14 Desember 2022

 

SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT  ISLAM

        A.   Pendahuluan

           M. M Siddiqi mengungkapkan dalam bukunya berjudul the social sructure of indian muslims dalam intoduction-nya

Islam being a perfect and positive religion provides for a comprehensive social system that covers the whole gamut of human life. Human life in the islamic perspective has profound meaning signified by man’s creation and his descent on the earth. He has been created by Allah the Almighty for his obedience and submission which is the sole objective of his life”[1]

     Islam merupakan agama yang sempurna dan positif, menyediakan sebuah sistem sosial yang kompleks melingkupi semua aspek kehidupan manusia. Manusia dalam pandangan Islam mempunyai arti penting tentang kreasi dan keberadaan manusia di dunia. Manusia diciptakan Allah Yang Maha Kuasa dalam rangka semata-mata patuh dan tunduk dalam kehidupannya.

     Sosial merupakan hasil dari sebuah interaksi dalam sebuah komunitas, dalam interaksi sesama manusia yang menghasilkan sebuah norma dan kreasi itulah yang disebut dengan budaya yang dilakukan secara kontiniu dalam sebuah komunitas baik berupa ide, pikiran, hukum maupun teknologi.            Merujuk pernyataan Siddiqi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam merupakan ideologi yang sangat komprehensif menjawab kebutuhan manusia dalam interaksi kehidupan, secara tidak langsung mengatakan Islam urgen sekali dalam nilai-nilai sosial masyarakat muslim dan secara tidak disadari akan menjadi peletak batu pertama dalam pencetus dan pembentuk sebuah kebudayaan masyarakat muslim dalam hal ini menjadi landasan dasar dalam berpikir, sudut pandang, sikap, sifat, perangai, tingkah laku, hukum-hukum yang dibuat, pernyataan bersifat legitimasi terhadap sebuah kasus baik tertulis maupun tidak tertulis.

Diperjelas Barton M. Schatz “typically, culture is divided into subsidiary concepts like, kinship and sosial organization, economics, religion, political organization, and languange”[2], lebih khas lagi budaya dibedakan menjadi beberapa konsep seperti kekeluargaan dan organisasi sosial, ekonomi, agama, organisasi politik dan juga bahasa. Artinya semua itu tidak lepas dari bagian budaya yang dibentuk dalam sebuah komunitas tertentu. Islam menerangkan tentang konsep keluarga (nikah, mendidik anak, pergaulan dalam berkeluarga, dll), dalam organisasi sosial politik, bagaimana mengedepankan asas yang mengacu kepada nilai Islam mengutamakan kemashlahatan bersama dan dalam koridor yang ditentukan, masalah dengan ekonomi, bagaimana mengatur sistem ekonomi yang berbasis kebaikan bersama (menghindarkan riba, jual beli yang terlarang dll) dan agama.

B.    Budaya

Budaya kadang dalam pemaknaan mengalami distorsi, melakukan pemangkasan dan penyempitan makna, sehingga ada ungkapan “...ada masyarakat yang berbudaya dan ada yang tidak...”, semua manusia yang hidup dalam komunitas dan masyarakat tertentu sudah dipastikan adalah manusia berbudaya, karena inti dari budaya itu adalah sebuah behavior dan  believe yang mana itu berlaku menandakan sebuah identitas suatu komunitas secara khas dan unik dipelajari[3]. Budaya merupakan hal yang mesti dipelajari karena ini akan membedakan dengan bawaan secara biologis berupa genetik dan insting yang ada dari lahir.

