19 Februari 2023

 HADITS DHA’IF 

Hadits adalah sumber hukum kedua setelah Kitabullah, Al-Qur’an. Posisi penting ini didudukinya tak lain karena fungsinya sebagai penjelas, perinci dan petunjuk praktis penerapan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila dikatakan pengamalan hadits merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Namun sebelum kita merealisasikan ketaatan kita kepada Allah SWT dalam bentuk pengamalan dari hadits-hadits, perlu bagi kita untuk mengenali terlebih dahulu derajat suatu hadits. Secara garis besar, hadits dibagi menjadi dua yaitu shahih dan dha’if, meskipun ada ulama yang membaginya menjadi tiga, disamping shahih dan dha’if, ada yang disebut hasan.

Jika suatu hadits itu shahih, maka tidak dipermasalahkan dalam hal pengamalannya, begitu pula dengan hadits hasan. Tetapi berbeda dengan hadits dha’if. Ada sebagian ulama membolehkannya dan ada juga yang menolak untuk mengamalkan hadits dha’if ini. Berikut akan dibahas masalah-masalah yang berkaitan dengan hadits dha’if, pengertian, juga pembagiannya, serta kehujjahannya.

HADITS DHA’IF 

A.    Pengertian Hadits Dha’if

Kata dha’if menurut bahasa, berarti yang lemah, sebagai lawan kata dari qawiy, yang kuat. Sebagai lawan  kata dari shahih, kata dha’if juga berarti saqim (yang sakit). Jadi secara bahasa hadits dha’if berarti hadits yang lemah, yang sakit, atau yang tidak kuat.[1]

Secara terminologis, para ulama mendefenisikannya sebagai berikut:

a.       An-Nawawi mendefenisikan dengan :

ما لم يو جو جد فيه شر و ط الصحة و لا شرو ط الحسن

 “Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits Hasan”[2] 

b.      Menurut Dr. Nuruddin ‘Itr

ما فقد شرطا من شر و ط الحد يث المقبول

 Hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat diterima)

 Syarat-syarat hadits maqbul ada enam, yaitu :

-          Rawinya adil

-          Rawinya dhabith, meskipun tidak sempurna

-          Sanadnya bersambung

-          Padanya tidak terdapat suatu kerancuan

-          Padanya tidak terdapat ‘illat yang merusak

-          Pada saat dibutuhkan, hadits yang bersangkutan menguntungkan (tidak mecelakakan).[3]

 Dari defenisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih ataupun syarat-syarat hasan, serta tidak terdapat pula syarat-syarat maqbul. 

B.     Sebab-sebab Hadits Dinilai Dha’if: Versi Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib dan Versi Nuruddin ‘Itr

Menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, sebab-sebab kedha’ifan bisa dikembalikan kepada salah satu diantara dua sebab pokok, yaitu: ketidakmuttashilan dan selain ketidakmuttashilan sanad.[4]

Pertama, hadits-hadits dha’if karena ketidakmuttashilan sanad, yaitu :

1.      Hadits Mursal

Hadits mursal adalah hadits yang dimarfu’kan oleh seorang tabi’iy kepada Rasul SAW, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik tabi’i itu kecil atau besar.

Hadits mursal menurut ulama fiqih dan ushul adalah hadits yang perawinya melepaskannya tanpa menjelaskan sahabat yang ia ambil riwayatnya.

Ahli hadits berpendapat bahwa hadits yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat kecil, seperti Ibn Abbas dan lain-lain yang tidak mereka dengar atau tidak mereka saksikan langsung dari Nabi SAW, tetapi mereka meriwayatkan dari sahabat lain dari Nabi SAW, termasuk mursal, bila mereka tidak menyebutkan perawi-perawi yang mereka ambil riwayatnya. Mereka menyebutkan sebagai mursal shahabiy. Ahli hadits menilai bahwa mursal shahabiy dihukumi maushul. Sebab kadang-kadang, sebagian sahabat meriwayatkan dari sebagian yang lain. Dan seluruh mereka bersifat adil, sehingga kemajhulan mereka tidak membawa pengaruh negatif.[5] 

2.      Hadits Munqathi’

Hadits Munqathi’ adalah hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari segi gugurnya seorang perawi, ia sama dengan hadits mursal, hanya saja, kalau hadits mursal gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan sahabat, sementara dalam hadits munqathi’ tidak ada batasan seperti itu. Jadi, setiap hadits yang dari sanadnya gugur satu orang perawi baik di awal, di tengah ataupun di akhir disebut munqathi’. Dengan demikian, hadits mursal masuk dalam salah satu bentuk hadits munqathi’. 

