19 Februari 2023

 Makalah Ulumul Hadits

Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa Hadist termasuk sumber ajarannya sesudahnya Alqur’an. Rasulullah adalah sebagai sumber hadits pertama baik dari sisi Qauli, Fi’li ataupun taqririnya, kemudian para sahabat meriwayatkan hadits yang mereka dapatkan dari rasulullah, kemudian dilanjutkan oleh para tabi’in dan begitu seterusnya. Mereka memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hadist Nabawi, menghapal, memindahkan dan menyampaikannya. Hafalan dan tulisan saling menunjang dalam pemeliharaan hadits, seperti halnya kesungguhan kaum muslimin dan para ulama dalam rangka membela dan menjaganya.

Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku dalam periwayatan tersebut, diterima dan ditolaknya suatu hadits, akan ditentukan oleh bagaimana metode sesorang meriwayatkan dan menyampaikan hadits tersebu, suatu hadits tidak akan diterima apabila pembawa periwayatan atau penyampaiannya tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Jumhur Ulama Muhaditsin ataupun ulama lainnya dalam periwayatan tersebut, oleh sebab itu maka perlulah diketahui terlebih dahulu, tentang metode periwayatan dan penyampaian hadits.  

PEMBAHASAN

Pengertian penerimaan dan penyampaian hadist

Para ulama ahli hadits memberikan istilah penerimaan hadits dengan istilah “Tahammul” yaitu menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seseorang guru dengan cara dan metode tertentu. Sedangkan penyampaian hadits dengan istilah “ada” yaitu menyampaikan dan meriwayatkan hadits kepada orang lain.[1]

Periwayatan hadits adalah proses penerimaan (tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya, dan setelah dipahami, dihafal, dihayati, diamalkan (dhath) ditulis atau di-tadwin (tahrir) dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayah tersebut.[2]

B.       Syarat penerimaan dan penyampaian hadits

Dalam penerimaan periwayatan (Tahammul) hadits dan penyampaian (Ada’) hadits, mempunyai syarat-syarat tertentu, sebagaimana dikemukakan oleh para ahli hadits dan ulama lainnya sehingga periwayatan hadits itu layak diterima atau ditolak.

1.      Syarat penerimaan periwayatan (Tahammul) hadits

Jumhur ulama ahli hadits berpendapat, bahawa penerimaan periwayatan suatu hadits oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap sah bila periwayatan hadits tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan kepada para sahabat, tabiin, dan ahli ilmu setelah penerimaan periwayatan hadits seperti Hasan, Abdullah bin Zubair, Ibnu abbas, Nu’man bin Basyir, Salib bin Yazid dan lain – lain dengan tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah baligh atau belum. Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas maksimal usia anak yang diperbolehkan untuk bertahammul, sebab permasalahan ini tidak terlepas dari ketamyizan anak tersebut. 

Ada beberapa perbedaan tentang syarat-syarat layak/tidaknya seseorang bertahammul hadits, sebagai berikut:

a.       Al-qadhi ‘Iyad menetapkan bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan bertahammul paling tidak sudah berusia 5 tahun, karena pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang didengar dan mengingat-ingat apa yang dihafal, pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat Bukhari dari sahabat Mahmud bin Rubai’:

عقلت من النبي صلى الله عليه ؤ سلم مجة مجها فى ؤ جهى من دلؤ ؤانا ابن خمس سنين

“saya ingat Nabi SAW meludahkan air yang diambilnya dari timba ke mukaku, sedang pada waktu itu saya berusia lima tahun”

b.  Abu Abdullah Al-Zuba’I mengatakan bahwa sbaiknya anak diperbolehkan bertahammul dan menulis hadits pada usia 10 tahun, sebab pada usia akal mereka sudah dianggap sempurna dan telah mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat hafalannya.

c.       Yahya bin Ma’in menetapkan usia 15 tahun, berdasarkan hadits Ibnu Umar, “ saya dihadapkan kepada rasulullah SAW pada waktu perang uhud, disaat itu saya baru berusia 14 tahun, beliau tidak mempertahankan aku. Kemudian aku dihadapkan kepada Nabi SAW pada waktu perang Khandak, disaat umur 15 tahun dan beliau mempertahankan aku.

