25 Desember 2022

Dinasti Ghaznawi, Dinasti Buwaihi dan Dinasti Saljuk

PENDAHULUAN

 Kita sama-sama mengetahui bahwa sejarah peradaban Islam pada masa Daulah Bani Abbasiyah adalah puncak keemasan, baik itu politik, keamanan, ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan dan lain-lain. Kemajuan Dinasti Abbasiyah ditandai dengan adanya kontak peradaban Islam dengan peradaban Yunani yang berada di Mesir dan Persia.

Akan tetapi Dinasti Abbasiyah tidak bisa bertahan lama, karena mengalami kemunduran, sehingga menyebabkan beberapa provinsi memproklamirkan lahirnya daulah yang baru, dan Dinasti Abbasiyah hanya pada periode pertama dari tiga periode yang dapat menjalankan tugasnya karena untuk untuk periode kedua dan ketiga Dinasti Abbasiyah digerakkan oleh Dinasti Ghaznawi, Dinasti Buwaihi dan Dinasti Saljuk, meskipun secara simbolis khalifah Abbasiyah masih menjabat sebagai kepala pemerintahan.

Melalui makalah ini, penulis mencoba untuk membahas sejarah kepemimpinan Dinasti Ghaznawi, Dinasti Buwaihi dan Dinasti Saljuk serta hal-hal yang berkaitan erat dengan esensi keadaan peradabaan Islam pada masa pemerintahan waktu itu.

A.      Dinasti Ghaznawi

1.        Awal berdirinya Dinasti Ghaznawi

Bangsa Turki yang mendapat perhatian penuh oleh Dinasti Samaniyah untuk berada pada barisan pemerintahan adalah Alptakin. Pada awalnya ia dikokohkan sebagai anggota pegawai dinasti. Lantas pada puncak karirnya dinobatkan menjadi gubernur Khurasan. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 961 M dan terlukis dalam sejarah bahwa Alptakin telah berhasil merebut Ghana di Afghanistan tahun 962 M.

Sebagian cuplikan sejarah menyebutkan bahwa diawali oleh rasa dengki dari pihak penguasa, maka Alptakin bersama pengikutnya harus meninggalkan negeri Khurasan untuk membuat daerah baru yang bisa memberikan nilai-nilai positif bagi perkembangan kekuasaannya. Suatu daerah yang sangat strategis yang dikenal dengan Ghazna. Maka diperkuatnyalah kota itu, termasuk diantaranya pembuatan parit dan benteng pada Tahun 962 M.[1]

Setelah Alptakin wafat digantikan oleh salah satu keturunannya yaitu Sabaktakin. Ia menjadi penguasa Dinasti Ghaznawiyah pada tahun 977 M. Pada awalnya ia memiliki Khurasan sebagai hadiah dari raja Samani Nuh bin Mansur atas jasanya berhasil memadamkan pemberontakan di Transoxiana. Setelah menguasai Persia Sabaktakin menguasai Pesyawar, kemudian Kabul dan wilayah India. Setelah berjuang selama 20 tahun Sabaktakin meninggal pada tahun 997 M. Walaupun berasal dari bangsa Turki namun ia dapat menyatukan kedua bangsa Turki dan Afghanistan karena sama-sama satu mazhab yaitu ahlu sunnah wal jamaah.[2]

Sabaktakin digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Ismail, sayangnya Ismail tidak bijak dalam mengatur pemerintahan dan dalam menguasai Ghaznah Ismail dikerjai oleh pasukannya sampai harta ayahnya habis. Maka bangkitlah Amir Mahmud untuk mengulingkan saudaranya, dan setelah berhasil merebut Ghaznah, ia mengangkat dirinya sebagai sultan Ghaznawiyah.

