17 Desember 2022

 

HAKIKAT METODE DAKWAH MAUIZAH AL-HASANAH
 

       A.      Pendahuluan

Filsafat Ilmu dakwah merupakan ilmu yang membahas tentang hakikat dari dakwah, menhaj atau metode dakwah merupakan salah satu rumpun kajian  dari filsafat ilmu dakwah.  Metode dakwah yang telah tertuang dalam surat an-Nahl ayat 125 merupakan pokok kajian metode dalam menyampaikan dakwah.

Inti dari surat an-Nahl ayat 125 yaitu dakwah disampaikan dengan cara hikmah, mauizah hasanah, serta jidal (dalam ayat wajadilhum bi al lati hiya ahsan) yang merupakan suatu ikatan komponen metode dakwah.

Untuk pembahasan yang lebih jelas, yatitu salah satu metode dakwah yang menggunakan yaitu metode mauizah al hasanah, yang merupakan ungkapan nasehat untuk kebenaran dan bermanfaat dan  dianggap baik oleh manusia sebagai pendengar.

Selanjutnya, penulis akan  mengupas tentang hakikat metode mauizah al hasanah yang meliputi pengertian, tujuan dan fungsi, serta ruang lingkup dan  aplikasinya terhadap umat. Semoga makalah ini dapat mennambah wawasan  serta khasan kita semua 

B.      Pengertian


Secara bahasa, mauizah al-hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mauizah dan hasanah. Kata mauizah berasal dari kata wa’aza-ya’izu-wa’dzan-’idzatan yang berarti; nasehat, bimbingan, pendidikan dan peringatan[1]. Kata mauizah  sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Fuad Abdul al-Baqi adalah dengan segala bentuknya terulang sebanyak 25 kali[2] dalam berbagai ayat dan surat . Rincian ayat yang berakar dari wau, ’ain, dan zha dalam al-Qur’an bentuk mau’aizah terdapat terdapat  sembilan kali, yaitu: Surat al-Baqarah: 66, 275, Ali Imran: 138, al-Maidah 46, al-’A’raf: 145, Yunus: 57, Hud, an-Nahl: 125, an, Nur: 34.[3]

Sedangkan hasanah merupakan kebaikan dari sayyi’ah yang berarti kebaikan lawannya kejelekan.[4] Adapun pengertian secara istilah, ada beberapa pendapat, antara lain;[5]

  1. Menurut pendapat Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, Mauizah al-hasanah adalah (perkataan-perkataan) yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberi nasehat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan al-Qur’an.
  2. Menurut Abd Hamid al Bilali al-mauizah al-hasanah merupakan salah satu menhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasehat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.

Mauizah hasanah dapat diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah,  berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan didunia dan akhirat.

Dalam surat Luqman ayat 13 ” Dan (ingatlah) ketika  Luqman berkata kepada anaknya, yaitu memberikan mauizah (nasehat) kepadanya; Hai anakkku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.[6]

Salah satu contoh mauizah hasanah di atas akan mengandung arti kata-kata yang masuk ke dalam qalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan, tidak membongkar dan membeberkan kesalahan orang lain di depan umum sebab kelemah-lembutan dan menesehati sering dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan qalbu yang liar, atau lebih memudahkan melahirkan kebaikan dari pada ancaman. Dalam hal ini hakikat mauizah hasanah adalah kelemah lembutan dalam memberikan pesan kebenaran kepada umat. 

C.      Tujuan dan  Fungsi

1.       Tujuan

Dalam menyiarkan dakwah tujuan dan fungsi mauizah hasanan harus memenuhi syarat-syarat sebagi berikut:[7]

a.       Nasihat harus bersifat sir (sembunnyi-sembunyi), cara ini penting jika orang yang dinasehati tidak melakukan kesalahaan berulang dan bersifat sembunyi (tidak diketahui oleh orang banyak). Nasehat tersebut langsung ditujukan kepada pribadinya. Cara sir ini adalah jalan terbaik yang akan menggugah jiwa orang yang dinasehati. Para ulama berkata ” Barang siapa yang menasehati saudaranya secara sembunyi-sembunyi berarti dia menghormatinya, dan barang siapa yang menasehatinya secara terang-terangan, berarti ia menghina dan menjatuhkan harga dirinya”. Tetapi sebaliknya, apabila kesalahan orang itu bersifat terang-terangan, semua orang tahu sedang si pemberi nasehat itu tujuannya mengingatkan supaya ia jangan sampai melakukan kesalahan itu lagi atau mengajak orang lain untuk menguikutinya, maka menasehatinya secara terang-terangan adalah lebih baik, tetapi jika kesalahan tersebut, atau menyebut namanya, Ia harus meneladani Rasulullah, yaitu saat beliau memberi peringatan atas sebagian kesalahan yang diperbuat orang-orang yang cukup dikenal. 