Mengerucutkan tentang budaya dan kebudayaan sebuah hal yang penting dalam bahasan ini. Selo Soemardjan[4] memandang budaya adalah merupak akal budi manusia itu sendiri yang merupakan sebuah proses yang berada dalam cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayan adalah hasil dari proses tadi sehingga melahirkan berbagai bentuk kebudayaan yang dapat dinikmati dan menjadi simbol dalam komunitas tertentu. Cipta merupakan keingintahuan manusia terhadap fenomena alam baik berupa lahir ataupun batin yang melahirkan ilmu pengetahuan, sedangkan karsa erat hubungan dengan kajian yang bersifat transendental, mengkaji hakikat diri yang menghasikan norma agama dan believe (kepercayaan) sedangkan rasa keinginan dalam menikmati keindahan yang hasilnya berupa seni. Ilmu pengetahuan, norma dan kepercayaan dan hasil seni merupakan kebudayaan. E. B. Tylor[5] menekankan budaya merupakan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dll. Hal ini sebenarnya sama secara substansi dengan Soemardjan yang menekankan pada proses sedangkan Tylor sudah menyebutkan hasil dari budaya (akal pikiran) yaitu kebudayaan.

Anthropologi menyebut cultural universals yang berupa pandangan filosofis, nilai, aturan, ilmu pengetahuan, ekonomi, sistem kekerabatan, pemerintahan dan hukum[6]. Semua tindak tanduk manusia selama berinteraksi (sosial) bersama dengan agama yang diyakini melahirkan sosio-cultural yang komprehensif, kadangkala antara agama dan budaya bisa tumpang tindih kalau tidak hati-hati dalam memahami, budaya lahir dari akal manusia dan agama dari Tuhan, tetapi ada juga kenyataan bahwa agama lahir dari budaya (akal budi) manusia. Dalam istilah teologi disebut dengan agama ardhi (bumi) seperti Budha, Hindu, Kong-Hu-Cu dll, semua itu lahir dari perenungan manusiawi. Sehingga bisa saja agama-budaya bisa satu arah atau dua arah.  Maksudnya agama yang melahirkan budaya atau budaya yang melahirkan agama. Paradigma terakhir ini bahwa agama adalah hasil kebudayaan dalam istilah Norbeck (1974:3)[7] agama adalah human made, human creation.

C.   Sosial

Sosial merupakan interaksi dalam sebuah masyarakat komunitas. Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai kebutuhan untuk berinteraksi satu dengan yang lain dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi secara individu. Dalam kata lain bisa dikatakan dengan interaksi sosial yang bisa menimbulkan pertukaran dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Interaksi sosial yang terjadi antar individu dalam sebuah komunitas atau individu tidak sesederhana yang tampak tapi punya muatan yang kompleks dengan tingkat kerumitan tinggi. Terjadi penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar individu, bisa peleburan dengan cara individu beradaptasi dengan meleburkan diri dengan nilai dan norma yang berlaku atau sebaliknya individu bisa mempengaruhi lingkungan sesuai dengan nilai dan norma yang dia anut.

Kehidupan sosial dalam hal peleburannya individu satu dengan yang lain bisa lewat, pertama: imitasi, suatu proses peniruan yang dilakukan individu terhadap seseorang, yang prosesnya tidak bisa secara langsung tapi punya faktor ketertarikan akan hal yang diimitasi, sehingga dengan mudah melakukan proses imitasi, kedua: ada peleburan sosial dalam interaksi sosial dengan cara sugesti yaitu merupakan sikap menerima individu baik dari diri sendiri atau dari orang lain tanpa melakukan perlawanan, kritik dan protes dari yang melakukan sugesti tersebut, ketiga; identifikasi, Freud tokoh psikologi mengatakan seseorang akan melakukan identifikasi (penyamaan) dengan orang yang dianggap bagus menurut dia, sehingga orang yang diidentifikasi tersebut, semua norma dan nilai yang dianut sedapat mungkin dicontoh, keempat: simpati, merupakan sikap tertarik terhadap sesuatu yang mungkin kurang bisa dijelaskan secara detail apa penyebabnya, sehingga dia akan tertarik dengan penuh emosi yang mendalam.

