19 Desember 2022

 

Hakikat Metode Dakwah Mujadalah Billati Hiya Ahsan 

A.      Pendahuluan

Dalam menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting peranannya. Suatu pesan betapa baiknya, tetapi apanila disampaikan dengan metode yang tidak benar, maka akhirnya pesan terswebut bisa jadi ditolak oleh peneriman pesan, bahkan bisa mengaburkan maksud materiyang ingin disampaikan. Maka ole karena itu, dalam menyampaikan pesan (Massage), metode ini sangat perlu diperhatikan agar pesan yang disampaikan oleh seorang da'i dapat diterima dengan baik oleh mad'u.

Dakwah[1] merupakan suatu aktivitas yang sangat urgen  dalam penyebaran Agama Islam, karna dakwah dakwah ini merupakan  salah satu kegiatan untuk mengajak  manusia mengenal Islam secara umum dan akhirnya masu Islam secara kaffah. Dengan kegiatan dakwah manusia juga dapat mengetahui apa sebenarnya, kenapa ia dicptakan  tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Islam disyari’atkan melalui kegiatan dakwah  sejak Nabi Muhammad SAW, sampai pada saat ini dakwah masih dijadikan sebagai pilihan utama dalam rangka membumikan Ajaran Islam.

Dengan demikian kegiatan dakwah  bukanlah sebagai kegiatan  yang dikerjakan sebagai kegiatan sambilan namun kegiatan tersebut merupakan kewajiban  serta sudah mendarah daging dalam setiap pribadi muslim serta sudah menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat di tinggalkan

Didalam al-Qur'an,  metode dakwah yang dipakai oleh juru dakwah terdapat dalam surat al-Nahl ayat 125:

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk".

Kandungan ayat diatas, berisikan untuk menyeru manusia (kepada Islam) dengan salah satu metode dakwah yakni hikmah, mau'izhah al-hasanah dan mujadallah bil allhariq al-ihsan.

Pada pembahasan ini, penulis akan mengupas tentang hakikat dari metode dakwah Mujadalah Al-lati Hiya Ahsan yang meliputi: pengertian, tujuan, fungsi, ruang lingkup dan aplikasinya terhadap umat. 

B.      Pembahasan Metode dakwah Mujadalah Al-lati Hiya Ahsan

1.       Pengertian

Dari segi bahasa (etimologi) kata mujadallah terambil dari kata “jadala” yang bermakna memintal, melilit. Apabila kata jadala ini ditambah dengan hurf alif pada huruf jim yang mengikuti wazan faa ala, “jaa dala” dapat bermakna berdebat dan “mujadalah” perdebatan. Sebagian ulama mengartikan kata “jadala” ini sebagai menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Jadi dalam kata lain orang yang berdebat bagaikan menarik tali dengan ucapan untuk meyakinkan lawanya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.[2]

Sedangkan mujadalah secara istilah, ada beberapa pendapat, antara lain :

1.       Menurut pendapat DR.Sayyid Muhammad Thantawi ialah suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.[3]

2.       Menurut tafsiar an-Nasafi ialah berbantahan dengan cara yang baik anatar lain denga perkataan yang lunak, lemah lembut, tidak dengan ucapan yang kasar atau dengan menggunakan perkataan yang bisa menyadarkan hati, membangun jiwa dan meneraangi akal pikiran.

Memperhatikan pengertian diatas maka ditemukan dua bentuk jidal, yaitu jidal yang terpuji dan yang tercela. Adapun jidal yang bertujuan untuk menegakkan dan membela kebenaran, dilakukan dengan ushlub yang benar dan relevan dengan masalah yang dijadikan pokok bahasan. Sedangkan sebaliknya  adalah suatu yang membawa kepada kebatilan, maka jidal seperti ini adalah tercela. Berhubungan adanya jidal yang tercela, maka Al-Qur'an mengatur jidal tersebut dengan cara yang lebih baik sejalan dengan pendekatan dakwah yang ditetapkan oleh nash. Karena cara ini merupakan pendekatan metode akal yang paling konkrit dan diekspresikan  dalam bentuk diskusi, perbandingan , percakapan dan istilah lain yang menunjukkan kepada makna tersebut berdasarkan tempatnya.

