07 Desember 2022

 


Sunah sebagai Sumber dan Dalil

1. Pengertian Sunah

Kata  “sunah” (  sunah”. Sedangkan  ulama  fiqh  menempatkan sunah  itu  sebagai salah satu dari hukum syara’ yang lima yang mungkin berlaku  ter- hadap  satu  perbuatan. Untuk  maksud  itu ia berkata, “Perbuatan ini hukumnya adalah  sunah”. Dalam  pengertian  ini sunah  adalah “hukum”, bukan  “sumber hukum”.

Kata “sunah” sering diidentikkan dengan  kata  “hadis”. Kata “hadis” ini sering digunakan oleh ahli hadis dengan maksud  yang sama  dengan  kata  “sunah” menurut  pengertian  yang digunakan kalangan ulama ushul.

Di kalangan ulama  ada  yang membedakan sunah  dari hadis, terutama karena dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata hadis lebih banyak  mengarah kepada  ucapan-ucapan Nabi; sedangkan  sunah  lebih banyak  mengarah kepada  perbuatan dan tindakan Nabi  yang  sudah  menjadi  tradisi  yang  hidup  dalam pengamalan agama.

Semua ulama  Ahl  al-sunah  baik  dalam  kelompok ahli  fiqh, ulama ushul fiqh maupun ulama hadis sepakat mengatakan bahwa kata sunah atau hadis itu hanya merujuk kepada dan berlaku untuk Nabi  dan  tidak  digunakan untuk  selain  dari  Nabi.  Alasannya adalah  karena  beliau sendirilah  yang dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum  (terpelihara dari kesalahan), dan karenanya beliau sendirilah  yang  merupakan sumber  teladan,  sehingga  apa  yang disunahkannya mengikat  seluruh umat Islam.

Kelompok Muslim Syi‘ah mempunyai pandangan berbeda tentang sunah.  Mereka  menganggap yang ma’shûm  itu bukan  hanya  Nabi Muhammad saja, tetapi juga keturunannya melalui putrinya  Fatimah dari Ali Ibn Abi Thalib atau yang dikenal dengan sebutan “Ahl al-Bait”. Sifat ma’shum  Ahl al-Bait itu meliputi ucapan,  perbuatan, dan takrir mereka yang sama halnya seperti ucapan, perbuatan, dan takrir Nabi. Karena itu ucapan dan perbuatan serta takrir Ahl al-Bait mempunyai kedudukan seperti halnya hadis Nabi sebagai hujah di kala Nabi sudah tiada. Dengan demikian sunah di kalangan ulama Syi‘ah adalah:

Ucapan, perbuatan,  dan takrir orang-orang yang ma’shûm.

Kekuatan kedudukan Ahl al-Bait dalam hal ini bukan disebabkan oleh kekuatan dan tepercayanya mereka dari segi periwayatan, tetapi menurut  ulama Syi‘ah adalah  karena  mereka telah mendapat tugas tersendiri dari Allah SWT., melalui lisan Nabi untuk menyampaikan hukum yang berlaku.  Mereka  menetapkan hukum berdasarkan apa yang  mereka  terima  dari  Allah melalui  ilhâm  sebagaimana Nabi menerima pesan Allah melalui wahyu; atau melalui apa yang mereka terima dari imam yang mak’shum  sebelumnya.

Bila Ahl al-Bait menyatakan suatu hukum bukan hanya karena mereka  meriwayatkan sunah  dari  Nabi,  dan  bukan  pula  karena mereka  berijtihad serta  beristinbath  dari  sumber-sumber hukum, tetapi dalam pendapat ulama Syi‘ah, Ahl al-Bait itu sendiri adalah sumber hukum.

2. Macam-macam Sunah

Sunah menurut  pengertian  ahli ushul sebagaimana disebutkan di atas terbagi kepada  tiga macam.

Pertama, sunah qauliyah ( 

sahabat itu, tetapi Nabi tidak melarang atau menyatakan keberatan atas perbuatan itu. Kisah tersebut  disampaikan oleh sahabat yang mengetahuinya dengan  ucapannya, “Saya melihat  seorang sahabat memakan daging dhab di dekat Nabi. Nabi mengetahui, tetapi Nabi tidak melarang perbuatan  itu.”

a. Sunah Qauliyah

Sunah  qauliyah  adalah  ucapan  lisan  dari  Nabi  Muhammad SAW. yang didengar  dan dinukilkan oleh sahabatnya, namun  yang diucapkan Nabi itu bukan  wahyu Al-Qur’an.  Al-Qur’an juga lahir dari lisan Nabi yang juga didengar  oleh sahabat dan disiarkannya kepada  orang lain sehingga kemudian diketahui  orang banyak.

Dengan demikian,  menurut  lahirnya  Al-Qur’an dan sunah qaul- iyah sama-sama  muncul  dari lisan Nabi.  Namun para  sahabat yang mendengarnya dari Nabi dapat memisah-misahkan mana yang wahyu dan  mana  yang hanya  ucapan  biasa  dari  Nabi.  Perbedaan  tersebut dapat dilihat dengan beberapa cara, antara lain:

1.Bila yang lahir  dari  lisan Nabi  itu adalah  wahyu  Al-Qur’an selalu mendapat perhatian khusus  dari  Nabi  dan  menyuruh orang  lain untuk  menghafal  dan menuliskannya serta meng- urutkannya sesuai dengan petunjuk Allah. Sedangkan bila yang muncul dari lisan Nabi itu adalah sunah qauliyah tidak ada perhatian khusus  yang diminta  Nabi,  bahkan Nabi  melarang untuk menuliskannya karena khawatir akan bercampur dengan wahyu Al-Qur’an.

2.Penukilan  Al-Qur’an  selalu dalam  bentuk  mutawâtir atau oleh orang banyak,  baik dalam  bentuk  hafalan  maupun tulisan.  Se- dangkan sunah pada umumnya diriwayatkan secara perseorang- an; tidak  banyak  yang diriwayatkan secara mutawatir. Hal ini menyebabkan orang banyak  mengetahui tentang  wahyu Allah; sedangkan  ucapan  Nabi  dalam  bentuk  sunah  ada  yang hanya didengar  dan diketahui  oleh beberapa orang saja.