D.   Masyarakat Islam

Kata “masyarakat” dipakai orang dalam kehidupan sehari-hari yang kadangkala tumpang tindih dengan pengertian komunitas dan rakyat. Secara mudah diartikan masyarakat merupakan manusia yang berkelompok yang hidup berdampingan bersama dalam sebuah pemukiman atau daerah dalam masa tertentu yang mempunyai sistem sosial dan punya pandangan, keyakinan, pola pikir, sikap dan perilaku yang serupa[8]

Ahmed Husaini mengutip karya Muhammad Ali dalam The Holy Quran, Islam merupakan suatu keadaan sehat atau tabi’at, berasal dari aslama yang mempunyai makna berserah diri atau dia masuk dalam kedamaian. Hanya dengan kesadaran dan kedamaian berserah diri seorang manusia bisa menemukan jalan dan arahan yang mengantarkan mencapai dan menemukan jalan dan tujuan hidup[9]. Secara gamblang Islam diartikan seperti Tolstoi mengatakan Islam merupakan ringkasan agama yang dikumandangkan Muhammad dan menyatakan bahwa Allah itu satu, tiada tuhan selain Dia. Sehingga tidak dibenarkan menyembah banyak Tuhan. Massignon mengartikan Islam merupakan agama yang memiliki keistimewaan, bahkan Islam sebagai ide persamaan yang benar dengan partisipasi semua anggota masyarakat. Umar Ibn Khatab mengatakan Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Muhammad Saw. Agama ini meliputi: akidah, syariat, dan akhlak[10].

Penulis menggabungkan beberapa pendapat mengenai Islam mulai dari pendapat yang mengedepankan perspektif Islam, perspektif budaya, perspektif sosial, perspektif moral dan etika. Membahas  Islam secara mendalam bukan kapasitas penulis dalam konteks ini tetapi mencoba memperkenalkan Islam dalam sebuah tatanan masyarakat dan sosio-kultural sesuai dengan pembahasan tulisan ini. Tolstoi mengedepankan Islam adalah akidah monothieistik yang terkandung ungkapan akhlak (meng-Esakan Allah SWT), Massignon menunjuk ke arah kehidupan sosial yang tertata dengan kaidah-kaidah moralis, persamaan yang dapat kita ambil dengan ungkapan Umar Ibn Khatab adalah Islam merupakan akhlak.

Tidak susah untuk menjelaskan Islam setelah membandingkan beberapa pendapat di atas. Bahwa sepakat Islam merupakan agama yang fundamental dalam masalah akhlak, tabiat, perangai dalam kehidupan sosio-kultural manusia. Bukankah Nabi Muhammad Saw. diutus untuk menyempurnakan dan memperbaiki tatanan nilai-nilai manusia kepada yang lebih manusiawi. Dalam ungkapan lain menggambarkan betapa integralnya Islam dengan kehidupan manusia, bahwa seorang muslim harus hablumminallah (vertikal) juga hablumminannas (horizontal). Kelayakan Islam sebagai pembentuk sebuah masyarakat tidak perlu disangsikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan syarat sebuah masyarakat.

Arti menyeluruh masyarakat Islam adalah sekelompok manusia yang mendiami suatu tempat dalam tempo waktu yang lama, hidup berdampingan dan melakukan interaksi dan mempunyai pandangan, sikap, norma dan nilai yang disepakati secara bersama keabsahannya untuk kebutuhan hidup sosial dalam masyarakat tersebut. Karena mengacu kepada Islam, maka tentu norma, nilai, pandangan dalam masyarakat tersebut berdasarkan nilai dan norma Islam, sehingga segala bentuk produk budaya: hukum, undang-undang, norma yang tertulis maupun yang tidak tertulis, kegiatan-kegiatan kerjasama, kesepakatan bersama yang dianut dan diterapkan bersama adalah hasil cipta, karsa dan rasa yang diarahkan dan dituntun secara sistematis oleh ajaran pokok Islam.

