16 Desember 2022

 


HAKIKAT METODE DAKWAH 

       A.      Pendahuluan

Dakwah adalah merupakan suatu upaya mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk, menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar untuk mencapai kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Upaya mengajak agar timbul pengertian, kesadaran, penghayatan dan pengamalan ajaran agama secara baik dan benar memerlukan cara atau jalan. Cara atau jalan inilah yang disebut juga dengan metode.

Metode atau cara adalah merupakan hal penting untuk mencapai suatu tujuan. Jika metode atau cara yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan sesuai dengan situasi dan kondisi atau kebutuhan, maka Insya Allah tujuan yang diinginkan itu akan tercapai dengan baik. Begitu juga sebaliknya, jika metode yang dipakai tidak cocok dengan situasi atau kondisi bahkan dengan kebutuhan audien maka besar kemungkinan tujuan tidak akan tercapai dengan baik. Karena itulah diantaranya bahwa metode dalam dakwah adalah merupakan salah satu komponen yang tidak bisa diabaikan bahkan sangat menentukan dalam tingkat keberhasilan pencapaian tujuan dakwah.          

Metode atau cara yang dimaksudkan di sini adalah terkait dengan dakwah, atau dengan kata lain disebut juga dengan metode dakwah. Metode Dakwah pada dasarnya sudah ada dijelaskan dalam Al-Quran sebagai pegangan atau pedoman bagi umat. Namun karena manusia itu bersifat dinamis, maka metode inipun berkembang sesuai dengan perjalanan zaman yang juga tumbuh dan berkembang mengikuti waktu.

Persoalan-persoalan umat yang terjadi hampir setiap saat berubah yang kadangkala upaya dakwah yang akan dilakukan juga harus mampu membaca kondisi seperti ini, jalan atau cara apa yang lebih cocok untuk dilakukan atau ditempuh menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.

Sesuai dengan arahan Bapak Pembimbing, penulisan ini akan membicarakan Hakikat Metode Dakwah dengan bahasan berkenaan dengan Pengertian, Teknik, Pendekatan, Dasar Metode Dakwah dan Pembahagiannya.

Untuk lebih jelasnya dapat kita jelaskan dalam uraian berikut. 

B.      Pengertian.

Sebelum lebih jauh membicarakan tentang hakikat metode dakwah, terlebih dahulu perlu disamakan persepsi kita tentang hakikat metode dakwah tersebut, sehingga dalam pembicaraan berikutnya lebih terarah dan tidak mengambang kesana kemari.

Hakikat adalah merupakan intisari atau dasar atau kenyataan yang sebenarnya (sesungguhnya)[1], artinya sesuatu yang sangat prinsip dan sangat mendasar untuk diketahui atau dimiliki.

Metode berasal dari dua kata yaitu "meta" (melalui) dan "hodos" (jalan, cara), artinya metode itu adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan[2]. Metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis[3]. Dengan demikian Metode dapat diartikan sebagai suatu cara atau jalan yang tersusun secara sistematis dalam mencapai suatu tujuan.

Dakwah artinya seruan, ajakan atau panggilan[4]. Dakwah adalah panggilan atau seruan bagi umat manusia untuk menuju jalan Allah yaitu jalan menuju Islam, upaya tiap muslim untuk merealisasikan (aktualisasikan) fungsi ke-Islaman dan fungsi kerahmatan[5]. Dengan demikian dakwah itu mempunyai pengertian yang cukup luas karena terkait dengan suatu upaya untuk mengikuti keislaman secara keseluruhan dan rahmatan mencakup sekalian alam.

Dari uraian di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa Hakikat Metode Dakwah adalah suatu prinsip atau mendasar yang harus dilakukan atau dimiliki dengan jalan atau cara untuk mencapai tujuan keislaman secara keseluruhan dan menjadi rahmat untuk sekalian alam. Cara atau jalan inilah yang perlu dipelajari, dipahami secara baik dan benar serta berupaya untuk melakukannya dengan baik dan benar pula sehingga apa yang diinginkan yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat bisa terwujud dengan baik. 