3.Penukilan  Al-Qur’an  selalu dalam  bentuk  penukilan lafaz de- ngan arti sesuai dengan teks aslinya yang didengar  dari Nabi. Sedangkan  ucapan  Nabi  dalam  bentuk  sunah  sering dinukil-kan  secara  ma’nawî,  dalam  pengertian: disampaikan kepada orang  lain dengan  redaksi  dan ibarat  yang berbeda  meskipun dalam  maksud  yang sama. Oleh karena  itu sering terjadi  per- bedaan  dalam  menanggapi  suatu  berita  hadis  karena  perbedaan dalam ibarat  yang digunakan dan menyebabkan adanya perbedaan dalam  menetapkan hukum.  Hal  seperti  ini tidak pernah  terjadi dalam  penyampaian wahyu  Al-Qur’an.  Meski- pun terjadi  perbedaan dalam  pemahaman ayat,  tetapi  bukan karena  berbeda  versi periwayatan, namun  berbeda  dalam me- mahami  suatu kata atau ungkapan.

4.Apa yang diucapkan Nabi dalam bentuk ayat Al-Qur’an mem- punyai  daya  pesona  atau  mukjizat  bagi  pendengarnya. Hal seperti  ini tidak  mereka  temukan bila yang diucapkan Nabi itu hanya ucapan  biasa dari Nabi atau sunah qauliyah.

Sunah qauliyah  seperti  disebutkan di atas  adalah  ucapan  Nabi yang didengar, dipahami dan dinukilkan serta disebarluaskan da- lam pemberitaan atau  periwayatan. Ucapan  Nabi  yang dikutip secara resmi dan kemudian tertulis itu merupakan dalil hukum, meskipun  pada  mulanya  mungkin  hanya  ucapan  yang bersifat pribadi untuk tujuan khusus. Katakanlah umpamanya Nabi ber- kata kepada istrinya, “Marilah kita tidur karena hari sudah larut malam.” Bila Sabda Nabi  ini dikutip  dan disampaikan oleh is- tri Nabi  kepada  orang  lain dan  kemudian tersebar  luas dalam bentuk  berita,  maka  dapat  menjadi  dalil hukum  dalam  bentuk anjuran untuk  pergi tidur bila hari sudah larut malam.

Apa  yang  diucapkan Nabi  menurut  lazimnya  bersifat  umum yang berlaku  untuk  Nabi sendiri dan berlaku  juga untuk  umat pada  masa tersebut  dan masa-masa sesudahnya, karena  ucap- an itu tidak  terikat  dengan waktu,  kecuali ada keterangan lain yang menjelaskan  bahwa  ucapan  itu berlaku  untuk  orang  ter- tentu atau hanya berlaku  untuk  masa tertentu. Dengan demiki- an,  setiap  ucapan  pada  dasarnya menerima  takhsîs  dan  juga menerima  nasakh,  kecuali  ada  penjelasan  bahwa  ucapan  ter- tentu tidak mungkin  di-takhsîs  atau tidak menerima nasakh.

b. Sunah Fi’liyah

Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sahabat Nabi  kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh orang yang mengetahuinya. Tentang  apakah semua yang dinukilkan itu mempunyai kekuatan untuk diteladani dan mengikat untuk semua umat  Islam, para  ulama  memilah  perbuatan Nabi  itu menjadi  tiga bentuk.

1. Perbuatan dan tingkah laku Nabi dalam kedudukannya sebagai seorang manusia biasa atau berupa adat kebiasaan yang berlaku di tempat  beliau,  seperti  cara  makan,  minum,  berdiri,  duduk, cara berpakaian, memelihara  jenggot, dan lain sebagainya yang merupakan tabiat  dari seorang manusia.

Mengenai  apakah perbuatan Nabi  seperti  ini punya  daya  te- ladan yang mengikat untuk umat, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Sebagian ulama berpendapat bahwa perbuatan Nabi dalam ben- tuk  ini termasuk  sunah  yang  mempunyai  daya  hukum  untuk diikuti,  meskipun  hukum  yang muncul  darinya  tidak  lebih dari sunat (menurut  istilah ahli fiqh ).

Sebagian  ulama  menetapkan bahwa  perbuatan Nabi  tersebut hanya berbentuk adat kebiasaan dan tidak mempunyai  kekuat- an hukum untuk diikuti. Contoh dalam hal ini adalah kebiasaan Nabi memelihara  jenggot dan mencukur kumis.

2. Perbuatan Nabi yang memiliki petunjuk yang menjelaskan  bah- wa  perbuatan tersebut  khusus  berlaku  untuk  Nabi  dan  orang lain tidak boleh berbuat seperti apa yang dilakukan Nabi. Umpa- manya:  wajibnya  shalat  dhuha;  shalat  witir;  berkurban; shalat tahajud tengah  malam.  Semua perbuatan itu bagi umatnya ti- dak wajib. Juga mengenai perbuatan Nabi berupa masuk Mekah tanpa  ihram dan kawin lebih dari empat orang. Hal terakhir ini bukan  sunah yang wajib diikuti, bahkan haram  hukumnya bagi umat melakukan seperti apa yang dilakukan Nabi tersebut.

3. Perbuatan dan tingkah  laku Nabi yang berhubungan dengan penjelasan hukum; seperti: shalat, puasa, cara Nabi melakukan

jual beli, utang piutang,  dan lain sebagainya yang berhubungan dengan agama. Perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan hu- kum ini terbagi dua:

a. Perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan terhadap apa-apa yang terdapat dalam  Al-Qur’an  namun  masih  memerlukan penjelasan.

b. Perbuatan Nabi yang memberi petunjuk kepada umat bah- wa perbuatan tersebut  boleh dilakukan oleh umat.

Kedua bentuk  perbuatan tersebut berlaku  secara umum untuk

Nabi sendiri maupun untuk  umatnya.

Perbuatan Nabi  yang dapat  diketahui  merupakan penjelasan hukum  untuk  umat dan menjadi dalil hukum  yang harus dipatuhi oleh umat. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat dari ulama. Semuanya  sepakat.  Penjelasan  dalam  bentuk  ini adalah  yang dike- mukakan Nabi dengan ucapan yang jelas, seperti Sabda Nabi: jelas padanya ada tujuan  pendekatan diri pada Allah atau ibadah;kedua,  tidak  jelas padanya  tujuan  ibadah.

Bila jelas pada perbuatan itu sebagai tujuan  ibadah atau qurbah, terdapat perbedaan pendapat ulama tentang  kedudukan hukumnya. Ulama Hanabilah dan Mu’tazilah mengatakan bahwa, perbuatan Nabi tersebut  mengarah pada  hukum  wajib  untuk  Nabi  dan  juga untuk umatnya. Imam Syafi‘i dan pengikutnya berpendapat bahwa hukumnya hanya sekadar nadab. Mazhab Maliki berpendapat hukumnya adalah ibâhah. Sedangkan sebagian pengikut Imam Syafi‘i lainnya mengambil sikap diam atau dalam arti tidak memberi komentar.

