19 Desember 2022

 HAKIKAT DAN PESAN DAKWAH 

       A.      Pedahuluan

Dakwah merupakan sesuatu yang integral dengan Islam. Ketika membicarakan dakwah sesungguhnya mengkaji apa yang terkandung dalam Islam itu sendiri, karena dakwah sebagai kegiatan menyampaikan ajaran Islam. Ketika membahas filsafat dakwah, Sayuti Farid member pengertian filsafat sebagai pemikiran sedalam-dalamnya, seluas-luasnya, dan sejauh-jauhnya tetang hakikat segala yang ada dan mungkin ada.[1] Al-Qur'an menyebutkan kata dakwah dan derivasinya sebanyak 198 kali, tersebar dalam 55 surat dan bertempat dalam 176 ayat. Ayat-ayat tersebut sebagian besar turun di Makkah, dan sebagian yang lain turun di Madinah.[2]

Dari hasil analisis terhadap ayat-ayat tersebut diketahui bahwa terma dakwah dalam al-Qur'an dipergunakan untuk pengertian yang lebih luas dari pemaknaan dakwah yang dipergunakan oleh masyarakat dakwah. Dalam pengertian agama, dakwah mengandung arti panggilan dari Tuhan dan Rasul-Nya untuk umat manusia agar percaya kepada ajaran Islam dan mewujudkan ajaran yang dipercayainya itu dalam segala kehidupan dalam rangka mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Hakikat dakwah yang ditekankan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw dan kaumnya adalah agar terus menerus untuk menyeru kepada perbuatan yang ma’ruf danmencegah perbuatan mungkar. Kedua istilah ini bersifat umum dan komprehensif. Islam bukan saja berdasarkan wahyu, tetapi terlibat kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, selama nilai-nilai kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan apa yang terkandung dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, ajaran Islam tidak hanya dari Allah, tetapi juga muncul dari interpretasi dan inovasi akal manusia. 

B.      Pembahasan

  1. Hakekat Dakwah

Istilah dakwah secara bahasa berasal dari bahasa Arab,  د,ع,وyang berarti dasar kecenderungan sesuatu disebabkan suara dan kata-kata.[3] Dari akar kata ini terangkai menjadi kata  دعا- يدعو-دعوة  yang berarti menyeru, memanggil, mengajak, dan menjamu.[4] Seruan dan panggilan tersebut dapat dilakukan dengan suara, kata-kata, atau perbuatan.[5] Secara istilah kata dakwah mengalami perkembangan makna seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan pencantuman "Islam" setelah kata "dakwah" dimaksudkan untuk mempertegas kata dan kandungan missi “dakwah” karena dalam Al-Qur’an digambarkan ada dua sistem dakwah : pertama, dakwah menuju jalan Allah SWT, jalan kebaikan atau jalan sorga, seperti tampak dalam ayat : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu” (QS. an-Nahl : 125), dan “Allah menyeru (manusia) ke sorga dan menunjuki orang-orang yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus (Islam).” (QS Yunus: 25);[6] Kedua, dakwah menuju pada jalan setan, jalan keburukan atau jalan ke api neraka, seperti dalam ayat, “dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan menyuruh mereka ke dalam siksa api neraka.” (QS. Luqman : 21)[7]. Dua model dakwah ini dijelaskan al-Qur'ah : mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah : 221).

Para pakar ketika menulis buku dakwah biasanya mempertegas dengan "da'wah ilallah", atau "dakwah Islam". Istilah "Islam" berarti kepatuhan, damai dan tenteram dengan kata lain damai melalui kepatuhan kepada Allah. Dengan demikian "Islam" adalah jalan hidup (diin) yang memberikan kedamaian, keamanan dan kesejahteraan yang dicapai manusia dengan penyerahan diri dan patuh secara penuh kepada perintah Allah dan Rasul Allah. Menurut Sayyid Sabiq Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Muhammad Saw yang terdiri atas iman dan amal. Iman menyangkut akidah dan amal menyangkut syari’ah. Hubungan antara akidah atau iman dengan amal atau syari’ah tidak dapat dipisahkan , bahwa akidah menjadi landasan bagi syari’ah dan syari’ah bertumpu pada akidah. Dengan tercakupnya aspek amal atau syari’ah dan muamalah maka ajaran Islam tidak berhenti pada keyakinan saja tetapi secara langsung dan operasional menyangkut masalah-masalah kehidupan yang bersifat duniawi, termasuk dalam wilayah kehidupan masyarakat dan negara[8]

Menurut Abdul Karim Zaidan, dakwah adalah mengajak ke jalan Allah, yakni ajakan ke jalan dinul Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Pakar lainnya Ahmad Ahmad Ghulusy menjelaskan bahwa "dakwah ialah pekerjaan atau ucapan untuk mempengaruhi manusia supaya mengikuti Islam".[9] Muhammad Abu Zahrah menjelaskan dakwah dalam dua hal; pertama, adanya organisasi (sistem) dakwah untuk menunaikan fardhu kifayah dan kedua, pelaksanaan dakwah perorangan.[10] Sedangkan menurut Sayyid Quthub, dakwah adalah usaha orang beriman mewujudkan sistem (ajaran) Islam dalam realitas kehidupan atau usaha orang beriman mengkokohkan sistem Allah dalam kehidupan manusia baik pada tataran individu (fardiyyah), keluar (usrah), masyarakat (mujtama’) dan umat (ummah) demi kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.[11]