Wilayah Dinasti Ghaznawiyah meliputi Iran bagian Timur, Afghanistan, Pakistan dan beberapa wilayah bagian India. Pusat pemerintahannya di kota Ghazna, Afghanistan. Dinasti inilah yang mampu menembus sampai ke India menyebarkan agama Islam, menghancurkan berhala menggantikan kuil dengan mesjid[3] Dinasti ini berusia lebih dari 200 tahun (336 H/ 977 M – 582 H/ 1186 M) di Iran Timur dan wilayah yang sekarang menjadi Afghanistan.[4]

 

2.        Kemajuan Dinasti Ghaznawi

a.    Aspek Politik

Pada masa Sabaktikin, wilayah Dinasti Ghaznawi diperluas dengan ditaklukannya beberapa wilayah di Sijistan dan Kusdar. Disamping itu ia mampu mempertahankan Transoxania dan Iran bagian barat dari serbuan Bani Saljuk.[5] Dalam pemerintahan Sultan Mahmûd al-Ghaznawi, kemajuan bidang politik mencapai puncaknya. Ghazna yang semula adalah kerajaan kecil, yang di sana-sini terdapat reruntuhan bangunan akibat perang. Kerajaan tersebut menjadi luas, dari pinggir laut Kaspia di utara hingga sungai Gangga di India, dari sungai Ozus di Amudarya (Asia Tengah) sampai sungai Indus (pesisir selatan India).

Sultan Mahmûd al-Ghaznawi adalah panglima perang perkasa, dia lebih banyak berada di medan perang daripada “duduk” di istana kebesarannya. Sejarah mencatat, lewat peperangan yang dilakukan, dia mampu menaklukan wilayah Khurasan (1012 M), dataran tinggi Pamir (1000 M), Peshawar, Khasmir dan Bathinda (1004 M), Punjab (1006 M), Kangra (1009), Delhi (1015), Mathura, Kanauj (1019), dan Gujarat (1026).[6]

 

b.    Bidang Pendidikan dan IPTEK

1)        Mahmud Ghazna mengerahkan kesungguhannya untuk menjadikan kota Ghazna sebagai pusat ilmu pengetahuan dan sebagai tempat berkumpulnya para ilmuwan, ahli hukum, ulama fuqaha, para ahli bahasa, ahli fisika astronomi, geografi tasawuf dan falsafah.

2)        Mahmud membangun sekolah-sekolah yang di lengkapi dengan perpustakaan.

3)        Dalam pengembangan ilmu, Mahmud Ghaznawi menghimpun para sarjana dan punjangga, diberi tempat tinggal, dibiayai dan diberi dukungan.

 

c.    Bidang Ekonomi dan Perdagangan

            Kemajuan yang dicapai dalam bidang ekonomi dan perdagangan pada masa Sultan Mahmud adalah kesejahteraan dan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat serta memajukan ekonomi masyarakat melalui perdagangan, Pertanian dan  retribusi pajak.

            Penaklukan terhadap daerah-daerah yang kaya dan subur memberikan dampak yang sangat besar terhadap kemajuan dinasti Ghaznawi di bidang ekonomi. Setiap berhasil dari penaklukan, Sultan Mahmud selalu membawa harta rampasan ke Kota Ghazna dan membagi-bagikanya kepada rakyat serta digunakan untuk berbagai pembangunan madrasah dan sarana sosial lainnya .[7]

 Harta rampasan yang melimpah dan restribusi pajak yang dikumpulkan dari seluruh daerah taklukan, mampu menghidupkan berbagai aktivitas perekonomian, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan dinasti ini menjadi kerajaan yang makmur.

d.   Bidang Kesenian dan Arsitektur

Masa kejayaan dinasti Ghaznawi didukung oleh berbagai faktor diantaranya adalah karena adanya perhatian dari Sultan terhadap perkembangan bidang seni dan arsitektur. Hal ini ditandai dengan didirikannya sebuah  masjid yang bernama Arus al-Falaq, membangun Istana di Afgan dan Shal, serta membangun taman Sad Hasan dan istana Fazuri. Begitu megah di kota Ghazna pada masa pemerintahan sultan Mahmud.[8]

Masjid  Arus al- Falaq   adalah  masjid  termegah pada masa itu dimana lantainya dilapisi dengan marmer, mihrabnya terdiri dari batu pualam, yang dihiasi emas. Dan bahan bangunannya sebahagian besar didatangkan dari India.