Bila tidak  jelas padanya  tujuan  untuk  ibadah,  yang demikian menjadi dalil untuk  Nabi  antara wajib, nadab, atau  mubah;  yaitu meniadakan halangan untuk  berbuat dan tidak  lebih dari itu. Hal seperti ini juga berlaku  untuk  umat.

Pada dasarnya setiap perbuatan yang dilakukan, berlaku untuk suatu waktu tertentu dan tidak berlaku untuk seluruh waktu kecuali bila ada petunjuk khusus  yang menjelaskan  bahwa  perbuatan itu berlaku  untuk  selanjutnya. Oleh karena  itu, bila perbuatan itu di- lakukan Nabi  pada  waktu  lain dengan  cara  yang berbeda,  tidak dapat  dikatakan ada  pertentangan antara dua  perbuatan Nabi sehingga perlu diselesaikan secara nasakh atau tarjîh. Umpamanya pada  suatu  waktu  Nabi  melipat  kedua  tangannya di bawah  dada pada waktu berdiri sedang shalat; dan pada waktu lain meluruskan tangannya ke bawah.  Dalam hal ini tidak dapat dikatakan ada per- tentangan antara dua perbuatan Nabi,  sehingga dikatakan bahwa perbuatan yang  dilakukan beliau  kemudian membatalkan atau me-nasakh  apa yang dilakukan Nabi sebelumnya.

Bila Nabi melakukan suatu perbuatan yang bukan merupakan penjelasan  terhadap hukum  sebelumnya,  tidak ada pula dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu khusus untuk Nabi, tetapi dapat diketahui  sifat perbuatan itu wajib,  nadab, atau  mubah—melalui penjelasan  langsung dari Nabi atau tidak maka mayoritas ulama fiqh dan ulama  kalam  sepakat  mengatakan bahwa  umat  dituntut mengikuti  perbuatan itu, baik yang berbentuk wajib, nadab, atau mubâh.

Dalam hal tersebut ada ulama yang memisahkan antara ibadah dan bukan ibadah. Dalam hal ibadah, kita wajib mengikutinya. Tetapi dalam hal yang bukan ibadah, kita tidak wajib mengikutinya. Pendapat yang kuat, menurut Amidi, adalah pendapat mayoritas ulama. Untuk ini ia mengemukakan beberapa dalil yang kuat, di antaranya adalah:

1. Banyak   Firman   Allah   yang   menyuruh  mengikuti   apa-apa yang  diperbuat  oleh  Nabi   seperti  Firman-Nya  dalam   surat Ali ‘Imran (3): 31:

Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak  diketahui  pula haramnya. Diamnya  Nabi  dalam  hal ini menunjukkan hukumnya adalah ibâhah atau meniadakan keberatan untuk  diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang,  tetapi Nabi  mendiamkannya padahal ia mampu  untuk  mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesalahan;  sedangkan  Nabi bersifat ma’shûm (terhindar dari kesalahan).

3. Periwayatan Sunah

Ketiga macam sunah tersebut (qauliyah, fi’liyah, dan taqrîriyah) disampaikan dan disebarluaskan oleh yang melihat,  mendengar, menerima,  dan mengalaminya dari Nabi secara beranting melalui pemberitaan atau  kabar,  hingga  sampai  kepada  orang  yang  me- ngumpulkan, menuliskan, dan membukukannya sekitar abad ketiga hijriah. Mengenai apakah memang Nabi Muhammad SAW. Pernah berkata, berbuat dan memberikan pengakuan, lebih banyak tergan- tung  kepada  kebenaran pemberitaan tentang  adanya  sunah  itu. Selanjutnya para ulama mengklasifikasikan sunah itu berdasarkan kekuatan kabar  tersebut.

Kekuatan suatu kabar  ditentukan oleh beberapa faktor,  yaitu: berkesinambungannya kabar itu dari yang menerimanya dari Nabi sampai kepada  orang yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas orang yang membawa kabar itu untuk setiap sambungan; dan faktor  kualitas  pembawa kabar  dari segi kuat dan setia ingat- annya,  juga dari segi kejujuran dan keadilannya.

Dari  segi jumlah  pembawa kabar,  ulama  membagi  kabar  itu kepada  tiga tingkatan:

1) Kabar  mutawâtir 

2) Kabar  ahâd, yaitu kabar  yang disampaikan dan diterima dari Nabi secara perseorangan dan dilanjutkan periwayatannya sampai kepada  perawi akhir secara perseorangan pula.

Perbedaan   yang   jelas  di  antara  ketiganya   adalah   sebagai berikut.  Kabar  mutawâtir diterima  dan disampaikan dari pangkal sampai  ke ujung secara mutawâtir. Kabar  masyhûr,  yaitu kabar yang diterima dan disampaikan pada tingkat awal secara perseorangan, kemudian dilanjutkan sampai ke ujungnya secara mutawâtir. Kabar  ahâd  diterima  dan  disampaikan kemudian secara beranting sampai ke ujungnya  secara  perseorangan.

Ketiganya  berbeda  dari tingkat  kebenarannya. Tingkat  kebenaran  yang paling tinggi adalah  kabar  mutawatir, kemudian kabar masyhûr, sedangkan yang paling rendah tingkat ke- benarannya adalah  kabar  ahâd.

4. Kebenaran Khabar dari Segi Ibarat yang Digunakan

Pembawa Berita dalam Menyampaikan Berita

Sebagaimana telah diuraikan bahwa kebenaran suatu sunah Nabi tergantung pada kebenaran berita yang disampaikan pembawa berita tentang sunah itu. Tingkat kebenaran berita dapat diketahui dari kuan- titas pembawa berita, juga dari ibarat yang digunakan pembawa berita itu. Dalam hal ini terdapat beberapa tingkat kebenaran:

1) Tingkat  yang terkuat, bila pembawa berita mengatakan, “Saya mendengar Nabi bersabda” atau “Nabi memberitakan kepada saya” atau,  “ Nabi berbicara dengan saya”.

Bentuk penyampaian seperti ini menunjukkan suatu kepastian tentang adanya ucapan Nabi dan tidak ada kemungkinan lain. Umpamanya hadis  Nabi  dari  Said  al-Khudri  yang  berkata, “Saya mendengar Nabi SAW. bersabda”:

Tidak  ada shalat  setelah subuh  sampai  terbit  matahari,  dan tidak ada shalat setelah ashar sampai terbenam  matahari.