Ali Mahfuzd – sebagai pencetus gagasan dan penyusunan pola ilmiah ilmu dakwah – memberi batasan mengenai dakwah sebagai “membangkitkan kesadaran manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar, supaya mereka memperoleh kabahagiaan dunia dan akhirat”.[12]

Salmadanis – dalam Filsafat Dakwah – membaginya menjadi dakwah dalam artian sempit dan luas. Dakwah dalam artian sempit adalah pembicaraan seputar ibadah mahdhah (rutinitas) dengan sistem penyampaiannya yang sangat sederhana, yang biasa disebut dengan tabligh. Sedangkan dakwah dalam artian luas meliputi semua potensi yang ada pada manusia dan terkait dengan kehidupan kesehariannya sepanjang zaman.[13] Dakwah dalam artian yang luas, banyak ilmuan yang memberikan batasan-batasan tertentu sesuai dengan sudut pandang yang mereka miliki. Perbedaan sudut pandang tersebut mempengaruhi terhadap sistem dan unsur-unsur dakwah, seperti materi dan metode yang relevan yang digunakan. Misalnya Syeik Ali Mahfuzd, dalam definisi di atas lebih menitikberatkan kajiannya kepada al-khair dan al-huda, yaitu kebajikan dan petunjuk yang diartikan dengan ajaran Islam dengan tujuan akhirnya yang ingin dicapai adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Dakwah dapat juga diartikan sebagai usaha mengajak manusia dengan cara hikmah ke jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan dalam rangka mencari kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.[14]

Dr. Taufiq al-Wail memberikan definisi dakwah adalah mengumpulkan manusia-manusia dalam kebaikan, menunjuki mereka jalan yang benar dengan cara merealisasikan manhaj Allah di bumi dalam ucapan dan amalan. Sementara M. Masyhur Amin, berpendapat dakwah adalah suatu aktivitas yang mendorong manusia memeluk agama Islam melalui cara yang bijaksana dengan materi ajaran Islam agar mereka mendapat kesejahteraan dunia dan kebahagiaan di akhirat.[15] Dakwah Islam pada hakekatnya mengajak umat manusia ke jalan Allah (sistem Islam) sebagai ikhtiar kolektif mewujudkan Islam dengan berbagai aspeknya dalam kehidupan pribadi, keluarga, institusi, jamaah (kelompok) dan umat (masyarakat) dalam rangka mewujudkan khairu ummah (masyarakat yang adil dan makmur yang memperoleh ridha Allah swt).[16]

Muhammad Thahir Harun, mengemukakan bahwa dakwah adalah usaha para ulama dan orang-orang yang mempunyai pengetahuan dalam agama, sehingga akan membuka mata mereka kepada urusan agama. Pendapat di atas hanya tertuju kepada ulama dan orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan. Pendapat ini benar bila dipandang dakwah sebagai upaya memajukan umat, jika dakwah diberikan oleh yang bukan ahlinya akan membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi kemajuan umat Islam.[17] Dalam al-Qur’an, kata dakwah dapat berarti do’a permohonan (QS. 2: 186), seruan (QS. 41: 33), panggilan untuk nama (QS. 7: 180), sementara ilmuan memberikan beberapa pengertian terhadap kata dakwah sebagaimana yang dikemukakan di atas.

Definisi dakwah tersebut semuanya bertemu di suatu titik, yaitu dakwah. Dakwah merupakan suatu upaya dan kegiatan dalam wujud ucapan maupun ajakan kepada orang lain untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam agar meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Jadi aktivitas dakwah meliputi penjelasan, penyampaian, pembinaan dan pembentukan pribadi, keluarga dan masyarakat Islam.

Hasil yang dicapai dalam aktivitas dakwah sangat tergantung pada profil seorang da’i. Dalam al-Qur’an dan Sunnah terdapat penjelasan tentang al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar, bahwa mereka yang layak menyampaikan dakwah islamiah adalah orang-orang yang mampu mengajarkan agama baik  melalui tulisan,  ceramah, maupun mengajar secara individu dan masyarakat dapat memahaminya. Mereka semua bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan, mereka juga disebut dengan  Ahlu al-Zikr.[18]

Menurut A. Hasjmy, dalam bukunya Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an, bahwa Imam Al-Ghazali mengemukakan da’i adalah para penasehat, para pemimpin, dan para pemberi ingat, yang memberikan nasehat dengan baik, yang mengarang dan berkhutbah, yang memusatkan jiwa dan raganya dalam wa’ad dan wa’id (berita pahala dan siksa) dan dalam membicarakan kampong akhirat untuk melepaskan orang-orang yang karam dalam gelombang dunia.[19] Sementara Syamsuri Siddiq dalam bukunya Dakwah dan Teknik Berkhutbah, menjelaskan bahwa da’i bisa diartikan suatu badan yang berusaha untuk melakukan kegiatan yang disengaja dan berencana, bertujuan untuk mengajak, meningkatkan dan mengembangkan kesadaran orang perorangan dan masyarakat supaya tertarik kepada ajaran Islam dan bersedia melaksanakannya.[20]