E.   Sosial budaya masyarakat Islam

Kajian sosial budaya Islam menyatu dengan proses agama Islam merambat ke penjuru dunia dengan satu tuntunan al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad Saw, namun setelah melakukan eksvansi ke daerah-daerah lain yang sebelum Islam masuk sudah memiliki ideal culture (budaya yang telah disepakati secara resmi). Islam melakukan penataan ulang terhadap budaya lama tentu akan mengalami rintangan dan kesulitan yang kadang berakhir dengan bermacam-macam paradigma, ada sinkretisme yaitu pencampuran nilai budaya lama dengan norma Islam yang berlaku bahkan bisa ada penentangan disebabkan culture shock. Hal ini tentu perlu melakukan akulturasi dengan budaya lama. Mengingat setiap budaya lama satu daerah dengan daerah yang lain punya background berbeda geografis, ekonomis, cuaca, pandangan, paham, dll, akan lahir agama Islam yang telah terakulturasi dengan budaya lama.

Akulturasi budaya dan agama ini berpotensi melahirkan corak pengamalan yang berbeda satu daerah dengan daerah lain. Bukan tidak mungkin tercampurnya budaya dengan agama yang bisa saja bila diukur dengan patron asli akan jauh berbeda, ini hal yang menjadikan perbedaan pandangan dalam sebuah pengamalan dalam agama Islam. Istilah Islam ada yang namanya “bid’ah” merupakan sesuatu yang dianggap baru dalam ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Nabi Saw, namun sudah timbul setelah terjadi proses akulturasi budaya, hal ini tidak musti disikapi secara frontal.

Interaksi manusia dengan yang lain dalam Islam sudah mempunyai panduan-panduan tertulis dari al-Quran dan Nabi Saw, dapat dikatakan hubungan timbal balik manusia (sosial) telah ada pedoman baku dari ajaran Islam. Allah SWT dalam surat al-Hujurat: 11-12,

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw öyó¡o ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% #Ó|¤tã br& (#qçRqä3tƒ #ZŽöyz öNåk÷]ÏiB Ÿwur Öä!$|¡ÎS `ÏiB >ä!$|¡ÎpS #Ó|¤tã br& £`ä3tƒ #ZŽöyz £`åk÷]ÏiB ( Ÿwur (#ÿrâÏJù=s? ö/ä3|¡àÿRr& Ÿwur (#rât/$uZs? É=»s)ø9F{$$Î/ ( }§ø©Î/ ãLôœew$# ä-qÝ¡àÿø9$# y÷èt/ Ç`»yJƒM}$# 4 `tBur öN©9 ó=çGtƒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqçHÍ>»©à9$# ÇÊÊÈ   $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qç7Ï^tGô_$# #ZŽÏWx. z`ÏiB Çd`©à9$# žcÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ) ( Ÿwur (#qÝ¡¡¡pgrB Ÿwur =tGøótƒ Nä3àÒ÷è­/ $³Ò÷èt/ 4 =Ïtär& óOà2ßtnr& br& Ÿ@à2ù'tƒ zNóss9 ÏmŠÅzr& $\GøŠtB çnqßJçF÷d̍s3sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# Ò>#§qs? ×LìÏm§ ÇÊËÈ  

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[11]dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[12] dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Ayat dalam surat al-Hujurat di atas, memberikan sumbangsih berupa tuntunan dalam pergaulan sosial, tuntunan yang bagaimana idealnya manusia khususnya dalam hal ini orang yang beriman. Agar interaksi umat Islam mencapai nilai-nilai tertinggi yang menjunjung tinggi kemanusiaan harus memperlakukan saudara yang lain dengan perlakuan yang baik, kalau bicara dengan hal-hal yang tidak menyakiti pendengarnya, tidak melakukan fitnah dan gunjingan terhadap manusia lain.

Bagi komunitas muslim yang menjalankan ajaran secara kontiniu satu dengan yang lain maka tercipta sebuah komunitas yang punya nilai-nilai sosial yang Islami, tentu hal ini akan melahirkan sebuah kebudayaan yang punya integritas dengan individu-individu dalam kelompoknya.