2) Penyampai   berita   berkata, “Rasul   Allah  berkata.”  Bentuk seperti ini, dan ini yang biasa ditemui dalam periwayatan, menurut  lahirnya  memang  berbentuk penukilan berita,  tetapi tidak  menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa  ia menerima sendiri secara langsung ucapan  Nabi itu, karena  ada kemung- kinan  bahwa  pembawa dan  penyampai berita  menerimanya dari orang lain yang mendengar dari Nabi. Umpamanya hadis dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa  Nabi bersada:

Umpamanya hadis  dari  ‘Umar dalam  bentuk  marfu’  kepadaNabi yang mengatakan,

Bila seseorang di antaramu berwudhu dengan memakai sepatu, hendaklah  menyapu sepatu  itu dan shalat dengan  sepatu  itu serta tidak boleh membukanya, bila ia menghendaki.

5) Si pembawa berita  berkata bahwa  ia melakukan sesuatu  kemu- dian  ia menghubungkan kepada  suatu  masa  dengan  Nabi  dan tidak ada reaksi dari Nabi tentang itu. Hal tersebut menjadi dalil kebolehan berbuat sesuatu itu. Umpamanya hadis dari Anas ibn Malik  yang berkata, “Adalah sahabat  Nabi  pada masa beliau menunggu   shalat  isya  hingga  kepala  mereka   terantuk-antuk karena  mengantuk, kemudian mereka  shalat ‘isya dan mereka tidak berwudhu’.”

Hadis tersebut  dikeluarkan Abu Daud dan disahkan oleh Thabrani, asalnya dari Muslim.

5.   Fungsi Sunah

Dalam uraian  tentang  Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa  seba- gian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari sunah. Dengan demikian,  fungsi sunah yang utama adalah  untuk  menjelaskan  Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan  Allah dalam surat an-Nahl (16): 64:

Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan  agar kamu  dapat menjelaskan  kepada  mereka apa yang mereka perselisihkan  itu.

Dengan  demikian,  bila  Al-Qur’an  disebut  sebagai  sumber asli bagi hukum  fiqh, maka  sunah  disebut  sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai  bayani  dalam  hubungannya dengan Al-Qur’an,  ia menjalankan fungsi sebagai berikut:

1. Menguatkan dan  menegaskan  hukum-hukum yang  tersebut dalam Al-Qur’an  atau disebut fungsi ta’kîd dan taqrîr. Dalam bentuk   ini  sunah  hanya  seperti  mengulangi  apa-apa yang tersebut  dalam  Al-Qur’an.  Umpamanya Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 110: masih secara garis besar disebutkan dalam  surat  an-Nisa’ (4):103:

Kemudian  Nabi  menyebutkan haramnya  binatang  buas dan burung buas dalam hadis dari Abu Hurairah menurut  riwayat Muslim:

Kami  tidak  mengutus seorang Rasul  pun,  melainkan  dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.

Karena  umat  Islam yang menerima  penjelasan  waktu  itu ma- sih sederhana cara berpikirnya, maka penjelasan  Nabi terlihat begitu sederhana sehingga mudah  dipahami  dan  cepat dilak- sanakan oleh umat.

Dalam  memberikan penjelasan  terhadap kata  shalat  Nabi  tidak memberikan  penjelasan   yang  bersifat   definitif  filosofis,  tetapi hanya  dengan  melakukan kegiatan  yang terdiri  dari seperangkat perbuatan dan bacaan  yang dimulai  dengan  takbir  dan disudahi dengan salam, di hadapan umatnya dengan cara yang mudah  dii- kuti umatnya. Sesudah itu beliau berkata, “Inilah  yang bernama shalat; kerjakanlah shalat sebagaimana yang saya lakukan ini”.

Dalam memberikan penjelasan tentang keharusan menyelesaikan hutang  yang menyangkut hak Allah, pada suatu waktu  beliau ditanya  oleh seseorang. Nabi memancing jawaban  dari penanya sendiri dengan ucapannya, “Bagaimana pendapatmu bila ibumu berhutang kepada seseorang apakah boleh kamu membayarkan- nya?”  Tanpa  menunggu  jawaban  dari  Nabi,  si penanya  telah mengerti jawabannya.

Sehubungan   dengan  hal-hal  di  atas  terlihat  beberapa ayat Al-Qur’an  yang pada  umumnya berada  di luar  bidang  ibadat dibiarkan oleh Nabi tanpa penjelasan yang berarti karena begitu sukar  untuk  dijelaskan;  seandainya dijelaskan  juga belum tentu akan tertangkap oleh jangkauan akal umat waktu itu.

Contoh dalam hal yang disebutkan di atas umpamanya ayat yang menyatakan kemungkinan orang yang memiliki ilmu dan kemam- puan untuk  mengarungi  angkasa  luar sebagaimana disebutkan Allah dalam surat ar-Rahman (55): 33:

Hai jamaah  jin dan manusia,  jika kamu  sanggup  menembus (melintasi)  penjuru  langit  dan  bumi,  maka  lintasilah,  kamu tidak dapat menembusnya melainkan  dengan kekuatan.

Tidak  terdapat penjelasan  yang berarti  dalam  sunah  Nabi  me- ngenai maksud  ayat itu, karena  akal manusia  waktu  itu belum tentu akan dapat  menangkapnya.

2. Nabi  memberikan penjelasan  dengan  cara-cara dan  contoh- contoh  yang  secara  nyata  terdapat di sekitar  lingkungan ke- hidupan waktu  itu. Dengan demikian,  hukum  yang ditetapkan dalam  Al-Qur’an  mudah  diterima  dan  dijalankan oleh umat. Penjelasan yang melampaui dari hal itu atau yang tidak ada pada waktu itu tentu tidak akan dapat  dipahami  oleh umat.

Dalam Al-Qur’an  sering muncul perintah untuk  mengeluarkan zakat.  Tujuannya sudah  jelas, yaitu memberikan bantuan ma- teriil untuk  pihak  yang memerlukan. Dalam  Al-Qur’an  tidak ada  penjelasan  sama  sekali  tentang  apa  yang  akan  dizakat- kan, berapa  ukurannya, dan bagaimana caranya. Satu-satunya yang ada  penjelasannya adalah  tentang  siapa-siapa yang ber- hak  menerimanya, yaitu  sebagaimana tercantum dalam  surat at-Taubah (9): 60:

(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,  untuk (memerdekakan) budak.  Orang-orang yang berutang,  untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam  perjalanan,  sebagai sesuatu  ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui  lagi Maha Bijaksana.

Penjelasan tentang zakat dalam ayat tersebut masih bersifat muj- mâl (global)  yang memerlukan penjelasan  Nabi  untuk  dapat dilaksanakan.