Jadi, dapat dipahami bahwa hakikat dakwah yang ditekankan oleh Allah swt kepada Rasul dan kaumnya adalah agar terus menerus untuk menyeru kepada perbuatan yang ma’ruf dan mencegah perbuatan yang munkar demi terwujudnya ajaran Islam (sistem Islam) dalam semua segi kehidupan yang dilakukan baik dengan lisan dan tulisan maupun dengan perbuatan dalam kehidupan perorangan (fardiyah), keluarga (usrah), kelompok (thaifah), masyarakat (mujtama') dan negara (daulah) secara berjama'ah (terorganisir) dengan sistem  dan metode tertentu sampai terwujud masyarakat yang berkualitas khaira ummah dan daulah thayyibah"  sehingga Islam menjadi sebagai rahmat seluruh alam dalam rangka mecapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dalam ridha Allah.

  1. Konsep al Amr bi al Ma’ruf wa al Nahy al Munkar

Para filosof dan teolog sering membahas tentang arti baik dan buruk, serta tentang pencipta kelakuan tersebut, yakni apakah kelakuan itu merupakan hasil pilihan atau perbuatan manusia sendiri, ataukah berada di luar kemampuannya. Namun, secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya. Ini berarti bahwa manusia memiliki kedua potensi tersebut. Terdapat sekian banyak ayat al-Qur'an yang dipahami menguraikan hakikat kedua hal tersebut, antara lain:[21]

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Q.S. Al Balad/90:10).[22]

 “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (Q.S. Asy Syams/91:7-8). 

Walaupun kedua potensi tersebut terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam al-Qur'an bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia dari pada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.[23] Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman, perbedaan – jika terjadi – terletak pada bentuk. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan, pencurian, atau pembunuhan. Begitu juga tidak ada peradaban yang menilai penghormatan kepada orang tua itu adalah buruk. Tetapi, bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi lain.

Secara filosofi Qadhi Abdul Jabbar – dalam Syarh al-Ushul al-Khamsah, dalam Salmadanis – mengemukakan bahwa ma’ruf ialah semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan kebaikannya atau sesuatu yang menunjukkan kebaikan, sedangkan munkar ialah semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan keburukannya atau sesuatu yang menunjukkan kepada keburukan. Selanjutnya Abdul Jabbar mengemukakan bahwa, perbuatan baik (al-hasan) adalah perbuatan yang pelakunya berhak mendapat pujian (yastahiqq al-madh). Sebaliknya perbuatan jahat (al-qabih) pelakunya berhak mendapat celaan (yastahiqq al-zamm).[24] Batasan di atas terlihat sangat luas dan umum, karena baik dan buruknya perbuatan tersebut dinilai oleh pelakunya sendiri.

A. Hasjmy dalam bukunya Dustur Dakwah menurut al-Qur'an,mengemukakan bahwa al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar adalah dua kata yang sangat umum. Ma’ruf adalah mencakup segala apa yang dikenal bahwa ia patut, baik dan benar, mengenai akhlak, adat istiadat, segala perbuatan yang berfaedah dan barakahnya kembali kepada pribadi dan masyarakat, dan di dalamnya tidak terdapat pemaksaan, kemesuman, kedurjanaan, dan segala hal buruk lainnya. Sedang munkar adalah segala apa yang dikenal bahwa ia jahat dan keji, mengenai akhlak, adat istiadat, segala perbuatan yang bencana kemudharatannya kembali kepada pribadi dan masyarakat, dan di dalamnya terdapat pemaksaan, kemesuman, kedurjanaan, dan segala hal buruk lainnya.[25]

Al ma’ruf menurut perspektif teolog, misalnya Mu’tazilah adalah apa yang telah mereka sepakati baik (ma ajma’u ‘alaihi) sedangkan munkar adalah pandangan orang-orang yang berbeda paham dengan mereka (ma yarahu mukhalifuhum).[26] Selanjutnya Qadhi Abdul Jabbar mengemukakan bahwa perbuatan baik adalah perbuatan yang pelakunya berhak mendapat pujian. Sebaliknya perbuatan jahat adalah perbuatan yang pelakunya berhak mendapat celaan.[27] Menurut Mu’tazilah al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar merupakan syarat untuk membina umat menjadi baik dan bahagia, karena keimanan seseorang tergantung kepada bentuk perbuatannya. Melaksanakan al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar menurut mereka cukup dengan seruan, akan tetapi jika terpaksa boleh dengan kekerasan sekalipun menimbulkan peperangan.[28]

Melaksanakan al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar menurut teolog adalah bukan untuk golongan tertentu saja,tetapi kewajiban bagi semua golongan umat Islam lainnya. Maka, siapapun manusia yang tidak melakukannya hendaklah diluruskan jalan hidupnya dengan melakukan jihad terhadap dirinya yang sifatnya sama dengan melakukan jihad terhadap orang kafir atau fasik.

