sebuah proses dalam bingkai usaha memperkuat apa yang lazim disebut community self-reliance atau kemandirian. Dalam proses ini masyarakat didampingi untuk membuat analisis masalah yang dihadapi, dibantu untuk menemukan alternatif masalah tersebut, serta diperlihatkan strategi memanfaatkan berbagai resources yang dimiliki dan dikuasai. Dalam proses itu masyarakat dibantu bagaimana merancang sebuah kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, bagaimana mengimplementasikan rancangan tersebut, serta bagaimana membangun strategi memperoleh sumber-sumber eksternal yang dibutuhkan sehingga memperoleh hasil optimal.[12]

Sedangkan menurut Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat islam adalah usaha untuk membina dan mengembangkan masyarakat Islam dalam aspek social engencering dan kesejahteraan sosial melalui pengkajian, penelitian, dan rekayasa sosial untuk mewujudkan sumber daya manusia yang bermutu dan berkualitas. Pengembangan diri dan masyarakat menjadi agent perubahan sosial dan kesejahteraan dalam sosial pembangunan masyarakat Islam.

Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan dan memampukan masyarakat.[13]

Kedua definisi tersebut bila digabungkan dapat dipahami makna pemberdayaan masyarakat. Namun sebelum kita tarik kesimpulan, terlebih dahulu kita pahami makna pemberdayaan masyarakat menurut para ahli lainnya. Menurut  Moh. Ali Aziz, dkk “Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses di mana masyarakat, khususnya mereka yang kurang memiliki akses ke sumber daya pembangunan, didorong untuk meningkatkan kemandiriannya di dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pemberdayaan masyarakat juga merupakan proses siklus terus-menerus, proses partisipatif di mana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok  formal maupun informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama. Jadi, pemberdayaan masyarakat lebih merupakan suatu proses”.[14]

Selanjutnya pemaknaan pemberdayaan masyarakat menurut Madekhan Ali yang mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai berikut ini :

“Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah bentuk partisipasi untuk membebaskan diri mereka sendiri dari ketergantungan mental maupun fisik. Partisipasi masyarakat menjadi satu elemen pokok dalam strategi pemberdayaan dan pembangunan masyarakat, dengan alasan; pertama, partisipasi masyarakat merupakan satu perangkat ampuh untuk memobilisasi sumber daya lokal, mengorganisir serta membuka tenaga, kearifan, dan kreativitas masyarakat. Kedua, partisipasi masyarakat juga membantu upaya identifikasi dini terhadap kebutuhan masyarakat”.[15]

Sehingga kelebihan itu perlu dibina agar dapat mengembangkan potensi pribadi untuk dapat membangun. Adapun menurut Amarullah Ahmad, pengembangan masyarakat Islam adalah system tindakan nyata yang menawarkan alternatif modern pemecahan masalah Ummah dalam bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam perspektif  Islam, dengan demikian penggabungan prilaku individu dan kolektif dalam dimensi amal sholeh.

Masyarakat Islam berarti kumpulan manusia yang beragama Islam, yang meneliti hubungan dan keterkaitan ideologis yang satu dengan yang lainnya. Dalam pemikiran sosiologis, Ibnu Kaldun menjelaskan bahwa manusia itu secara individu diberikan kelebihan namun secara kodrati manusia memiliki kekurangan.

Mengacu pada pengertian dan teori para ahli, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya sehingga masyarakat dapat mencapai kemandirian. Kemudian dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan daya atau kekuatan pada masyarakat dengan cara memberi dorongan, peluang, kesempatan, dan perlindungan dengan tidak mengatur dan mengendalikan kegiatan masyarakat yang diberdayakan untuk mengembangkan potensinya sehingga masyarakat tersebut dapat meningkatkan kemampuan dan mengaktualisasikan diri atau berpartisipasi melalui berbagai aktivitas.

D.    Arah Dakwah & Pemberdayaan Masyarakat Islam

Membangun (mengembangkan) suatu masyarakat agar menjadi maju, mandiri dan berbudi bukanlah sesuatu yang mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Upaya tersebut tidak saja membutuhkan tekad dan keyakinan, tetapi juga kerja keras dan tak kenal  lelah. Berbagai teori pembangunan bermunculan, dan dianut oleh berbagai bangsa dan negara seperti teori  pertumbuhan yang dikembangkan oleh Rostow dan Harrod Domar, dan konsep ini pula tampaknya telah diadopsi pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru dengan Istilah masyarakat tingggal landas. Walaupun pada akhirnya keadaan ekonomi bangsa Indonesia terpuruk ke titik nadir karena tidak mempertimbangkan pembangunan dari aspek mental bangsa.            