Nabi  Muhammad SAW. memberikan penjelasan  terhadap arti zakat  dan  segala sesuatu  yang menyangkut dengannya. Dalam hal  yang  harus  dizakatkan, Nabi  menyebutkan beberapa ma- teri yang ada di lingkungan umat pada waktu  itu. Untuk bahan makanan dijelaskan Nabi dengan gandum dan kurma yang meru- pakan  makanan pokok  yang lazim pada waktu  itu. Untuk bina- tang ternak  disebutkan unta,  sapi, dan kambing  karena  hewan tersebut  yang banyak  pada  waktu  itu. Barang berharga dirinci dengan emas dan perak. Hal-hal  yang berada  di luar lingkungan umat pada  waktu  itu tentu  saja tidak  terdapat dalam  penjela- san Nabi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sunah Nabi begitu sederhana, sesederhana kondisi kehidupan orang Arab yang hidup pada waktu  Nabi di saat itu.

Dari segi bentuk  penjelasan Nabi terhadap hukum yang disebut- kan dalam Al-Qur’an,  terdapat beberapa bentuk  penjelasan:

Pertama,  penjelasan  Nabi  secara  jelas dan  terinci  sehingga  ti- dak mungkin ada pemahaman lain. Walaupun dalam Al-Qur’an beberapa hukum  bersifat  mujmâl  (garis besar),  namun  dengan penjelasan  dari Nabi secara rinci, lafaz-lafaz yang menunjukkan hukum  itu menjadi jelas. Fungsi untuk  memperjelas  itu, disebut mubayyin.

Contoh dalam  hal ini umpamanya perintah shalat  yang banyak terdapat dalam  Al-Qur’an,   tetapi  tidak  satu  pun  yang  men- jelaskan cara dan kaifiyahnya. Dengan demikian, perintah shalat itu dalam  bentuk  mujmâl,  oleh karenanya belum  dapat  dilak- sanakan menurut  apa adanya sebelum ada penjelasan dari Nabi. Untuk memberikan penjelasan  terhadap cara dan bentuk  shalat secara sempurna datang sunah Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat  7 perawi hadis:

Apabila  kamu  akan  melaksanakan shalat,  maka  lakukanlah wudhu dengan  sempurna;  kemudian  menghadaplah ke kiblat,  kemudian bertakbirlah, kemudian bacalah  sebagian Al-Qur’an yang mudah  bagimu,  kemudian rukuklah hingga kamu  tenang dalam rukuk, kemudian bangkitlah  hingga berdiri tegak,  kemudian sujudlah  hingga kamu  tenang  dalam  sujud, kemudian bangkitlah   hingga  kamu  tenang  dalam  duduk, kemudian sujudlah hingga kamu tenang dalam sujud, kemudian kerjakanlah  yang demikian dalam seluruh shalatmu.

Oleh karena  penjelasan  yang diberikan Nabi  begitu rinci, se- hingga  dapat  dipahami  secara  baik  oleh sahabat. Dalam  hal ini tidak timbul perbedaan pendapat dalam memahami sunah yang menjelaskan  ayat Al-Qur’an tersebut.  Dengan demikian, penjelasan  Nabi bersifat qath’i.

Penjelasan Nabi yang bersifat qhat’i itu pada umumnya berlaku dalam bidang ‘akidah dan pokok-pokok ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji. Dalam hal-hal yang bersifat po- kok ini meskipun  tidak  ada  penjelasan  dalam  Al-Qur’an, na- mun karena  Nabi memberikan  penjelasan secara qath’i, maka tidak  ada lagi kesamaran;  dan karenanya  tidak  timbul  perbe- daan yang mendasar  di kalangan  ulama dalam hukumnya.

Kedua,  penjelasan  Nabi  tidak  tegas dan terinci sehingga masih menimbulkan kemungkinan-kemungkinan dalam  pemahaman meskipun  sudah ada penjelasannya dari Nabi.  Kemungkinan pe- mahaman itu mungkin  terjadi  dari segi kebenaran materinya atau  terjadi  akibat  ketidakpastian penjelasannya dari Nabi.  Um- pamanya Sabda  Nabi  dari  ‘Amru ibn Syu‘eb menurut  riwayat Nasa‘i  dan  Dar  Al-Quthni   yang  menyatakan  pembunuh  ti- dak  berhak  menerima  warisan  dari  yang dibunuh, merupakan penjelasan  terhadap ayat 11, 12, dan 176 surat an-Nisa’ tentang orang-orang yang berhak  menerima warisan.

Setelah penjelasan Nabi itu, semua pihak memahami bahwa pem- bunuhan menjadi penghalang untuk mendapat hak warisan. Na- mun penjelasan Nabi itu belum secara tegas menyatakan tentang pembunuhan macam apa yang menghalangi hak kewarisan itu.

Oleh karena itu, timbul perbedaan pendapat ulama dalam mene- tapkan bentuk  pembunuhan yang menjadi penghalang itu.

Penjelasan Nabi yang belum tuntas  dan jelas itu disebut penjelas- an yang zhannî. Penjelasan yang berbentuk zhannî itu pada umumnya berlaku  di bidang  muamalat dalam  arti  luas.  Begitu pula dalam  bidang  ibadat  yang tidak  pokok.  Umpamanya sikap berdiri atau duduk dalam shalat tidak dijelaskan oleh Nabi secara pasti sehingga dalam pelaksanaannya timbul sedikit perbedaan.

Dalam muamalat jual beli, Al-Qur’an hanya menjelaskan  asas tijârah (jual beli) secara suka sama suka dalam  surat an-Nisa’ (4): 29:

Hai  orang-orang  yang  beriman,  janganlah kamu  saling me-makan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.

Tentang  bagaimana bentuk  tijârah yang suka  sama suka  itu, tidak dijelaskan  Nabi secara rinci sehingga timbullah perkem- bangan  pendapat yang berbeda  di kalangan ulama.

7. Sunah Berdaya Hukum

Dari satu segi sunah  adalah  segala apa yang dikatakan Nabi, diperbuat Nabi,  atau yang diakui Nabi.  Di sisi lain, umat dituntut untuk  mengikuti  semua  sunah  Nabi  itu. Di antara sunah  itu ada yang tidak mesti diikuti oleh umat, bahkan ada yang dilarang umat melakukannya. Dalam  hal ini ulama  mengelompokkan sunah  itu kepada  dua kelompok.