Kewajiban tersebut sesuai dengan kemampuan mereka, apakah dengan mengangkat senjata, atau dengan cara lainnya. Ajaran ini berlaku baik terhadap orang-orang kafir maupun golongan Islam yang tidak mengikuti mazhab mereka.

Di dalam Syarh al-Ushul al-Khamsah, Qadhi Abdul Jabbar – dalam Salmadanis – mengemukakan argumentasi tentang kewajiban melaksanakan al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar, di antaranya firman Allah surat Ali Imran ayat 110:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (Q.S. Ali Imran/3: 110)

Pada ayat ini sebenarnya tidak ditemui bentuk perintah yang mewajibkan al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar. Akan tetapi melihat sudut pujian Tuhan terhadap terhadap orang yang beriman sebagai umat yang terbaik. Dengan demikian kewajiban di sini bukanlah berdasarkan perintah, tetapi berdasarkan informasi, di mana seandainya al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar bukan suatu kebaikan yang wajib dilaksanakan, tentu Tuhan tidak akan memberikan pujian tersebut.

Bahkan al Zamakhsyari, seorang ulama tafsir di kalangan Mu’tazilah lebih jauh lagi memahami ayat di atas, dengan menambahkan beberapa hadits untuk menguatkan bahwa prinsip kewajiban di sini adalah fardhu kifayah. Karena tidak pantaslah seseorang melakukan al ma’ruf wa al munkar.[29]

Perumpamaan orang yang menetapi ketentuan Allah dengan orang yang melanggarnya adalah seperti suatu kaum yang berada di atas perahu, sebahagian mereka ada di bagian atas dan sebahagian lagi ada di bagian bawah, orang-orang yang berada di bagian bawah, apabila mengambil air melewati orang-orang yang berada di atas, lalu mereka berkata, ”bagaimana seandainya kita membuat suatu lubang di tempat kita ini dan kita tidak perlu izin kepada orang yang berada di atas kita”, maka seandainya orang yang berada di bagian atas membiarkannya, semuanya akan  binasa,  dan apabila mencegahnya mereka akan selamat semuanya. (H.R. Bukhari).

Ahli kalam sepakat tentang kewajiban al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar, hanya saja terdapat perbedaan pandangan tentang cara pelaksanaannya. Di antaranya ada yang memandang kewajiban itu hanya dilaksanakan dengan hati, dan lisan, sementara pandangan lain menggunakan kekerasanpun wajib, jika diperlukan. Pendapat pertama seperti yang dianut oleh sebahagian ahl al sunnah seperti al Ghazali.  Bahwa bagi masyarakat muslim yang tidak mempunyai kemampuan merobah pemimpinnya zalim, tetap bersikap patuh padanya. Menurut paham Mu’tazilah, pelaksanaan al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar bisa dilaksanakan dengan cara apa saja, termasuk menggunakan kekerasan, sesuai dengan pertimbangan akal dan diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya:[30]


“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil” (Q.S. al Hujurat/49:7)

Dalam menafsirkan ayat ini, Abdul Jabbar mengaitkannya dengan kewajiban al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar. Menurutnya, dalam ayat ini dijelaskan dua cara penyelesaian sengketa; pertama, dengan cara damai (al-islah), kemudian jika tidak efektif barulah digunakan cara kedua, yaitu tindakan kekerasan, dengan demikian al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar harus dilaksanakan secara bertahap sesuai kebutuhan dan target yang akan dicapai.[31] Kemudian Qadhi Abdul Jabbar menambahkan dalam hal pelaksanaan al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar, dibagi kepada dua kategori. Pertama, al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar hanya ditangani oleh imam, misalnya dalam hal pemberian sanksi hukum, pengerahan kekuatan militer, dan lain sebagainya. Kedua, al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar dilaksanakan secara perorangan dan kolektif, misalnya pengajaran etika dan akhlak di masyarakat, pencegahan kemaksiatan di masyarakat, dan lainnya.[32]

Dengan demikian, prinsip al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar menurut ahli kalam adalah wajib, namun kewajiban itu muncul setelah seseorang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1.         Mengetahui secara pasti bahwa apa yang disuruhnya itu baik, dan apa yang dilarangnya itu munkar.

2.         Mengetahui atau berat dugaan akan terjadinya kemunkaran yang dibekali dengan ilmu pengetahuan

3.         Mengetahui atau berat dugaan bahwa tindakannya tidak mengakibatkan bahaya yang lebih besar

4.         Mengetahui atau berat dugaan bahwa upaya tersebut ada pengaruhnya

5.         Mengetahui atau berat dugaan bahwa tindakannya tidak membahayakan dirinya.

Melihat kepada syarat di atas, menunjukkan bahwa al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar harus dilaksanakan penuh pertimbangan dan perhitungan. Dengan demikian diperlukan manajemen yang matang, sehingga tidak terjadi kekeliruan atau usaha yang sia-sia. Disinilah arti penting, bahwa dakwah harus dilaksanakan secara kolektif.