3.        Kemunduran Dinasti Ghaznawi

Pada saat sultan Mahmud masih hidup, ia mengambil kebijakan dengan menunjuk puteranya  Muhammad sebagai penggantinya,  tetapi kebijakan itu tidak disetujui pihak militer. Menurut mereka yang lebih berhak untuk menjadi sultan adalah Mas`ud karena selalu berhasil memimpin peperangan. Konflik kedua kakak beradik ini menimbulkan perselisihan yang berujung dengan perang yang dimenangkan oleh Mas`ud.[9] Secara langsung konflik internal tersebut tentunya mempengaruhi pemerintaahan, sehingga ada di antara daerah – daerah yang tidak mau lagi tunduk kepada Sultan Ghaznawi.

Kesempatan ini dimanfaatkan oleh orang – orang Saljuk, mereka mulai berupaya untuk merebut kekuasaan dinasti Ghaznawi. Kekuatan Sultan Mas`ud pun dapat dikalahkan pada akhirnya banyak daerah yang melepaskan diri di wilayah Iran bagian Barat serta seluruh Khurasan. Pertempuran melawan orang-orang Saljuk berlangsung terus hingga tahun 1049 M sampai pada masa pemerintahan Mas`ud.

Untuk sementara dapat ditata kembali tetapi tidak bertahan lama. Selain ancaman dari orang Saljuk juga muncul ancaman dari suku Ghur dan Zhur turut melemahkan wibawa dinasti. Mereka menyerang Ghazna pada tahun 1151 M dan berhasil menguasainya. Pada saat itu pusat pemerintahan pindah ke Lahore pada Tahun 1186 M namun  tidak bertahan lama.

Dinasti Ghaznawi dijarah oleh  orang – orang Gharriyah yang dipimpin oleh `Alauddin Jihan –suz yang dikenal dengan ” Penghasut dunia” pada tahun 545/1151M. Tampilnya Ghuriyyah di Afganistan Tengah mengurangi kekuasaan Ghaznawi terakhir,[10] dengan cara menjadikan anak Khusraw sebagai tawanan setelah jatunya daerah Pesyawar ke tangan Syihabuddin. Akhirnya Khusraw membayar upeti dan menyerah pada tahun 1187 M. Ia akhirnya ditawan dan di bunuh bersama anaknya. Dengan demikian Dinasti Ghaznawi berakhir.

 

B.  Dinansti Buwaihi

1.      Awal Berdirinya Dinasti Buwaihi

Nenek moyang Buwaihi berasal dari negeri Dailam sebelah timur Khurasan. Keluarga Bani Buwaihi berasal dari keturunan Raja-raj Persia melanjutkan seorang tokohnya yang bernama Buyyah (Buwaihi). Keturunan dari Buwaihi inilah yang kelak akan menjadi penguasa Irak yang gigih. Mereka Itu adalah Ali, Al Hasan, dan Ahmad. Dari mereka inilah dimulai nama Dinasti Buwaihi, pemegang kekuasaan dan penguasa tertinggi di Bagdad dari 945-1055 M.[11]

Dinasti Buwaihi adalah salah satu Dinansti yang ada pada masa Abbasiyah. Latar belakang berdirinya Dinasti Buwahi ini diawali dari tiga orang bersaudara yang berasal dari Dailam (Tabaristan) yang terletak di pantai Khazar yaitu daerah pegunungan yang di huni oleh orang-orang yang disebut Dayalimah. Mereka adalah campuran dari orang Iran danTurki yang keras, kuat, giat, pandai berperang dan sangat perkasa.[12]

Pada abad ke 10 Dailam dapat memerangi bangsa Turki sebagai pemasok tentara bayaran bagi dunia Islam. Mereka mengabdi kepada Mardawij. Mardawij menunjuk mereka menjadi gubernur di daaerah-daerah yang menjadi bawahannya. Setelah Mardawij meninggal (943), maka kekuasaan berada dibawah tangan Ali dan saudara-saudaranya.