Hal diatas dapat diketahui bahwa cara sembunyi-sembunyi bukan merupakan syarat mutlak bagi setiap nasehat dan peringatan, sehingga setiap nasehat atau mauizah adalah cara  masinh-masing sesuai dengan sikon.

b.      Nasihat harus tidak menimbulkan fitnah dan bencana yang lebih besar, syarat ini mutlak wajib bagi setiap bentuk nasihat, sebab dengan  nasehat tersebut kita justeru mengharapkan hilangnya fitnah dan bencana. Apabila yang terjadi sebaliknya, lebih baik kita diam.  Seseorang yang berakal tidak akan melarang khamar (minuman keras), jika mengetahui akibat perbuatannya itu ia akan dibunuh. Jadi membiarkan perbuatan tersebut demi menjaga timbulnya fitnah yang besar itu harus dan wajib.  Dengan demikian, amar makruf apa saja yang akan menimbulkan perbuatan haram lebih besar dari pada apabila kita meninggalkan amar makruf tersebut, maka pada saat itu yang makruf justeru meninggalkannya, begitu juga dengan nahi mungkar yang akan mendatangkan kemungkaran yang lebih besar, maka lebih baik ia meninggalkannya.

c.       Hendaklah nasehat tersebut berpenampilan sebagai barang baru, yaitu tidak ada cacian atau mengandung cercaan yang menyinggung orang yang dinasehati. Ia bersih dari gambaran-gambaran berupa pernyataan seseorang yang menentang (memusuhi). Itulah syarat nasehat dan peringatan.

Syarat di atas dapat dilihat dri contoh bahwa seorang pemberi nasehat pernah dihadapi Harun al-Rasyid, lalu ia ceramah dengan kata-kata kasar penuh emosi, maka Harun al-Rasyid menegurnya: inikah nasehat?”, Allah Azza wa Jalla telah mengutus orang yang lebih baik darimu kepada orang yeng lebih  buruk dariku. Ia menyuruh keduanya untuk lemah lembut dan sopan. Allah berfirman: ”Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya ia melampaui batas, katakanlah kepadanya dengan lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat dan takut” [8]

Ayat ini merupakan dalil landasan bagi syarat di atas. Ayat ini memberikan pemahaman tentang melembutkan perkataan yang menimbulkan simpati orang yang diberi nasehat agar timbul baginya kesadaran.

Syarat Metode mauizah hasanah diatas, sebagaimana ayat-ayat yang terkait dengannya, menunjukkan suatu cara yang diajarkan Allah kepada Nabi-Nya untuk mengajak orang lain kepada Islam dengan tahapan dan perencanaan yang jelas.

Makna yang terkadung dari kalima mauizah meliputi nasehat dan peringatan dengan kebaikan sehingga berfungsi  melembutkan hati dan mendorong untuk beramal. Pemberian nasehat adalah merupakan penjelasan mengenai kebenaran  dan kepentingan sesuatu dengan tujuan agar orang yang dinesehati menjauhi kemaksiatan sehingga terarah kepada sesuatu yang dapat mewujudkan kebahagiaan dan kemenangan. Lebih jauh konsep nasehat dapat menggugah berbagai perasaan, afeksi, dan emosi yang mendorong seseorang melakukan amal shaleh dan segera menuju ketaatan kepada Tuhannya. Nasehat dapat terjadi melalui berbagai sarana antara lain: melalui kematian, melalui sakit, dan melalui perhitungan amal, melaui peringatan-peringatan lain dan sebagainya.[9]

Terma mauizah dalam bentuk nasihat adalah membengkitkan perasaan ke-Tuhanan yang dikembangkan  dalam jiwa objek dakwah, sehinggga menimbulkan rasa takut dan ketundukan kepada Tuhannya,  Selain itu membangkitkan ketangguhan agar senantiasa berpegang kepada pemikiran yang sehat, membangkitkan untuk berpegang kepada kesatuan jamaah, bahkan yang tidak kalah penting adalah nasehat itu menyucikan dan membersihkan diri yang merupakan salah satu tujuan utama dalam dakwah Islam.[10]

Tujuan dan fungsi mauizah yang sesuai dengan syarat di atas adalah seseorang pemberi nasehat dan peringatan harus mengetahui hukum syarak dan berhati-hati dalam memilih cara yang paling cocok dalam menasehati serta harus mengamalkan isi nasehat itu itu sebelum menyampaikannya kepada orang lain. Nasehat seperti ini tidak akan menimbulkan fitnah atau bencana dan akan diterima oleh orang  dengan baik. Ia mengandung manfaat besar buat mereka yang dibebri nasehat, juga merupakan pelajaran bagi setiap orang Islam yang memikul tugas ini.

Mauizah hasanah juga tidak berkisar pada lingkungan kecil dan sempit, tidak menjangkau lapisan luas masyarakat dan umum di jalan-jalan, di kedai-kedai, kantor dan pasar, mesjid aatau sekolah-sekolah, tetapi ia menjangkau semuanya itu sampai kepada departemen-departemen pemerintahan dan menembus yang dapat qalbu. Islam menjadikan nasehat seperti itu berada pada tingkatan dan kedudukan paling tinggi dan paling penting melebihi hal-hal lainya dalam ajaran Islam. Balasannya adalah surga yang seluas langit dan bumi.