C.      Teknik

Teknik adalah cara, kepandaian dan sejenisnya membuat atau melakukan sesuatu yang berhubungan dengan seni atau system mengerjakan sesuatu [6] Artinya teknik dalam hal ini merupakan seni dan kemampuan dalam melakukan sesuatu. Jika dihubungkan dengan dakwah, bagaimana seni seseorang dalam melakukan dakwahnya. Dan ini lebih cenderung kepada hal yang bersifat teknis.

Teknik dalam hal ini dapat dibedakan antara keras dan menyejukkan. Dakwah dengan cara "keras" dapat berarti dilihat dari sisi intonasi suara yang kasar, pilihan kata-kata dalam tulisan ataupun manifestasi tindakan yang terkesan "anarkis" dalam dakwah bil hal.

Teknik atau metode Keras ini bisa terjadi untuk :

1.       Mencegah kemungkaran atau orang-orang kafir, seperti firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 54 :

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Maidah:  54)

2.       Dakwah Islam dihalangi, seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 190:

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (Q.S. al-Baqarah: 190)

Dakwah dengan cara menyejukkan, yaitu dalam bentuk :

3.       Mencari titik temu atau sisi kesamaan.

Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 64 :

“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Q.S. Ali Imran: 64)        

4.       Menggembirakan sebelum menakut-nakuti.

Firman Allah dalam surat al Hijr ayat 49-50 : 

“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih” (Q.S. al Hijr: 49-50) 

5.       Memudahkan, tidak mempersulit.

Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 185 :

“..Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..” (Q.S. al-Baqarah: 185)

6.       Memperhatikan penahapan beban dan hukum.

Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 219 :

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (Q.S. al Baqarah:219)

Berikutnya turun lagi firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 90-91 :


“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (Q.S. al Maidah: 90-91)

7.       Memperhatikan Psikologis mad'u.

Muhammad Natsir dalam "Fiqh Dakwah"nya seperti yang dikutip Munzier, mengemukakan pendapat yang berkaitan dengan kondisi psikologis mad'u ini bahwa : pokok persoalan bagi seorang pembawa dakwah ialah bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu dalam suatu keadaan dan suasana tertentu. Seorang da'i harus memperhatikan kedudukan sosial penerima dakwah.[7]

D.      Pendekatan.

Dalam melakukan kegiatan dakwah, metode pendekatan sangat diperlukan Kadangkala sasaran dakwah harus dipahami oleh yang memberikan dakwah secara baik. Apabila pendakwah tidak memahami situasi dan kondisi orang yang didakwahi, maka akan sulit untuk menentukan cara apa yang harus dipakai dengan orang yang dihadapinya. Tapi apabila situasi dan kondisi orang yang didakwahi dapat dipahami oleh pendakwah, maka kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi bisa diantisipasi sejak dini atau pendakwah memikirkan metode apa yang lebih cocok untuk dipakainya.

Untuk menentukan keadaan seperti ini, perlu metode pendekatan yang akan dilakukan oleh pendakwah. Dari tiga metode dakwah yang lebih dikenal yaitu Bil Hikmah, Mauizhah Hasanah, Wajadilhum Billati Hiya Ahsan, Rasulullah mengaplikasikannya dalam beberbagai pendekatan[8], diantaranya yaitu:

1.       Pendekatan Personal.

Pendekatan dengan cara ini terjadi dengan cara individual yaitu antara da'i dan mad'u langsung bertatap muka sehingga materi yang disampaikan langsung diterima dan biasanya reaksi yang ditimbulkan mad'u akan langsung diketahui. Pendekatan dakwah seperti ini pernah dilakukan pada zaman Rasulullah ketika berdakwah secara rahasia. Rasulullah berdakwah kepada orang-orang terdekatnya secara rahasia. Hal ini ditujukan agar tidak timbul keguncangan reaksioner pada kaum masyarakat Quraisy karena pada saat itu mereka masih memegang teguh keyakinan warisan leluhurnya (animisme).