Tahun 945 mereka (Ahmad bin Buwaihi ) memasuki kota Bagdad yang pada saat itu pemegang kekuasaan oleh Khalifah al-Mustakfi. Di mana pada masa ini banyak terjadi pemberontakan dan pertikaian di kalangan istana.  Tahun 946 Ahmad bin Buwaihi menurunkan al-Mustakfi dan menggantikannya dengan muqtadir yang memakai gelar tahta al-Muti. Pada pertemuan pertama ketika masih kekhalifahan al-Muktafi kekuasaan keuangan di Irak diberikan kepada Ahmad bin Buwaihi dan namanya di cetak dalam uang logam dengan menamakan diri sebagai khalifah. Mereka membuat pemasukan khusus untuk khalifah yang berjumlah 5000 dirham sehari.

2.      Kemajuan Dinasti Buwaihi

a.       Pemerintahan dan Politik

Sistem pemerintahan Dinasti Buwaihi tidak independen seperti Dinasti Samaniyah. Ali masih mengakui otoritas Baghdad sebagai pusat kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, sekalipun pada waktu itu sudah amat lemah. Jabatan para penguasa Dinasti Buwaihi tidak lain sebatas gubernur, bukan khalifah. Ini jelas berbeda dengan status jabatan penguasa beberapa dinasti sebelumnya menjelaskan bahwa, para penguasa Dinasti Buwaihi banyak menyandang gelar Seperti gelar “Syahansyah” (Rajadiraja). Dengan demikian, Dinasti Buwaihi termasuk generasi penerus peradaban seperti halnya Dinasti Samaniyah, yang bermaksud mengembalikan kejayaannya.

Konsep politik Dinasti Buwaihi bentuknya adalah kekeluargaan. Oleh sebab itu pola kepemimpin tiga pemimpin Buwaihi yang pertama dipererat oleh ikatan persaudaraan dari para pendirinya.[13] Prinsip kekeluargaan ini dapat dilihat dari kebiasaan mendahulukan yang lebih tinggi dan menghormati yang lebih tua.

       Dinasti Buwaihi yang bertahan selama 123 tahun dan dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu:

1.      Periode pertama sebagai periode konsolidasi kekuasaan yang dilakukan oleh ‘Ali Ibnu Buwayh (‘Imad al-Daulah), Hasan Ibnu Buwayhi (Rukn al-Daulah), Ahmad Ibnu Buwayhi (Mu’iz al-Daulah) dan kemudian diteruskan oleh keturunan mereka, Bakhtiyar (putra Mu’izz al Daulah) dan ‘Adhud Al-Daulah (putra Rukn Al-Daulah). Karena ‘Imad Al-Daulah tidak mempunyai anak, di fars ia digantikan oleh kemenakan lelakinya, ‘Adud Al-Daulah.

2.      Periode kerajaan dimulai dengan keberhasilan ‘Adud Al-Daulah meraih kekuasaan di Bagdad, dan terus berlangsung selama masa pemerintahan putra-putranya, sham-sham Al-Daulah (983-87), Syaraf Al-Daulah (987-89), dan Baha ‘Al-Daulah (989-1012).

3.      ‘Adhud Al-Daulah adalah Raja Buwaihi yang paling terkemuka, yang pada masa pemerintahannya kerajaan mencapai kekuasaannya yang paling besar dan luas meskipun kesatuan yang telah dia bangun menjadi terpecah-pecah setelah kematiannya, percekcokan di antara putra-putranya merupakan gejala kemunduran yang baru di mulai.[14]

Secara fisik adminitratif dapat dinyatakan bahwa pergeseran kekuasaan dari khalifah kepada amir adalah pemusatan kontrol politik dan adminitrasi dari istana kekhalifahan (Dar Al-Khalifah) ke istana kerajaan (Dar Al-Mamlakah) yang baru saja didirikan di Baghdad.

Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah dan kesulitan kontak dengan wilayah propinsi menyebabkan disintegrasi pemerintahan tersebut. Di samping itu, sistem pemerintahan Buwaihi yang disandarkan pada kekuasaan militer, memudahkan untuk menguasai Baghdad, bersamaan dengan menurunnya kekuatan militer di pemerintahan pusat.