Sedangkan Ahmad Musthafa Al Maraghi dalam menafsirkan surat Ali Imran ayat 110 diatas, membedakan kata الخير dan المعروف. Kata الخير adalah sesuatu yang di dalamnya terkandung kebaikan bagi umat manusia dalam masalah agama (prinsip ajaran agama) dan duniawi. Kata المعروف adalah apa yang dianggap baik oleh syari’at dan akal, sedangkan kata المنكر adalah lawan dari kata المعروف.

Di sini Allah swt memerintahkan agar melakukan penyempurnaan terhadap selain mereka, yaitu anggota-anggota masyarakat dan menghimbau agar mengikuti perintah-perintah syari’at serta meninggalkan larangan-larangan-Nya, Sebagai pengukuhan terhadap mereka untuk memelihara hukum-hukum syari’at dalam rangka memelihara syari’at dan undang-undang. Jadi, hendaklah dalam jiwa manusia itu tertanam cinta kepada kebaikan dan berpegang teguh pada syari’at.[33]

Menurut A. Hanafi, prinsip al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar ini sangat erat kaitannya dengan taklif. Pendapat tersebut juga didukung oleh Abdul Jabbar, yang mengatakan bahwa taklif maksudnya informasi yang disampaikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bermanfaat atau yang berbahaya serta adanya kesukaran yang menyertainya dengan ketentuan keadaannya tidak sampai dalam bentuk paksaan.

Dari definisi di atas, terlihat tingkatan perintah yang diberikan Tuhan melalui informasi yang disampaikan kepada seseorang. Pertama, al-‘Ilm atau informasi. Hal ini diperoleh dari anugerah Tuhan yang disebut al-‘Ilm al daruri, yang datang dengan sendirinya tanpa diusahakan, seperti dasar-dasar kebaikan, keburukan, dan kewajiban-kewajiban. Berdasarkan hal ini, semua manusia yang sudah baligh disebut mukhallaf. Kedua, tindakan yang bertanggungjawab. Menurut Qadhi Abdul Jabbar, perintah untuk melakukan sesuatu terbagi kepada dua kategori. Pertama, diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan disiksa bagi yang meninggalkannya, perintah ini disebut wajib. Kedua, diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang tidak meninggalkannya, perintah ini disebut sunat. Larangan juga terbagi kepada dua, pertama, diberi pahala bagi yang tidak mengerjakannya dan disiksa bagi yang melakukannya, larangan ini disebut haram. Kedua, diberi pahala bagi yang tidak meninggalkannya, dan tidak disiksa bagi yang mengerjakannya, larangan ini disebut makruh.

Menurut Al Maraghi Orang yang diajak bicara dalam ayat di atas ialah kaum muslimin secara keseluruhan. Mereka terkena taklif agar memilih suatu golongan yang melaksanakan kegiatan dakwah tersebut. Dalam praktek keseharian Al Maraghi menekankan bahwa golongan yang menyeru kepada yang ma’ruf ada beberapa syarat yang harus dimiliki agar ia dapat melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan bisa menjadi contoh saleh yang menjadi panutan dalam ilmu dan amalnya, yakni: [34]

1.       Hendaknya da’i pandai dalam bidang al-Qur'an, Sunnah Nabi, Sirah Nabi, dan sahabat.

2.       Pandai membaca situasi orang-orang yang sedang didakwahi

3.       Mengetahui bahasa umat yang dituju oleh dakwahnya

4.       Mengetahui agama, aliran, sekte-sekte masyarakat, agar juru dakwah mampu menganalisa kebathilan yang terkandung di dalamnya.

Quraish Shihab - dalam Wawasan al-Qur'an – menjelaskan tentang kata ma’ruf dari ayat berikut:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.

Menurut Quraish Shihab, kata ma’ruf pada ayat di atas mengacu pada kebiasaan dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan al-khair, prinsip-prinsip ajaran Islam. Rincian dan penjabaran kebaikan dapat beragam sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat. Sehingga sangat mungkin suatu masyarakat berbeda pandangan dengan masyarakat lain. Selama rincian itu tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama, maka itulah yang ma’ruf. [35]

Pakar-pakar hukum menetapkan bahwa adat kebiasaan dalam suatu masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan hukum (al adat muhakkimah). Demikian ketentuan yang mereka tetapkan setelah menghimpun sekian banyak rincian argumentasi keagamaan.