3.      Hadits Mu’dhal

Yaitu hadits yang dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-turut. Termasuk jenis ini adalah hadits yang dimursalkan oleh tabi’  at-Tabi’iy. Hadits ini sama, bahkan lebih rendah dari hadits munqathi’.[6]

Salah satu contoh:

Diriwayatkan dari sebagian ahli hadits perkataan para penulis fiqh:

“Rasululah SAW bersabda begini-begini. Hadits ini mu’dhal karena diantara para penulis itu dengan Rasulullah SAW, terdapat dua perawi atau lebih. Padahal sebagian besar penulis fiqh ada pada masa-masa sesudah abad tabi’in. 

4.      Hadits Mudallas

Tadlis, secara etimologis berasal dari akar kata “ad-Dalas” yang berarti “adz-Dzulmah” (kezaliman). Tadlis dalam jual beli berarti menyembunyikan aib barang dari pembelinya. Dari sinilah diambil pengertian tadlis dalam sanad. Karena keduanya memiliki kesamaan alasan, yakni menyembunyikan sesuatu dengan cara diam tanpa menyebutkannya. 

Tadlis ada 2 :

-          Tadlis al-Isnad

Yaitu seorang perawi (mengatakan) meriwayatkan sesuatu dari orang semasanya yang tidak pernah ia bertemu dengan orang itu, atau pernah bertemu tetapi yang diriwayatkannya itu tidak didengarnya dari orang tersebut, dengan cara yang menimbulkan dugaan mendengar langsung.

-          Tadlis asy-Syuyukh

Seorang perawi meriwayatkan hadits dari gurunya, kemudian dalam meriwayatkan kembali hadits tersebut ia menggunakan nama samaran bagi gurunya sehingga tidak dikenal. 

5.      Hadits Mu’allal

Yaitu hadits yang tersingkap di dalamnya ‘illah qadihah, meski lahiriahnya tampak terbebas darinya. ‘Illatnya kadang-kadang pada sanad, kadang-kadang pada matan dan kadang-kadang pada sanad dan matan sekaligus. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib memasukkan jenis mu’allal ini karena umumnya ‘illat ada pada sanad. 

Kedua, hadits-hadits dha’if karena sebab selain ketidakmuttashilan sanad:

1.      Hadits Mudha’af

Yaitu hadits yang tidak disepakati kedha’ifannya. Sebagian ahli hadits menilainya mengandung kedha’ifan, baik di dalam sanad atau dalam matannya, dan sebagian lain menilainya kuat. Akan tetapi penilaian dha’if itu lebih kuat, bukannya lebih lemah.

2.      Hadits Mudhtharib

Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagiannya atas sebagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih. 

3.      Hadits Maqlub

Yait hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya tau suatu sanad untuk matan lainnya.

4.      Hadits Syadz

Yang mula-mula memperkenalkan jenis ini adalah Imam as-Syafi’iy. Yang dimaksud hadits syadz adalah bila diantara sekian perawi tsiqat ada diantara mereka yang menyimpang dari lainnya. Selanjutnya generasi setelah Imam asy-Syafi’iy sepakat bahwa hadits syadz dalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi maqbul dalam keadaan menyimpang dari perawi lain yang lebih kuat darinya.

5.      Hadits Munkar

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if yang berbeda dengan perawi-perawi (lain) yang tsiqat. Oleh karena itu, criteria hadits munkar adalah penyendirian perawi dha’if dan mukhalafah.

6.      Hadits Matruk dan Mathruh

-          Hadits matruk yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang “muttaham bi al-kidzbi” (yang tertuduh melakukan dusta) dalam hadits nabawiy, atau sering berdusta dalam pembicaraannya, atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan maupun kata-katanya ataupun yang sering sekali salah dan lupa.