Abd Hamid al-Bilali sebagaimana yang dikutip oleh Munzier dan Harjani, mengatakan bahwa mauizah hasanah adalah merupakan salah satu menhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak kepada jalan Allah dengan memberikan nasehat atau bimbingan dengan lemah lembut agar mau berbuat baik.[11]

Dengan demikian, tujuan yang jelas menenai hakikat metode dakwah mauizah hasanah adalah untuk membuat mental orang yang telah keluar dari jalan Allah agar mau menerima ajaran Allah kembali. Sehingga dengan cara dan ucapan yang lemah lembut akan membuat seseorang yang bermental keras menjadi lunak, sehingga metode mauizah hasanah merupakan salah satu metode yang sangat ampuh dalam menyampaikan dakwah. 

2.       Fungsi

’Abdu al-Rahim mengatakan bahwa mauizah ialah peringatan yang baik dengannya, dapat melemahkan hati, yaitu melunakkan hahti yang kesat meneteskan air mata yang beku, dan memperbaiki amal yang rusak. Pendapat ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Sayyid Quthb, bahwa metode mauizah hasanah adalah dakwah yang mampu meresap ke dalam hati dengan halus dan merasuk kedalam peresaan dengan lemah lembut. Tidak bersikap menhardik, memarahi, dan mengancam dalam hal-hal yang tidak perlu, tidak membuka aib atas kesalahan-kesalaha audiens, karena mereka melakukan hal itu disebabkan tidak tahu. Oleh karena itu sifat lemah lembut dalam menyampaikan ajaran Islam kepada mereka, pada umumnya mendatangkan petunjuk bagi hati yang sesat dan menjinakkan hati yang sesat dan menjinakkan hati yang benci serta mendatangkan kebaikan.[12]

Penjelasan diatas memberikan keterangan bahwa fungsi dari mauizah hasanan adalah untuk mengembalikan manusia kepada Jalan yang diredhai Allah, sehingga timbul penyesalan baginya terhadap kesalahan yang telah dilakukannya yang berhubungan dengan masalah yang dilarang oleh Allah. 

D.      Ruang lingkup dan aplikasinya kepada umat

Sesuai dengan pembahasannya, ruang lingkup serta pengaplikasian pelaksanaan mauizah hasanah telah dijelaskan dalam al-Qur’an karena bukanlah suatu metode jika sesuatu itu dikerjakan bukan melalui tahapan dan perencanaan yang  jelas. Hal ini terlihat pada ayat-ayat al-Qur’an, misalnya bahwa bila ditemukan kata-kata yang bersumber  dari akar kata waw, ’ain dan zha dalam al-Qur’an maka pelaksanaanya mempunyai tahapan-tahapan, misalnya;[13]

  1. Dilihat dari ancaman yang diinformasikan terhadap pelakunya seperti kera (al-Baqarah: 66)
  2. Dilihat dari gejala-gejala negatif yang ditimbulkan seperti pelaku riba (al-Baqarah: 275)
  3. Dilihar dari cara melaksanaannya, misalnya pelaku kisas (al-Maidah: 46)
  4. Dilihat dari priritah melaksanakannya, yaitu mendahulukan yang penting dari yang penting (al-A’raf: 145)
  5. Dilihat dari segi kehati-hatian dalam memberikan materi, seperti melakukan targhib wa al-tadrib (Yunus: 57)
  6. Dilihat dari keseimbangan antara kehidupan di dunia dan akhirat (Hud: 120)
  7. Dilihat dari segi bahasa yang dipakai (al-Nahl: 125)
  8. Dilihat dari segi penjelas (bayan) (al-Nur: 34)
  9. Dilihat dari segi kondisi sosial yang mengitari seperti cara menghadapi orang kafir dan munafik (al-Nisa’: 63)

Sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 66[14] adalah mengacu kepada kepada Bani Israil yang telah melangggar perjanjian dengan  Allah untuk tidak keluar di hari sabtu mencari ikan ke laut, ternyata kaum Bani Israil melanggarnya. Akibat pelanggaran tersebut Allah memberi azab kepada orang-orang Bani Israil dengan mengklaim sebagai kera yang hina.  Kata Wahbabh al-Zuhali yang dimaksud  dengan kera yang hina itu adalah kalimat isti’arah, yaitu sindiran  Allah kepada orang yang melanggar aturan diibaratkan dengan kera yaitu hati pamahamannya sama dengan kera karena tidak mau menerima nasehat dan peringatan.[15]

Dalam surat Ali Imran ayat 138[16] ayat ini menjelaskan bahwa al-Qur’an adalah sebagai pelajaran bagi orang orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang tidak ada keraguan, meyakini sebagai hakim, sebagai petunjuk dan rahmat dalam segala urusan, dan juga Allah memberikan peringatan kepada kaum muslim untuk berhati-hati kepada kaum munanfik yang mereka ragu tentang kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw[17]

Dalam hal ini kata Mauizah mengandung pemaknaan sistem dan strategi yang harus dijadikan pedoman dalam melaksanakan suatu kegiatan[18] Apabila sistem dan strategi tidak digunakan dalam memberikan nasehat kepada orang lain dalam usah pelaksanaan amar  makruf nahi mungkar, maka pelaksanaan dakwah yang bertujuan sebagai nasehat akan mendapat tantangan atau dakwah yang di sampaikan melalui nasehat tidak akan berhasil sama sekali.