Masalah lain yang kemudian muncul adalah bagaimana arah pengembangan atau pembangunan masyarakat Islam? Untuk menjawab pertanyaan sederhana ini  layak kiranya kita telaah terlebih dahulu makna masyarakat Islam. Yusuf Qardhawy mengemukakan bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang komitmen memegang teguh aqidah Islamiyah “Laa ilaaha Illallah Muhammadan Rasulullah”(menolak keyakinan lain) tertanam dan berkembang dalam hati sanubari, akal dan perilaku diri pribadi menularkan kepada sesama dan generasi penerus.

Sedangkan yang akan dituju dalam pengemabangan masyarakat Islam adalah masyarakat Islam Ideal, seperti gambaran masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah bersama umat Islam pada awal kehadirannya di Madinah, kota yang dahulu bernama Yatsrib dirubah dengan nama baru “Madinah al-nabi” dari asal kata madaniyah atau tamaddun (civilization) yang berarti peradaban, maka masyarakat Madinah atau  Madani (civil Society) adalah masyarakat yang beradab yang dilawankan dengan masyarakat Badwy, yang berarti masyarakat yang pola kehidupannya berpindah (Nomaden) dan belum mengenal norma aturan.[16]           

Melihat gambaran masyarakat Islam ideal dari kondisi jahiliyah menjadi masyarakat yang beradab, berwawasan bernorma, maka arah pengembangan masyarakat islam bukan sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi seperti Rostow dan Harorod Domar, tetapi harus diimbangi dengan landasan moral spiritual sebagai alat kontrol. Dalam pengertian dakwah pembangunan atau pengembangan masyarakat arahnya untuk mencapai kondisi mental (iman, taqwa, ihsan dan sejenisnya) yang stabil dengan kondisi kehidupan yang lain baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Dan paradigma yang digunakan Comte, Durkheim maupun Weber, tetapi paradigm spiritual yang bersumber dari Al-Qur’an (tentunya harus dijabarkan lebih lanjut),Yakni “Litukhrijan naasa minadzulimaati ilan nuri”, dalam bahasa dakwah dipahami dengan apa yang disebut ‘an-nahyu ‘ani al-munkar, dan lain-lain yang tidak termasuk kategori munkar tetapi memerlukan perbaikan dan peningkatan, seperti: Kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, ketertindasan dan sejenisnya.

Pendek kata semua bentuk dan jenis masalah yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat. Sedang ‘ila an-nur, dalam pengertian dakwah dapat dipahami dalam konsep ‘al Amru bil al-ma’ruf. Mengajak manusia kepada iman, taqwa, ihsan, akhlakul karimah, kemajuan, keadilan, pemerataan dan lain-lain. Dalam hal ini bagaimana bagi mereka yang sudah dalam kategori atau kondisi ‘an-nur atau ‘al-ma’ruf? Apakah mereka tidak perlu lagi pengembangan?            

Pertanyaan ini dapat dijawab dengan dasar asumsi, bahwa seseorang atau kelompok ataupun masyarakat tentu menggali persoalan, hanya saja berat ringatnya persoalan berbeda. Maka jawaban dari pertanyaan tersebut adalah semua orang atau masyarakat memerlukan usaha pengembangan, hanya saja dalam pengembangan masyarakat harus dilihat dari skala prioritas, mana yang penting dan mana yang kurang penting. Bagi masyarakat yang dalam kondisi sudah baik kondisi sosial, ekonomi dan budayanya maka pengembangan lebih bermakna peningkatan dan memelihara kondisi baik tersebut agar tidak terkena virus munkar.

E.     Tujuan Dakwah & Pemberdayaan Masyarakat Islam

Berangkat dari sebuah asumsi dasar bahwa setiap orang dalam kelompok masyarakat mesti mengalami perubahan baik lambat maupun cepat, dalam merancang perubahan tersebut dalam masyarakat muncul persoalan hidup dan kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan material maupun non material baik individu maupun kelompok. Setiap manusia anggota masyarakat selalu berusaha untuk mengatasi masalah tersebut  ada yang mampu mengatasinya sendiri dengan memanfaatkan segala daya kemampuannnya dan ada pula yang membutuhkan bantuan orang lain. Artinya ada yang mampu mengaktualisasikan kemampuan yang dimiliki dalam mengatasi masalahnya, ada pula yang yang membutuhkan bantuan orang lain atau kelompok lain. Disinilah fungsi dakwah sebagai penyebar an-nur dan rahmat (fungsi pengembang) bagi seluruh umat manusia bahkan alam semesta.            

