16 Desember 2022

PERKEMBANGAN AKTIVITAS DAKWAH DALAM ALQUR’AN 

       A.      Pendahuluan

Aktivitas dakwah di dalam al-Qur’an membicarakan seputar pemanggilan atau ajakan umat manusia di seluruh dunia ke jalan Allah dengan penuh kebijaksanaan dan petunjuk yang baik dan berdiskusi dengan mad’unya dengan cara yang sebaik-baiknya.

Perkembangan aktivitas dakwah dalam al-Qur’an dipandang sebagai proses komunikasi dan proses sosial. Dakwah sebagai komunikasi, karena pada tingkat individu (objek) kegiatan dakwah tidak lain adalah suatu kegiatan komunikasi, yaitu kegiatan penyampaian pesan dari komunikator (da’i atau subjek dakwah, pelaku dakwah) kepada komunikan (ojek dakwah, mad’u, penerima dakwah) melalui media tertentu agar terjadi perubahan pada diri komunikan.

Perubahan yang terjadi pada mad’u bisa saja dari segi pengetahuan (pemahaman), sikap (attitude), dan tindakan individu (behavior), yang menyangkut aspek aqidah (keimanan, akhlak).

B.      Perkembangan Aktivitas Dakwah dari Masa ke Masa

  1. Dakwah Sebelum Islam

Aktivitas dakwah sudah dimulai semenjak nabi Nuh as. dan diakhiri dengan dakwah nabi Isa as[1]. Dimulainya sejarah dakwah nabi Nuh as. Rasul menjelaskan al-Qur’an tentang dakwah dan risalahnya, sebagaimana firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 59 yang berbunyi:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). (QS. Al-A’raf  59)

Sebelum Rasulullah diutus untuk menyampaikan ajaran Islam (perintah untuk berdakwah), Allah telah memerintahkan kepada para Nabi utusannya untuk menyampaikan ajaran Tauhid ini untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan dan kebodohan serta keterbelakangan.

2.       Dakwah Pada Masa Rasulullah  SAW

  1. Periode Makkah

Periode dakwah pada masa Rasul dibagi ke dalam Zaman Makkah dan Zaman Madinah. Zaman Makkah disebut juga “periode pembinaan Kerajaan Allah dalam hati manusia”, sementara Zaman Madinah disebut “periode pembinaan kerajaan Allah dalam masyarakat manusia”.

Menurut ahli sejarah Amin Said[2], bahwa dakwah Zaman Makkah dibagi kepada empat periode, yaitu:

1.       Periode Rumah Tangga

Periode pertama ini, yang dinamakan periode rumah tangga berlalu tiga tahun lamanya, di mana dalam masa itu Rasul menjalankan dakwahnya dengan diam-diam, hanya dengan memberi pelajaran dan petunjuk mengusahakan pengikut dengan jalan memberi pelajaran yang baik dan memuaskan.

Dalam periode yang pertama ini, telah masuk Islam isteri Rasul sendiri saiyidah Khadijah, Ali bin Abu Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abu Bakar Shiddiq. Dengan dakwah Abu Bakar, maka Islam pulalah Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Talhah bin Ubaidillah.

Menurut DR. Hasan Ibrahim Hasan, bahwa jejak mereka tersebut di atasdiikuti pula oleh beberapa pemuka Quraisy lainnya, seperti Abu Ubaidah bin Jarrah, Arqam bin Abi Arqam yang kemudian menyediakan rumahnya menjadi markas dakwah dalam rahasia, rumah yang terletak di atas Bukit Safa. Periode di mana Rasul menjalankan dakwah dalam rumah ini, dipandang sebagai periode yang sangat penting dalam sejarah dakwah, sehingga kebanyakan kaum muslimin yang mencatat masuknya mereka ke dalam Islam hari-hari itu, di mana Rasul mengembangkan dakwahnya dari Darul Arqam, dan periode ini juga dinamakan periode dakwah pribadi, karena Rasul mendakwahkan mereka itu, seorang demi seorang.[3]

2.       Periode Keluarga

Dalam periode ini Rasul disuruh menyampaikan dakwah kepada keluarganya yang terdekat, dan jangan menghiraukan ancaman dan penghinaan musyrik Quraisy. Sebagaimana firman Allah yang terdapat dalam surat Asy-syu’ara ayat 214-216

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang jika mereka mendurhakaimu Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan"; ( Q.S. Asy-Syu’ara: 214-216)

Setelah datang perintah Allah itu, maka naiklah Muhammad ke Bukit Safa, seraya menyeru: “ wahai kaum Quraisy!”

Maka berkumpullah mereka di Bukit Safa. Kemudian terus Rasul mendakwahkan masuk Islam. Di antara mereka ada menerima dakwahnya itu, dan kebanyakan mereka menolak, bahkan mengejek dan mengancam lagi. Walaupun demikian, semangat Muhammad tidak menjadi lemah, bahkan tambah membaja, sehingga berpindahlah dakwahnya dari periode keluarga ke periode ketiga, yaitu periode konfrontasi.

3.       Periode Konfrontasi

Dalam masa periode konfrontasi ini, Rasul menandakan dakwahnya dengan terus terang dan blak-blakkan, tanpa menghiraukan penghinaan dan ancaman. Nabi keluar menjalankan dakwahnya ke segala tempat, ke Ka’bah, ke tempat-tempat orang Quraisy berkumpul, pada musim hari raya, pada setiap kesempatan, mengajak mereka memeluk agama Allah, Agama Tauhid. Maka berkembanglah dakwahnya dan banyaklah pengikutnya, sehingga menyebabkan kaum Quraisy bertindak keras dan kejam.

4.       Periode Kekuatan

Pada akhir periode ke tiga, yaitu dalam tahun ke delapan Hijriyah, masuklah ke dalam Islam Hamzah dan Umar bin Khattab, keduanya adalah pahlawan-pahlawan Quraisy, sehingga dengan sebab masuknya mereka ke dalam Islam, barisan kaum muslimin menjadi kuat dan dengan demikian masuklah dakwah Islamiyah ke dalam periode keempat yaitu periode kekuatan.

Dalam permulaan periode keempat ini, yaitu dalam tahun kedelapan Hijriyah, kaum muslimin untuk pertama kalinya melakukan ibadah shalat dengan terang-terangan di dalam Ka’bah, sementara sebelum itu mereka melakukan shalat dengan sembunyi-sembunyi.

Selama dakwah memasuki periode empat, kaum Quraisy pun bertambah ganas dan kejam, sehingga dalam masa itu telah terjadi berbagai peristiwa dalam perjalanan dakwah Islamiyyah[4], diantaranya:

1.       Abdullah bin Mas’ud adalah orang yang mula-mula memperdengarkan bacaan al-Qur’an secara terang-terangan kepada musyrik Quraisy.

2.       Para pemuka Quraisy mengusulkan kepada Abi Thalib serta berunding dengannya agar kemenakannya Muhammad menghentikan dakwahnya, dan mereka bersedia memberi kepada Muhammad apa saja yang dikehendakinya, hatta pengangkatan menjadi raja. Perundingan demikian terjadi tiga kali. Tetapi, Muhammad selalu menolak, bahkan semakin teguh pendiriannya.

3.       Setelah tidak berhasil membujuk, kaum Quraisy menganiaya dengan kejam sekali para pengikut Muhammad.

4.       Dalam  bulan Rajab tahun kelima setelah kerasulan, terjadi Hijrah pertama ke Habsyah

5.       Beberapa tahun kemudian terjadi Hijrah kedua ke Habsyah.

6.       Pemboikotan total kaum Quraisy kepada Rasul dan Para pengikutnya, yang berlangsung salama tiga tahun.

7.       Tahun 660 M wafat pamannya Abu Thalib, dan dalam tahun ini wafat pula isterinya Khadijah.

8.       Perjalanan Nabi ke Thaif untuk melaksanakan dakwah

9.       Tahun 661 M terjadi  peristiwa Isra’ Mi’raj, dan diperintahkan shalat lima kali sehari semalam.

Menjelang datangnya izin Hijrah, terjadilah dua paket rahasia di Bukit Aqabah di luar kota Makkah. Paket rahasia ini terjadi antara Rasul dengan pemuka suku Khazraj dan Auwas yang datang dari Yastrib, yang kemudian paket rahasia itu terkenal dengan “Bai’ah Aqabah”, yang terjadi di Bukit Aqabah dua tahun berturut-turut dalam musim haji.

Dengan terjadinya paket rahasia di Bukit Aqabah, terbukalah pintu Yastrib bagi dakwah Islamiyah. Dalam Bai’ah Aqbah itu, para utusan yang datang dari Yastrib  itu menyatakan suatu ikrar, bahwa mereka akan membela Rasul seperti halnya mereka membela diri mereka sendiri, seperti mereka membela anak dan isteri mereka sendiri, seperti  seperti halnya membela sanak keluarga-nya dan harta bendanya. Tegasnya mereka rela mati untuk membela Islam dan Rasul-Nya.

Selesai paket Aqabah kedua, lantas mereka mengundang Rasul untuk Hijrah ke Yastrib. Setelah para pemuka Quraisy mengetahui adanya paket rahasia, dalam mana mereka mengambil keputusan untuk membunuh Rasul pada suatu malam yang telah ditetapkan, yaitu pada awal bulan Rabiul Awal yang akan datang, yang kemudian rencana pembunuhan rahasia mereka itu disampaikan Malaikat Jibril kepada Rasul, sehingga gagallah maksud jahat mereka, karena pada malam yang dimaksud itu Rasul dengan segala daya  yang luar biasa meninggalkan Mekkah menuju Yastrib.[5]

  1. Periode Madinah

Periode  Madinah sebagaimana telah disebut terdahulu disebut juga dengan “periode pembinaan kerajaan Allah dalam masyarakat manusia”. Dakwah Islamiyah dalam periode Madinah telah membuat sejarah yang tersendiri, sebagai lanjutan dari periode Makkah. Pada periode Madinah ini, dakwah Islamiyah telah membentuk dirinya menjadi satu kekuatan nyata yang hebat sekali, di mana kaum muslimin di bawah pimpinan nabi Muhammad SAW merupakan Ansharullah, tentara Allah yang melaksanakan dakwah Islamiyah dalam arti seluas kata.