Strategi dalam menyampaikan nasehat sangat penting sekali apabila tantangan dakwah sangat keras sekali. Dan disanalah titik keberhasilan dakwah dengan mauizah al hasanah.Surat al-Maidah ayat 46.[19]  

Kata mauizah pada ayat ini menggambarkan bahwa kitab Injil dan  Taurat adalah pelajaran bagi orang-orang yang taqwa[20] Makna ini adalah mauzah merupakan pelajaran bagi orang yang bertaqwa. Seperti al-Qur’an yang  merupakan pegangan bagi umat  Islam juga merupakan petunjuk dan pengajaran bagi setiap muslim yang mana di dalamnya terdapat berbagai informasi mengenai berbagai macam hal yang sangat berhubungan hukum dan perbuatan manusia kepada sesamanya dan sang pencipta.

Surat al-A’raf ayat 145[21] Ayat ini pelajaran bagi kaum  Nabi Musa untuk berpegang teguh kepada Taurat, yaitu mendahulukan hal-hal yang wajib ketimbang yang sunnah dan mubah, sekaligus Allah akan memperlihatkan bertapa ngeri yang dimunculkan-Nya akibat kefasikan para penduduknya.

Mauzah yang dimaksud di sini adalah meliputi semua kewajiban mentaati  nasehat[22] ayat ini Allah juga memberikan pelajaran dan nasehat kepada setiap muslim untuk melihat contoh-contoh terhadap apa yang ia timpakan kepada  kaum-kaum yang fasik.

Pada surat Yunus ayat 57[23]  Ayat ini menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah sebagai pelajaran bagi orang yang beriman,[24] al-Qur’an yang berupa petunjuk dan  pelajaran yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit hati yaitu segala macam penyakit yang bertentangan dengan syariat Islam.

Dalam Surat Hud ayat 120[25] menggambarkan tentang kisah-kisah dalam al-Qur’an sebagai pelajaran dalam upaya memperteguh hati orang-orang yang beriman. Mauizah pada ayat ini mengingatkan semua yang menyangkut ketergantungan hidup hanya untuk dunia dan mengisyaratkan adanya kebahagiaan hidup diakhirat kelak.[26]

Makna ini memberikan pemahaman kepada seseorang bagaimana Allah memberikan keteguhan hati mereka dengan  berbagai macam peringatan yang dengannya diberikan berupa pembuktian kisah-kisah kebebenaran adanya rasul-rasul Allah yang diturunkan kepada umat manusia.

Pada surat al-Nahal 125[27] mengemukakan bahwa melakukan dakwah adalah melalui pelajaran yang baik. Mauizah pada ayat ini adalah ungkapan yang bermanfaat dan pembicaraan yang mengesankan yang membawa dampak kepada hati audiens.[28] 

Hal ini mengisyaratkan kepada pemberi nasehat bahwa bahwa dalam memberikan pelajaran yang baik harus mengunakan tata cara yang lembut yang penuh dengan pengertian supaya orang kelompok yang dinasehati akan tergugah hatinya untuk meninggalkan kemungkaran

Begitu juga dalam surat an-Nur ayat 34[29] bahwa al-Qur’an adalah sebagai penerangan dan conntoh-contoh dari orang yang terdahulu dan pelajaran bagi orang  yang bertaqwa. Penerangan disini ialah suatu yang dibutuhkan kepada ajaran agama meliputi hukum, hudud dan etika. Sedangkan melalui contoh-contoh ialah kisah-kisah yang menakjubkan seperti kisah ’Aisyah,  Yusuf.  Dan Maryam. Sehingga mauizah pada ayat ini adalah penejasan bagi orang-orang yang taqwa dan orang-orang yang takut kepada azab Allah. Dengan demikian mauizah pada ayat ini diartikan dengan penjelasan yang semakna dengan  bayan.[30]

Ada beberapa lingkup kajian mauizah hasanah yang terdapat dari beberapa contoh ayat diatas. Sesuai dengan pembahasannya mauizah  hasanah yang sesuai dengan ayat diatas dapat berupa petunjuk kepada umat manusia khususnya umat Islam, sebagai penerang,  hikmah atau ilmu pengetahuan, memberikan obat kepada hati yang berada di ambang kesesatan serta penjelas kepada semua umat, sehingga metode ini kalau disimpulkan menjadi bentuk nasehat, tabsyir wa tanzir,  serta wasiat;

 

1.       Nasehat.

Kata nasehat berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja ”nashaha” yang berarti khalasha yaitu murni dan bersih dari segala kotoran, juga berarti khata yaitu menjahit. Dan dikatakan bahwa nasehat berasal dari kata orang yang menjahit pakaian, maka mereka mengumpamakan perbuatan penesehat yang selalu menginginkan perbaikan orang yang dinasehatinya dengan jalan memperbaiki pakaian yang robek.[31]