Selama periode Buwaihi, tercatat beberapa Amirul Umara yang pemerintah di Baghdad yaitu:

1.      Mu’iz ad-Daulah tahun 945 M

2.      ‘Izz ad-Daulah Bakhtiyar tahun 967 M

3.      Adud ad-Daulah tahun 978 M

4.      Samsan ad-Daulah tahun 973 M

5.      Sharaf ad-Daulah tahun 983 M

6.      Baha ad-Daulah tahun 989 M

7.      Sulthan ad-Daulah tahun 1012 M

8.      Musharif ad-Daulah tahun 1020 M

9.      Jalal ad-Daulah tahun 1025 M

10.  Imadudin Abu Kalijar tahun 1044 M

11.  Al Malik ar-Rahim tahun 1045-1055 M[15]

b.      Pemahaman keagamaan

Dalam hal keagamaan pada dinasti Buawaihi mereka adalah penganut syiah yang dikenal kuat dan keras serta memiliki kebebasan yang tinggi. Perkenalan mereka dengan syiah diawali dengan pengungsian golongan ‘Aliyyah yang ditindas oleh Bani ‘Abbasiyah. Seorang kalangan ‘Aliyyah menyebarkan Syi’ah di wilayah Dailam dan mendirikan sebuah kerajaan ‘Aliyah yang independen di Dailam dan Jilan.

c.       Pendidikan dan IPTEK

Pada masa pemerintahan Buwaihi lahir lah para ilmuwan besar seperti Al-Farabi, Ibnu Sina dan kelompok studi ikhwan as-shafa.[16] Pada periode pemerintahan Adud Daulah diliputi oleh kedamaian dan keamanan sehingga perkembangan kebudayaan serta perkembangan ilmu ekonomi, matematika, kedokteran dan kesusastraan telah mencapai puncaknya.

3.      Keruntuhan Dinasti Buwaihi

Dinasti Buwaihi dalam menjalankan roda pemerintahan semula didasarkan kepada kekuatan militer orang-orang pengunungan Dailam. Namun setelah berapa lama, mereka tidak bisa lagi mempertahankan keunggulan militernya, dan para Buwaihi makin bersandar pada tentara bayaran dari Turki. Maka menjelang abad ke 10, mengurus sebuah provinsi dan penyelenggaraan sebuah negara kecil yang independen merupakan masalah tetapi pada akhir periode Buwaihi para prajurit tidak berminat lagi pada pertemuan tetapi pada akhir periode Buwaihi para prajurit tidak berminat pada uang dan memaksa para amir untuk memberi anggaran pada tentara yang lebih besar yang bisa ditanggung oleh perekonomian.

Ikatan kekeluargaan yang pada mulanya merupakan sumber kekuatan bagi bani Buwaihi. Ketiga bersaudara yang mendirikan Dinasti Buwaihi berkuasa, kompeten dan saling mempercayai satu sama lain, tetapi selanjutnya ketika pemerintahan berada ditangan keturunan mereka, terjadilah perebutan kekuasaan yang mengakibatkan perselisihan dan saling bunuh-membunuh.

Dan dilihat dari segi bala tentara, tentara yang menjadi sandaran kekuatan tidak berasal dari suku yaitu bangsa Dailam dan bangsa Turki sehingga menyebabkan terjadinya persaingan diantara para tentara. Kedua kelompok tentara tersebut juga berada dalam hal mazhab. Orang-orang Dailam adalah Zaidiyah, sedangkan bangsa Turki adalah orang Sunni.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab mundurnya pemerintahan Buwaihi adalah :

1.      Sistem pemerintahan yang semula didasarkan pada kekuatan militer, belakangan diorganisir menjadi sebuah rezim yang lebih setia terhadap pimpinan mereka atas kekayaan dan kekuasaan daripada setia terhadap negara.

2.      Konsep ikatan keluarga yang menjadi kekuatan Diansti Buwaihi pada masa-masa awal, tidak bisa dibina lagi pada masa-masa selanjutnya. Konflik antar anggota keluarga menjadikan lemahnya pemerintahan di pusat.