Pada periode Madinah ini ada beberapa peristiwa penting yang terjadi elama perjalalanan dakwah Islamiyah:

  • Peristiwa Hijrah

Pada  tanggal 1 Rabiul Awal adalah tahun pertama Hijrah yaitu pemindahan pusat kegiatan dakwah Rasulullah, yang sebelumnya Rasulullah telah melakukan persiapan lebih kurang selama  dua bulan. Peristiwa ini terjadi setelah kaum Quraisy merasa terdesak oleh dakwah Muhammad, maka Allh memerintahkan Muhammad untuk berhijrah. Nabi Muhammad ditemani oleh Abu Bakar.

  • Jum’at Pertama

Sehingga tanggal 12 Rabiul Awal adalah tahun pertama Hijriyah (16 September 622) sampailah Rasulullah di Quba, kira-kira tiga kilometer dari Yastrib, di mana beliau mendirikan masjid Quba yang dibina atas azas taqwa. Pada tanggal 16 Rabiul Awal tahun pertama Hijriyah (20 September 622) Rasul meninggalkan Quba menuju Yastrib, yang kemudian menjadi markas besar dakwah Islamiyah dan namanya diubah menjadi Madinah Rasul. Tanggal tersebut harinya hari Jum’at, sehingga sebelum sampai ke Yastrib, pada suatu tempat yang bernama Bani salim, datanglah waktu Zuhur. Pada waktu itulah, Nabi mendapat perintah untuk mendirikan shalat Jum’at, sebagai Shalat Jum’at pertama dalam Islam. Hal ini sebagai isyarat bahwa telah datang masanya untuk mendirikan Daulah Islamiyah untuk membangun umat Islam mendahului Shalat Jum’at, Nabi mengucapkan sebuah khutbah  kemudian menjadi “Sunnah” bahwa khutbah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari shalat Jum’at. Khutbah Jum’at Rasul yang pertama itu, yang dipandang oleh para ahli politik sebagai proklamasi berdirinya Negara Islam. [6]

  • Masjid Pusat kegiatan

Setibanya Rasul di Kota Yastrib pada sore hari Jum’at tanggal 16 Rabiul Awal tahun pertama Hijriyah (20 September 622 M) terus dimulai dengan membangun sebuah masjid untuk pusat ibadah, pusat pemerintahan, pusat segala kegiatan umat, tegasnya untuk markas besar Daulah Islamiyah yang baru diproklamirkannya.

Masjid yang dibangun pada mulanya sangat sederhana ini, mempunyai fungsi yang sangat penting dalam perjalanan sejarah dakwah Islamiyah, karena di sanalah direncanakan segala usaha pelaksanaan dakwah Islamiyah  dan dari sana pulalah dikeluarkan komando dakwah, dan di dalamnya pulalah digodok dan dilatih para kader Dakwah Islamiyah.

·         Manifesto Politik

Setelah Rasul selesai menyusun pemerintahan, maka dikeluarkanlah suatu pernyataan politik sebagai manifesto politik yang pertama dalam Islam yang dikeluarkan dari Mesjid Madinah al-Munawarah. Manifesto merupakan dokumen penting, secara umum sifatnya mengikat suatu perjanjian antara kaum muslimin dengan orang-orang Yahudi dan Musyrikin. Karena yang menjadi warga negara kota Madinah:

1.       Orang-orang Muhajirin, yaitu mereka yang Hijrah dari Mekkah ke Madinah karena keyakinan agamanya.

2.       Orang-orang Anshar, yaitu penduduk Madinah asli yang masuk Islam terdiri dari kaum Khazraj  dan kaum Auwas.

3.       Orang-orang Yahudi yang mendiami Madinah dan sekitarnya.

4.       Dan sedikit orang-orang Musyrik Arab yang belum Islam.

Di antara kewajiban yang harus dijalankan baik kaum Muslim, Musyrik, dan Yahudi antara lain:

·         Kehidupan Ekonomi, dalam dokumen itu menentukan keharusan orang kaya membantu dan membayar hutang orang miskin.

·         Kehidupan sosial, dokumen menetapkan kewajiban memelihara kehormatan tetangga jaminan keselamatan harta dan jiwa bagi segenap penduduk, kepastian pelaksanaan hukum bagi yang bersalah, dan di depan pengadilan tidak ada perbedaan antara siapapun.

·         Kehidupan politik dan kehidupan militer dokumen menentukan kepemimpinan (za’amah) Muhammad bagi seluruh penduduk Madinah, baik Muslim, Yahudi, dan Musyrikin. Dengan demikian Muhammad menjadi Panglima tertinggi di Madinah. Keharusan bergotong royong melawan musuh dari luar, sehingga penduduk Madinah tersusun dalam satu barisan dan satu tujuan. Kemudian tidak boleh sekali-kali membantu musyrikin Madinah dan Yahudi membantu musyrikin Makkah baik dengan jiwa ataupun dengan harta dan menjadi kewajiban bagi kaum Yahudi  untuk membantu belajar perang selama kaum muslimin berperang.

Dengan dokumen Manifesto politik ini Rasul telah berhasil menyatukan seluruh penduduk Madinah yang berbeda agama dan turunan darah untuk menghadapi musuh.[7]

  • Persaudaraan Muhajirin dan Anshar

Ukhuwah Islamiyanh yang di bangun oleh Nabi di Madinah seperti termaktub dalam surat al-Hujurat (49) ayat 10 yang berbunyi:

$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷ƒuqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè?  

“orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. )QS. al-Hujurat (49): 10)

Sebagai langkah pertama dalam usaha pembinaan persaudaraan Islam dan persatuan atas prinsip agama, maka Rasul mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar , yang berbeda suku, berbeda adat istiadat, sehingga peristiwa tersebut merupakan suatu kewajiban yang belum pernah diimpikan oleh manusia sebelum itu.

Persaudaraan itu telah membantu Rasul untuk mempersatukan Arab, dan leburlah di dalamnya perbedaan bangsa yang telah memecahkan persatuan Arab.

  • Khutbah Arafah yang Penting

Pada tanggal 25 Zukaidah 10 Hijriyah, Rasul bersama para sahabat melalaksanakan ibadah haji.  Dalam bulan Zulhijjah tahun 10 Hijriyah  (Maret 632 M)  Rasul mengucapkan satu khutbah yang amat penting di Bukit Rahmat[8] di Arafah, yang kemudian khutbah tersebut terkenal dengan sebutan Khutbah Wada’, pidato pamitan dengan Makkah, karena sekembalinya ke Madinah Nabi wafat.

Khutbah itu dianggap sebagai suatu “pernyataan politik” terakhir dari Rasul itu, yang berisikan tentang aqidah dan ibadah, masalah politik dan sosial ekonomi, di mana Rasul menegaskan dalam khutbahnya itu, bahwa semua manusia sama derajatnya di sisi Allah, kehormatan manusia tidak boleh diperkosa, kebebasan beragama dan menganut keyakinan, modal harus dibebaskan dari riba.

  1. Dakwah Islamiyah pada Masa Khulafa ur-Rasyiddin

1.       Abu Bakar

Setelah bai’at pelantikan, khalifah Abu Bakar terus mengucapkan sebuah pidato pelantikan yang menggariskan politik kebijaksanaannya dalam memimpin umat Islam. Setelah memuji Allah kemudian beliau mengucapkan shalawat kepada Rasul. Pidato bai’at Abu bakar itu membentangkan dengan jelas garis politik yang akan dijalankannya. Dijelaskannya kewajiban dan hak rakyat, di samping adanya jaminan kebebasan mengeluarkan pendapat. Ditegaskannya bahwa kekuatan orang zalim tidak akan dapat menghambatnya dalam menjalankan keadilan, dan ketaatan kepada Allah adalah syarat dari kepatuhan rakyat.

2.       Umar bin Khattab

Selesai pelantikannya sebagai khalifah, setelah wafat Abu Bakar, maka dalam pidato yang amat singkat Umar telah membentangkan garis politiknya yang mempunyai daya jangkau yang sangat jauh. Satu garis kebijakan yang amat baik bagi umat Islam di masanya, karena mereka sangat patuh. Apa yang diperintah dikerjakannya, dan apa yang dilarang ditinggalkannya. Karena itu, tanggung jawab yang  besar terletak pada pemimpinnya, yang berkewajiban membimbing mereka ke jalan yang benar.

3.       Usman bin Affan

Seperti halnya dengan khalifah terdahulu, pada awal pelantikannya Usman mengucapkan pidato bai’at dan membentangkank garis politik kebijakannya, yang kira-kira isinya seperti ini “berkaca kepada masa lalu kalau ada yang jelek maka tinggalkan atau perbaiki, dan kalau ada yang baik maka itu harus dipertahankan”.

4.       Ali bin Abu Thalib

Inti dari garis politik pemerintahan Ali, yaitu hendak mengembalikan umat seperti pada zaman Rasul, di mana orang bekerja dan berjihad semata-mat hanya karena Allah 

  1. Dakwah Islamiyah Pada Masa Daulah Amawiyah

Daulah  Amawiyah berkuasa dari tahun 41-132 H (661-750 M) dengan khalifah pertamanya Mu’awiyah  bin Abu Sufyan, dan khalifah penutupnya Marwan Sani, telah menampilkan hal-hal yang positif dan negatif dalam perjalanan dakwah.

1)      Perluasan wilayah

Perluasan wilayah yang dilakukan pada masa Daulah Amawiyah karena adanya ancaman yang akan membahayakan dakwah Islamiyah dari kerajaan Romawi Timur dan Kerajaan Persia, untuk itu para penguasa Amawiyah mengambil langkah penyelamatan dan pengamanan, karena luasnya wilayah kekuasaan Daulah Amawiyah. Perluasan wilayah tersebut diantaranya:

·         Asia Kecil

Daulah Amawiyah mengambil Damaskus sebagai Ibukota sekaligus sebagai pusat kegiatan dakwah, maka perjuangan dakwah di Asia Kecil menjadi sangat penting, karena kerajaan Romawi Timur (Byzantium) dapat dikuasai sehingga dakwah Islam dapat berkembang dengan sangat pesat di sana. Ini terjadi baik pada masa Khalifah Muawiyah maupun pada masa khalifah sesudahnya. Jadi, daerah yang begitu luas dapat dikuasai oleh Angkatan Perang Islam dari Daulah Amawiyah, terkecuali ibukota Kostantinopel tidak dapat dikuasainya.