Pembahasan ruang lingkup mauizah dalam mengaplikasikannya kepada umat juga harus sesuai dengan penjelasan keterangan ayat diatas,  bahkan harus berhubungan dengan syarat-syarat yang telah dijelaskan  diatas. Dengan demikian gambaran ruang  lingkup nasehat yang memenuhi syarat, seorang pemberi nasehat atau mauizah dan pemberi peringatan harus memenuhi hukum syarak, dan berhati-hati dengan memilih cara yang cocok dalam menasehati serta terus mengamalkan isi nasehat itu sebelum menyampaikannya kepada orang lain.

Nasehat merupakan salah satu cara mauizah hasanah yang bertujuan untuk memberikaan ajakan, pendidikan, pengajaran yang baik kepada orang yang melanggar aturan agama supaya ia tidak lagi melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.

Nasehat juga juga sebagai tindakan mengingatkan orang lain, dengan cara hasanah atau dengan cara yang baik, lemah lembut dan langsung tertuju kepada hati orang yang melanggar aturan agama.

Secara terminologi nasehat adalah memerintah atau melarang atau menganjurkan yang dibarengi dnegan motivasi dan ancaman.[32] Beberapa penjelasan mengenai nasehat mengandung berbagai macam makna yang mana nasehat itu harus dibarengi dengan cara yang baik. Hal ini juga telah dijelaskan dalam ayat al-Qur’an yaitu: ”Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pengajaran yang diberikan kepada mereka tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)”. (QS. An-Nisa: 66).[33]

Ada makna yang tersirat dari ungkapan ayat diatas bahwa pengajaran atau nasehat yang diberikan lebih menguatkan hati (iman) yaitu nasehat harus berkesan dalam jiwa atau bisa mengikat jiwa dengan keimanan dan petunjuk yang yang sesuai dengan kaidah kaidah yang terdapat dalam makna mauizah hasanah.

2.       Tabsyir  wa Tanzir

Menurut Ahmad Warson (1997:85) sebagaimana yang dikutip oleh M. Munir, kata tabsyir secara bahasa berasal dari kata basyara yang mempunyai arti memperhatikan, merasa senang.[34] Sedangkan menurut Quraish Shihab, kata basyara berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah[35] Sedangkan tabsyir dalam istilah adalah penyampaian yang berisi kabar-kabar yang menggebirakan bagi orang-orang yang mengikuti dakwah[36]

Dari pengertian di atas, kata tabsyir dapat diartikan sebagai informasi yang diberikan dan memiliki nilai motivasi supaya ada peningkata dalam menjalankan ajaran dengan baik, sehingga motovasi ini terbagi atas dua keinginan bagi objek dakwah yaitu motovasi untuk menjalankan ajaran Islam dengan baikserta motivasi untuk meninggalkan larangan Islam.

Dalam al-Qur.an kata tabsyir terdapat 18 kali[37] dari sekian banyak kata tabsyir, semua diartikan sebagi kabar gembira atau berita pahala, hanya saja bentuk kabar gembiranya yang beragam, antara lain kabar gembira dengan syariat Islam, kabar gembira dengan kedatangan rasul, kabar gembira tentang akan turunnya al-Qur’an dan kabar gembira tentang surga.[38]  Namun ke semua hal ini merupakan motivasi bagi seorang yang menyampaikan nasehat kepada orang orang lain sesuai dengan metode yang digunakan dan harus dengan cara yang baik.

Tanzir yaitu penyampain dakwah dimana isinya berupa peringatan terhadap manusia tentang adanya kehidupan akhirat dengan segala konsekwensinya.[39] Dalam hal ini tanzir mengandung unsur peringatan sebagimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an: Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan kami tidak akan diminta (pertanggung jawaban) tentang penghuni-penghuni neraka.” (QS. al-Baqarah: 119)[40]

Sebuah peringatan merupakan hal yang sangat penting dalam menyampaikan mauizah, karena dilihat dari keadaan sekarang, tanzir sangatlah penting karena manusia sudah banyak yang melampaui batas dan sangat cenderung sekali dengan kehidupan dunia, sehingga para juru dakwah tidak selalu memperbanyak memberikan kebar kembira (tabsyir) namun sekarang tanzirlah yang harus banyak disampaikan kepada orang yang diberi nasehat.

A Hasjmy mengemukanan  bahwa benntuk-bentuk tanzir adalah:[41]

1.       Menyebut Nama Allah

Menyebut nama Allah dilakukan terhadap orang yang berbuat kemungkaran, yang mana apabila seorang individu melihat orang lain melakukan perbuatan yang melanggar aturan agama, maka dengan peringatan menyebut nama Allah, hal ini bisa menyebabkan dirinya bergetar dan merasa takut dengan menyebut kebesaran Allah

2.       Menunjukkan keburukan

Meskipun manusia suka berbuat jahat dan buruk, kadang kadang perbuatan itu dia tutupi agar tidak ketahuan oleh orang lain, pengungkapan itu bisa dilakukan dengan jalan menggunakan media pers. Hal ini kadang-kadang dapat mengungkapkan keburukan dari kejahatan yang dilakukan oleh orang tersebut, pengungkapan itu dapat menyadarkan manusia untuk kembali kepada kebaikan sehinga mereka bisa menjadi sadar dengan dosa yang ia lakukan.