Dakwah yang dilaksanakan dalam rangka mengembangkan masyarakat, sesuai dengan namanya maka, hendaknya dilaksanakan dengan gerakan jama’ah dan dakwah jamaah, artinya: jama’a menunjukkan suatu kelompok masyarakat kecil yang lebih luas dari keluarga yang hidup bersama untuk secara bersama-sama mengidentifikasi persoalan dan masalah hidup, mengenai kebutuhannya baik dalam urusan ubudiyah, uluhiyah maupun bidang kehidupan lainnya seperti: sosial, ekonomi, budaya, politik dan lain-lain. Karena itu kata jama’ah tidak ada kaitannya dengan jama’ah Islamiyah yang pernah berkembang di Indonesia.[17]

Pelaksanaan dakwah jama’ah merupakan program kegiatan dakwah yang menempatkan seseorang atau kelompok orang yang menjadi inti utama gerakan jama’ah (pengembang masyarakat) atau da’i. Sedangkan jama’ah adalah kelompok masyarakat yang berada dalam lingkup geografis yang sama dengan inti jama’ah dan brsama-sama mengembangkan potensi yang dimiliki jama’ah dalam rangka mengatasi persoalan hidup yang dimiliki jama’ah dalam rangka mengatasi persoalan hidup mereka, jika perlu maka dapat diangkat pamong jama’ah yang berfungsi sebagai coordinator (sesepuh jama’ah atau masyarakat) dalam mendiskusikan segala permasalahan yang mereka hadapi.            

Inti jama’ah sebagai pengembang masyarakat dituntut memiliki kemampuan lebih (dalam bidang tertentu) dibandingkan jama’ah, tetapi dalam bidang tertentu lainnya jama’ah sebenarnya lebih mengetahui dan menguasai. Setidaknya inti jama’ah (pengembang atau da’i) memiliki kemampuan dan keahlian: Pertama, Menganalisis problem sosial keagamaan masyarakat, Kedua, Merancang kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan hasil analisis problem. Ketiga, mengelola dan melaksanakan kegiatan pengembangan berdasarkan rencana yang telah disepakati. Keempat, mengevaluasi kegiatan pengembangan masyarakat dan kelima, melatih jama’ah atau masyarakat dalam menganalisis problem yang dihadapi jama’ah atau masyarakat, merancang, mengelola dan melaksanakan kegiatan pengembangan serta mengevaluasi kegiatan pengembangan.            

Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan beberapa tujuan pengembangan masyarakat Islam yaitu memiliki akidah yang kuat, akhlak mulia dan istiqamah serta memiliki keahlian (skill) yang yang memadai. Secara sistematis arah tujuan pengembangan masyarakat Islam tersebut adalah sebagai berikut:

1.  Menganalisis problem sosial secara umum dan keagamaan secara khusus yang muncul dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat adanya perubahan sosial.

2.  Merancang kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan problem yang ada, berdasarkan skala prioritas.

3.  Mengelola dan melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan rencana yang disepakati (kemampuan menjadi pendamping)

4.  Mengevaluasi seluruh proses pengembangan masyarakat (evaluasi pendampingan)

Melatih masyarakat dalam menganalisis problem yang mereka hadapi, merancang, mengelola, dan mengevaluasi kegiatan pengembangan masyarakat (pelatihan pelatihan pendampingan)


[1] A.Hasmy, Dustur Dakwah menurut al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 18       

[2] Amrullah Ahmad, ed. Dakwah dan Perubahan sosia,l (Yogyakarta: Prima Duta, 1983), hal 2.

[3] Amin Rais, Cakrawala Islam, (Bandung,: Mizan, 1991), hal 26.

[4] Farid Ma’ruf Noor, Dinamika dan Akhlak Dakwah, (Surabaya:  Bina Ilmu, 1981), hal.29.

[5] Abu Bakar Atjeh, Beberapa Catatan Mengenai Dakwah Islam.  (Semarang: Ramadani, 1979), hal. 6.

[6] Toha Yahya Oemar, Ilmu Dakwah (Jakarta: Wijaya, 1976), hal. 1.

[7].Robinson, J.R..Community Development in Perspective. (Ames: Iowa State University Press,1994), h. 125

[8].Ife, J.W..Community Development: Creating Community Alternatives, (Vision, Analysis and Practice: Longman. Australia, 1995), h. 182

[9].Payne, M..Social Work and Community Care. London: McMillan, 1997

[10].Sulistyani, Ambar T& Rosidah..Manajemen Sumber Daya Manusia : Konsep, Teori dan Pembangunan dalam Konteks Organisasi Publik. (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2003, h. 77

[11].Soetomo, Pemberdayaan Masyarakat. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011), h. 25

[12].Abu Huraerah, Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat, (Bandung: Humaniora, 2008), h.87

[13].Murdi Yatmo Hutomo, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Bidang Ekonomi Tinjaun Teoritik dan Implementasi (Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2001), h.10.

[14] Moh. Ali Aziz dkk, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat, Paradigma Aksi Metodologi, (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2005), h. 136

[15] Madekhan Ali,   Orang Desa Anak Tiri Perubahan, (Malang, Averroes Press. 2007) h. 86

[16]. Nur Kholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Dian Rakyat & Paramadina,, 1992,) h. 312-315

[17]Munir Mulkhan, Ideologi Gerakan Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1996), h. 214

0 Comment