3.      Pertentangan antara aliran-aliran keagamaan. Sebagaimana diketahui bahwa Dinasti Buwaihi adalah penyebar madzhab Syi’ah yang sungguh bersemangat, di balik kebanyakan rakyat Baghdad yang bermadzhab sunni. Pertentangan tersebut pada periode awal Dinasti tidak begitu nampak, terutama pada masa Adud ad-Daulah, kemudian mulai menajam kembali dan mengalami puncak pada akhir Dinasti Buwaihi di Baghdad. Hal ini tidak terlepas dari peran dan kebijakan Khalifah al-Qadir yang mengepalai pertempuran sunni melawan Syi’ah dan berusaha mengorganisir sebuah misi Sunni untuk menjadi praktek keagamaan. Melalui sebuah pengumuman yang resmi, ia menjadikan Hambali sebagai madzhab muslim yang resmi.[17]

 

 

C.  Dinasti Saljuq

1.      Awal berdirinya Dinasti Saljuq

Sejalan dengan semakin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaihi, makin banyak pula gangguan dari luar yang membawa kepada kemunduran dan kehancuran dinasti ini. Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah semakin gencarnya serangan Bizantium ke tanah Islam dan semakin banyaknya dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad.[18]

Saljuq adalah nama keluarga keturunan Saljuq bin Tufaq dari Suku Bangsa Gazz dari Turki yang menguasai Asia Barat Daya pada abad ke-11 dan akhirnya mendirikan sebuah kekaisaran yang meliputi kawasan Mesopotamia, Suriah, Palestina dan sebahagian Iran. Wilayah kekuasaan yang demikian luas hingga abad ke-13.[19] Penamaan Dinasti Saljuq dinisbahkan kepada Saljuq bin Tufaq, yang merupakan nenek moyangnya, ia adalah salah satu anggota suku Oghuz Kaum Saljuq bermukim berdekatan dengan kaum Samaniyah dan Ghaznah, dan mereka telah menganut agama Islam serta sangat fanatik dengan mazhab Ahlu Sunnah yang tersebar luas di kawasan itu.[20]

Ketika peperangan antara dinasti Samaniyah dan Ghaznawi meletus, kaum Saljuq berpihak kepada kaum Samaniyah hingga akhirnya Dinasti Samaniyah lumpuh, sementara Dinasti Ghaznawi semakin jaya. Ini memberi kesempatan kepada kaum Saljuq untuk memerdekakan diri bersama-sama dengan sisa-sisa milik kerajaan yang runtuh.

2.      Kemajuan Dinasti Saljuq

a.       Bidang Politik dan Pemerintahan

Pada masa pemerintahan Dinasti Saljuk, mereka mengembalikan jabatan wazir yang sebelumnya ditukar dengan khatib oleh Dinasti Buwaihi. Di samping itu, mereka melakukan ekspansi ke daerah-daerah yang berada di sekitar wilayah kekuasaannya seperti Jurjan, Tabaristan, Rayy, Qazwain, Zanjan, bahkan hampir mengusai seluruh wilayah Iran, Wilayah Irak Barat, Kirman, Kurzistan dan Oman.

Puncaknya pada masa pemerintahan Alp-Arselan, kekuasaan dinasti Saljuk sampai ke Asia Barat, yaitu daerah Bizantium sebagai pusat kebudayaan Romawi, Perancis, Armenia, Guzz dan al-Akhraj. Dalam ekspansi ini terjadi peristiwa yang dinamakan dengan manzikart (1071 M), di mana Raja Romawi Romanus Drogenes memerintahakan tentaranya untuk menentang tentara Alp-Arselan dan mendengar pernyataan tersebut membakar semangat perang kaum Saljuk sebagai wujud mempertahankan harga diri dan kaumnya.[21]

b.      Bidang Ilmu Pengetahuan

Pada masa pemerintahan Al-Arselan, ilmu pengetahuan mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Malik Syah bersama perdana mentrinya Nizham al-Mulk. Nizam al-Mulk inilah yang memprakarsai berdirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Nizham al-Mulk ini adalah seorang yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu agama, pemerintahan dan ilmu pasti.