·         Afrika Utara

Sebagian daerah Afrika Utara telah dikuasai semenjak masa Khulafaur Rasyidin. Walaupun bagitu pada masa Daulah Amawiyah pengembangan dakwah Islam di sana tetap dilanjutkan dan disempurnakan, sehingga Afrika sebagai arena kegiatan dakwah yang berpusat di ibukota Kairawan, juga sebagai persiapan pengembangan dakwah Islam ke Andalusia. Pengembangan dakwah Islam ke Andalusia ini dilakukan oleh Thariq bin Ziyad[9].

·         Medan Timur

Pada masa Khulafaur Rasyidin dakwah Islam telah sampai ke Kerajaan Persia, yang selalu terancam oleh kekuatan-kekuatan kafir yang berkuasa Timur, yaitu daerah-daerah Seberang Sungai[10] dan daerah Sind.[11] Daerah Sind yaitu negeri yang melingkari Sungai Sind (Indus), yang membentang dari Iran di sebelah Barat, sampai di Pegunungan Himalaya di timur laut. Negeri Sind adalah sebagian negara Pakistan sekarang.[12]

·         Percobaan Penaklukan Cina

Pada awal abad ke Tujuh Masehi perdagangan antara Cina dan Persia serta negeri-negeri Arab, adalah pasaran utama bagi para pedagang Cina. Tetapi ketika Firus[13] diminta untuk menaklukkan Persia dia menolaknya dengan alasan wilayah Persia terlalu luas jadi sulit untuk dijangkau dan sukar untuk dicapai tentara.

1.       Retaknya Pendukung Dakwah

Setelah terbunuhnya khalifah Usman, keretakan semakin parah menggerogoti batang tubuh Daulah Islamiyah sebagai pendukung Dakwah Islam dan semakin menjadi-jadi pada masa khalifah Ali bin Abu Thalib, samapai ke Daulah Amawiyah. Sehingga melahirkan berbagai partai-partai, diantaranya;

a.       Partai Khawarij

Lahirnya Khawarij  baik sebagai aliran maupun sebagai partai politik. Ini bermula dari pertentangan yang terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abu Thalib dengan pengikut Mu’awiyah bin Abu Sofyan. Dalam politik khawarij berpendirian bahwa khalifah haruslah dipilih di antara kaum muslimin siapa yang memenuhi syarat-syarat, dan tiap-tiap orang Islam berhak menjadi khalifah asal memenuhi syarat.

b.      Partai  Syi’ah             

Syi’ah baik sebagai aliran maupun sebagai partai muncul karena ada sekelompok orang Islam yang memihak kepada Ali dan berjuang untuk Ali, partai Syi’ah ini merupakan ancaman yang tidak lebih berbahaya dari partai Khawarij bagi Amawiy, karena Syi’ah ini lebih fanatik.

c.       Partai Zubair

Partai Zubair muncul ketika terjadinya fitnah yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah Usman. Kemudian Zubair memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang bertujuan untuk merebut kursi khilafah untuk turunan Zubair.

d.      Partai Murji’ah

Murji’ah baik sebagai aliran maupun sebagai partai politik dibentuk oleh Daulah Amawiyah yang bertujuan untuk mendukungnya. Seiring berjalannya waktu, Murji’ah  ini hilang bersamaan dengan berakhirnya dinasti Amawiyah.

e.      Mu’tazilah

Mu’tazilah baik sebagai aliran maupun sebagai partai muncul dari adanya ahli pikir Islam yang mempunyai pikiran bebas. Mereka pada mulanya bergerak di bidang filsafat, kemudian berubah menjadi partai politik yang bercita-cita politik.

3.       Pembinaan dan Pengembangan Ilmu

Dakwah Islamiyah yang berlandaskan ilmu pengetahuan, pada masa daulah Amawiyah telah menemukan jalan lempang ke araha pengembangan dan perluasan bidang-bidang ilmu itu sendiri, dengan bahasa Arab sebagai media utamanya. Diantara pengembangan-pengembangan ilmu tersebut antara lain:

a.       Perluasan bahasa Arab. Para penguasa Daulah Amawiyah yang telah menjadikan Islam sebagai Daulah (negara), kemudian dikembangkannya bahasa Arab dalam wilayah kerajaan Islam dengan menjadikan bahasa sebagai bahasa resmi dalam usaha tata negara dan pemerintahan. Sehingga pembukuan dan surat-surat harus dilakukan dalam bahasa Arab. Begitulah cara Daulah Amawiyah mengembangkan dakwah Islam. Dengan sikap Arabisasinya yang positif, sehingga dalam perjalanan sejarah yang relatif pendek Mesir dan Syam telah menjadi negeri Arab, sama juga dengan negeri-negeri yang ada di Afrika Utara.

b.      Marbad Pusat Kegiatan Ilmu. Dalam usaha pengembangan ilmu Daulah Amawiyah mendirikan sebuah kota kecil sebagai pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang disebut dengan Marbad (kota satelit dari Damaskus). Di kota inilah berkumpul para pujangga, filosof, ulama, dan penyair yang dikenal dengan ‘Ukadhnya Islam.

c.       Ilmu Qira’at. Adalah ilmu tertua yang sudah ada semenjak masa Khulafaur Rasyidin. Pada masa ini ilmu Qira’at dikembangkan dan menjadi satu cabang ilmu yang sangat penting. Pengembangan ilmu Qira’at ini dipandang sebagai suatu ilmu yang penting dalam usaha pengembangan dakwah Islam.

d.      Ilmu Tafsir. Al-Qur’an adalah berbahasa Arab, maka pengembangan ilmu tafsir pada masa Daulah Amawiyah ini menjadi penting, karenanya banyak para Qurra dan para ahli tafsir menjadi tempat bertanya dalam masalah hukum, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi ahli hukum.

e.      Ilmu Hadis. Ilmu ini berdiri sendiri, karena adanya usaha pengumpulan hadis kemudian menyelidiki asal usulnya, kemudian ilmu ini dikembangkan sehingga disebut juga ‘Ulumul Hadis.

f.        Ilmu Fiqh. Al-Qur’an dan Hadis adalah azas dari Fiqh Islam. Ilmu ini juga berdiri sendiri. Banyak dari para Fuqaha’ yang menyelidiki ayat dan hadis yang berkenaan dengan hukum dan syariat Islam, sehingga berkembang ilmu yang disebut dengan Ushul Fiqh.

g.       Ilmu Nahwu. Ilmu ini dikembangkan karena semakin banyaknya orang-orang ‘Ajam (non Arab) yang masuk Islam dan mereka berkeinginan untuk mempelajari bahasa Arab karena Al-Qur’an berbahasa Arab. Ilmu ini juga berdiri sendiri dan menjadi salah satu cabang ilmu yang penting untuk pembinaan dan pengembangan dakwah Islamiyah.

h.      Ilmu Jughrafi (ilmu bumi) dan Tarikh. Ilmu ini berkembang karena pengembangan ke daerah-daerah yang sangat luas dan jauh, sehingga ilmu ini diperlukan untuk mengetahui keadaan suatu wilayah pengembangan Islam yang baru.

i.         Usaha Penerjemahan. Ini dimulai karena banyaknya buku-buku berbahasa Asing sehingga perlu adanya usaha untuk menterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Usaha penerjemahan ini lebih pesat pada masa Daulah Abbasiyah.

f.        Dakwah Islamiyah pada masa Daulah Abbasiyah. Pada masa Daulah Abbasiyah ini para ahli sejarah menilai adalah masa kemajuan dan keemasan serta masa kejayaan kerajaan Islam yang dapat merubah wajah dunia dari gelap menjadi terang, dari kemunduran menjadi kemajuan dari berbagai aspek. Puncak kegemilangan dan keemasan kerajaan Islam (dakwah Islamiyah) seperti yang diungkap oleh Madjid Fakri sebagaimana dikutip oleh A. Hasjmy, karena Daulah Abbasiyah memerintah dunia dengan politik yang berlandaskan agama dan kekuasaan.[14] Daulah Abbasiyah ini berkuasa selama lima Abad, para ahli sejarah membaginya ke dalam empat periode:

1)      Abbasiyah I

2)      Masa Daulah Abbasiyah II

3)      Masa Daulah Abbasiyah III

4)      Masa Daulah Abbasiyah IV

5)      Dakwah dalam Gaya Baru

Dakwah dalam gaya baru ini disebut juga dakwah dengan berorganisasi (lembaga Dakwah) atau dakwah yang di dukung oleh organisasi. Lembaga dakwah yang terorganisasi ini selain sebagai ormas Islam ia juga bersentuhan dengan ekonomi, politik, kebudayaan dan lain sebagainya, misalnya;

v  Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). PSII memegang peranan penting dalam usaha mengembangkan Dakwah Islamiyah di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda sangat memusuhi PSII, sehingga banyak para pemimpinnya yang di bunuh bahkan dihukum mati. PSII ini bergerak di bidang ekonomi, politik, dan sosial, selain itu PSII ini juga banyak mendirikan pusat-pusat pendidikan  seperti pesantren-pesantren, madrasah-madrasah, syarikat-syarikat dagang dan sekolah-sekolah.

v  Muhammadiyah. Muhammdiyah berjasa besar dalam mengembangkan dakwah Islamiyah di Indonesia, yang merupakan organisasi besar Islam yang ada di Indonesia. Bidang-bidang yang dikembangkan oleh Muhammdiyah, seperti: pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan da dakwah. Di samping itu Muhammadiyah banyak mendirikan rumah-rumah sakit Islam, balai-balai pengobatan, rumah-rumah penyantunan, dan lain sebagainya.

v  Nahdatul Ulama. Usaha pengembangan dakwah Islam juga dilakukan oleh NU yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan dakwah. Di bidang pendidikan NU banyak mendirikan pesantren-pesantren terutama di daerah Jawa yang sangat berpengaruh kuat hingga saat ini.