1. Sunah  bukan  tasyrî’ atau  sunah  yang tidak  berdaya  hukum, yaitu  sunah  yang tidak  harus  diikuti  dan  oleh karenanya ti- dak mengikat.  sunah  yang tidak  berdaya  hukum  itu ada  tiga macam:

a. Ucapan  dan  perbuatan Nabi  yang  timbul  dari  hajat  in- sani dalam  kehidupan keseharian  Nabi  dalam  pergaulan, seperti: makan,  tidur,  kunjungan, sopan  dalam  bertamu, cara berpakaian dan ucapan serta perbuatan Nabi sebagai seorang manusia  biasa.

b. Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari pengalaman pribadi, kebiasaan dalam pergaulan, seperti: urusan perta- nian dan kesehatan badan, cara berjual beli dan memelihara ternak.

c. Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari tindakan pribadi dalam keadaan dan lingkungan tertentu, seperti penempatan pasukan, pengaturan barisan,  dan penentuan tempat  dalam peperangan.

Semua yang dinukil dari Nabi dalam tiga bentuk  tersebut tidak mempunyai daya hukum mengikat  yang mengandung tuntutan atau  larangan. Umat dapat  saja mengikuti  apa yang dilakukan Nabi itu karena ia adalah sunah, namun sifatnya tidak mengikat.

2. Sunah tasyrî’ atau sunah yang berdaya  hukum  yang mengikat untuk  diikuti.  sunah dalam bentuk  ini ada tiga macam:

a. Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi dalam bentuk penyampaian risalah  dan  penjelasan  terhadap Al-Qur’an; seperti menjelaskan  apa-apa yang dalam  Al-Qur’an  masih bersifat belum jelas, membatasi yang umum, memberi qayid yang masih bersifat mutlak, menjelaskan bentuk ibadat, halal dan haram, ‘akidah dan akhlak. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasul termasuk  sunah berdaya  hukum.

Tasyrî’ dalam bentuk ini berlaku secara umum sampai hari kiamat dan dalam pelaksanaannya tidak tergantung kepada sesuatu selain pengetahuan akan adanya  sunah itu.

b. Ucapan  dan perbuatan yang timbul  dari Nabi  dalam  kedu- dukannya sebagai imam dan pemimpin umat Islam, seperti mengirim  pasukan untuk  jihad,  membagi  harta  rampasan, menggunakan bait al-mâl, mengikat perjanjian, dan tindakan lain dalam sifatnya sebagai pemimpin.

sunah tasyrî’ dalam bentuk ini tidak berlaku secara umum untuk semua orang dan dalam pelaksanaannya tergantung kepada  izin atau persetujuan imam atau pemimpin.

c. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kedudukannya sebagai hakim  atau  qadhi  yang  menyelesaikan  persengketaan di antara umat Islam. Daya hukum  dalam  bentuk  ini, seperti halnya dalam bentuk yang sebelumnya, tidak bersifat umum dan dapat  dilakukan oleh perorangan dengan penunjukan dari imam atau penguasa.

sunah  berdaya  hukum  sebagaimana disebutkan di atas secara garis besarnya  mengandung beberapa bidang sebagai berikut:

a. ‘Akidah

Bidang ‘akidah ini dibatasi oleh Islam dalam hal perbedaan antara iman dan kafir, yang berhubungan dengan Allah dan sifat-sifat-Nya, para rasul, wahyu, dan hari kiamat.  sunah tidak dapat  menetapkan dasar ‘akidah karena ‘akidah itu menimbulkan kepercayaan, sedangkan kepercayaan itu berarti  keyakinan yang pasti.

Tidak ada yang mungkin menghasilkan keyakinan yang pasti itu kecuali yang pasti pula. sunah yang pasti atau qhat‘i ialah sunah yang baik dari segi lafaz-nya, atau wurudnya maupun dari segi dilalah-nya adalah  qath’i atau  pasti.  sunah  yang pasti hanyalah sunah  menurut persyaratan mutawâtir yang jumlahnya sangat terbatas.

b. Akhlak

Dalam  sunah  atau  hadis banyak  sekali disampaikan Nabi  hik- mah-hikmah, adab sopan santun  dalam pergaulan, nasihat-nasihat, baik secara langsung maupun dalam bentuk pujian terhadap keadilan, kebenaran, menepati janji; atau celaan terhadap perbuatan-perbuatan buruk  yang dilakukan umat.  Sunah tersebut  menuntut munculnya manusia sempurna yang juga dikehendaki oleh rasa dan pandangan yang wajar.

Semua  yang  muncul  dari  sunah  dalam  bentuk  akhlak  ini pada  umumnya mempunyai  dasar  dan rujukan dalam  Al-Qur’an;

sunah  yang  datang  kemudian hanya  bersifat  memperjelas  atau merincinya.

c. Hukum-hukum  Amaliyah

Hal ini berhubungan dengan penetapan bentuk-bentuk ibadat, pengaturan muamalat antarmanusia;  memisahkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban; menyelesaikan  persengketaan di antara umat secara adil. Hukum-hukum yang diperoleh dari sunah dalam bentuk inilah, yang disebut Fiqh sunah; sedangkan  hadisnya sendiri disebut hadîs Ahkâm. hadis-hadis dalam bentuk inilah yang dijadikan sumber hukum  oleh para ahli fiqh sesudah Al-Qur’an.  Dari situlah mereka meng-istinbath-kan hukum dan mencari penjelasan tentang petunjuk-petunjuk Al-Qur’an  yang menyangkut hukum.

8. Kedudukan Sunah sebagai Sumber Hukum

Sunah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam  Al-Qur’an,  sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam  kedudukannya sebagai  penjelas,  sunah  kadang-kadang memperluas  hukum  dalam  Al-Qur’an atau  menetapkan sendiri hukum  di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.

Kedudukan sunah  sebagai  bayani  atau  menjalankan fungsi yang  menjelaskan hukum  Al-Qur’an,  tidak  diragukan lagi dan dapat  diterima  oleh  semua  pihak,  karena  memang  untuk  itulah Nabi  ditugaskan Allah  SWT..  Namun dalam  kedudukan sunah sebagai  dalil  yang  berdiri  sendiri  dan  sebagai  sumber  kedua setelah  Al-Qur’an,  menjadi  bahan  perbincangan di  kalangan ulama. Perbincangan ini muncul disebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan  bahwa  Al-Qur’an  atau  ajaran  Islam itu telah sempurna (al-Maidah [5]: 4); oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain, termasuk  oleh sunah.

Jumhur ulama berpendapat bahwa sunah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua sesudah Al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur  ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya:

1. Banyak  ayat  Al-Qur’an  yang  menyuruh umat  untuk  menaati Rasul. Ketaatan kepada Rasul sering dirangkaikan dengan keha- rusan menaati  Allah; seperti yang tersebut  dalam surat an-Nisa’ (4): 59:ini  menempatkan sunah  sebagai  dalil  yang  mempunyai   ke- kuatan hukum.