Metode mujadalah al-lati hiya ahsan dapat diartikan sebagai tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinerjik, yang tidak melahirkan permusuhan  dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Memperhatikan kondisi social masyarakat diatas sejalan dengan tingkat perkembagan dan kemajuan manusia bahwa ada dua bentuk mujadalah. Yaitu mujadalah al su’I dan mujadalah ahsan. Mujadalah ahsan agaknya dapat diterjamahkan dengan beriskusi dengan baik untuk menemukan kebenaran, melalui tukar fikiran, atau dalam bahasa komunikasi disebut dengan komukasi dua arah (two way comunation) yaitu terjadi dua komunikasi antara komunikator dengan komunikan.

Sebagai bagian dari pelaksanaan dakwah secara lisan, metode mujadalah dilakukan ketika berhadapan dengan mad’u yang mencoba menghadirkan alasan-alasan logik untuk membantah agama ini atau mengajukan alasan-alasan lain ketika mempertanyakan kebenaran agama Islam. Meskipun dalam suasana perdebatan, namun Islam menganjurkan perdebatan yang baik (al mujadalatu bi al lati hiya ahsan)

Hakikatnya dari mujadalah al-lati hiya ahsan adalah kemampuan dari seorang dai dalam mengemas pesan dengan metode diskusi sehingga membawa kepada suatu kebenaran.

Sedangkan dalam memahami kata, mujadalah dalam surat al Nahl 125 adalah dengan arti berbantah-bantahan, sebab jika  diambil arti bermusuh-musuhan, bertengkar, memintal dan  memilin, tampaknya tidak memenuhi apa yang dimaksud oleh ayat tersebut  secara keseluruhan. Agaknya bila diambil dari kata mujadalah tersebut, secara lugas, untuk memahami dakwah, maka pengertian akan menjadi negative  akan tetapi setelah dirangkaikan dengan kata hasanah (baik) maka artinya menjadi positif. Dalam hal ini Muhammad Khair  Ramadhan Yusuf mengemukakan bahwa mujadalah al lati hiya ahsan Ialah: Ungkapan dari suatu perdebatan antara dua sudut pandangan yang bertentangan untuk  menyampaikan kepada kebenaran yang kebenaran tersebut bertujuan membawa kepada jalan Allah SWT .

2.       Tujuan dan fungsi dari metode Mujadalah

Beranjak dari hakikat metode dakwah mujadalah diatas maka tujannya untuk membawa kepada petunjuk dan kebenaran yang hakiki. Tujuan dari metode mujadalah al-lati hiya ahsan yakni untuk membahas dan menemukan pemecahan semua problematika yang berkaitan dengan dakwah sehingga apa yang menjadi permasalahan dapat ditemukan jalan keluarnya[4]. Di dalam surat al Nisa’ 107 ayat ini menunjukkan etika mujadalah dengan orang orang yang berkhianat kepada Islam, karena tujuan mereka bermujadalah adalah untuk kepentingan hidup dunia semata, bukan untuk mencari kebenaran, sebab jiwanya akan tetapi mengingkari kebenaran Islam dan membencinya. Maka dalam hal ini Allah SWT melarang melayaninya . Untuk itu dapat mewujudkan tiga hal polok , yaitu :

a.       Memperbaiki sasaran dan tujuan dakwa, yaitu memberikan bayan kepadanya

b.      Memperbaiki pendekatan dan bentuk dakwah,

c.       Memperbaiki hasil dakwah yang belum berhasil.

Dengan demikian  mengenai mujadalah terdapat pada surat an Nahl 125 , para ulama mengeluarkan pendapat sama yaitu berbantah-bantahan yang tidak membawa kepada pertikaian, kebencian, akan tetapi membawa kepada kebenaran.

Metode mujadalah ini pada prinsip diutamakaan kepada objek dakwah yang mempunyai tipologi antara menerima danmenolak materi dakwah (Islam) yang disampaikan kepada mereka. Pada mereka yang semacam ini  mujadalah memainkan peranannya, sehingfga ia (objek dakwah) dapat menerima dengan perasaan mantap dan puas.l mak metode ini memberi isyarat kepada juru dakwah untuk menmabha wawasan dalam segala aspek, sehingga pada akhirnya dapat memberikan jawaban/bantahan kepada objek dakwah secara benar dan baik serta menyenangkan perasan mereka.