Terbentuknya ideal culture, nilai-nilai Islam secara tidak sadar akan melakukan proses internalisasi ke dalam individu yang berada dalam komunitas itu baik yang sudah lama maupun individu yang baru beradaptasi dengan komunitas tersebut. Sehingga lahirlah pedoman-pedoman komunikasi berupa verbal­ atau non-verbal, kesenian-kesenian yang merujuk kepada tuntunan Islam yang telah terbudayakan, hukum-hukum yang tertulis maupun tidak tertulis. Sesuai uraian terdahulu bahwa kebudayaan merupakan produk yang terintegrasi secara komprehensif dari hasil pola pikir (akal-budi) yang kita sebut dengan budaya yang sebelumnya mindset itu sedemikian rupa telah diarahkan oleh Islam (agama). Kesenian, ucapan, sapaan, komunikasi, hukum, sikap, tindakan, hal-hal yang telah disepakati bersama baik fisik atau non-fisik merupakan sebuah kebudayaan yang telah dihasilkan oleh Islam.

Urgensi mempelajari, mengetahui, dan memahami konteks sosial budaya Islam tidak terlepas akan pentingnya memahami Islam itu sendiri. Kalau kita bicara Islam dan ajarannya sama pentingnya kita membicarakan sosial budaya masyarakat itu sendiri, bukan berarti kita menyamakan antara ajaran Islam dengan sosial budaya masyaraat Islam, karena perlu ditegaskan bedanya jelas mana yang ajaran Islam dan mana sosial budaya masyarakat Islam.

Secara Anthropologis bahwa manusia sudah hidup di berbagai belahan dunia menciptakan life style berbeda yang mana itu merupakan bentuk pertahanan diri terhadap kehidupan biologis dan sosial mereka. Iklim, topografi, cuaca, geografi, musim dan latarbelakang sejarah telah membentuk pola kebudayaan yang bermacam ragam di seluruh dunia. Pengembangan masyarakat Islam dalam melihat metode dan sasaran seharusnya memahami konteks sosio-kultural mad’u, agar mudah melakukan penetrasi ke dalam sistem budaya tertentu, sehingga memudahkan melakukan perubahan dan gerakan memberdayakan mad’u.

Kerukunan hidup beragama dalam kehidupan khusunya bangsa Indonesia yang banyak etnis, ras, budaya tidak bisa terbina dengan baik andai kata satu dengan yang lain tidak bisa melakukan pemahaman. Sudah banyak unsur SARA yang terjadi di Indonesia, yang umumnya dipicu oleh tidak tolerannya dalam memahami konteks budaya masing-masing agama, sehingga kekerasan seakan menjadi solusi dalam menyelesaikannya. Hal ini penulis anggap terlalu prematur sebagai solusi. Sosial budaya masyarakat Islam di Arab, UK, USA, Indonesia, Malaysia, India dan negara lain, akan dijumpai perbedaannya yang sangat mendasar setidaknya dalam hal muamalah, sedikit dalam hal akidah. Contohnya ajaran Islam mengajarkan saling tenggang rasa, saling menghormati, mengucapkan kata yang baik, perilaku sopan, santun, ramah. Dalam hal mengekpresikan ajaran tadi karena punya backround yang berbeda, maka bisa saja dalam budaya Arab menyentuh bagian kepala adalah penghormatan seperti memegang jenggot. Ini merupakan sebuah komunikasi non-verbal dalam konteks sosial budaya Arab adalah menghormati, tetapi berbeda di Indonesia menyentuh bagian kepala bukanlah penghormatan, tetapi malah kadang mengartikan sebuah penghinaan, sedangkan di Arab menyentuh bagian pantat merupakan penghinaan yang besar, dibandingkan di Indonesia sesama laki-laki biasa saja menepuk atau memukul pantat teman dalam bercanda (setidaknya bukan merupakan penghinaan seperti yang dipahami dalam sosial budaya orang Arab).

Pentingnya juga memahami sosial budaya masyarakat Islam karena dunia sudah semakin terbuka, semakin cepat diakses yang sebelumnya tidak, pembauran antar buadya sudah menjadi sebuah keharusan, karena teknologi sudah memberikan kemudahan dalam hal itu, ini berguna bagi umat Islam yang berbeda budaya dalam menjalin interaksi sosial, atau juga bagi da’i yang menghadapi mad’u yang punya sosio-kultur yang berbeda. Masyarakat Islam modern disuguhkan dengan berbagai tantangan sehubungan dengan globalisasi.