Namun kendatipun demikian hal ini boleh dan bagian dari peringatan yang layak dijadikan sebagai metode dakwah, tetapi dalam hal ini, sebagai juru dakwah dalam rangka membongkar keburukan seseorang tokoh dengan memanfaatkan media informasi harus tetap dengan tuntutan agama, yaitu tidak boleh ditunjuk langsung si pelaku keburukan dan kejahatan, bahkan andaikata dilakukan penyebutan kejahatan orang lain dengan namanya, justeru hal ini sama dengan melakukan keburukan, sebagai contoh seperti yang diberitakan oleh media massa, kebanyakan media massa menyebut pelaku kejahatan yang di selidikinya hanya dengan  menyebutkan inisial atau nama samaran dan wajahnya juga dikaburkan sehingga tidak terlihat secara jelas pelaku kejahatan (kemaksiatn) yang di siarkan melalui media massa. Dalam al-Qur’an juga menungkapkan keburukan manusia, maka tidak langsung menunjuk nama  sebenarnya, tetapi dengan laqab atau sebutan yang lain . Antara lain ketika meyebutkan kejelekan Zulaikha, Allah menggunakan kata Imra’atul ”aziz,  demikian pula dengan sebutan Sir’un, Abu Lahab, Itu bukan nama sesunguhnya.

3.       Pengungkapan bahaya

Pengungkapan bahaya ini bisa berupa bahaya yang atau dampak dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, seperti seseorang yang melakukan perzinaan, maka bahayanya akan menyebabkan penyakit yang mematikan, serta meminum minuman keras dapat menyebabkan kematian dan timbulnya kangker pada tubuh si peminum.

4.       Penegasan adanya bencana segera

Menakut nakuti agar tidak melakukan kriminal dan kezaliman, terkadang dapat dilaksanakan dengan menegaskan adanya bencana dan kemelaratan yang segera akan menimpa tubuh manusuia sendiri, keluarganya, anak-anaknya dan kedudukannya, dengan demikian, manusia akan menjauhi kejahatan, karena takut akan bahaya yang segera menimpa.

5.       Menyebut peristiwa akhirat

Dengan menyebutkan berbagai peristiwa akhirat seperti azab neraka yang dahyhat dan kehinaan, maka seseorang yang diberi peringatan mampu meninggalkan berbagai macam kegiatan kejahatan dan kezaliman di bumi ini.

Tabsyir  dan tanzir merupakan salah satu dari beberapa pendekatan dawah yang dikenalkan al-Qur’an. Karena hakikat mad’u adalah manusia sendiri yang mempunyai sifat karakter manusiawi, yaitu sosok makhluk mencintai kesenangan material, ingin mempunyai masa depan yang bahagia, senang terhadap penghargaan, ingin terhindar dari malapetaka dan bencana, uslub dakwah yang diintrodusir al-Qur’an ditemukan nada pendekatannya, memang sesusi dengan karakteristik manusiawi yaitu tabsyir wa tanzir .[42] sehingga tabsyir dan tanzir disampaikan harus dengan cara yang baik sesuai dengan tuntutan syariat Islam.

1.       Wasiat

Secara etimologi kata wasiat berasal dari bahasa Arab, terabil dari  kata washa-washiya-washiatan,  yang berarti pesan penting yang berhubungan dengan sesuatu hal[43] Secara terminologi ada beberapa pendapat yaitu menurut Selin bin Ie’d al-Hilali sebagaimana yang dikutip oleh M. Munir yaitu Sekumpulan kata-kata yang berupa peringatan, support dan perbaikan. Dan menurut Majid al-Sayyid Ibrahim mengatakan bahwa Pelajaran tentang amar makruf nahi mungkar atau berisi anjuran berbuat baik dan ancaman berbuat jahat.[44]

Pengertian wasiat dalam konteks dakwah adalah ucapan berupa arahan (taujih) kepada orang lain (mad’u) terhadap sesuatu yang belum dan akan terjadi.[45] Berbeda dengan konteks umum bahwa wasiat merupakan pesan terakhir yang dikatakan atau dituliskan oleh orang yang kan meninggal, berkenaan dengan harta benda dan sebagai, surat wasiat; surat warisan.[46] Jadi wasiat dalam konteks dakwah sangat khusus sekali, serta mengandung ungkapan bahwa wasiat harus memberikan kekuatan ingatan yang menyebabkan seorang mad’u disaat akan melakukan sesuatu bisa berpikir terlebih dahulu.

Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan mengenai wasiat, diantaranya adalah surat an-Nisa’ ayat 131;” Milik Allah yang dilangit dan di bumi dan sesungguhnya Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan juga kepadamu untuk bertqwa kepada Allah.”[47]

2.       Targhib wa tarhib

Asal dari targhib wa tarhib adalah mendapat pembalasan di akhirat dengan mecurahkan berbagai macam kebaikan. Sehingga targhib adalah mempunayai nilai redha dari Allah dan rahmat-Nya, dan jazilah pahala di akhirat. Dan tahrib yaitu yang ditakutkan dari marah Allah di akhirat.Hal ini sesusi dengan firman Allah surat al-A’raf : 63, Nuh: 1-3, Taghabun: 7-9, dan surat Muhammad: 1-2 [48]

Suatu kaum yang berada pada jalan kebenaran yang menyeru untuk taat kepada Allah supaya tidak tergelincir kepada azab. Hal ini juga dilelaskan dalam surat a-Syu’ara: 130-131, dan surat al-A’raf: 69 dan 73.[49] Untuk itu, kata taghib juga termasuk kabar kembira, dan tahrib bersifat ancaman.[50] 

Dari keterangan diatas tujuan dari targhib yaitu hal yang bisa diterima oleh mad’u dengan benar, dan tarhib sikap merupakan sika untuk menjaga dan memelihara diri mad’u dari kebodohan. Oleh sebab itu upaya pemeliharaan diri mad’u merupakan cara yang digunakan oleh da’i dalam menyampaikan kebenaran ajaran Islam, dan memeliharanya agar terjaga dari perbuatan yang dilarang oleh Allah. Sehingga tujuan akhir dari targhib wa tarhib  adalah mendapat pembalasan dari Allah

3.       Tarbiyah wa Ta’lim

Kata tarbiyah berasal dari kata rabba,  yaitu mendidik[51]. Tarbiyah (pendidikan)[52] merupakan upaya dakwah mencerdaskan umat Islam. Seorang da’i tidak berhenti memberikan suatu  ilmu tetang makna Islam[53] – dan kemudian kewajiban para dalam menyampaikan ilmu keislaman ini dengan cara lemeh lembut, sehingga ilmu yang diberikan oleh para da’i dapat diteima oleh mad’u tanpaadanya unsur paksaan.

Cara penyampaikan ilmu keislaman tidak boleh lepas dari tujuan metode mauizah hasanah,karena, apabila ilmu keislaman diberikan dengan cara keras, maka tidak akan pernah diterima oleh siapapun

E.       Kesimpulan

Metode dakwah merupakan salah satu rumpun kajian  dari filsafat ilmu dakwah.  Metode dakwah yang telah tertuang dalam surat an-Nahl ayat 125 merupakan pokok kajian metode dalam menyampaikan dakwah. Secara bahasa, mauizah al-hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mauizah dan hasanah. Kata mauizah berasal dari kata wa’aza-ya’izu-wa’dzan-’idzatan yang berarti; nasehat, bimbingan, pendidikan dan peringatan Kata mauizah  sebagaimana yang diungkapkan Muhammad Fuad Abdul al-Baqi adalah dengan segala bentuknya terulang sebanyak 25 kali

Mauizah hasanah dapat diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah,  berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan didunia dan akhirat. Sehingga ungkapan tersebut merupakan tujuan dari mauizah hasanan yang berfungsi sebagai upaya menyentuh hati orang yang diberi nasehat atau peringatan.

Ruang  lingkup dari mauizah al hasanah ini juga terdapat dari beberapa ayat al-Qur’an diantaranya adalah al-Baqarah: 66 dan275, al-Maidah: 46, al-A’raf: 145, Yunus: 57, Hud: 120, al-Nahl: 125, al-Nur: 34, al-Nisa’: 63. ruamglingkup pembahasan metode mauizah al hasanah  ini mengandung unsur sebagai penerang, hikmah atau ilmu pengetahuan, memberikan obat kepada hati yang berada di ambang kesesatan serta penjelas kepada semua umat, sehingga metode ini kalau disimpulkan menjadi bentuk nasehat, tabsyir wa tanzir,  serta wasiat.

Cara penyampaian mauizah al hasanah ini harus sesuai dengan syarat tujuan sehingga metode ini bisa berfungsi dan teraplikasi dengan  baik kepada umat yang diberi nasehat dan peringatan.

Baca Juga;//................................

👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉


Daftar Pustaka 

A. Hajsmy, Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1994

al-Baqi, Muhammad Fuad Abd, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1992

Harjani, Munzier Suparta dan Hafni, Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, 2006

Ibrahim, Majid al- Sayyid, 50 Wasyiyat min Washaya al-Rasulullah li al-Nisa’ (Edidi Indonesis), Semarang: Cahaya Indah, 1994

M.  Munir, Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, 2006

Ma’luf, Lois, Munjid fi-al-Lughah wa A’lam, Beirut: Dar Fikr, 1986

Muhiddin, Asep, Dakwah Perspektif al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2002

Munawir, Ahmad Warson, Kamus al-Munir, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984

Pratama, Andini T. Nirmala & Aditya A., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Prima Media, 2003

Salmadanis, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: TMF, 2002

Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003

Shihab, Quraish, Wawawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan cet - 1, 1996

Sidik, Aban, Majalah Kubah Emas, Jakarta: Gold Communication, 2008

Yaqub, Ali Mustafa, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990

al-Wakil, Muhammad Sayyid, Ususu ad-Da’wah wa Adabu ad-Du’ad, Medinah, 1978



[1] Lois Ma’luf (1986), Munjid fi-al-Lughah wa A’lam, Beirut: Dar Fikr, h. 907

[2] Muhammad Fuad Abd al-Baqi (1992), Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1992, h. 923

[3] Salmadanis (2003), Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, h. 149

[4] M.  Munir (2006), Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, h. 15

[5] Ibid

[6]

[7] Muhammad Sayyid al-Wakil (1978), Ususu ad-Da’wah wa Adabu ad-Du’ad, Medinah, h. 30-31

[8] Ibid

[9] Salmadanis (2002), Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: TMF, h. 126

[10]Ibid.

[11] Munzier Suparta dan Hafni Harjani (2006), Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, h. 16

[12]  Lihat Salmadanis dalam buku Filsafat Dakwah, h. 148

[13]Salmadanis, Op.cit., h. 162-163

[15] Salmadanis, Loc.cit

[17]Ibid., h. 152

[18]Ibid., h. 153

[20]Salmadanis, Loc.cit

[22]Salmadanis, Op.cit., h. 154

[24]Salmadanis, Op.cit., h. 155

[26]Salmadanis, Loc.cit

[28]Salmadanis, Op.cit., h. 156

[30] Salmadanis, Loc.cit

[31]M. Munir, Op.cit., h. 242

[32]Ibid., h. 243

[34]Ibid., 256

[35]Quraish Shihab (1996), Wawawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan cet - 1, h. 279

[36]Ali Mustafa Yaqub (1997), Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, h. 50

[37]Abdul Baqi’ Muhammad Fuad, Op.Cit., h. 120

[38]M. Munir, Op.cit., h. 257

[39]Ali Mustafa Ya’cub, Op.cit., h. 49

[41]A. Hajsmy(1994), Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, h. 225.

[42]Asep Muhiddin (2002) Dakwah Perspektif al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, h. 79

[43]M.Munir, Op.cit., h. 273. Atau Lihat Ahmad Warson Munawir (1984), Kamus al-Munir, Yogyakarta: Pustaka Progresif, h. 1563

[44]M. Munir, Loc.cit.  lihaht Juga  Selin Bin Ied al Hilali (1999), Min Washaya al Salafi (Edisi Indonesia, Jakarta Pustaka Azzam, h. 14. Lihat juga Majid al- Sayyid Ibrahim (1994), 50 Wasyiyat min Washaya al-Rasulullah li al-Nisa’ (Edidi Indonesis), Semarang: Cahaya Indah, h. Ix-x.

[45]Mauizatil hasanah yang  merupakan pelajaran dan peringatah. Wasiat dalam kajian mauizatil hasanah wasiat berisikan arahan kepada mad’u berupa pesan-pesan yang membuat mereka selalu ingat dengan pesan yang kita berikan kepadanya apabila ia akan melukan perbuatan yang menyimpang. Hal ini juga pernah terjadi di zaman Rasulullah ketika seseorang pemuda yang suka bermain wanita dan bermabuk-mabukan, yang mana ia ingin masuk Islam karna kecintaannya terhadap Islam, selain itu perbuatan maksiat tersebut juga ia cintai, sehingga Rasulullah memberikan wasiat kepadanya yaitu harus bersikap jujur, setelah ia tidak lagi bersama Rasulullah si pemuda itu melihat seorang perempuan pezina dan nafsu syahwatnya bangkit sehingga ia ingin melakukan pebuatan maksiat, setelah ia akan mulai perbuatan tersebut, ia ingat wasiat atau pesan Rasulullah agar selalu jujur, dan dia berpikir kalau Rasulullah bertanya apa yang harus dia jawab?, sehingga si pemuda tesebut tidak jadi melakukan perbuatan maksiat.

[46]Andini T. Nirmala – Aditya A. Pratama (2003), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Prima Media, h. 534  

[47]

Ayat diatas mengemukakan dorongan yang kuat bagi umat Islam agar melaksanakan wasiat, maka da’i harus memberikan cara yang tepat untuk memberikan wasiat agar mad’u termotivasi dalam melaksanakan perintah Allah. dan juga tujuan wasiat dalam dakwah ini juga memempunyai manfaat yang baik bagi kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat.

[48] Abd Karim Zaidan (1421H/2001 M), Ushul adh-Da’wah, Beirul Libanon: Mulasasah ar-Risalah Naasyidun, h. 437

[49] Ibid.

[50] Aban Sidik (2008), Majalah Kubah Emas, Jakarta: Gold Communication, h. 28

[51] Mahmud Yunus (1990) Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, h. 137

[52] Ibid

[53] Abd Karim Zaidan, op.cit., h. 444

0 Comment