d.      Ulama Syam memandang usia yag ideal untuk bertahammul dan meriwayatkan hadits setelah usia 30 tahun, sedangkan ulama Kuffah berpendapat minimal berusia 20 tahun.[3]             

Kebanyakan ulama ahli hadits tidak menetapkan batasan usia tertentu bagi anak yang diperbolehkan bertahammul, akan tetapi lebih menitikberatkan pada ke Tamyizan mereka, namun mereka berbeda pendapat juga tentang ke Tamyizan tersebut. Ada yang mengatakan bahwa anak sudah dikatekorikan tamyiz apabila anak tersebut sudah mampu membedakan antara al baqoroh dan al himar seperti diungkapkan oleh Al-Hafidz bin Musa bin Harun al-Hammal. Menurut Imam Ahmad bahwa ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran ke-Tamyizan seseorang itu bukan berdasarkan usia mereka. Akan tetapi dilihat dari apakah anak itu memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar atauk tidak.[4]

Terjadinya perbedaan pendapat ulama mengenai ke-tamyiz-an seseorang tidak terlepas dari kondisi yang mempengaruhi kepadanya dan bukan berdasarkan pada usianya, sebab bisa saja seseorang pada usianya tertentu. Karena situasi dan kondisi yang mempengaruhi, dia sudah mumamyiz, sementara seseorang pada usia yang sama. Karena situasi dan kondisi yang mempengaruhi berbeda, dia belum mumayiz. Oleh karenanya ke-tamyisz-an seseorang bukan diukurr dari usia, tetapi didasarkan pada tingkat kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar serta adanya kemapuan penghafal dan mengingat-mengingat hafalannya.

Mengenai penerimaan hadits bagi orang Kafir dan orang fasiq, jumhur uluma hadits menganggap sah asalkan hadits tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan bertobat. Alasan yang mererka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda Nabi SAW sebelum mereka masuk Islam. Diantanya sahabat yang mendengar sabda Nabi SAW pada waktu belum masuk Islam adalah Zubair. Dia pernah mendengar Rasul SAW, membaca surat Al-Thur pada waktu sembahyangmagrib, ketika dia tiba di madinah untuk menyelesaikan urusan perang badar, dalam keadaan masih kafir, akhirnya dia masuk Islam. Bila penerikma hadits oleh orang kafir yang kemudian disampaikannya setelah memeluk Islam dapat diterima, maka sudah barang tentu dianggap sah penerimaan hadits oleh orang fasik yang diriwayatkannya setelah dia taubat.

Syarat penyampaian (Ada’) hadits

Mayoritas ulama hadits, ulama ushul dan ulama fiqh sependapat bahwa orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah baik laki-laki mapu wanita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a.       Islam

Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijma’ ulama, baik diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak. Dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak Islam bisa diterima? Disamping itu Allah Azza Wa Jalla juga memerintahkan untuk mengecek berita yang dibawa oleh orang fasik, melalui firmanNya: (Al Hujarat: 6)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

            Apabila orang kafir meriwayatkan setelah dia masuk Islam, apakah bisa diterima riwayatnya atau tidak?. Jika demikian ulama membolehkan hal itu, tetapi kita dianjurkan untuk tidak terlalu menanggapinya, dikhawatirkan adanya tambahan yang disampaikannya diwaktu dia masih belum Islam. Sebagaimana Nabi juga pernah mengatakan untuk mengingatkan kita bahwa riwayat dari yang orang mantan non muslim tanggapilah biasa-biasa saja boleh percaya boleh tidak. 

b.      Baligh

Yang dimaksud baligh disini adalah adanya akal sehat disertai dengan usia yang memungkinkannya bermimpi basah. Usia baligh merupakan usia dugaan adanya kemampuan menangkap pembicaraan, membedakan antara hitam putih dan memahami hukum-hukum syari’at. Karena ini keadaaan taklif dikaitkan dengannya. Ini merupakan pusat taklif. Karena itu riwayat yang berada di bawah usia taklif tidak bisa diterima, hal ini didasarkan pada hadits Rasul 