Kembali ke ajaran Islam adalah sebuah keniscayaan, tetapi memahami dan mentolerir sosial budaya Islam adalah sebuah yang tidak bisa disepelekan selama sosial budaya itu tidak menyentuh masalah pokok atau mengurangi esensi nilai-nilai Islam. Kalau merujuk ke belakang, budaya Islam sudah muncul pada abad ke-16 M. Berhubung Islam muncul di Arab maka tidak bisa dipungkiri dalam mengekspresikan ajaran Islam banyak terakulturasi dengan budaya Arab sebelum Islam datang. Akulturasi hanya dalam hal ekspresi saja bukan dalam masalah esensi, karena Islam tidak bisa mentolerir keberadaan budaya yang bertentangan dengan ajaran pokok Islam, karena Islam bukanlah agama budaya melainkan Islam yang akan membentuk budaya dan peradaban. Ini perlu ditekankan untuk memperjelas antara ajaran Islam dan budaya yang dimasukinya.

Sering ditemukan dalam proses asimilasi dan adaptasi budaya satu dengan budaya lain yang sama-sama mempunyai nilai dan kandungan ajaran Islam kadang-kadang satu sama lain saling mendiskreditkan karena mengukur dengan subjektif sosial budaya Islam yang dianutnya. Contoh menarik dalam hal ini, tokoh cendekiawan muslim Indonesia yaitu Azyumardi Azra, saat menyelesaikan disertasinya di US, dia mengambil tema tentang hubungan ulama Timur Tengah dengan perkembangan Islam di Indonesia, saat dia melakukan shalat Maghrib di sebuah masjid di Timur Tengah dia sempat ditegur imam shalat karena dia menggunakan kain sarung dengan maksud “laki-laki haram memakai pakaian wanita” maksud imam adalah dalam persepsi sosial budaya mereka bahwa memakai kain sarung bagi laki-laki adalah memakai pakaian kaum wanita. Azra kembali mengatakan bahwa justru di kampung saya (Indonesia) yang pakai pakaian gamis itu justru pakaian wanita di Indonesia (seperti pakaian orang hamil) dan lain sebagainya yang esensi pola sama dengan gamis. Itu salah satu contoh punya hikmah perlunya mengetahui sosial busaya Islam, memang betul laki-laki tidak boleh memakai pakaian yang menyerupai pakaian wanita (esensi) namun menerjemahkan mana pakaian wanita dan laki-laki akan berbeda di lapangan seperti kain sarung pakaian laki-laki di Indonesia sedangkan di salah satu sosial budaya di Timur Tengah merupakan pakaian wanita (ekspresi).


[1] F.R Faridi. M.M Siddiqi. The Social Culture Of Indians Muslims. Institute of Objective Studies New Delhi 110025. 1992. New Delhi: h.2

[2] Barton M. Schartz.  Robert H. Ewald. Culture and Society. -----------. 1968. California: h. 54

[3] Bruce J. Cohen. Sosiologi (Suatu Pangantar). Rineka Cipta. Jakarta: h.49

[4] Elly M. Setiadi. Kamal Abdul Hakam. Ridwan Effendi. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Kencana. Jakarta: h. 28

[5] Elly M. Setiadi. Kamal Abdul Hakam. Ridwan Effendi. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Kencana. Jakarta: h. 27

[6] Bustanuddin Agus. Sosiologi Agama. Universitas Andalas. Padang: h. 129

[7] Bustanuddin Agus. Sosiologi Agama. Universitas Andalas. Padang: h. 130

[8] Bruce J. Cohen. Sosiologi (Suatu Pangantar). Rineka Cipta. Jakarta: h.49

[9] S. Waqar Ahmed Husaini. Sistem Rekayasa Sosial Dalam Islam. PTN IAIN Jakarta. Jakarta: h.1

[11] Jangan mencela dirimu sendiri Maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh.

[12] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan sebagainya.

0 Comment