Dan masih banyak organisasi Islam yang mengembangkan agama Islam di nusantara ini, yang hingga saat ini masih eksis dan tetap menjalankan misinya yaitu dakwah Islamiyah 

C.      Aktivitas Dakwah dalam al-Qur’an

1.       Subjek Dakwah

Subjek dakwah merupakan orang yang bertugas sebagai penyampai pesan dakwah agar sampai kepada sasarannya dalam hal ini mad’u. Abdul Munir Mulkhan membaginya ke dalam tiga jenis yaitu, da’i, perencana, dan pengelola dakwah. Ketiganya disebut sebagai da’i.[15] Perbedaannya adalah karena perbedaan bidang tugas sesuai dengan kecakapan dan ilmu yang dimiliki oleh seorang da’i sebagai subjek atau pelaku dakwah. Sementara komponen perencana dan pengelola yang mengemban fungsi perencanaan dan pengelolaan dakwah menduduki peran yang lebih penting dari pada fungsi pelaksana yang diemban oleh da’i. Factor da’i memang mempunyai kontribusi dalam keberhasilan dakwah, tetapi faktor perencana dan pengelola jauh lebih besar kontribusinya. Analoginya begini, dakwah sebagai kegiatan pembuatan film, maka da’i adalah aktor, perencana  adalah  penulis skenario,  sementara pengelola adalah sutradaranya.

Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni dalam bukunya al-Madkhal Ila ‘Ilm al-Da’wah  dikatakann bahwa da’i atau pelaku dakwah secara bahasa adalah Muballigh (menyampaikan Islam), ahli dibidangnya, dan mengaplikasikannya dalam perbuatan.[16] Ketiga makna tersebut sudah mencakup makna da’i atau pelaku dakwah.

Sementara Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Ushul Da’wah, bahwa da’i atau pelaku dakwah adalah mukallaf yang menyeru kepada Allah.[17]

Berdasarkan makna subjek dakwah di atas diketahui bahwa pelaku dakwah itu tidak saja para da’i atau ulama yang sekarang, kegiatan dakwah sudah dimulai semenjak para Rasul tanpa terkecuali. Karena ulama  adalah pewaris para Nabi dan Rasul. Para Rasul diutus oleh Allah untuk berdakwah kepada kaumnya, menyeru mereka agar beriman kepada Allah dan beribadah hanya kepada-Nya. Seperti firman Allah:

a.       Surat  al-A’raf ayat  59

ôSesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia    berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), Aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). (Q.S. Al A’raf: 59)

b.      Surat  Huud ayat 52

Ïöqs)»tƒur (#rãÏÿøótFó$# öNä3­/u ¢OèO (#þqç/qè? Ïmøs9Î) È@Åöãƒ uä!$yJ¡¡9$# Nà6øn=tæ #Y#uôÏiB öNà2÷ŠÌtƒur ¸o§qè% 4n<Î) öNä3Ï?§qè% Ÿwur (#öq©9uqtGs? šúüÏB̍øgèC Ç

ÎQËÈ

Dan (Dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa." (Q.S. Huud: 52)

 

2.       Syarat dan sifat juru dakwah

Syarat- syarat dan sifat-sifat yang harus dipenuhi oleh seorang juru dakwah:

1.       Amal dan kegiatannya harus ikhlas karena mencari ridha Allah dan karena ingin meraih pahala dari-Nya.[18]

Seorang juru dakwah tidaklah baik apabila tujuannya untuk memperoleh dunia, mendulang keuntungan, atau meraih jabatan dan kedudukan. Bila ia mencampur amalnya dengan salah satu dari semua itu maka sia-sialah amalan dan akan menjadi orang yang merugi.

2.       Seorang juru dakwah harus menjadi teladan dalam amal shaleh.

Seorang juru dakwah mestilah menjadi suri teladan dan uswatun hasanah dari semua segi kehidupannya, apa yang diucapkan sesuai dengan apa yang diperbuat atau sebaliknya.

Seorang juru dakwah mestilah memiliki sifat yang adil karena al-Qur’an secara tegas melarang orang yang fasiq sebagai juru dakawah. Seperti yang terdapat dalam firman-Nya:

Surat al-Baqarah ayat 44


Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (QS. Al-Baqarah: 44) 

1.       Surat  ash-Shaf ayat 3

Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash-Shaff: 3)

Seorang juru dakwah mestilah terpelihara muru’ahnya dan selalu berada dalam kebaikan terjaga aqidahnya, prinsip mauoun perilakunya.

  1. Menempuh cara hikmah (bijaksana) terhadap orang-orangb terpelajar dan intelek dan melakukan metode Mau’izhah (nasihat yang baik) dalam menghadapi orang yang awam dan orang yang biasa.

Cara hikmah tidak mungkin terwujud kecuali dengan menggunakan logika dan daya nalar yang tinggi. Sehingga lawan bicara akalnya terbuka lantaran mereka hanya mendapatkan kepuasan dengan argumentasi yang kuat. Sedangkan Mau’izhah Hasanah hanya terwujud dengan memakai uslub dan metode cerita dan berbicara yang lembut, menyentuh perasaan dengan menyebutkan contoh-contoh dan tamsil-tamsil  dilengkapi dengan sejarah para Salafushshalih, ucapan dan keteladanan mereka.

  1. Seorang juru dakwah harus betul-betul menguasai ilmu yang sesuai dengan zamannya dan menguasai teori dari berbagai aliran pemikiran, sehingga ia dapat membeberkan kesalahan, penyimpangan atau bahaya aliran-aliran tertsebut setelah membandingkannya dengan ajaran Islam. Sebab, kita dapat mengetahui sesuatu itu hitam setelah membandingkannya dengan yang putih, dan sesuatu itu diketahui bengkok apabila telah dibandingkan dengan yang lurus.[19]
  2. Seorang juru dakwah harus lembut dalam menyampaikan nilai-nilai dan pandangan-pandangannya, lembut dalam mengingkari atau menolak kesesatan, kesalahpahaman dan berbagai kemaksiatan.
  3. Dalam dakwahnya ia bertujuan menarik manfaat dan menghilangkan kemudharatan menolak kebinasaan dan menegakkan agama serta menghancurkan kekuatan lawan.
  4. Harus sabar dan tabah menghadapi cobaan dan siksaan [20]

Seorang salaf pernah berwasiat kepada putranya sebagai berikut;” Bila kamu ingin melakukan amar ma’ruf, hendakalah engkau mempersenjatai diri dengan sifat sabar dan percaya penuh kepada balasan dari Allah, barangsiapa yang percaya penuh kepada balasan dari Allah, maka ia tidak akan merasakan sakitnya cobaan.”[21]

  1. Harus mengetahui tabiat kejiwaan jama’ahnya, dengan memperhatikan apa yang mereka inginkan, di samping harus menguasai cara bermuamalah dengan mereka
  2. Sang juru dakwah harus melakukan dengan kekuatan, apabila cara Hikmah, Mau’izhah  Hasanah, dan Jidal tidak mempan.[22]

Memerangi musuh yang bandel dan keras kepala adalah satu-satunya jalan. Mereka diperangi demi menegakkan agama dalam rangka meraih kemenangan agama,  sebagai jalan menuju keselamatan dan kedamaian.[23]

  1. Objek Dakwah

Mad’u  atau sasaran dakwah secara bahasa adalah isim maf’ul yang berasal dari  kata da’ahu, yad’uhu yang berarti objek atau sasaran dakwah.[24] Sementara Abdul Munir Mulkhan membagi objek dakwah kepada  dua[25];

a.       Umat dakwah, yakni masyarakat luas non musli

b.      Umat ijabah, yakni mereka yang telah memeluk agama Islam

Terhadap umat dakwah, dakwah bertujuan untuk mengenalkan Islam kepada mereka, (dengan bentuk dialog apapun), agar tertarik dengan kesadaran sendiri menjadikan Islam sebagai pilihan agamanya. Sedangkan dakwah terhadap umat Ijabah dakwah bertujuan untuk lebih meningkatkan lagi penghayatan dan pengamalan mereka, sehingga makin menjadi “Muslim yang benar-benar Islami”.

Sejalan dengan Abdul Munir Mulkhan, Salmadanis[26] menjelaskan bahwa dakwah dalam berbagai bentuknya bermakna mengajak kepada yang ma’ruf serta mencegah dari kejahatan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran, terlihat bahwa yang menjadi yang menjadi objek atau penerima dakwah itu adalah seluruh umat manusia, karena Nabi Muhammad SAW diutus untuk seluruh umat manusia.[27]

Jadi yang menjadi objek dakwah itu adalah seluruh umat manusia dituntut untuk menerimanya selama dia berakal baik laki-laki maupun perempuan tanpa memandang kebangsaan, warna kulit, pekerjaan. Daerah tempat tinggal dan sebagainya. Karena itu dakwah tidak teruju kepada sesuatu bangsa terentu, pada tingkat tertentu, ataupun kepada golongan tetentu. Di samping ketaatan antara laki-laki dan perempuan dimata Allah adalah sama.[28]

Manusia terdiri dari dua unsur yakni unsur jasmani dan unsur rohani yang berpotensi untuk meningkat ketaraf yang lebih baik bila dipergunakan sesuai dengan undang-undang  yang telah ditetapkan oleh sang khaliq.