Walaupun ini terjadi ini di masa Rasulullah, penulis juga sependapat seperti yang dikemukakan Munzier Suparta dan Harjani Hefni, bahwa di zaman modern seperti sekarang ini pendekatan personil harus tetap dilakukan karena mad'u terdiri dari berbagai karakteristik. Dan di sinilah letak elastisitas pendekatan dakwah[9].  Memang kondisi sekarang tidak sama atau berbeda dengan di masa Rasulullah, akan tetapi jika diperhatikan karakteristik dari sasaran dakwah ada yang bersamaan yaitu dalam bentuk karakteristik. Masing-masing manusia mempunyai karakter yang berbeda sehingga ada yang bisa didakwahi secara terang-terangan dan ada pula yang tidak sudi didakwahi secara terang-terangan.

2.       Pendekatan Pendidikan.

Dakwah yang dilakukan melalui pendidikan di masa Nabi beriringan dengan masuknya Islam kepada para kalangan sahabat. Dakwah dilakukan dari rumah ke rumah, dan bahkan ada rumah sahabat yang dijadikan tempat untuk berkumpul secara berkelompok yaitu rumah al-Arqam bin Abi Arqam dan sahabat lainnya.

Pada masa sekarang juga ada yang dilakukan dengan pendekatan pendidikan. Hal ini bisa terlihat dari munculnya lembaga-lembaga pendidikan, pesantren, yayasan-yayasan yang bercorakan Islam bahkan perguruan tinggi yang juga bercorakan Islam.

3.       Pendekatan Diskusi.

Pendekatan Disuksi pada era sekarang ini cukub banyak dan sering sekali dilakukan melalui berbagai diskusi keagamaan. Tidak jarang terjadi bahwa da'i berperan sebagai nara sumber dan mad'u berperan sebagai audiencenya. Adapun tujuan dari diskusi ini adalah untuk membahas dan menemukan pemecahan berbagai permasalahan yang terkait dengan dakwah sehingga apa yang menjadi problem dapat ditemukan dan dicarikan jalan keluarnya.

4.       Pendekatan Penawaran.

Salah satu falsafah pendekatan penawaran yang dilakukan Nabi adalah ajakan untuk beriman kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Cara ini dilakukan Nabi dengan memakai metode yang tepat tanpa paksaan sehingga mad'u ketika meresponinya tidak dalam keadaan tertekan bahkan ia melakukannya dengan niat yang timbul dari hati yang paling dalam. Cara ini pun harus dilakukan oleh da'i dalam mengajak mad'unya.

Ajakan-ajakan inilah yang juga dikuasai hendaknya oleh seorang da'i dalam menyampaikan dakwahnya sehingga perobahan yang terjadi pada diri seseorang ke arah yang lebih baik sesuai dengan ajakan adalah berdasarkan atas kesadarannya sendiri. Cara, bentuk atau gaya bahasa yang menyejukkan mad'u harus diupayakan dan dikemas secara menarik sehingga sesungguhnya yang tersentuh itu adalah rasa.

5.       Pendekatan Misi.

Pendekatan misi ini adalah dimaksudkan untuk sebagai pengiriman tenaga para da'i ke daerah-daerah di luar tempat ia berdomisili. Ketka Nabi di Makkah pendekatan ini pernah dilakukan akan tetapi belum berhasil. Selanjutnya pendekatan ini juga dikembangkan di Madinah. Pendekatan seperti inipun pernah dilakukan di masa sahabat Umar bin Khatab, misalnya misi dakwah ke Yatsrib, Najeb, Najran dan sebagainya.

Untuk saat ini, pendekatan-pendekatan seperti ini banyak juga yang dilakukan oleh organisasi-organisasi yang bergerak di bidang dakwah untuk mengirimkan para da'inya ke daerah-daerah lain yang minim da'inya. Disamping itu daerah  yang menjadi tujuan adalah biasanya yang kurang memahami ajaran-ajaran Islam yang prinsipil.