Berdasarkan analisa di atas debat salah satu metode  dakwah, yaitu debat yang baik, dad argumentasi dan tidak tegang serta memojokkan sampai terjadi pertengkaran. Memang berdebat pada umumnya adalah mencari kemeneangan dan bukanmencari kebenaran,sehingga tidakjarang terjadi munculnya permusushan. Maka debat sebagi metode dakwah pada dasarnya mencari kebenaran dan kehebatan  Islam. Kecuali itu , berdebat efektif dilakuakn hanya kepada orang-orang yang  membantah akan kebeneran Islam.Sedangakan objek dakwah yang masih kurang percaya atu kurang mantap terhadpa kebneran Islam(tidak membantah) belum diperluakan metode debat sebagai metode dakwah. Berbeda dengan sesame ulama (intelektual) berdebat adalah rahma. Sedangakn dikalangan masyarakat awam hanyalah akan menimbulkan permusuhan dan pertengkaran.

Berdasarkan analisa di atas debat slaah satu metode dakwah, yaitu debat  yang baik, adu argumentasi dan idak tegang serta memojokkan samapi terjadi pertengkaran.  Fungsi Untuk metode mujadalah al-lati hiya ahsan yakni untuk mencapai kebenaran 

3.       Ruang lingkup

a.       Al- Hiwar (Dialog)

Bentuk Al-Hiwar merupakan btntuk pertama darai turunan metode mujadalah. Lafaz hiwar ini didalam al-Qur’an ditemukan sebanyak 3 kali. Kata hiwar berasal dari bahasa arab yang berarti perdebatan yang mememrlukan jawaban. Metode hiwar ini merupakan metode tanya jawab pada satu objek tertentu yang mendekati kepada munaqasah dan mubahastah terhadap suatu persoalan dan peristiwa yang terjadi.[5]

Didalam al-Qur’an persoalan-persoalan yang muncul pada nabi merupakan tanya jawab yang terjadi dikalangan umat dimana pada ketika itu sekaligus ada solusinya dari Allah SWT sehingga para penanya langsung menerima keputusan atau jawban pada saat terjadinya suatu persoalan saat itu.

Landasan dalam menggunakan hiwar ini yakni :

1.       Dengan kejujuran

Dialog hendaknya dibangun atas pondasi kejujuran, bertujuan untuk mencapai kebenara, menjauhi kebohongan, kebatilan dan pengaburan.

2.       Thematik dan objektif

Hematik dan objektif maksudnya tidak keluar dari tema utam a sebuah dialog supaya arah pembicaraan jelas dan mencapai sasaran yang diingikan.

3.       Argumentatif dan logis

Diskusi atau dialog adalah bertujuan akhir agar lawan menyadari atau mengikuti dari apa yang kita inginkan

4.       Bertujuan untuk mencapai kebenaran

Setiap individu atau kelompok harus mencapai satu tujuan yaitu menampakan dan menjelaskan kebenaran masalah yang diperselisihkan, meskipun kebenaran itu datang dari pihak lawan.

5.       Tawadhuk

Didalam berdiskusi kadang terjadi rasa ketidaktawadhuan dalam mengemukakan pendapat atau alasannya, karena merasa paling benar, paling bisa apalagi paling berkuasa.

6.       Memberikan kesempatan kepada lawan

Memberikan kesempatan untuk meberikan alasan kepada pihak lawan tanpa mengurangi hak bicaranya dan menjelek-jelekan kepribadiannya. 

b.      Al-Asilah wa al-Ajwibah (Tanya Jawab)

Bentuk ke dua dari turunan metode mujadalah yakni Al-Asilah wa al-Ajwibah. Wasilah dalam bahasa indonesia barati tanya jawab. Kata as’silah merupakan bentuk jamak darai kata As’al yang berarti pertanyaan-pertanyaan. Begitu juga dengan kata Ajwibah juga merupakan jama’ dari kata Ijaabah yang artinya jawaban-jawaban.