Intisari dari risalah dakwah Rasulullah adalah memberikan bimbingan bagaimana manusia menjaga nilai-nilai dan martabat kemanusiaannya supaya jangan sampai meluncur, malah supaya martabatnya meningkat mencapai tingkat yang lebih tinggi . Dalam aktualisasi nilai-nilai keagamaan yang ada, manusia memiliki nilai keberagamaan dan variasi yang perlu diperhatikan oleh setiap juru dakwah dalam melaksanakan tugasnya.[29]

Al-Qur’an memberi isyarat bahwa ada tiga kelompok manusia yang menjadi objek dakwah[30], terkait dengan penerimaannya terhadap kebenaran al-Qur’an, mereka adalah;

1.       Golongan mukmin yakni mereka yang telah meyakini kebenaran al-Quran sebagai wahyu Allah serta telah melaksanakan ajaran al-Qur’an itu dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok ini tidak akan ada keraguan dalam menerima ajaran agama.[31]

2.       Golongan kafir, yakni mereka yang belum meyakini atau belum beriman serta mengingkari kebenaran al-Qur’an itu. Golongan ini diberi peringatan atau tidak diberi peringatan bagi mereka sama saja. Karena Allah telah mengunci mati hati, pendengaran dan penglihatan mereka.[32]

3.       Golongan munafik, yakni mereka yang secara lahiriah telah beriman, tapi pada hakikatnya mereka belum yakin terhadap kebenaran al-Qur’an, sehingga mereka selalu berolok-olok, berpura-pura dan main-main.[33] 

Bila dilihat secara mendasar, manusia sebagai objek dakwah di dalam al-Qur’an ada tiga sebutan yang juga bermakna manusia;

1.       Al-Basyar

Kata al-Basyar atau Basyaran diungkap dalam al-Qur’an sebanyak 38 kali yang tersebar dalam 36 surat.[34] Secara etimologi, al-Basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh  yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Indikasi ini menunjukkan bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah kulitnya, dibanding rambut atau bulunya.[35] Kata basyar dapat juga diartikan dengan persintuhan kulit laki-laki dengan perempuan. Makna ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk biologis yang memiliki segala sifat kemanusiaan, seperti  makan, minum, seks, dan lain sebagainya.

Pengertian di atas  dapat dipahami bahwa manusia pasca Adam As, mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya dan tunduk kepada hukum alam. Konsekwensi logisnya adalah bahwa manusia diberi kebebasan untuk melakukan tindakannya sebagai khalifah Allah di bumi 

2.       Kata al-insan/ al-Ins

Diungkap oleh Allah dalam al-Qur’an sebanyak 88 kali yang tersebar di dalam 43 surat.[36] Secara etimologi kata al-insan atau al-ins dapat diartikan harmonis, jinak (lemah-lembut), dan pelupa. Kata ini dipergunakan Allah untuk menunjukkan totalitas manusia yang merupakan makhluk jasmani dan makhluk rohani. Kedua aspek tersebut mengantarkan manusia menjadi makhluk yang istimewa, sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara satu sama lainnya. Perpaduan kedua aspek fisik dan psikis membantu manusia menjadi makhluk yang berbudaya yang memiliki kemampuan berbicara, mengetahui baik dan buruk, mengembangkan ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.[37]

Kata al-insan juga digunakan untuk menunjukkan proses kejadian manusia setelah Adam As dalam rahim.[38] Kata insan dalam ayat ini mengandung dua pengertian; pertama, proses biologis yang berasalah dari sari pati tanah melalui makanan sampai kepada proses pembuahan, kedua, mengandung pengertian psikologis (spiritual) yaitu proses ditiupkan ruh pada diri manusia. Makna pertama memberi isyarat bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk dinamis yang berproses dan tidak bisa lepas dari pengaruh alam dan kebutuhannya. Makna kedua mengisyaratkan bahwa selain membutuhkan materi, ia juga tidak lepas dari kebutuhan immateri yang senantiasa tunduk pada sang Khalik tanpa batas, tanpa cacat dan tanpa akhir. Sikap demikian akan cenderung  kepada kebaikan dan kesetiaannya kepada sang Khaliknya.[39]

Memperhatikan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa kata al-insan menunjukkan makna kesempurnaan dan keunikan manusia sebagai makhluk Allah, namun sebagai manusia biologis, manusia juga memiliki sifat-sifat keterbatasan, susah, resah, gelisah dan lain sebagainya. Untuk keluar dari berbagai rintangan tersebut adalah dengan mengoptimalkan penggunaan akal dalam memahami petunjuk Ilahi serta melaksanakan ajaran Ilahi tersebut dalam kehidupan ini.

3.       Kata al-Nas,

Di dalam al-Qur’an terungkap sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. [40] Kata ini menunjukkan kepada eksistensinya sebagai makhluk sosial tanpa melihat apakah statusnya beriman atau kafir.[41]  Kata ini lebih umum dari kata sebelumnya. Sebagai makhluk sosial, ia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa ada bantuan dari pihak lain. Sehingga manusia butuh kepada selain dirinya, butuh bantuan, pertolongan, memerlukan adanya makanan, minuman, dan lain sebagainya. Dalam upaya saling membutuhkan tersebut, sangat  boleh jadi terdapat kesalahan, kekeliruan dan lain sebagainya.

Selain ketiga kata tersebut di atas, Allah juga mempergunakan kata bani Adam. Kata ini dijumpai dalam al-Qur’an sebanyak 7 kali yang tersebar dalam 3 surat.[42]  Secara etimologi berarti penunjukkan Allah pada keturunan bani Adam. Menurut al-Thabathaba’i, penggunaan kata bani Adam menunjukkan pada manusia umumnya. Dalam hal ini ada tiga aspek, yaitu pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, seperti berpakaian guna menutupi auratnya. Kedua, mengingatkan keturunan Adam untuk tidak terjerumus bujuk rayu setan,. Ketiga, memanfaatkan semua potensi yang ada di alam ini dalam rangka untuk mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya. Peringatan Allah tersebut menunjukkan bahwa bani Adam merupakan makhluk yang termulia dibandingkan dengan makhluk yang lain. [43]

Dalam kaitannya dengan objek dakwah menurut al-Qur’an  Abdul Karim Zaidan[44] lebih lanjut memberi penjelasannya, bahwa dalam setiap masyarakat selalu didapat seorang tokoh atau pemimpin yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar. Mereka juga termasuk penerima dakwah yang digolongkan oleh al-Qur’an dengan al-Mala’. Dengan sendirinya ada sekelompok manusia yang berada di bawah pengaruh dan kekuasaan kelompok pertama, mereka disebut al-Qur’an dengan istilah jumhur. Disamping kedua golongan tersebut juga terdapat di dalam al-Qur’an kelompok yang ketiga yakni munafik. Dan kelompok yang keempat adalah orang-orang maksiat 

4.       Materi Dakwah

Materi dakwah adalah seluruh ajaran Islam yang mencakup dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul yang meliputi tiga prinsip pokok yakni, aqidah, akhlak, dan hukum-hukum,[45] yang biasa disebut dengan “Syariat Islam” walaupun pengertian syariat Islam itu sendiri biasa dikacaukan dengan pengertian fiqh atau hukum Islam. Ketiga konsep pokok tersebut  merupakan syariat Islam yang diwahyukan oleh Allah untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Syariat Islam inti dijabarkan dalam beberapa komponen sesuai bidang garapannya, yaitu selain dari ketiga prinsip pokok tersebut juga termasuk ukhuwah, pendidikan, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan kemasyarakatan.[46]

Karena yang menjadi materi dakwah adalah seluruh ajaran Islam dan harus disampaikan kepada umat manusia yang terdiri dari berbagai corak  ragam kehidupannya, maka diperlukan suatu metode pemilihan materi dakwah yang tepat sesuai dengan situasi objeknya dengan begitu, materi dakwah tentunya tidak bisa dilepaskan dari kondisi umat yang majemuk. Begitu juga tingkat intelegensi, status sosial, tingkat umur dan jenis kelamin serta sifat arena yang dihadapi. Kesemuanya itu perlu disesuaikan materi dakwah yang disampaikan sehingga dakwah dapat berdaya guna dan berhasil guna. Maka ketepatan menentukan materi dakwah merupakan suatu langkah sukses menuju target yang diinginkan dalam berdakwah. Ketepatan menentukan materi ini tidak mudah, karena kondisi umat yang dihadapi yang sangat beragam, baik dilihat dari sudut intelegensinya, maupun dari sudut etnis, dan tingkat sosial.

Dengan begitu, dalam menentukan materi dakwah baik di pedesaan maupun diperkotaan dituntut suatu kecermatan seorang da’i mendeteksi berbagai aspek kebutuhan atau penyakit umat yang dihadapi agar dakwah yang disampaikan dapat berdaya guna.

Karena objek dakwah meliputi seluruh umat manusia tanpa kecuali, sementara manusai adalah adalah makhluk yang terdiri dari materi dan immateri. Unsur materi terdiri dari akal jasmani, sedang unsur immateri terdiri dari akal dan jiwa atau rohani.  Karenanya al-Qur’an dalam membimbing manusia, mereka dipandang, dihadapi, dan diperlakukan dalam saat yang sama tanpa pemisahan baik materi materi yang disajikan maupun waktu penyajian.

Selain al-Qur’an mengarahkan materi dakwah kepada jiwa manusia, juga ditemui al-Qur’an mengarahkan materinya kepada jasmani manusia, yang intinya bahwa setiap anggota badan manusia harus melaksanakan fungsi berganda, yakni fisik dan psikis, sebab kalau tidak demikian martabatnya sebagai manusia akan kehilangan identitasnya.[47]

  1. Metode Dakwah

Masalah metode dakwah sangat penting untuk diangkat kepermukaan dan dikaji secara mendalam, demi terealisasinya ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan individu maupun masyarakat. Hal itu diakibatkan oleh adanya berbagai perubahan baik dalam masalah politik, pemikiran dan filsafat hidup, maupun sosial kemasyarakatan. Perubahan-perubahan dalam berbagai sektor semacam itu tentu saja akan mempengaruhi perkembangan lapangan ke-Islaman. Baik dalam forum-forum umum maupun dalam forum-forum khusus. Kondisi-kondisi seperti ini mau tidak mau akan memacu dan mendorong seorang da’i untuk menggunakan seluruh potensinya baik pemikiran teoritisnya maupun strategi praktik dakwahnya supaya ia dapat mengetahui cara dan teknik yang tepat dalam menghadapi berbagai realitas yang terjadi.

Metode dakwah artinya cara-cara yang diterapkan oleh seorang da’i untuk menyampaikan materi dakwah, yaitu al-Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu.[48] Di dalam al-Qur’an sebagai dasar dari metode dakwah yang nantinya akan dibahas satu persatu.

Firman Allah surat an-Nahl ayat 125;ä

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. An Nahl: 125) 

Penggalan pertama ayat itu adalah serulah manusia ke jalan Tuhamu dengan hikmah (bijaksana) dan nasehat yang baik (mau’izhah hasanah). Penggalan kedua adalah dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.