Terkait dengan kewajiban  pelaksanan amar ma'ruf nahi mungkar bersifat individu atau kolektif di masyarakt. Dalam hal ini Abdul Jabbar melaksanakannya sebagai kewajiban kolektif,[36] tetapi ini bukan berarti tanggung jawab individu dikesampingkan, karena sesuai dengan keyakinan mereka, bahwa setiap individu bertanggung jawab untuk terlaksananya kewajiban kolektif. Artinya setiap individu bertanggung jawab melaksana­kannya, hanya saja pelaksanaannya melalui wadah kolektif, tidak bertindak dengan sendiri-sendiri. Dalam hal penerapan amar ma'ruf nahi mungkar, Qadhi Abdul Jabbar membagi kepada dua kategori dengan ungkapan menyangkut hal yang hanya ditangani oleh para imam adalah seperti pelak­sanaan sanksi hukum, kebijaksanaan untuk menjaga kesucian Islam, pengerahan kekuatan meliter dan sebagainya, sedangkan hal-hal yang di tangani oleh semua orang secara perorangan atau secara kolektif, adalah seperti pencegahan minuman keras, pencurian, perkosaan dan sebagainya.[37]

  1. Hubungannya dengan Ulama, Muballigh, dan Umara’

Ulama menurut M. Natsir adalah orang-orang yang – tafaquh fiddin - memperdalam ilmu agama, mempelajari syari’ah Islam, memperkokoh aqidah, menggali ilmu agama sedalam-dalamnya bukan untuk disimpan saja dikepala, atau sekedar untuk ditanamkan di dalam jiwa, sehingga asyik dengan ilmu tersebut, melainkan harus dipergunakan dalam rangka al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar, yang disebut dengan istilah jihadunnafsi.[38] Ulama menurut M. Natsir adalah seorang  da’i yang juga harus mengemban tugas al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar. Dalam hal ini, karena ia telah memenuhi syarat-syarat dalam berdakwah. Bahkan dengan tegas M. Natsir mengatakan bahwa risalah terbesar ulama atau bahkan seluruh umat Muhammad saw adalah membawa umat Islam tampil ke depan sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 110.

Sementara muballigh, secara etimologi بلغا berakar dari kata بلغا-يبلغ-بلوغا-بليغا bentuk jamaknya بلغا berarti صـارا اوكان فصيحا, yaitu ucapan yang fasih sampai kepada yang dimaksud, atau diartikan sesuatu ucapan yang telah sampai kepada orang lain yang berbekas di hatinya.[39]  Zamaksyari – dalam Da’i dan Kepemimpinan – mengatakan

 قولا بليغا: هو قول مؤثر في قلوب يغتنم به اغتماما ويستشعر منه الخوف استشعارا  artinya perkataan yang membekas di hati yang sebelumnya tertutup hingga menimbulkan kesadaran yang mendalam.[40] Atau juga diartikan dengan kata-kata menggugah jiwa.

Pengertian di atas member titik fokus kepada kata “sampai” yang berkaitan dengan kata “berbekas”. Jika dilihat dari segi metode dakwah, keduanya sangat sangat terkait dengan metode maw’izah hasanah dalam bentuk qaulan balighan, yaitu perkataan yang sampai kepada maksud yang dituju, serta memberi bekas ke dalam hati orang yang diajak bicara. Kalimat qaulan balighan adalah gaya bahasa al-Qur’an yang bertujuan mengetok jiwa yang kesat dan kasar, kepada jiwa yang dalam menerima kebenaran sehingga akhirnya dapat merubah tingkah laku umat kepada jalan yang diredhai Allah swt.[41] Melihat kepada tujuan yang hendak dicapai, tujuan tabligh sama dengan tujuan dakwah yaitu mengajak orang kepada apa yang diredhai Allah swt. Namun secara teknik, pelaksanaan dakwah dan tabligh mempunyai penekanan yang berbeda. Pelaksanaan dakwah lebih kepada kelompok (thaifah), masyarakat (mujtama') dan negara (daulah) secara berjama'ah (terorganisir), sedangkan tabligh secara perorangan (fardiyah), dan keluarga (usrah).

Umara’ atau pemimpin dalam Islam disebut khalifah, imam dan amir dan jabatannya dikenal dengan khalifah, imamat, dan imarat. Kesemuanya itu menunjukkan kepada satu pengertian, walaupun masa pertumbuhannya berbeda satu sama lainnya. Menurut Abdul Jabbar, secara etimologi al-imamat adalah orang yang berada di depan, apakah ia pantas atau tidak pantas menduduki posisi tersebut. Secara terminology ialah orang yang mempunyai otoritas kepada masyarakat dan juga kepada urusan-urusan mereka.[42]

Hubungan umara’ dengan dakwah berdasarkan firman Allah swt, sebagai berikut:

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan” (Q.S. Al Hajj/22:41)

Hubungan dakwah dengan umara’ bukan hubungan seputar dakwah, akan tetapi jauh lebih besar dari itu, yaitu: masalah wilayah, kekuasaa hukum, peperangan, peradilan, undang-undang, masalah sosial, stabilitas keamanan, hubungan internasional, dan lain sebagainya. Tugas mulia dari kekuasaan atau umara’ adalah menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan mengupayakan terciptanya kemakmuran, dan usaha ke arah itu dilaksanakan melalui kegiatan dakwah. Kegiatan dakwah tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya pemimpin. Sekurang-kurangnya ada dua badan resmi yang dapat dijadikan benteng untuk bisa berdirinya dakwah dalam masyarakat, yaitu:

a.   Pihak-pihak resmi (pemerintah) bertanggungjawab terhadap pelaksanaannya, dalam hal ini adalah penguasa.

b.    Bila tidak mendapatkan pada yang pertama, hendaknya manusia berjalan di belakang para ulama yang memikul tugas ini.