Maka dari pengertian diatas M. Munir mengambil sebuh kesimpulan yakni metode As-ilah wa Ajwibah merupakan perdebatan yang dilakukan oleh dua orang maupun sekelompok orang untuk berusaha memunculkan sesuatu yang paling bagus atau yang paling baik dalam bentuk pertanyaan dan jawaban yang merupakan argumennya masing-masing.[6] Tanya jawaban ini merupakan bahagian dari metode dialogis untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah.

Metode As-ilah wa Ajwiba ini suatu bentuk metode yang dipergunakan dalam bentu memberikan jawaban tentang berbagai hal yang ditanya oleh umat Islam yang belum mereka ketahui secara pasti hakikat atau penjelasanya.[7] As-ilah wa Ajwiba ini sangat penting sekali untuk diketahui dan dipelajari karena bagi juru dakwah / da’I ketika berhadapan dengan mad’u yang berbeda latar belakang agama, pendidikan, budaya dan sebagainya.

Pesan yang disampaikan melalui tanya jawab ini lebih baik dibandingkan dengan berkomunikasi satu arah.[8] Awal munculnya metode ini ketika pada masa rasulullah, yang mana para sahabat banyak yang bertanya kepada Nabi tentang berbagai masalah yang dihadapinya ketika itu dengan harapan sahabat dapat menemukan jawaban dari Nabi. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari para sahabat ialah pertanyaaan yang benar-benar mereka tidak mengetahui sama sekali, baik hukum, maupun pelaksanaanya. Jadi bentuk dari metode tanya jawab ini menyatakan hal-hal yang belum pernah diketahui sebelumnya oleh lawan pembicaranya kepada orang yang dianggap mengetahui dan sekaligus bisa memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan hati.

Sabjek dari metode As-ilah wa Ajwiba  menurut M. Munir ini yakni :

1.       Orang mukmin kepada rasulullah

Motivasi oang mukmin bertanya pada rasulullah yakni karena rasa ingin tahu terhadap masalah keagamaan dan kedunian mereka.

2.       Orang non mukmin kepada

Motivasi orang mukmin bertanya pada rasulullah pertanyaan yang dimotivasi oleh rasa buruk sangka. Bentuk lain dari Metode As-ilah wa Ajwiba  yakni:[9]

1.       Jawaban yang lugas, lansung pada apa yang ditanyakan.

2.       Dengan lelucon yang didalamnya dapat diambi pelajaran.

3.       Jawabanya dalam bntuk pertanyaan yang tidak memerlukan  jawaban lisan.

4.       Jawaban yang sama dari pertanyaan yang sama dan berulang-ulang.

5.       Jawaban yang berbeda-beda dari pertanyan yang sama.

6.       Jawaban dikembalikan kepada Allah dan rasulnya

7.       Jawaban tidak selanya harus dijawab dengan lisan, tetapi bisa juga dengan diam atau dengan gerak tubuh.

8.       Jawaban yang bertingkat-tingkat.

9.       Pertanyaan yang tidak perlu jawabanya.

Ada kalanya masalah yang muncul dapat dijawab dan diselesaikan oleh al-qur’an secara jelas kepada Nabi SAW dan ada pula jawaban itu dijawab dengan wahyu dan adakalanya dijawab dengan hadis ataupun jawab dengan melalui sikap dan tindak tanduk nabi sendiri.

4.       Aplikasi Terhadap Umat

Dakwah mujadalah al-lati hiya ahsan atau dakwah dengan cara tukar pendapat dengan memberikanargumentasi dan bukti yang kuat. Ibarat dua insan yang dipisahkan oleh sebuah sungai yang luas ataupun jurang yang dalam, dan apabila mereka ingin bertemu maka mereka memerlukan sebuah jembaan. Dalam konteks dua insan yang berbeda yang ingin mencapai satu kata kesepakatan, jembatan tersebut bisa berarti dialog “al-Mujadallah. Dan ibarat jembatan, dialog ini harusl;ah ditopang oleh pondasi yang kokoh agar mampu mengatur para penyeberangan sehingga sampai pada tujuan kesepakatan dengan selamat.