1.       Metode dakwah bil-Hikmah

Menurut Quraish Shihab dalam tafsiral-Misbah dikatakan bahwa kata Hikmah diartikan sebagai yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan.[49] Dia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan atau diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar bahkan yang lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar. Menurut Thabathaba’I sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab dalam tafsir Misbah, bahwa Hikmah adalah argumen yang menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan tidak mengandung kelemahan tidak juga kekaburan.[50]

Kata-kata hikmah yang terdapat di dalam al-Qur’an ada sebanyak 21 buah yang tersebar dalam 13 surat diantaranya, dalam surat al-Baqarah ayat 129, 151, 231, 251, 269 (dua kali disebutkan kata hikmah), dalam surat Ali-Imran ayat 48, 81, 164, surat an-Nisa’ ayat 54 dan 113, dalam surat al-Maidah ayat 110, surat an-Nahl ayat 125, surat al-Isra’ ayat 39, surat Lukman ayat  12, surat al-Ahzab ayat 34, surat Shad ayat 20,surat al-Zukhruf ayat 63, surat al-Qamar ayat 5, surat al- Jumu’ah ayat 2.[51]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan dari Allah.[52] Senada dengan makna kata hikmah di atas Muhammad Husain Fdhlullah memberikan makna kata hikmah yakni, al-‘adl (keadilan), al-Hilm (kesabaran dan ketabahan), an-Nubuwwah (kenabian), yang dapat mencegah seseorang dari kebodohan, kerusakan dan kehancuran, setiap perkataan yang cocok, dengan al-Haq (kebenaran) juga meletakkan sesuatu pada tempatnya, kebenaran perkara-perkara yang paling utama dan makna-makna lainnya.[53]

Dari beberapa kata arti hikmah yang dikemukakan Muhammad Husain Fadhlullah di atas, maka dakwah bil-Hikmah yang dimaksudkan dalam makalah ini pada intinya merupakan penyeruan atau pengajakan dengan cara bijak filosofis, argumentatif dilakukan dengan adil, penuh kesabaran dan ketabahan, sesuai dengan risalah an-Nubuwwah dan ajaran al-Qur’an.

Jadi, dakwah bil-Hikmah yang berarti dakwah bijak mempunyai makna selalu memperhatikan suasana, situasi, dan kondisi mad’u (Muqtadha al-Hal). Hal ini berarti menggunakan metode yang relevan dan realistis sebagaimana tantangan dan kebutuhan dengan memperhatikan kadar pemikiran dan intelektual, suasana psikologis, dan situasi social cultural mad’u. dakwah bil-Hikmah sasarannya terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.

2.       Dakwah al-Mau’izhah Hasanah

Muhammad Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kata al-Mau’izhah terambil dari kata wa’azha yang berarti nasehat, Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantarkan kepada kebaikan.[54] Mau’izhah baru akan mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya yakni bersifat hasanah

Terdapat 9 kata Mau’izhah yang tersebar dalam 8 surat dalam al-Qur’an, diantaranya terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 46, 66, dan 275, surat Ali Imran ayat 138, dalam surat al-Maidah ayat 46, dalam surat al-A’raf ayat 145, dalam surat Yunus ayat 57, dalam surat Huud ayat 120, dalam surat an-Nahl ayat 125, dalam surat an-Nur ayat 39.[55]

Dari ayat-ayat di atas makna kata Mau’izhah memiliki beberapa arti diantaranya:

1.       Pelajaran dan nasehat yang baik, berpaling dari perbuatan yang jelek melalui tarhib dan targhib (dorongan dan motivasI), penjelasan, keterangan, gaya bahasa, peringatan, penuturan, contoh teladan, pengarahan, dan pencegahan dengan cara yang halus.

2.       Pelajaran, keterangn, penuturan, peringatan dengan gaya bahasa yang mengesankan, atau menyentuh dan terpatri  dalam hati nurani.

3.       Simbol, alamat, tanda, janji, penuntun, petunjuk, dan dalil-dalil yang memuaskan melalui al-Qaul al-Rafiq (ucapan lembut dengan penuh kasih sayang).

4.       Kelembutan hati menyentuh jiwa dan memperbaiki peningkatan amal.

5.       Nasehat, bimbingan, arahan untuk kemaslahatan. Dilakukan dengan baik dan penuh tanggung jawab, akrab, komunikatif, mudah dicerna, dan terkesan dihati sanubari mad’u.

6.       Tutur kata yang lemah lembut, perlahan-lahan, bertahab, bersikap kasih sayang dapat membuat seseorang merasa dihargai rasa kemanusiaannya dan dapat respon positif dari mad’u[56]

Dengan demikian, dakwah dengan melalui al-Mau’izhah al-Hasanah jauh dari sikap egois,  agitasi, emosional, dan apologi.

Senada dengan Quraish Shihab, Asep Muhyiddin menyatakan bahwa dakwah yang dilakukan dengan al-Mau’izhah al-Hasanah adalah berdakwah kepada orang awam dengan memberikan nasehat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf kemampuannya yang sederhana. Dalam hal ini peranan juru dakwah sebagai pembimbing, teman dekat yang setia, yang menyayangi, dan memberikan segala hal yang bermanfaat serta membahgiakan mad’unya.

Cara berdakwah model ini memang lebih spesifik ditujukan kepada manusia jenis kedua, yaitu keumuman manusia (man in generalitation). Mereka adalah orang-orang yang tidak sampai kepada taraf kemampuan manusia jenis pertama. Secara potensial, mereka memiliki fitrah terhadap kebenaran, tetapi mereka selalu ragu-ragu antara megikuti kebatilan yang selama ini tumbuh di sekelilingnya dan mengikuti kebenaran yang disampaikan kepada mereka.

Menurut Muhammad Husain Yusuf,[57] mereka butuh kepada pelajaran yang baik (al-Mau’izhah al-Hasanah), ucapan yang mengena (Qaul Baligh), penjelasan yang berguna berupa sugesti (tarhib), serta ancaman (targhib) mengikuti kebatilan, serta penjelasan atas dosa dan nista yang terdapat dalam kebatilan. Begitu pula seterusnya sampai benar-benar jelas kepada mereka jalan yang lurus dan cahaya yang terang, serta dapat menghilangkan keraguan mereka untuk masuk ke dalam barisan orang-orang mukmin di bawah panji Nabi dan Rasul yang paling mulia.

Terma Mau’izhah  dalam bentuk nasehat adalah membangkitkan perasaan ketuhanan yang dikembangkan dalam jiwa objek dakwah, sehingga menimbulkan rasa takut dan ketundukan kepada Tuhannya. Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa nasehat itu penyucian dan pembersihan diri yang merupakan salah satu tujuan utama dakwah Islam.

Bagitu juga mau’izhah ditempuh dalam bentuk tabsyir wa al-tanzir, yaitu dengan memberikan kabar gembira disertakan dengan memberikan bujukan dan rayuan yang indah bahwa jika seseorang yang shaleh dan taat kepada azas kebaikan, maka ia mendapat tempat yang baik di akhir kehidupannya.

3.       Metode dakwak Mujadalah allati Hiya Ahsan.

Secara etimologi kata mujadalah  berasal dari akar kata    ج , د, ل artinya membantah. Sedangkan mujalah diartikan dengan berbantah-bantah dan merundingkan, atau perundingan yang ditempuh melalui perdebatan  dan pertandingan.[58] Sedangkan dalam memahami kata mujadalah dalam surat an-Nahl ayat 125 adalah dengan arti berbantah-bantahan, sebab jika diambil arti kata bermusuh-musuhan, bertengkar, memilin, memintal, tampaknya tidak memenuhi apa yang dimaksud oleh ayat tersebut secara keseluruhan. Agaknya bila diambil dari kata mujadalah tersebut, secara lugas, untuk memahami dakwah, maka pengertiannya akan menjadi negatif, akan tetapi setelah dirangakai dengan kata hasanah (baik), maka artinya menjadi positif.

Sejalan dengan tingkat perkembangan dan kemajuan manusia sekarang bahwa mujadalah ahsan ini, agaknya dapat diterjemahkan dengan berdiskusi dengan baik untuk menemukan kebenaran, melalui tukar fikiran.

Memperhatikan kata jadalah yang terdapat dalam surat an-Nahl ayat 125, nampaknya para mufassir berpendapat yang sama, yaitu berbantah-bantahan yang tidak membawa pertikaian, kebencian, tetapi membawa kepada kebenaran. Seorang juru dakwah apabila dibantah tentang suatu pesan yang disampaikannya, ia harus memberikan sanggahan (jawaban) terhadap bantahan tersebut, bila masih mendapat sanggahan lagi dari jawaban yang ia berikan, ia harus kembali memberikan jawaban dengan argumentasi yang lebih jelas, sehingga sampai pada suatu kebenaran, perdebatan tersebut harus berlangsung dengan baik bahkan terbaik, tidak menimbulkan permusuhan kebencian dan permusuhan. Dengan demikian metode mujadalah ahsan melahirkan kesan yang harmonis dan fikiran seseorang rasa dihormati, penuh  keakraban, dan  kenyamanan. Perdebatan dengan gengsi tidak akan menimbulkan kepuasan bagi orang yang melakukan perdebatan dan tidak mendapatkan kebenaran. Sehingga jadilhum bi allati hiya ahsan dapat diartikan dengan bertukar fikiran dengan baik, pada mulanya mereka menentang, tapi bisa membuat mereka menjadi puas hatinya dan menerima dakwah (Islam) yang disampaikan kepadanya.

Prinsip metode mujadalah yang diutamakan kepada objek dakwah yang mempunyai tipologi antara menerima dan menolak materi dakwah  (Islam) yang disampaikan kepada mereka. Untuk itu seorang juru dakwah mesti menambah wawasan dalam segala aspek, sehingga pada akhirnya dapat memberikan jawaban (bantahan) kepada objek secara benar dan baik serta menyenangkan perasaan mereka.