Pada masa Malik Syah inilah lahir ilmuan-ilmuan muslim seperti al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa dan theology, al-Qusyairi dalam bidang tafsir, Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang theology, Farid al-Din al-Aththar dan Umar Kayam dalam bidang sastra dan matematika.[22] 

c.       Bidang Keagamaan

Pada periode Dinasti Saljuq masa pemerintahan Tughril Beq. Munculnya semangat dan persatuan di atas Manhaj Islam yang benar, hal ini dimulai oleh Tughril Beq yang mengajak kaum muslimin untuk berpihak kepada khalifah yang resmi, dan menentang aliran Syi’ah yang menimbulkan perpecahan di antara umat.

Kemudian yang lebih penting lagi diingat Sultan alih arselan telah kembali menyatakan umat di bawah, panji Islam, bersatu untuk berjihad fi sabilillah, seorang pemimpin umat sekaligus panglima perang yang berhasil membangkitkan semangat persatuan dan keasatuan kaum muslimin dalam mempertahankan dan membela agamanya. Khalifah Abbasiyah dan sultan Saljuq sama berpegang kepada mazhab Ahlu sunnah. Ini telah memudahkan kerja sama di antara kedua belah pihak dan telah mendorong kaum Saljuq itu menyangjung dan menghormati dengan setingginya khalifah-khalifah Abbasiyah.[23]

3.      Kehancuran Dinasti Saljuq

Faktor Internal

Faktor internal adalah dari kemunduran Dinasti Saljuq pemberontakan golongan Islamiyah dari kelompok Hasy syasyin, yang diketuai oleh Hasan bin sabah. Hasysyasyin yang terkenal dengan perbuatan kejam, menipu dan pembunuh yang dengan perkataan As- Sasins, dalam bahasa Inggris yang berarti penumpah darah atau pembunuh. Faktor lain diantaranya ialah:

-          Perselisihan  yang terjadi di dalam keluarga, antara saudara, paman, anak-anak dan cucu.

-          Dimunculkan api fitnah oleh para pejabat dan menteri.

-          Lemahkannya para khalifah Bani Abbasiyah dalam menghadapi kekuatan militer Saljuq. Sehingga pemerintahan Bani Abbas tidak mampu menolak siapa pun yang duduk di kursi kesultanan Saljuq

-          Ketidakmampuan pemerintahan Saljuq dalam menyatukan wilayah Syam, Mesir dan Iraq di bawah panji kekuasaan Bani Abbas.

-          Konspirasi orang-orang pemberontak terhadap kesultanan Saljuq yang mereka lakukan dengan cara membunuh dan menghabisi para sultan dan pemimpin – pemimpin serta komandan perangnya.

Faktor Eksternal

Berupa perperangan yang kita kenal dengan perang Salib yang datang secara beruntun dan setengah pasukan Barbar ke pusat – pusat kota Dinasti Saljuq. Jadi kedua faktor tersebutlah yang membuat Dinasti Saljuq runtuh yang bermula kepada kekuatan hubungan di antara pemegang wasiat untuk Mahmud dan saudara – saudara Mahmud, terutama dari pihak ayah Barkiya Ruk. Hal itu segera memicu pertengkaran besar di dalam keluarga Saljuq.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

1.      Wilayah dinasti Ghaznawiyah meliputi Iran bagian timur, Afganistan, Pakistan, dan beberapa wilayah bagian India. Pusat pemerintahannya di kota Ghazna Afganistan. Dinasti inilah yang mampu menembus sampai ke India menyebarkan agama Islam, menghancurkan berhala mengantikan kuil dengan mesjid. [24] Dinasti ini didirikan oleh Sabaktakin dan berjaya pada masa pemerintahan Mahmud Ghaznawi. Pemerintahan Dinasti ini berakhir pada masa pemerintahan Khusraw Malik karena diserang oleh Dinasti Ghuri dan Khusraw Malik bersama anaknya Malik Syah mati di bunuh.