Dengan demikian masalah pemimpin merupakan bagian dakwah, karena ajaran ini merupakan rekonstruksi umat Islam. Semua sasaran kehidupan umat Islam mesti melalui media dakwah, misalnya masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. 


Baca Juga;//...............

👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉

C.      Kesimpulan

Dakwah pada hakikatnya adalah menyeru, mengajak, menjelaskan yang dilakukan secara berkesinambungan untuk berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar demi terwujudnya ajaran Islam (sistem Islam) dalam semua segi kehidupan, yang dilakukan baik dengan lisan dan tulisan maupun dengan perbuatan dalam kehidupan perorangan (fardiyah), keluarga (usrah), kelompok (thaifah), masyarakat (mujtama') dan negara (daulah) secara berjama'ah (terorganisir) dengan sistem  dan metode tertentu sampai terwujud masyarakat yang berkualitas khaira ummah dan daulah thayyibah"  sehingga Islam menjadi sebagai rahmat seluruh alam dalam rangka mecapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dalam ridha Allah.


Walaupun terdapat perbedaan para ahli tentang al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar, akan tetapi dalam pelaksanaannya mereka sepakat bahwa al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar  merupakan inti dari kegiatan dakwah islamiyah yang wajib dilakukan  dalam rangka mengajak dan memperbaiki umat ke jalan yang diredhai Tuhan.


Daftar Pustaka

 

A. Hasjmy, Dustur Da’wah Menurut al-Quran, Jakarta: Bulan Bintang, 1974

Ahmad, Amrullah, Dakwah sebagai Ilmu (suatu Pendekatan Epistimologi), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1994

_______, “Konstruksi Keilmuan Dakwah dan Pengembangan Jurusan Kosentrasi Studi”, Makalah  Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya "Pengembangan Keilmuan Dakwah dan Prospek Kerja", APDI Unit Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang 19-20 Desember 2008.

Jaya, Yahya, Teologi Agama Islam Klasik, Padang, Angkasa Raya, 2000, cet. ke-1

atsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Bab VI, Juz 1

Mahfuzd, Ali, Hidayah  al-Mursyidin, Beirut: Dar al Ma’arif, tt

Al Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al Maraghi Terjemah, Jilid 4, Semarang: Toha Putra, 1993

Mulkhan, Abdul Munir, Ideologisasi Gerakan Dakwah Episode Kehidupan M. Natsir dan Azhar Basyir, Yogyakarta: SipPress, 1996, cet. ke-1,

An-Nabiry, Fathul Bari, Meniti Dakwah Kenal Perjuangan Para Da’i,  Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2008

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya jilid II, Jakarta: UI-Press, 1985

Omar, Thoha Jahya, Ilmu Dakwah, Jakarta: Widjaya, 1967

Quthub, Sayyid, Fî Zhilâl, Jld. I

Ar-Rafi’i, Mushthafa, Potret Juru Dakwah, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2002

Sabiq, Sayyid, Al-‘Aqâid Al-Islâmiyyah, Kairo : Maktabah Mansurat, t.t.

Salmadanis, Da’i dan Kepemimpinan, Jakarta: TMF Press, 2004

_______, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003, cet. ke-2

Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2003, cet. ke-XIV

Sulthon, Muhammad, Desain Ilmu Dakwah: Kajian Ontologis, Epistimologi, dan AKsiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

Yahya Jaya, Teologi Agama Islam Klasik, Padang, Angkasa Raya, 2000

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung , 1989

Zahrah, Muhammad Abu, Buhūts Fî Ad-Da’wah, Kairo : Majma’ Al-Buhuts Al-Islâmiyyah, 1983



                [1] Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah: Kajian Ontologis, Epistimologi, dan AKsiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 1

                [2] Ibid, h. 4

                [3] Abi al Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Muqayyis al Lughat, Mesir: Musthafa al Baabi al Halabi, 1969 dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta: Suarau, 2003), h. 76

                [4] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung , 1989), 127

                [5] Abi Al-Husain Ahmad Ibnu Faris, Mu’jam Maqâyis Al-Lughoh, (Beirut: Dâr Al-Fikr, 1979), h. 279. dalam Amrullah Ahmad, “Konstruksi Keilmuan Dakwah dan Pengembangan Jurusan Kosentrasi Studi”, Makalah  Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya "Pengembangan Keilmuan Dakwah dan Prospek Kerja", APDI Unit Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang 19-20 Desember 2008.

                [6] Penggunaan kata dakwah untuk arti ajakan ke jalan yang benar dalam beberapa ayat ini, QS. Al-A’râf:24, 192, dan 198, Yusuf:108, Al-Ra’d: 14 dan 36, Al-Ghafir, 42-43, Kahfi:57, Al-Mu’minun:73, Ali Imrân:104, Al-‘An’âm:71, Al-Hajj:67, Al-Qashash:87, Al-Syura:15, Al-Ahqaf:31-32, dan Al-Ahzâb:46

                [7] Perhatikan pula penggunaan kata dakwah untuk arti yang sama dalam QS. Ath-Thur: 13, Yusuf:33, dan Al-Qamar: 6

[8] Sayyid Sabiq, Al-‘Aqâid Al-Islâmiyyah, (Kairo : Maktabah Mansurat, t.t.), h. 6.