E.       Dasar Metode Dakwah dan Pembahagianya.

Metode Dakwah dalam perspektif al-Quran telah dilakukan oleh Nabi Muhammad secara teratur dan telah tersusun secara baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat-Nya. Kenyataan ini memberkan gambaran bahwa metode dakwah yang dilakukan Nabi dalam membawa manusia kepada Islam berisikan langkah atau cara-cara yang harus ditempuh ketika melakukan dakwah Islam kepada manusia, tanpa melakukan hal tersebut, maka hasilnya tidak seoptimal yang diharapkan.[10]

Dalam memahami metode dakwah ini, ada yang berpendapat bahwa metode dakwah itu bisa dipandang dari beberapa sisi , pertama sisi subjek yang berdasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Turmidzi, Ibnu Majah dan Nasa'i yang artinya :

Dari Abi Sa'id al-Kudri r.a berkata : aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mencegahnya dengan tangan, seandainya tidak sanggup, maka cegahlah dengan lidah, dan kalau tidak sanggup, maka cegahlah dengan hati, dan demikian itu adalah selemah-lemah iman.

Dalam hadis ini, ada tiga bentuk yang dapat dilakukan yaitu mencegah dengan tangan, mencegah dengan lisan dan dengan hati.

Kedua sisi objek yang didasarkan pada surat An-Nahl ayat 125 :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. An Nahl: 125)

Berdasarkan ayat ini ada pula tiga bentuk yaitu bil Hikmah, Mauizhah Hasanah dan mujadalah.

        Ketiga dari sisi materi didasarkan pada surat al-Ahzab ayat 45:

“Hai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan”. (Q.S. al Ahzab: 45)

Dari ayat ini, ada dua bentuk dakwah yaitu Tabsyir (pemberi kabar gembira) dan Tanzir (pemberi kabar pertakut, siksa atau azab Allah).

Dari beberapa sisi pandang di atas tentang metode dakwah, penulis berpendapat bahwa dasar dari metode dakwah adalah yang berdasarkan surat an-Nahl ayat 125 yaitu metode al-Hikmah, Mauizhah Hasanah dan Mujadalah. Adapun tentang upaya yang dilakukan dengan tangan, lidah, hati, Tabsyir ataupun Tanzir, tercakup dalam lingkup al-hikmah, mauizhah hasanah atau mujadalah.

1.       Metode al-Hikmah.

Kata hikmah berasal dari bahasa Arab yang berarti ungkapan yang mengandung kebenaran dan mendalam. Dalam Bahasa Indonesia diartikan dengan kata bijaksana, yang mempunyai arti (1) selalu mempunyai akal budi (pengalaman dan pengetahuannya: 'arif, tajam fikiran (2) pandai dan ingat-ingat. Secara linguistik hikmah berarti kebijaksanaan, sehat pikiran, ilmu pengetahuan, filsafat, ke-Nabian, keadilan, peribahasa, pepatah dan al-Qur'an. Secara terminologi, hikmah dapat diberikan beberapa pengertian, yaitu :

1.      Hikmah merupakan ke-Nabian (al-Nubuwat).

2.      Hikmah merupakan pengetahuan tentang al-Qur'an itu sendiri, meliputi : pemahamannya, nasikh mansukh, muhkamat, mutasyabihat, ayat-ayat yang didahulukan dan yang diakhirkan, halal, haram, amtsal dan sebagainya.

3.      Hikmah merupakan kebijaksanaan pembicaraan dan perbuatan.

4.      Hikmah adalah pengetahuan tentang hakikat kebenaran dan perwujudannya dalam kehidupan.

5.      Hikmah adalah ilmu yang bermanfaat, ilmu amaliyah dan aktifitas yang membawa kepada kemaslahatan umat.

6.      Meletakkan suatu urusan pada tempatnya yang benar, mengetahui hal-haI terhadap objek dakwah dan memilih metode serta media yang relevan dengan mereka.