3. Ayat-ayat  Al-Qur’an  menetapkan bahwa  apa yang dikatakan Nabi seluruhnya adalah  berdasarkan wahyu, karena  beliau ti- dak  berkata menurut  kehendaknya sendiri;  tetapi  semua  itu adalah berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah sebagaima- na terdapat dalam surat an-Najm (53): 3-4:

Untuk sampainya  kabar  mutawâtir itu kepada  ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat- syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita atau  râwî dan ada  yang menyangkut penerima  berita.  Syarat yang menyangkut pembawa berita adalah sebagai berikut:

a. Pembawa berita mencapai jumlah tertentu yang mereka tidak mungkin sepakat untuk berbohong. Tentang rincian jumlahnya terdapat perbedaan pendapat.

b. Pembawa  berita mengetahui secara pasti apa yang diberi- takannya.

c. Pengetahuan mereka tentang  berita itu berdasarkan ke- pada pengamatan sendiri, bukan  atas dasar perasaan atau pemikirannya.

d. Jumlah penerima dan pembawa berita itu sama pada bagian pangkal,  tengah,  dan ujungnya.

Adapun syarat penerima berita ialah bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk menerima pengetahuan yang diberitakan ke- padanya, yang sebelumnya mereka tidak mengetahuinya.

Kabar  atau  sunah  masyhûr   karena   yang  menerimanya dari Nabi secara perseorangan, maka kebenarannya tidak meyakin- kan.  Namun karena  kabar  masyhur  itu  yang  menerima  dan menyampaikannya  dari   tingkat   sahabat  sampai   seterusnya dalam  jumlah  yang  mutawâtir, maka  kebenarannya dari  sa- habat  cukup  meyakinkan. Dengan  demikian  kabar  masyhur mempunyai kekuatan yang qhat‘i pada  tingkat  sahabat tetapi kekuatannya dari Nabi hanya bersifat zhannî.

Kabar  masyhur  menurut  Abu  Hanifah dan  sahabat-sahabat- nya menimbulkan ilmu  yakin,  meskipun  keyakinan yang di- timbulkannya berada  di bawah  keyakinan yang  ditimbulkan kabar  mutawâtir. Sebagian  ulama  memandang kabar  masy- hur itu hanya bersifat zhannî, sebagaimana yang berlaku pada kabar  ahad. Alasannya,  karena  meskipun sesudah generasi sa- habat  kabar  masyhur  itu telah mencapai  derajat  mutawâtir, na- mun yang menerimanya dari Nabi  tetap  bersifat  perseorangan yang kemungkinan salah masih tetap ada.

Kabar  ahad periwayatan perseorangan pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan yang meyakinkan. Namun bila didukung oleh hal-hal lain yang menguatkannya seperti pribadi yang menyampaikan berita  itu adil dan  kuat  ingatannya maka kabar ahad  itu mempunyai  kekuatan. Tentang  apakah kabar  ahad  itu menghasilkan ilmu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.  Sebagian ulama  mengatakan bahwa  kabar  ahad  itu me- mang menghasilkan ilmu tetapi hanya sampai tingkat  zhan atau dugaan kuat dan tidak meyakinkan.

Menurut al-Amidi, kabar  ahad  itu menghasilkan ilmu bila cu- kup  padanya qarînah  (keterangan) atau  pendukung lain yang menyebabkannya mempunyai  kekuatan sebagai dalil hukum.

Kabar ahad yang setiap urutan penyampai dan pembawa berita- nya  mempunyai   syarat  yang  meyakinkan, terutama  dari  segi kepribadiannya (yaitu,  daya  ingatannya kuat,  setia, jujur,  serta adil dalam pemberitaan), maka kabar  ahad itu memenuhi syarat untuk  dikategorikan sebagai  “kabar sahih”.   Seandainya  tidak memenuhi  syarat tersebut,  maka kabar  ahad itu dimasukkan ke dalam  kelompok kabar  yang “dhaif” atau  lemah. Khabar  yang dhaif itu ada bermacam-macam bentuknya, seperti diuraikan da- lam ilmu musthalah  hadis.

Tentang  kekuatan kabar  ahad  untuk  dijadikan  dalil, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.  Mayoritas ulama  ter- masuk Abu Hanifah, Malik,  Syafi‘i, dan Ahmad menerima  ka- bar ahad untuk  dijadikan  dalil dalam beramal dan menetapkan hukum bila telah terpenuhi padanya  syarat-syarat yang ditentu- kan. Syarat-syarat tersebut  yang disepakati adalah:

a. Bahwa pembawa berita adalah  beragama Islam; karena orang  yang tidak  Islam diragukan iktikad  baiknya  dalam menyampaikan berita  tentang  kepentingan Islam. Oleh karena itu, orang yang tidak beragama Islam tidak diterima periwayatannya.

b. Bahwa  pembawa berita  itu sudah  mukallaf  yaitu  telah dewasa  dan sempurna akalnya;  karena  orang  yang tidak

mukalaf,  seperti orang  gila dan anak-anak tidak  mampu menyimpan  berita  yang diterimanya dan memelihara  apa yang diterimanya serta yang disampaikannya itu.

c. Bahwa pembawa berita itu kuat daya ingatannya terhadap apa-apa yang didengarnya atau daya ingatannya dibanding- kan dengan kemungkinan lupa, lebih kuat;  karena  dalam keadaan demikian ada dugaan kuat tentang kebenaran apa yang dikabarkannya itu.

d. Bahwa  pembawa berita  mempunyai  sifat  adil  dan  jujur dalam penyampaian kabar yang diterimanya. Secara umum adil  itu  adalah  sifat  yang  melekat  pada  diri  seseorang yang menghambatnya untuk  melakukan dosa besar atau berketerusan dalam  dosa kecil serta tetap  dalam  menjaga kepribadiannya.

Semua syarat tersebut  disepakati oleh semua pihak.  Selain itu, terdapat syarat  lain yang tidak  semua pihak  ulama  menyepa- katinya,  sehingga kabar  yang dapat  diterima  satu pihak tidak dapat  diterima  pihak  lain yang menurutnya tidak  memenuhi syarat.  Hal  ini menyebabkan ulama  tidak  sama  pandangan- nya dalam menerima  Sunah Nabi.

Abu Hanifah menambahkan syarat  bahwa  amal si pembawa berita  tidak  menyalahi  apa  yang dimaksud oleh  kabar  yang diberitakannya itu. Dalam hal ini Abu Hanifah menolak hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah yang mengatakan:

Apabila  tempat  makanan  kalian  dijilat anjing,  maka  cucilah tujuh kali, salah satunya dengan tanah yang suci.