Bentuk metode dakwah Mujadalah Allati Hiya Ahsan ini ada dua; pertama, al-Asila Wa al-Ajwibah (Tanya jawab),  bentuk metode dakwah ini adalah yang dipergunakan dalam bentuk memberikan jawaban terhadap berbagai  pertanyaan yang diajukan oleh umat Islam yang belum mereka dapati atau belum mereka ketahui secara pasti hakikat atau penjelasaanya. Kedua, Hiwar (dialog), yakni perdebatan yang memerlukan jawaban atau Tanya jawab pada suatu objek tertentu yang mendekati pada munaqashah dan mubahatsah terhadap suatu persoalan dan peristiwa yang terjadi.

Ketiga metode dakwah yang pemakalah kemukakan di atas, nantinya akan dibahas satu persatu oleh pemakalah selanjutnya 

  1. Media Dakwah

Tujuan dakwah Islam seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia, yakni untuk mengabdi kepada-Nya. Pengabdian pada Allah sebagai realisasi keimanan yang diwujudkan dalam amaliah untuk mencapai derajat yang bertaqwa disisi-Nya. Kemudian Allah juga menciptakan manusia sebagai khalifah. Untuk melaksanakan tugasnya, khalifah dituntut menjadikan sifat-sifat Allah bagian dari karakteristik kepribadiannya untuk mendukung terwujudnya kemakmuran. Pengabdian dan ketaqwaan kepada Allah merupakan jembatan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Agar tercapai tujuan bahagia di dunia dan di akhirat perlu diperhatikan segala sesuatu yang mendukung keberhasilan dakwah Islam.

Media dakwah adalah alat objektif yang menjadi saluran, yang menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang vital  dan merupakan urat nadi dalam totaliteit dakwah.[59]

Kalau dilihat secara eksplisit tidak ada penjelasan al-Qur’an tentang media atau alat apa saja yang dapat digunakan untuk menyampaikan dakwah. Tetapi secara implisit banyak isyarat al-Qur’an tentang masalah media ini. Hamzah Ya’cub mengelompokkan media tersebut kepada lima bagian yaitu:

1.       Lisan

Menurut Abdul Karim Zaidan, media lisan atau bahasa adalah media pokok dalam menyampaikan dakwah Islam kepada orang lain.[60] Isyarat media lisan  ini di dalam al-Qur’an dapat ditemui dalam firmannya:

Surat al-A’raf ayat 158

Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur” (Q.S. Al A’raf: 158).

Surat Yusuf  ayat 4

(ingatlah), ketika Yusuf Berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku Sesungguhnya Aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku." (Q.S. Yusuf:4)

Surat al-Ankabut ayat 18

Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, Maka umat yang sebelum kamu juga Telah mendustakan. dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya." (Q.S. al-Ankabut: 18)

Al-Baqarah  ayat 104

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi Katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih” (Q.S. Al-Baqarah:  104)

Dari ayat di atas disebutkan  bahwa para Nabi telah menyampaikan dakwahnya pertama kali dengan menggunakan media lisan secara langsung. Yang termasuk media lisan ini adalah pidato, khotbah, ceramah, symposium, musyawarah, seminar, diskusi dan lain sebagainya.

  1. Tulisan

Yakni dakwah yang dilakukan dengan perantaraan tulisan, misalnya buku-buku Islam, majalah, Koran, pamphlet, pengumuman tertulis, dan lain sebagainya. Isyarat al-quran tentang media lisan ini terdapat dalam surat al-Qalam ayat 1 dan diperkuat oleh surat al-‘Alaq ayat 1-5:

  1. Lukisan

Yakni gambar-gambar hasil seni lukis, foto, film cerita dan sebagainya.

  1. Audio-Visual

Yakni suatu cara penyampaian yang sekaligus merangsang penglihatan dan pendengaran. Isyarat media ini di dalam al-Quran tidak begitu jelas diungkap.namun sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi media untuk menyampaikan dakwah tentu juga berkembang.

  1. Akhlak

Akhlak di sini adalah perilaku yang tecermin dalam kehidupan sehari-hari dapat dijadikan media dakwah dan sebagai alat untuk mencegah orang dari kemungkaran atau juga mendorong orang untuk berbuat yang ma’ruf, atau suatu perbuatan yang menunjang terlaksananya syariat Islam ditengah-tengah masyarakat. Isyarat media ini di dalam al-Quran terdapat dalam 

Surat al-A’raf ayat 199“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Surat Lukman ayat 17

Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Q.S. Lukman: 17 

Pada sisi lain media dakwah yang paling porposional itu dalam fenomena masyarakat adalah terletak pada sikap dan perilaku para da’i itu sebabnya kefiguran nabi Muhammad SAW bukan terletak pada keahliannya, tetapi akhlaknya yang menjadi panutan dan ikutan bagi umatnya.

Berbeda dengan apa yang dikemukakan Abdul Munir Mulkhan bahwa media dakwah di zaman kemajuan sekarang ini, tidaklah cukup disampaikan dengan lisan belaka tanpa bantuan alat-alat modern yang sekarang ini di kenal dengan sebutan alat-alat komunikasi massa,[61] yaitu pers (percetakan), radio, film, televisi dan internet. Kata-kata yang diucapkan manusia hanya dapat menjangkau jarak yang sangat terbatas, sedang dengan alat-alat komunikasi massa itu jangkauan dakwah tidak lagi terbatas.

Dakwah yang disampaikan dalam surat kabar-surat kabar, majalah-majalah, brosur-brosur, dan buku-buku, misalnya, bukan saja sampai pada orang-orang yang hidup sekarang, tetapi juga sampai pada orang-orang yang hidup berabad-abad di zaman depan. Dakwah yang disampaikan lewat radio, bukan saja didengar oleh orang-orang setempat, tetapi pada saat itu juga dapat didengar bukan hanya di seluruh Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Lain pula halnya dengan film dan televisi, di sini dakwah berbentuk audio visual sehingga alat indera mata dan telinga serta emosi secara bersamaan dapat menerima dan mennggapi maksud dan tujuan dakwah yang disampaikan. Sebagai alat komunikasi massa film mempunyai kelebihan-kelebohan tersendiri dari alat-alat komunikasi lainnya yang sangat efektif menimbulkan sikap, emosi, akhlak dan tindak tanduk (behavior) manusia. Sama juga halnya dengan televisi. Sudah saatnya umat Islam tidak boleh lagi ketinggalan dalam mempergunakan teknologi informasi sebagai media dakwah.

Baca Juga;//........................

👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉

D.      Penutup


Demikianlah makalah ini pemakalah buat mungkin masih ada kekurangan karena keterbatasan bacaan yang pemakalah miliki. Untuk itu marilah kita diskusikan untuk memperkaya khazanah dan ilmu pengetahuan penulis secara pribadi dan kita secara umum. Terima kasih.


 

Daftar Pustaka

 

A. Hasjmy, Dustur Dakwah menurut Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang; 1994

A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, Jakarta; PT. Bulan Bintang, 1994

Bachtiar, Wardi, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta, Logos, 1997

Baqi’, Muhammad Fu’ad  ‘Abdul, al-Mu’jamal-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-karim, Dar  al-Hadis, Qahirah, 1988

al-Bayanuni, Muhammad Abu al-Fatah, Al-madkhal ila Ilm al-Da’wah, Muassasah ar-Risalah, Beirut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, Balai Pustaka,h. 401

Muhyiddin, Asep, et. al, Metode Pengembangan Dakwah, Bandung, Pustaka Setia, 2002

Mulkhan, Abdul Munir, Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta: Sipress, 1996

ar-Rafi’,Mustafa, Potret Juru Dakwah , Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2002

Salmadanis, Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, 2002

Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta, TMF, 2003

Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1994

Shihab, Muhammad Quraish, Tafsiral-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,  Jakarta, Lentera Hati,

Ya’cub, Hamzah, Publisistik Islam teknik dakwah dan Ledership, Bandung, Diponegoro, 1986

Yusuf, Muhammad Husain, Di balik Srtategi Dakwah Rasulullah, Terj. Syukriadi Sambas & Rosihan Anwar, Bandung, Mandiri Press, 1999

Zaidan, Abdul Karim,  Ushul Da’wah, Muassasah ar-Risalah, Beirut, 2001

 



                [1]Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni , Al-madkhal ila Ilm al-Da’wah, Muassasah ar-Risalah, Beirut, h. 45

[2]Lihat Amin Said, sebagaimana dikutip oleh A. Hasjmy, Dustur Dakwah menurut Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang; 1994, h. 282

[3]Hasan Ibrahim Hasan, sebagaimana dikutip oleh  Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta, Sipress, h.281

[4]Muhammad Ridha, sebagaimana dikutip oleh, Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta, Sipress, h.284

[5]Muhammad Ridha & Hasan Ibrahim Hasan, sebagaimana dikutip oleh Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episod Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta, Sipress, h.285

[6]Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta, Sipress, h.287

[7]A. Hasjmy, 1994, Di Mana Letaknya Negara Islam, Jakarta; PT. Bulan Bintang, h. 37

[8]Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta, Sipress, h. 2298

[9]Thariq bin Ziyad adalah putra bangsa Barbari yang berhasil menyeberangi selat yang sangat sempit yang dikenal dengan selat Jabal thariq, dalam sejarah Islam dikenal dengan Andalusia. Daerah ini subur dan makmur karena dekat dengan pegunungan Pyrenia menuju Prancis termasuk sebagian wilayah Italia.

[10]Sementara daerah Seberang Sungai  yakni Sungai Jihu atau Amu Darya, dan Sungai Sihun atau Syr Darya

[11]Yang termasuk wilayah Antara Dua Sungai dan Sind adalah Turkistan dengan ibukotanya Balkh (Bactria), Sughanian dengan ibukotanya Syauman, Shughd dengan ibukotanya Samarkand, dan kota terpentingnya Bukhara, Furghanah dengan IbukotanyaKhujandah atau Kasyan, Khuwarizm dengan ibukotanya Jurjaniyah, Usyrusanah di sebelah Farghanah, Syas di sebelah Utara sungai Suhun dengan ibukotanya Tharanbaz.

[12]Ahmad Syalabi dalam  A. Hasjmy, 1994, Dustur Dakwah menurut Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang; h.319

[13]Firus adalah putra dari Yazdajir, raja Dinasti  Sasan yabg terakhir di Persia.