رفع القلم عن ثلاث : عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرأ وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم

Artinya : Terangkat pena dari tiga orang : dari orang gila sampai sembuh, daari orang yang tidur sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah. (Hr. Abu Daud)

c.       Sifat adil

Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertaqwa dan memelihara harga diri sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar termasuk di dalamnya, juga sebagian dosa kecil, seperti mengrangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, berteman dengan orang yang keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar.

d.      Dhobit yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya kepada orang lain. Dhobit mencakup hafalan dan tulisan/ maksudnya seorang perawi  harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya, dan memahami tulisannya dari adanya perubahan, penggantian atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya.

Demikianlah suatu hadits tidak akan diterima bila perawinya tidak memenuhi ketika menyampaikan keempat syarat tersebut, yaitu Islam, taklif (baligh dan berakal), adil dan dhabit. Sedangkan ketika menerima, cukup bagi seseorang hanya dengan memiliki sifat tamyiz.[5] 

C.      Metode penerimaan dan penyampaian hadits

1.      Metode Tahamul dan Ada’ Hadits sebagai berikut:

a.       As-sima’ (mendengar), yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun untuk yang lain. Ada juga yang berpendapat bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang guru murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran. Sebab biasanya ada penerimaan setelah imla’ dan mendengar adalah cara yang mula-mula ditempuh oleh periwayat.

Lafaz yang digunakan oleh rawi dalam menyampaikan hadits atas dasar sama’ adalah: حد ثنى , حدثنا ( seseorang telah bercerita kepadaku/kami).[6] 

b.      Al-qira’ah ala asy-syeikh ( membaca dihadapan guru )

Sebagian ulama hadits menyebutkan Al-Aradh (penyodoran) ada juga yang menyebutkan ‘Ardh al-Qira’ah (menyodorkan bacaan). Karena murid menyodorkan bacaan alQur’an kepada gurunya. Yang dimaksud adalah seseorang membaca hadits dihadapan guru, baik dari hafalannya ataupun kitabnya yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan meneliti. Kadang-kadang yang mengecek bukan gurunya, tetapi orang yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang masing-masing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang semuanya mendengar dari orang yang membaca di hadapan guru.

Lafaz yang digunakan oleh rawi dalam menyampaikan hadits atas dasar al-Qira’ah adalah:قرات عليه  ( saya telah membacakan dihadapanya).[7]

Imam Ahmad menyaratkan pembaca harus mengerti dan memahami bacaannya itu. Sedang imam Haramain menyaratkan seorang guru harus meluruskan bila pembaca mengalami kekeliruan atau kesalahan. Bila tidak, maka tahamulnya tidak sah. Metode tahmmul ini dibawah peringkat metode mendengar dari hadapan sang guru. 

c.       Al-Ijazah (Sertifikat atau rekomendasi)

Maksudnya wewenang seorang ahli hadits kepada orang lain.

Ijazah ini merupakan jenis metode Tahammulyang baru dan berbeda sama sekali. Namun masih tetap dalam batas pemberian kewenangan seorang guru untuk meriwayatkan sebagaian riwayatnya yang telah ditentukan kepada seseorang atau beberapa orang yang telah ditentukan pula, tanpa membacakan sebuah hadits yang diiajazahkan. Oleh karena itu, ada ulama yang memperbolehkannya dan ada yan tidak. Contoh metode ijazah ini adalah, seorang ahli hadits berkata kepada sebagian muridnya: aku ijazahkan (aku perbolehkan) kamu meriwayatkan kitab al-bayu dari shahih al-bukhari dariku. Saya telah dengar dari seseorang. Tanpa membaca sedikitpun atau membaca sebagaiannya, dan mengijazahkannya selebihnya.