Menurut Abu Hanifah, dalam hadis tersebut Abu Hurairah sendiri dalam menyuci bejana yang dijilat anjing hanya mencukupkan 3 kali dan tidak 7 kali sebagaimana yang diriwayatkannya. Karena itu ia menolak hadis tersebut.

Imam Malik mempersyaratkan kabar  yang disampaikan pem- bawa dan penyampai berita secara ahad itu tidak menyalahi praktik

yang berlaku  di kalangan penduduk Madinah. Ia berpendapat bahwa  praktik yang berlaku  di kalangan penduduk Madinah dalam hal urusan  agama berdasarkan periwayatan yang masyhur dan tersebar luas. Bila ada kabar ahad yang berlainan  dengan itu, maka  hubungannya kepada  Nabi  begitu  lemah,  sehingga  kabar ahli Madinah didahulukan atas kabar ahad tersebut.

Ulama Syi‘ah menambahkan syarat kabar  ahad itu datang  me- lalui jalur para  sahabat yang menganut paham  imamah,  yaitu kelompok Syi‘ah. Karena kabar itu jelas diriwayatkan dari Nabi atau  dari salah seorang  imam Syi‘ah yang tidak  tercela dalam periwayatan dan sangat hati-hati  dalam penukilan.

Dari  segi berkesinambungannya  sebuah  kabar   atau  hadis, kabar  secara sederhana dibagi kepada  dua tingkat.

Pertama,  kabar  yang periwayatannya berkesinambungan dan tidak ada rantai  putus semenjak dari orang yang menerimanya dari Nabi sampai kepada yang menerimanya terakhir. Kabar ini disebut muttasil  sanad.

Kedua,  kabar  yang garis periwayatannya ada  yang terputus. Maksud  terputus di sini bukanlah hilang sama sekali atau tidak ada pembawa beritanya, tetapi pembawa kabar  tidak  menjelas- kan  penghubung sebelumnya.  Mungkin  yang tidak  disebutkan itu  satu  penghubung atau  lebih.  Kabar  yang  rantainya terpu- tus seperti ini disebut hadis atau kabar mursal. Umpamanya seseorang  yang berada  dalam  sambungan kedua  sesudah  Nabi. Ia memberitakan telah menerima kabar  dari Nabi tanpa  menye- butkan orang yang. menjadi penghubungnya kepada Nabi, yaitu generasi sahabat.

Di antara ulama  ada yang membedakan antara satu penghubung yang terputus atau  dua.  Bila yang terputus itu hanya  satu  peng- hubung,  yaitu  penghubung pertama—dalam hal ini adalah  saha- bat—sehingga yang menyampaikan berita itu adalah tangan kedua, maka disebut hadis atau kabar  “mursâl. Bila ada dua penghubung yang terputus (yaitu generasi sahabat dan tabi‘in) atau tangan ketiga (generasi tabi’ tabi‘in) dari rangkaian yang menyampaikan berita dari Nabi, maka disebut hadis atau kabar “munqathi “’.

Para ulama berbeda  pendapat mengenai kekuatan kabar  mursal untuk dijadikan  dalil. Kelompok Syi‘ah pada dasarnya tidak me- nerima  kabar  mursal  sebagai suatu  dalil yang kuat  kecuali bila pembawa berita  yang  tidak  menyebutkan penghubungnya itu adalah  orang yang masyhur  pribadinya; atau ada petunjuk atau dalil lain yang mendukungnya.

Ulama  Hanafiyah dan  Malikiyah  menganggap kabar   mursal itu kuat  untuk  dijadikan  dalil bila kuantitas perawinya  cukup meyakinkan. Alasannya,  menurut  mereka, kekuatan kabar  lebih banyak ditentukan oleh kuantitas pembawa berita ketimbang ke- sinambungan rangkaian pembawa berita.

Ulama  Syafi‘i pada  dasarnya tidak  menerima  kabar  mursal untuk  dijadikan dalil dalam  menetapkan hukum,  kecuali bila diperkuat oleh salah satu di antara hal-hal berikut:

a. Kabar  mursal  itu  diperkuat oleh  kabar  yang  pembawa beritanya berkesinambungan mengenai apa yang dimaksud oleh kabar  mursal itu. Namun dalam hal ini kekuatan se- benarnya terletak pada kabar yang menguatkannya, bukan pada kabar  mursal itu sendiri.

b. Kabar mursal itu bersesuaian dengan ucapan sebagian saha- bat. Dengan demikian  hadis yang asalnya terputus itu telah seperti bersambung periwayatannya dengan Nabi SAW.

c. Kabar mursal itu diperkuat oleh kabar mursal lain yang telah diterima dan diambil sebagai dalil oleh ahli ilmu sebelumnya. Dengan demikian, kabar yang sama-sama lemah dapat saling memperkuat.

d. Kabar mursal itu secara nyata diterima  oleh ahli ilmu dan kelompok yang mengemukakan fatwa mengenai hal yang sama dengan apa yang dijelaskan  oleh hadis mursal itu.

Bila ditemukan salah satu dari 4 hal di atas dan tabi‘in yang menghubungkannya langsung kepada Nabi itu termasuk tabi‘in yang utama,  maka hadis mursal itu dapat  diterima  oleh ulama Syafi‘i.

Dari  segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum  atau  di- lalah-nya,  sunah terbagi dua.

Pertama, penunjukan yang pasti atau  qath‘i, yaitu sunah  yang memberikan penjelasan  terhadap hukum  dalam  Al-Qur’an  se- cara tegas, jelas, dan terinci sehingga tidak  mungkin  dipahami dengan maksud  lain dan tidak  ada alternatif pamahaman lain. Contohnya, penjelasan  Nabi tentang  zakat perak sebagaimana dijelaskan dalam hadis dari Ali bin Abi Thalib menurut  riwayat Abu Daud.

 sunah  yang  mempunyai martabat tertinggi  dalam  keduduk- annya  sebagai  sumber  atau  dalil  hukum  adalah  sunah  yang qath‘î dari  segi wurûd  atau  sanâd-nya,  yaitu  kebenaran mater- inya datang  dari Nabi dan qath‘i dari segi dilalah atau penunju- kannya  terhadap hukum.  Namun jumlah  sunah  yang qath‘i ini sangat  terbatas. Adapun  yang banyak  jumlahnya  adalah  sunah yang zhanni,  dari segi materinya atau  dari segi dilalah (penun- jukan)-nya atau  dari  segi keduanya. Meskipun demikian,  yang zhannî  pun dapat  dijadikan dalil bila ada hal lain yang mendu- kungnya seperti dijelaskan di atas.

0 Comment