[9] Ahmad Ahmad Ghulusy, Ad-Da’wah Al-Islâmiyayah, Ushūluha wa Washâiliha, (Kairo : Dâr Al-Kitab Al-Mishri, 1987), h. 9. Dalam Amrullah Ahmad, “Konstruksi Keilmuan Dakwah dan Pengembangan Jurusan Kosentrasi Studi”, Makalah  Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya "Pengembangan Keilmuan Dakwah dan Prospek Kerja", APDI Unit Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang 19-20 Desember 2008.

[10] Muhammad Abu Zahrah, Buhūts Fî Ad-Da’wah, (Kairo : Majma’ Al-Buhuts Al-Islâmiyyah, 1983), h. 27

[11] Sayyid Quthub, Fî Zhilâl, Jld. I, h. 187, 444, 447, Jld. II, h. 689, 696, 810, 825, 949 lihat juga Amrullah Ahmad, “Konstruksi Keilmuan Dakwah ..., h. 12

                [12] Ali Mahfuzd, Hidayah  al-Mursyidin, (Beirut: Dar al Ma’arif, tt), h. 17

                [13] Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta: Surau, 2003), cet. ke-2, h. 29

                [14] Ali Mahfuzd, op. cit., h. 17, lihat juga Thoha Jahya Omar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Widjaya, 1967), h.1.

                [15] Fathul Bari an-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i, 2008, h. 22

                [16] Amrullah Ahmad, Dakwah sebagai Ilmu (suatu Pendekatan Epistimologi), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1994), h. 6

                [17] Salmadanis, Filsafat Dakwah…, h. 30

                [18] Mushthafa ar-Rafi’i, Potret Juru Dakwah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), h. 38

                [19] A. Hasjmy, Dustur Da’wah Menurut al-Quran, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.204

                [20] Salmadanis, Da’i dan Kepemimpinan, (Jakarta: TMF Press, 2004), h.25

                [21] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), cet. ke-XIV

[22] Ibnu Katsir  - dalam Tafsir Ibnu Katsir- menjelaskan yang dimaksud dengan dua jalan pada ayat di atas ialah jalan kebajikan dan jalan kejahatan طريق الخير وطريق الشر. Jalan kebajikan dicontohkan dalam ayat berikut:

 اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ [النحل: 121]: (lagi) yang mensyukuri ni'mat-ni'mat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus” sementara jalan kejahatan digambarkan pada ayat berikut:

فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ  [الصافات: 23]: selain Allah; maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka” lebih lanjut lihat Tafsir Ibnu Katsir, Bab VI, Juz 1, h. 127.

                [23] Kecenderungan manusia kepada kebaikan tergambar dari hadits Rasulullah saw:

كل مولول يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أوسنصرا نه أويمجسانه

                “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), hanya saja kedua orang tuanya (lingkungannya) yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. (H.R. Bukhari)

                [24] Salmadanis, Filsafat Dakwah, h. 192

                [25] A. Hasjmy, op. cit., h. 302

                [26] Ibid

                [27] Ibid.

                [28] Iman bagi mereka tidak cukup hanya dengan tasdiq, seperti yang terdapat pada paham Murji’ah, akan tetapi tasdiq diikuti dengan amal ketaatan dan sunat. Iman akan bertambah jika diiringi dengan amal ketaatan dan sunat, dan sebaliknya iman akan berkurang jika diiringi dengan kemaksiatan. Lebih lanjut lihat Yahya Jaya, Teologi Agama Islam Klasik, (Padang, Angkasa Raya, 2000), cet. ke-1, h.74. lihat juga Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya jilid II, (Jakarta: UI-Press, 1985), h.39

                [29] Salmadnis, Filsafat Dakwah, h. 193

                [30] Salmadnis, Ibid., h. 196. Lihat juga Yahya Jaya, loc., cit.

                [31] Qadhi Abdul Jabar, Mutasyabih al-Qur'an, dalam Salmadanis, ibid.

                [32] Salmadanis, ibid, h. 197

“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (Q.S. Ali Imran/3: 110)

14 Lebih lanjut,  lihat Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi Terjemah, Jilid 4, (Semarang: Toha Putra, 1993), cet. ke-2, h. 35

                [34] Ibid, h. 36

                [35]  M. Quraish Shihab, op. cit., h. 342-343

[36] Qadhi Abdul Jabbar, Syarh..., op. cit., hlm. 148.

[37] Ibid

                [38] Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah Episode Kehidupan M. Natsir dan Azhar Basyir, (Yogyakarta: SipPress, 1996), cet. ke-1, h.68

                [39] Salmadanis, Da’i… op.cit., h.39

                [40] Ibid. lihat juga Al Zamaksyari, Al-Kasysyauf, Juz I, Istiqamah, al-Qahirah, 1953, h.304

                [41] Salmadanis, Da’i …, Ibid, h. 42

                [42] Ibid.

0 Comment