7.      Mengetahui kebenaran dan beramal dengan kebenaran tersebut, berpengetahuan yang luas dalam pembicaraan dan amal. Hal ini tidak akan diperoleh kecuali melaui pemahaman al-Qur'an, fiqh syari'at dan hakikat iman.

8.      Hikmah merupakan kondisi psikologis, seperti ketundukan, kepasrahan dan ketakutan kepada Allah.

9.      Hikmah merupakan sunah Nabi.

10.  Hikmah adalah merupakan wara' pada agama Allah.

11.  Hikmah merupakan sikap adil sehinga pemikirannya dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya.[11]

Al-Maghzawi mengemukakan bahwa ungkapan hikmah mengandung semua makna yang terkandung dalam al-Qur'an, bukan hanya kata hikmah yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 125 saja, karena kata hikmah pada ayat-ayat lain mempunyai hubungan yang sangat signifikan sekali. Jadi kata hikmah tidak hanya berarti bijaksana.[12]

Ibnu Qoyim berpendapat bahwa pengertian hikmah yang paling tepat adalah seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Malik yang mendefinisikan bahwa hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, ketepatan dalam perkataan dan pengamalannya. Hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan memahami al-Qur'an dan mendalami syari'at-syari'at Islam serta hakikat iman.

Dengan demikian al-hikmah adalah merupakan kemampuan dan ketepatan da'i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad'u. Al-hikmah merupakan kemampuan da'i dalam menjelaskan doktrin-doktrin Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi yang logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu al-hikmah sebagai sebuah system yang menyatakan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam berdakwah.[13]

Keberhasilan dakwah akan sulit diraih apabila metoda dakwah yang dipakai untuk menghadapi orang bodoh sama dengan yang dipakai untuk menghadapi orang terpelajar. Kemampuan kedua kelompok ini dalam berfikir dan  menangkap dakwah yang disampaikan tidak dapat disamakan daya pengungkapan dan pemikiran yang dimiliki manusia berbeda-beda.

Hikmah adalah bekal da’i menuju sukses. Karunia Allah yang diberikan kepada orang yang mendapatkan hikmah insya Allah juga akan berimbas kepada para mad’unya, sehingga mereka termotivasi untuk mengubah diri dan mengamalkan apa yang disampaikan da’i kepada mereka. Tidak semua orang mampu meraih hikmah, sebab Allah hanya memberikannya untuk orang yang layak mendapatkannya, seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 269 :


Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (Q.S. al Baqarah: 269)

Dalam dakwah bil-hikmah, ada hal-hal yang sangat penting untuk dipahami dan dilaksanakan oleh da'i, diantaranya adalah :[14]

  1. Mengenal strata mad'u sebagai landasan normatif.
  2. Kapan harus bicara dan pabila harus diam.
  3. Mencari titik temu dalam dakwah, perbedaan-perbedaan dapat dipertemukan dalam satu titik persamaan.
  4. Toleransi tanpa kehilangan sibghah, artinya lapang dada, sabar, tahan dan dapat menerima dengan tetap sesuai dengan warna celupan dan agama (Islam) sehingga tercermin dalam bentuk semangat, taat, peduli dan toleran.
  5. Memilih kata yang tepat, artinya ungkapan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi saat itu.
  6. Cara berpisah dalam artian hijrah untuk tetap berjalan kepada Allah.
  7. Uswatun Hasanah (contoh yang baik, kebaikan yang ditiru, contoh identifikasi, suri tauladan).
  8. Dakwah bi lisan al-haal, artinya memanggil, menyeru ke jalan Tuhan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat dengan mwenggunakan bahasa keadaan manusia yang didakwahi (mad'u) atau memangil menyeru ke jalan Tuhan untuk kebahagian manusia dunia dan akhirat dengan perbuatan nyata yang sesuai dengan keadaan manusia.               

Jadi jelas bahwa metode al-hikmah ini adalah suatu hal yang harus dimiliki atau dikuasai oleh da'i karena metode ini juga berarti mensinergikan antara teoritis dengan kondisi yang ada atau riil, sehingga mad'u lebih mudah mengerti dan memahami apa yang diinginkan sesungguhnya terhadap apa yang disampaikan oleh da'i tersebut.