Ada contoh menarik yang patut kita teladani dari Rasulullah SAW. Pada suatu ketika beliau ditanya tentang amal perbuatan yang paling utama, lalu beliau menjawab, "al-jihad fi sabilillah" (berjuang di jalan Allah), orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama, lalu beliau menjawab, "birrul walidayni" (berbakti kepada kedua orang tua), ada lagi orang ketiga dengan  pertanyaan senada, lalu beliau menjawab, "kafful adza an al-naas" (tidak menyakiti orang lain). Lalu datang lagi orang keempat masih dengan pertanyaan yang sama, lalu jawaban beliau, "Afdhalul 'Amal ashshadaqatul 'alal fuqaraa'i (amal yang paling utama adalah bersedekah kepada fakir miskin).

Jawaban-jawaban beliau yang berbeda terhadap pertanyaan yang diajukan oleh empat penanya dengan pertanyaan yang sama, tak lain dikarenakan situasi dan keadaan si penanya itu yang berbeda-beda, sehingga muncul jawaban yang berbeda pula.

Di dalam al-Qur'an aspek mujadalah yang tercantum meliputi 3 aspek,yaitu:

·         Mujadalah yang dapt membawa  tukar fikirand mempergunakan argumntasi yang valid untuk dapt menetapkan keyakinan,hukumagama sebagaimana yang telah dipraktekkano para rasul dan nabi didasari kepada wahu dengan komukasi yang benar dan menghindari  terjadinya miskomonikas.

·         Mujadalah dengan pendekatan hiwar (muhwarah) yaitu  mendisikusiakn persolaan tersebut dengan cara yang baik melalui disikusi dan pembahasanf tuntuas, sehinga way outnya tegas dan jelas. Sebagaiman Allah SWT isayrat suarat al MUjadalah

·         Mujadalah yang muncul daritipolog orang kair yang mereka berdiskusi dengan cara tidak benar untuk mengalahkan kebernran. Seperti siyarat Allah SWT pada surat Ghafir (al Mukmin)

Dari uaraian diatas aplikasi dari metode mujadalah al-lati hiya ahsan yakni mengajak umat menuasi kepada Islam dalam bentuk diskusi dan tukar pikiran.

Baca Juga;//.............

👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉

 

C.      Penutup

Metode mujadalah al-lati hiya ahsan yakni metode dakwah dengan cara tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinerjik, yang tidak melahirkan permusuhan  dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat.

Tujuan dari metode mujadalah al-lati hiya ahsan yakni untuk membawa kepada petunjuk dan kebenara. Fungsinya untuk untuk berbantahan dengan argumentasi yang logis sehingga mencapai suatu kebenaran.

Ruang lingkup dari metode mujadalah al-lati hiya ahsan yaitu As-ilah wa Ajwiba (tanya jawab) dan Al-Hiwar (dialog). Aplikasi dari metode mujadalah al-lati hiya ahsan yakni mengajak umat menuasi kepada Islam dalam bentuk diskusi dan tukar pikiran


Daftar Pustaka

 

M. Munir, Metpde Dakwah,Jakarta: Renada Media, 2003

Qurai Syihab, Tafsir al- Misbah, Lentera Hati, 2000

Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003

Tim Dosen Fakultas Dakwah  IAIN Imam Bonjol Padang, Kapita Selekta Ilmu Dakwah I, Jakara: Kartika  Insan Lestari, 2003

 

 



[1]Dakwah dengan segala unsurnya  adalah satu kesatuan  yang tidak terpisahkan antara yang satu denga yang lainnya, masin-masing unsur dakwah dapat perhatian dan sorotan  dalam al-Qur’an  secara sistematis dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat  yang mengitarinya, Lihat Tim Dosen Fakultas Dakwah  IAIN Imam Bonjol Padang, Kapita Selekta Ilmu Dakwah I, (Jakara: Kartika  Insan Lestari, 2003).

[2] Qurai Syihab, Tafsir al- Misbah, Lentera Hati, 2000, Cet.Ke-1.h. 553

[3] M. Munir, Metpde Dakwah,Jakarta: Renada Media, 2003, h. 18

[4]  M. Munir, Metpde Dakwah,Jakarta: Renada Media, 2003, h. 23

[5] Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003. h. 182

[6]  M. Munir, Metpde Dakwah,Jakarta: Renada Media, 2003, h. 335

[7] Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003. h. 181

[8] M. Munir, Metpde Dakwah,Jakarta: Renada Media, 2003, h. 335

[9] M. Munir, Metpde Dakwah,Jakarta: Renada Media, 2003, h. 342

0 Comment