[14]A. Hasjmy, 1994, Dustur Dakwah menurut Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang; h. 329

[15]Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta, Sipress, h. 209

                [16]Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni , Al-madkhal ila Ilm al-Da’wah, Muassasah ar-Risalah, Beirut, h. 40

                [17]Abdul Karim Zaidan, 2001, Ushul Da’wah, Muassasah ar-Risalah, Beirut, h. 307

[18] Surat Ali Imran ayat 104

`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. AliImaran: 104)

                [19] Surat an-Nahl ayat 125

äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ

 Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

                [20] Lihat surat Luqman ayat 17

¢Óo_ç6»tƒ ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# ÷ŽÉ9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºsŒ ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ

 Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

                [21] Mustafa ar-Rafi’, 2002, Potret Juru Dakwah , Jakarta, Pustaka al-Kautsar, h.46

                [22] Lihat surat at-Taubah ayat 73

$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# ÏÎg»y_ u$¤ÿà6ø9$# tûüÉ)Ïÿ»oYßJø9$#ur õáè=øñ$#ur öNÍköŽn=tã 4 öNßg1urù'tBur ÞO¨Yygy_ ( }§ø©Î/ur 玍ÅÁyJø9$# ÇÐÌÈ

Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya tempat kembali.

surat at-Tahrim ayat 9

$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# ÏÎg»y_ u$¤ÿà6ø9$# tûüÉ)Ïÿ»oYßJø9$#ur õáè=øñ$#ur öNÍköŽn=tã 4 óOßg1urù'tBur ÞO¨Yygy_ ( }§ø©Î/ur 玍ÅÁyJø9$# ÇÒÈ

                [23] Lihat surat al-Anfal ayat 60

(#rÏãr&ur Nßgs9 $¨B OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB ;o§qè% ÆÏBur ÅÞ$t/Íh È@øyÜø9$# šcqç7Ïdöè? ¾ÏmÎ/ ¨rßtã «!$# öNà2¨rßtãur tûï̍yz#uäur `ÏB óOÎgÏRrߊ Ÿw ãNßgtRqßJn=÷ès? ª!$# öNßgßJn=÷ètƒ 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« Îû È@Î6y «!$# ¤$uqムöNä3ös9Î) óOçFRr&ur Ÿw šcqßJn=ôàè? ÇÏÉÈ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”

dan surat al-Baqarah ayat 216

|=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãA$tFÉ)ø9$# uqèdur ×nöä. öNä3©9 ( #Ó|¤tãur br& (#qèdtõ3s? $\«øx© uqèdur ׎öyz öNà6©9 ( #Ó|¤tãur br& (#q6Åsè? $\«øx© uqèdur @ŽŸ° öNä3©9 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ óOçFRr&ur Ÿw šcqßJn=÷ès? ÇËÊÏÈ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.

                [24] Muhammad Abu al-Fatah  al-Bayanuni, al-Madkhal ila Ilm al-Da’wah, Muassasah al-Risalah, Beirut, h. 41

                [25] Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasi Gerakan Dakwah:Episode Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta, Sipress, h.208

                [26] Salmadanis, 2002, Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, h.74

                [27] Lihat surat al-A’raf ayat 157

tûïÏ%©!$# šcqãèÎ7­Ftƒ tAqߧ9$# ¢ÓÉ<¨Z9$# ¥_ÍhGW{$# Ï%©!$# ¼çmtRrßÅgs $¹/qçGõ3tB öNèdyYÏã Îû Ïp1uöq­G9$# È@ÅgUM}$#ur NèdããBù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ öNßg8pk÷]tƒur Ç`tã ̍x6YßJø9$# @Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ßìŸÒtƒur öNßg÷Ztã öNèduŽñÀÎ) Ÿ@»n=øñF{$#ur ÓÉL©9$# ôMtR%x. óOÎgøŠn=tæ 4 šúïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä ¾ÏmÎ/ çnrâ¨tãur çnrã|ÁtRur (#qãèt7¨?$#ur uqZ9$# üÏ%©!$# tAÌRé& ÿ¼çmyètB   y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÎÐÈ

(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.

dan Surat  Saba’ ayat 28

!$tBur y7»oYù=yör& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0 #\ƒÉtRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇËÑÈ

Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.

                [28] Lihat surat Saba’ ayat 35

(#qä9$s%ur ß`øtwU çŽsYò2r& ZwºuqøBr& #Y»s9÷rr&ur $tBur ß`øtwU tûüÎ/¤yèßJÎ/ ÇÌÎÈ

Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab

                [29] Salmadanis, 2003, Filsafat Dakwah, Jakarta, TMF, h.99-100. Lihat juga [29] Salmadanis, 2002, dakwah dalam perspektif al-qur’an, Jakarta, TMF,75-76

                [30] Lihat surat Al-Baqarah ayat 1-20

                [31] Lihat surat al-Baqarah ayat 2

y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ

Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,

                [32] Lihat Surat al-Baqarah ayat 7

zNtFyz ª!$# 4n?tã öNÎgÎ/qè=è% 4n?tãur öNÎgÏèôJy ( #n?tãur öNÏd̍»|Áö/r& ×ouq»t±Ïî ( öNßgs9ur ë>#xtã ÒOŠÏàtã ÇÐÈ

Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup dan bagi mereka siksa yang amat berat.

                [33] Lihat Surat Al-Baqarah ayat 8 & 18

zz`ÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB ãAqà)tƒ $¨YtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$$Î/ur ̍ÅzFy$# $tBur Nèd tûüÏYÏB÷sßJÎ/ ÇÑÈ BL༠íNõ3ç/ ÒôJãã öNßgsù Ÿw tbqãèÅ_ötƒ ÇÊÑÈ

Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar),

                [34] Muhammad Fu’ad  ‘Abdul Baqi’ , 1988, al-Mu’jamal-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-karim, Dar  al-Hadis, Qahirah h. 153-4

                [35] Al-Raghib al- Isfahaniy, seabagaimana dikutip  oleh  Salmadanis, 2002, Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, h.76  Salmadanis, 2003, Filsafat Dakwah, Jakarta, TMF, h

                [36] Muhammad Fu’ad  ‘Abdul Baqi’ , 1988, al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-karim, Dar  al-Hadis, Qahirah, h. 119-20

                [37] Muhammad bi Ali al-Syaukani, sebagaimana dikutip oleh, Salmadanis, 2002, Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, h. 77. Salmadanis, 2003, Filsafat Dakwah, Jakarta, TMF, h

                [38] Lihat Surat  an-Nahl ayat 78

ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Surat al-Mu’minun ayat 12 & 14

ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ

Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.

                [39] Muhammad Quraish Shihab, 1994, Membumikan al-Qur’an, Bandung, Mizan, h. 69

                [40] Muhammad Fu’ad  ‘Abdul Baqi’ , 1988, al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-Karim, Dar  al-Hadis, Qahirah, h.895-9

                [41] Al-Raghib al- Isfahaniy, seabagaimana dikutip  oleh  Salmadanis, 2002, Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, h. 78. Salmadanis, 2003, Filsafat Dakwah, Jakarta, TMF, h

                [42] Muhammad Fu’ad  ‘Abdul Baqi’ , 1988, al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-Karim, Dar  al-Hadis, Qahirah, h.137-8

                [43] Ibn Ja’far Muhammad bin Jariral-Thabari, sebagaimana dikutip oleh  Salmadanis, 2002, Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, h.79. Salmadanis, 2003, Filsafat Dakwah, Jakarta, TMF, h

                [44] Abdul Karim Zaidan, 2001, Ushul Da’wah, Muassasah ar-risalah, Beirut, h.118

                [45] Muhammad Quraish Shihab, 1994, Membumikan al-Qur’an, Bandung, Mizan, h. 40

                [46] Abu Zahrah, sebagaimana dikutip oleh Salmadanis, 2002, Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, h.84. Salmadanis, 2003, Filsafat Dakwah, Jakarta, TMF, h.

                [47] Surat al-A’raf ayat 179

ôs)s9ur $tRù&usŒ zO¨YygyfÏ9 #ZŽÏWŸ2 šÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ( öNçlm; Ò>qè=è% žw šcqßgs)øÿtƒ $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& žw tbrçŽÅÇö7ム$pkÍ5 öNçlm;ur ×b#sŒ#uä žw tbqãèuKó¡o !$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd @|Êr& 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè=Ïÿ»tóø9$# ÇÊÐÒÈ

Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.

                [48] Wardi Bachtiar, 1997, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta, Logos, h. 34

                [49] Muhammad Quraish Shihab, Tafsiral-Misbah,; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,  Jakarta, Lentera Hati, h. 386

                [50] Muhammad Quraish Shihab, Tafsiral-Misbah,; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta,Lentera Hati, h. 387

                [51] Muhammad Fu’ad  ‘Abdul Baqi’ , 1988, al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-Karim, Dar  al-Hadis, Qahirah, h.271

                [52] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, Balai Pustaka,h. 401

                [53] Muhammad  Husain Fadhlullah, 1997, Metodologi  Dakwah dalam al-Qur’an, Peganagan Bagi Para Aktivis, Jakarta, Lentera, h. 40

                [54] Muhammad Quraish Shihab, Tafsiral-Misbah,; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta,Lentera Hati, h.387

                [55] Muhammad Fu’ad  ‘Abdul Baqi’ , 1988, al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-Karim, Dar  al-Hadis, Qahirah, h.

                [56] Asep Muhyiddin, et. al, 2002, Metode Pengembangan Dakwah, Bandung, Pustaka Setia. H. 80

                [57] Muhammad Husain Yusuf, 1999, Di balik Srtategi Dakwah Rasulullah, Terj. Syukriadi Sambas & Rosihan Anwar, Bandung, Mandiri Press, h. 49-50

                [58] ‘Abdu a-Rahim bin Muhammad al-Maghzawi, sebagaimana dikutip oleh Salmadanis, 2002, Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, h.128. Salmadanis, 2003, Filsafat Dakwah, Jakarta, TMF, h

                [59] Hamzah Ya’cub, 1986, Publisistik Islam teknik dakwah dan Ledership, Bandung, Diponegoro, h. 47

[60]Abdul Karim Zaidan, sebagaimana dikutip oleh Salmadanis, 2002, Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, h.93. Salmadanis, 2003, Filsafat Dakwah, Jakarta, TMF, h

 

                [61]Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasai Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta, Sipress, h. 58

0 Comment