2.       Metode Mauizhah Hasanah.

Mauizhah Hasanah berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu mauizhah dan Hasanah. Kata mauizhah berarti nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan, sementara hasanah adalah suatu kebaikan.

'Abdu al-Rahim mengemukakan bahwa mawizhah ialah peringatan yang baik yang dengannya dapat melemahkan hati yaitu melunakkan hati yang kesat, meneteskan air mata yang beku dan memperbaiki amal yang rusak. Pendapat ini sejalan dengan Sayyid Quthb seperti dikutip Salmadanis dalam bukunya Fi Zila al-Qur’an, bahwa metode mauizhah hasanah adalah dakwah yang mampu meresap ke dalam hati dengan halus dan merasuk ke dalam perasaan dengan lemah lembut. Tidak bersikap menghardik, memarahi dan mengancam dalam hal-hal yang tidak perlu, tidak membuka a’ib atas kesalahan-kesalahan audiens, karena mereka melakukan hal itu disebabkan tidak tahu. Oleh sebab itu sifat lemah lembut dalam penyampaian ajaran Islam kepada mereka, pada umumnya mendatangkan petunjuk bagi hati yang sesat dan menjinakkan hati yang benci serta mendatangkan kebaikan.[15]

Abd. Hamid al-Bilali berpendapat, bahwa mauizhah hasanah adalah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.[16]

Dari beberapa pengertian di atas, setidaknya ditemukan dua bentuk, pertama mauizhah sebagai materi dakwah dengan alasan bahwa mauizhah lebih dekat sebagai dalil, pelajaran yang berkaitan dengan kepuasan hati dan jiwa. Kalau dikompromikan dengan dalil-dalil yang tepat, sehingga dapat memuaskan orang yang dihadapi sampai menjadi tenang. Alasan kedua jika mauizhah sebagai metode dakwah, adalah suatu metode dengan menggunakan ungkapan yang indah dengan penjelasan yang dapat menembus jiwa dan melembutkan hati disertai argumentasi yang tepat, sehingga objek dakwah menjadi puas menerima pelajaran yang diberikan.[17]

Dalam dakwah al-Mauizhatil Hasanah, ada hal-hal yang sangat penting untuk dipahami dan dilaksanakan oleh da'i, diantaranya adalah :[18]

1.      Sebagai nasihat, artinya murni dan bersih dari segala kotoran, memerintah atau melarang atau menganjurkan yang dibarengi dengan motivasi dan ancaman.

2.      Tabsyir wa Tandzir. Tabsyir mempunyai arti memperhatikan, merasa senang atau penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dan bisa juga diartikan dengan berita gembira karena membawa kebaikan dan keindahan.  Tandzir adalah menunjukkan penakutan, atau dengan kata lain penyampaian dakwah yang isinya berupa peringatan terhadap manusia tentang adanya kehidupan akhirat dengan segala konsekwensinya.

3.      Wasiat, yang berarti pesan penting berhubungan dengan sesuatu hal, atau berpesan kepada seseorang yang bermuatan pesan moral.

4.      Kisah, yang berarti menceritakan atau mengandung arti menelusuri atau mengikuti jejak.    

3.       Metode Mujadalah al-Lati Hiya Ahsan.

Mujadalah berasal dari akar kata "jadala, yujadilu, mujadalah, wajidalan", yang berarti munaqasyah dan khashamah (diskusi dan perlawanan). Atau metode dalam berdiskusi dengan mempergunakan logika yang rasional dengan argumentasi yang berbeda. Jadala artinya berbantah-bantah, berdebat, bermusuh-musuhan, bertengkar. Kalau dibaca "jadala" artinya memintal, memilin. Atau dapat juga dikatakan berhadapan dalil dengan dalil, sedangkan "Mujadalah" diartikan dengan berbantah-bantahan dan memperundingkan, atau perundingan yang ditempuh melalui perdebatan dan pertandingan. Atau penyimpangan dalam berdiskusi dan kemampuan mempertahankannya.[19]