Ulama’ mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa criteria dan syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa seseorang ahli hadits harus mengenal betul apa yang akan diijazahkannya, naskah yang ada pada murid harus dibandingkan dengan naskah aslinya sampai benar-benar sama dan yang meminta ijazahkan ahli hokum dan telah memiliki posisi dalam keilmuan, sehingga tidak akan terjadi peletakan ilmu tidak pada tempatnya atau ahlinya.[8]

Ijazah yang tertinggi adalah seorang guru membawa kitab atau beberapa kitab riwayatnya, lalu berkata kepada murid: “kitab ini atau kitab-kitab ini saya dengar dari fulan dan aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkannya dariku. Inilah yang mereka sebut dengan “ijazah dari guru tertentu, kepada murid tertentu dan mengenai kitab tertentu pula”.

Lafaznya : اجزت لك روايه الكتاب الفلانى عنى (aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kitab si fulan dari saya)[9] 

d.      Al-Munawalah (الما وله)

Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah hadits, beberapa hadits atau sebuah hadits kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatkannya darinya. Misalnya, seseorang guru memberikan sebuah haits kepada muridnya seraya berkata: ini haditsku, atau inilah riwayat-riwayat yang kudengar, tanpa mengatakan: riwayatkanlah ia dariku. Atau aku memperbolehkanmu (untuk meriwayatkannya dariku). Sebagaian ulama memperbolehkan metode ini biasa disebut oleh ulama hadits sebagai “al-Munawalah al-Maqrunah bi al-ijazah” (munawalah yang tidak disertai dengan ijazah). Ini merupakan jeni ijazah (maksudnya munawalah) yang paling tinggi statusnya secara mutlak. Ia juga memiliki bentuk-bentuk yang lain. Yang tertinggi adalah seorang guru  memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya mengatakan “ini saya dengar dari Fulan. Karena itu ambillah dan riwayatkanlah dariku”, atau “ambillah lalu salinlah dan kemudian kembalikan lagi kepadaku setelah engkau melakukan pengecekan ulang, lalu riwayatkanlah dariku”, atau perkataan lain yang senada dengan itu. Dibawahnya adalah seorang murid membawa kitab salinan shahih dari kitab asli milik gurunya lalu menyodorkannya kepada sang guru. Lalu sang guru menerimanya dan memberikannya lagi kepadanya, kemudian berkata kepadanya: riwayatkanlah naskah ini dariku.

Lafaznya: انبأنى , انبأنا (seorang telah memberitahukan kepadaku/kami).[10] 

e.       Al-Mukatabah

Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada ditempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada seorang murid bersama orang yang bisa dipercaya.[11] 

f.        I’lam

Yakni pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadits yang diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru), tanpa member izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya. Sebagian ulama ahli ushul dan pendapat Ibnu al-Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadits dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama ahli hadits, ahli fikih dan ahli ushul membolehkannya.

Lafaznya adalah : اعلمنى فلان قال حدثنا (seseorang telah memberitahu padaku: telah berkata kepada kami….) 

g.      Al-Wasiyah

Yakni seorang guru ketika akan meninggal atau berpergian meninggalkan pesan kepada orang lain atau muridnya untuk meriwayatkan hadits atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau berpergian. Periwayatan hadits dengan cara ini, menurut jumhur ulama dianggap lemah. Sementara Ibnu Sirin membolehkannya.

Lafaznya adalah: حد ثنى فلان بكذا (seseorang telah memberitahukan kepadaku begini…….) 

h.      Al-Wijadah

Yaitu seseorang memperoleh hadits orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadits. Para ulama berselisih pendapat dengan cara ini. Kebanyakan ahli hadits dan ahli fikih dari mazhab Malikiyah tidak memperolehkan. Imam As-Syafi’I dan segolongan pengikutnya memperolehkan beramal dengan hadits dengan cara periwayatan seperti ini. Ibnu Al-Shalah mengatakan, bahwa sebagian ulama mutaqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebenarannya.[12] 

D.      Periwayatan hadits bi al-Lafazh dan bi al-Ma’na

Periwayatan hadits bi al-Lafazh adalah orang yang meriwayatkan hadits sesuai dengan lafaz yang diterima. Sedangkan periwayatan hadits bi al-Ma’na adalah orang yang meriwayatkan hadits tetap lafaznya dari nabi tetapi ada perubahan cara lafaznya yang tidak merubah makna hadits yang diterima. Cara mengetahui periwayatan hadits bi al-lafaz dan bi al-ma’na adalah dengan membedakan dua hadits yang sama. Contohnya hadits Bukhari dan Muslim.