2.      Dinasti Buwaihi adalah salah satu Dinansti yang ada pada masa Abbasiyah. Wilayah. Dinasti Buwaihi meliputi Asfahan, Syiraz dan kirman di Persia. Dinasti Buwaihi banyak menghidupkan syiar Syi'ah. Salah satu yang menyebabkan kemunduran Dinasti Buwaihi karena adanya konsep ikatan keluarga yang menjadi kekuatan Diansti Buwaihi pada masa-masa awal, tidak bisa dibina lagi pada masa-masa selanjutnya. Konflik antar anggota keluarga menjadikan lemahnya pemerintahan di pusat.

3.      Dinasti Saljuq didirikan oleh Saljuq bin Tufak dari suku bangsa Gazz. Pada masa Saljuq inilah ilmu pengetahuan berkembang. Sedangkan dinasti Saljuq mengalami kemunduran dan keruntuhan di antaranya akibat perseteruan dalam perebutan jabatan, baik di kalangan keluarga maupun pejabat pemerintah.

B.     Saran

Sebagai insan biasa penulis tidak akan pernah sempurna dalam segala hal termasuk dalam makalah ini, untuk itu semua kritikan dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan, karena penulis yakin makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Walaupun demikian adanya mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk menambah dan mampu membuka cakrawala kita tentang sejarah peradaban Islam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

C.E. Bosworth, Dinasti- Dinasti Islam, Judul Asli The Islamic Dinasties, Terj. Hasan Ilyas,  Bandung: Mizan, 1993

 

Chair, Abd.dkk., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah. Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, tt

 

            http://gun2-ab.blogspot.com/2009/02/dinasti-buwaihi.html. Kamis, 27 Oktober 2011

 

http://shofiulloh.blogspot.com/. Selasa, 21 April 2009

 

http://kliksosok.blogspot.com/2007/08/dinasti buwaihi

 

Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981

 

al-Isy, Yusuf. Dinasti Abbasiyah. Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2007

 

L. Kraemer, Joel. Renaisance Islam.  terj. Asep Saefullah. Bandung: Mizan, 2003

 

Munir, Samsul. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2009

 

Syou’ib, Yosoef.  Sejarah Daulah Abbasiyah II. Jakarta: Bulan Bintang, 1997

 

Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2007

 

Su’ud, Abu. Islamologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2003

 

Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2008

 

Thohir, Ajid.  Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004

 

Yatim. Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010

 

Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Terj. Hartono. Yokyakarta: Tiara Wacana, 1990

 

 

 



[1] Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h.120

[2] Dikutip dari situs http://shofiulloh.blogspot.com/. Selasa, 21 April 2009

[3] Dikutip dari situs http://shofiulloh.blogspot.com/. Selasa, 21 April 2009

[4] Abd. Chair,dkk., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah, (Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, tt), h. 12

[5] Yosoef Syou’ib, Sejarah Daulah Abbasiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 218

[6] Ibid., h.243

[7]W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Terj. Hartono, (Yokyakarta: Tiara Wacana, 1990),h.213

[8] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,( Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2007), Cet ke 3, h. 172

          [9] W. Montgomery, Opcit., hal 213

          [10] C.E. Bosworth, Dinasti- Dinasti Islam, Judul Asli The Islamic Dinasties, Terj. Hasan Ilyas,  (Bandung: Mizan, 1993),h. 207

          [11] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004), h.159-160

[12] Yusuf al-Isy, Dinasti Abbasiyah, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2007),.h.198

[13] Namun pada generasi kedua dan ketiga solidaritas kekeluargaan (fanatisme) semakin berkurang.

[14] Joel L. Kraemer, Renaisance Islam,  terj. Asep Saefullah, (Bandung: Mizan 2003),h.63-64

[16] Abu Su’ud, Islamologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h.80

[18] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010) Cet.ke-22,. H. 72

[19] Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Amzah, 2009), Cet. Ke-1, h.278

[20] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam,(Jakarta:PT. pustaka al-husna baru, 2008), cet ke-3, h.277

[21] Ahmad Syalabi, loc.cit.

[22] Badri Yatim, op.cit., h. 76

[23] A. Syalabi, Op.Cit, h,280

[24] Dikutip dari situs http://shofiulloh.blogspot.com/. Selasa, 21 April 2009

0 Comment