Menurut Ibn Sina, Jidal adalah bertukar fikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan bicara. Al-Jurjani berpendapat bahwa Jidal ialah mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan bicara dari pendirian yang dipeganginya.[20]

Dari pengertian di atas, maka ditemukan dua bentuk jidal yaitu jidal yang terpuji dan yang tercela. Jidal yang bertujuan untuk menegakkan dan membela kebenaran, dilakukan dengan ushlub yang benar dan relevan dengan masalah yang dijadikan masalah pokok bahasan. Sedangkan sebaliknya adalah sesuatu yang membawa kepada kebathilan, maka jidal seperti ini adalah tercela.

Dalam memahami kata "mujadalah" dalam surat An-Nahl ayat 125 adalah dengan arti berbantah-bantahan, sebab bila diambil arti bermusuh-musuhan, bertengkar, memintal dan memilin, tampaknya tidak memenuhi apa yang dimaksud oleh ayat tersebut secara keseluruhan. Agaknya bila diambil dari kata "Mujadalah" tersebut, secara lugas untuk memahami dakwah, maka pengertiannya akan menjadi negatif, akan tetapi setelah dirangkaikan dengan kata "hasanah", maka artinya menjadi positif.[21]

Sayyid Muhammad Thantawi berpendapat bahwa Mujadalah adalah suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat. Ini mengandung arti, berbantahan dengan baik yaitu dengan jalan yang sebaik-baiknya dalam bermujadalah, antara lain dengan perkataan yang lunak, lemah lembut, tidak dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergunakan sesuatu (perkataan) yang bisa menyadarkan hati, membangunkan jiwa dan menerangi akal fikiran, ini merupakan penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan dalam agama.[22]

Berdasarkan pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa "Mujadalah" merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang pada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut.

Dalam metode dakwah Mujadalah ini, ada hal-hal yang sangat penting untuk dipahami dan dilaksanakan oleh da'i, diantaranya adalah :[23]

1.       Al-Hiwar (berdialog), dialog dilaksanakan berlandaskan kejujuran, thematik dan objektif, argumentatif dan logis, bertujuan untuk mencapai kebenaran, tawadhu' dan memberi kesempatan kepada pihak lawan. 

Adapun langkah-langkah atau cara dalam berdialog adalah mempersiapkan materi, mendengarkan pihak lawan dengan arif, bijak dan seksama, menggunakan ilustrasi/kiasan/gambaran, mematahkan pendapat/alasan dengan serang balik, apologetik (tidak fanatik terhadap paham yang dianutnya) dan elentika (fanatik dengan fahamnya), jangan marah. 

2.       As-Ilah wa Ajwibah (Tanya jawab),

Bentuk dari bertanya ini bisa terjadi :

-       Yastaftunaka, artinya mereka minta fatwa kepadamu,

-       Yasaluka, artinya dia bertanya padamu,

-       Yasalunaka, artinya mereka bertanya kepadamu. 

Dalam bentuk jawaban, bisa pula terjadi:

-       jawaban yang lugas, langsung pada apa yang ditanyakan.

-       Dengan lelucon atau guyon.

-   Jawaban dalam bentuk pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban lisan, tetapi cukup direnungkan maksudnya.

-       Jawaban yang sama dari pertanyaan yang sama dan berulang-ulang.

-       Jawaban yang berbeda-beda dari pertanyaan yang sama.

-       Jawaban dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.

-       Jawaban tidak selamanya harus dijawab dengan lisan, tetapi bisa juga dengan diam atau gerakan tubuh.

-       Jawaban yang bertingkat-tingkat.

-       Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban 

Baca Juga://.............................