Mayoritas ulama cenderung berpendapat bahwa seorang muhadits boleh meriwayatkan dengan makna tidak dengan lafaz, bila ia memahami bahasa arab dengan seluk beluknya dan mengerti mahna-makna serta kandungan hadits dan juga memahami kata yang bisa merubah makna dan kata yang merubahnya. Namun bila perawi tidak mengerti dan tidak memahaminya maka ia tidak diperbolehkan meriwayatkan harus kukuh agamanya, mengetahui dengan benar haditsnya, memahami apa yang diriwayatkannya dan mengerti dengan benar kata-kata yang bisa merubah makna.[13]dengan demikian jelaslah bahwa orang yang mengerti betul kata-kata yang bisa merubah makna boleh meriwayatkan hadits secara makna bila ia tidak ingat kata-kata sebenarnya. Karena ia telah menerima kata dan makna. Tak ada halangan meriwayatkan secara makna selama ia aman dari pada kekeliruan.

Sebenarnya hal ini telah dipraktekkan para sahabat, tabi’in dan ahli hadits sesudah mereka. Mereka tidak beralih dari redaksi aslinya kecuali berkenaan dengan keterangan mengenai keadaan, peperangan ataupun peristiwa tertentu. Namun demikian, banyak diantara mereka yang sangat berhati-hati. Seperti mengatakan: “ Au Kama Qala (atau seperti yang disabdakan Nabi), Au Nahwa Hadza (atau ungkapan sejenis). Au Syibhahu (atau ungkapan yang serupa). Hal ini seperti yang dipraktekan oleh Abdullah ibn Mas’ud, Abu Darda, Anas Ibn Malik dan sahabat lainnya. 

Kesimpulan

1.      Penerimaan hadits dengan istilah “Tahammul” yaitu menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seseorang guru dengan cara dan metode tertentu. Sedangkan penyampaian hadits dengan istilah “ ada’ ” yaitu menyampaikan dan meriwayatkan hadits kepada orang lain.[14]

2.      Metode penerimaan hadits ada delapan macam : Al-Sima’, al- Qira’ah, Ijazah, Munawalah, Muktabah, Wijadah, Wasiyah, I’lam.

3.      Syarat penerimaan hadits adalah Islam, baligh, ‘adalah, dan dhobit.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Fathurahman. Ikhtisar Musthalah al-Hadits. Bandung: Al-Maarif, 1991

Ismail, Jalal Al-Din, Buhuts fi ulum al Hadits. Mesir, Maktabah Al-Azhar,tt

katsir, Ibnu. Al-Ba’its Al-Hasis: Syarh Ikhtishar ‘Ulum Al-Hadits. Beirut: Dar Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, 1972

Soetardi, Endang.  Ilmu Hadits. Bandung: Amal bakti press, 1997

Suparta, Munzier. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006

al-Shalah, Ibnu. Ulum Al-Hadits. Madinah, Al-Maktabah Al-Tijariyah, 1993



[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadist, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h,195

[2] Endang Soetardi, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal bakti press, 1997), h, 185

[3] Ibid,. h,196

[4] Ismail, Jalal Al-Din, Buhuts fi ulum al Hadits, (Mesir, Maktabah Al-Azhar,tt),.h, 123

[5] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, Pokok-Pokok Ilmu Hadits, terj. Qadiran Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h.204

[6] Endang Soetardi, Op.Cit, h.186

[7] ibid

[8] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Op.Cit, h.206

[9] Endang Soetardi, Op.Cit, h,187

[10] Ibid, h,188

[11] Ibid,hal 209

[12] Ibnu Al-Shalah, Abu Amr Usman Ibn Abd Rahman, Ulum Al-Hadits, (Madinah, Al-Maktabah Al-Tijariyah, 1993), h,159

[13] Fathurahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, (Bandung: Al-Maarif, 1991), h, 75

[14] Munzier Suparta, Ilmu Hadist, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h,195

0 Comment