👉

F.       Penutup

Dari uraian yang telah disajikan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1.       Hakikat Metode Dakwah adalah suatu prinsip atau mendasar yang harus dilakukan atau dimiliki dengan jalan atau cara untuk mencapai tujuan keislaman secara keseluruhan dan menjadi rahmat untuk sekalian alam. Cara atau jalan inilah yang perlu dipelajari, dipahami secara baik dan benar serta berupaya untuk melakukannya dengan baik dan benar pula sehingga apa yang diinginkan yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat bisa terwujud dengan baik.

2.       Diantara teknik atau metode dalam dakwah yang dapat dilakukan oleh seorang da'i adalah cara :

a.  Keras, yang ditujukan kepada kemungkaran, orang-orang kafir dan yang menghalang-halangi dakwah Islam.

b.   Menyejukkan.

3.       Bentuk pendekatan dalam metode dakwah adalah :

a.       Pendekatan personal.

b.      Pendekatan pendidikan.

c.       Pendekatan diskusi.

d.      Pendekatan penawaran.

e.      Pendekatan misi.

4.       Metode dakwah dan pembahagiannya adalah :

a.       Metode bil Hikmah, dengan memperhatikan :

-       Mengenal strata mad'u.

-       Bila harus berbicara dan bila harus diam.

-       Mencari titik temu dalam dakwah.

-       Toleransi tanpa kehilangan sibghah.

-       Memilih kata yang tepat.

-       Cara berpisah / hijrah.

-       Uswatun hasanah.

-       Dakwah bilisan al-haal.

b.      Metode Mauizhah Hasanah, dengan memperhatikan:

-       Nasihat.

-       Tabsyir wa Tandzir.

-       W a s i a t .

-       K i s a h .

c.       Metode Mujadalah.

-       Al-Hiwar.

-       As-ilah wa Ajwibah.

Demikianlah makalah ini dibuat, tentunya banyak terdapat kekurangan atau kelemahan dalam penulisan ini dikarenakan keterbatasan yang penulis miliki, untuk itu dengan senang hati segala saran, masukan atau kritikan demi penyempurnaan penulisan ini serta penulisan berikutnya, dengan lapang dada dapat merimanya

Daftar Pustaka

 

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka,  2005

Hasnawirda, Ilmu Dakwah, Padang, IAIN IB Press, 1999

Isa Anshary, Mujahid Da'wah, Bandung, C.V Diponegoro, 1995

Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Popular, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2005

Munzier Suparta dan Harjani Hefni, Metode Dakwah, Edisi Revisi, Jakarta, Prenada Media, 2006

Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta, Surau, 2003



                [1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka,  2005, h. 383.  

                [2] Munzier Suparta dan Harjani Hefni, Metode Dakwah, Edisi Revisi, Jakarta, Prenada Media, 2006, h.6.

                [3] Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Popular, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2005, Cet.XVIII, h.119.

                [4] Isa Anshary, Mujahid Da'wah, Bandung, C.V Diponegoro, 1995, h.17.  

                [5] Hasnawirda, Ilmu Dakwah, Padang, IAIN IB Press, 1999, lihat h.96-97.

                [6] Kamus Besar Bahasa Indonesia, op-cit, h.1158.

                [7] Munzier dan Harjani, op-cit, h. 58.

                [8] Suparta dan Harjani Hefni, op-cit, h.21-23.

                [9] Ibid, h.21.

                [10] Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta, Surau, 2003, h.119.

                [11] Salmadanis, op-cit, h. 122-124.

                [12] Ibid, h. 124.

                [13] Munzier, Harjani, op-cit, h.10.

                [14] Munzier, Harjani,, lihat h. 99-233.

                [15] Salmadanis, op-cit, h. 148.

                [16] Munzier dan Harjani, op-cit, h. 16.

                [17] Salmadanis, op-cit, h. 163.

                [18] Munzier dan Harjani,lihat h. 240-308.  

                [19] Salmadanis, op-cit, h. 167.

                [20] Ibid, h.168.

                [21] Ibid, h. 169.

                [22] Munzier dan Harjani, op-cit, h. 19.

                [23] Munzier dan Harjani, lihat h. 313-345.  

0 Comment