-          Hadits Mathruh

Menurut Syeikh Thahir al-Jaza’iriy bahwa hadits mathruh adalah hadits yang diriwayatkan secara menyendiri oleh perawi yang tertuduh berdusta dalam hadits, termasuk orang yang dikenal sering berbuat dusta dalam selain hadits. 

Menurut Nuruddin ‘Itr, alasan pemberian predikat dha’if kepada hadits bila tidak memenuhi salah satu syarat diterimanya sebuah hadits yaitu apabila pada suatu hadits tidak terpenuhi syarat-syarat hadits maqbul.[7]

Kehati-hatian muhadditsin dalam menerima hadits sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadits itu sebagai alasan yang cukup untuk menolak hadits dan menghukuminya sebagai hadits dha’if. Karena ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadits yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk menolaknya.

Demikian pula kedha’ifan suatu hadits karena tidak bersambungnya sanad. Hadits yang demikian dihukumi dha’if karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang tsiqat dan boleh jadi ia adalah rawi yang dha’if. Seandainya ia rawi yang dha’if, maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya.[8] 

C.    Cacat Karena Keterputusan Sanad dan Illat Pada Sanad

-          Keterputusan Sanad

Suatu hadits menjadi dha’if karena sanad-sanadnya tidak bersambung-sambung (tidak muttashil), rawi murid tidak bertemu dengan rawi guru, sehingga terdapat inqitha’ (gugur rawi) pada sanad.

Keguguran sanad dalam hal ini ada yang gugur pada awal sanad, atau akhirnya, atau tengahnya. Para ulama memberikan nama hadits yang sanadnya gugur secara zahir tersebut dengan istilah sesuai dengan tempat dan jumlah perawi yang gugur.[9]

Adapun hadits yang tergolong dha’if karena keterputusan sanad tersebut adalah :[10]

a.   Hadits Mu’allaq, ialah hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad, yakni guru mudawin.

b.  Hadits Mursal ialah hadits yang gugur rawi pertama atau akhir sanadnya, yakni tabi’in menisbahkan kepada Nabi SAW tanpa menyebutkan dari sahabat mana ia menerima hadits tersebut.

Hadits Mursal ada tiga macam:

-    Mursal Jali, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabi’in) adalah jelas sekali dapat diketahui, ia tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita.

-     Mursal Shahabi, yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW atau menyaksikan apa yang ia beritakan, namun di saat Rasulullah SAW hidup ia masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam Islam.

-          Mursal Khafi, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’in yang meriwayatkan hidup sezaman dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah haditspun darinya.

c.   Hadits Munqathi’, ialah hadits yang gugur rawi di satu tempat atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.

d.  Hadits Mu’dhal, ialah hadits yang rawi-rawinya dua orang atau lebih secara berturut-turut dalam thabaqah sanad, baik sahabat bersama tabi’in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi’in. 

-          Illat Pada Sanad

Pengertian ‘illat menurut istilah ilmu hadits, sebagimana yang dikemukakan oleh Ibn al-Shalah dan al-Nawawiy, ialah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih.[11]

Ulama hadits umumnya menyatakan, ‘illat hadits kebanyakan berbentuk:

1.      Sanad yang tampak muttashil dan marfu’, ternyata muttashil tetapi mawquf

2.   Sanad yang tampak muttashil dan marfu’, ternyata muttashil tetapi mursal (hanya sampai ke at-tabi’iy)

3.     Terjadi percampuran hadits dengan bagian hadits lain

4.    Terjadi kesalahan penyebutan periwayat, karena lebih dari seorang periwayat memiliki kemiripan nama sedang kualitasnya tidak sama-sama siqat. 

Dua bentuk ‘illat yang disebutkan pertama berupa sanad hadits terputus sedang dua bentuk ‘illat yang disebutkan terakhir berupa periwayat tidak dhabith.[12]

Hadits yang tergolong dha’if karena terdapat ‘illat disamping karena keterputusan sanad, yaitu:

  1. Hadits Mudallas

Mudallas adalah isim maf’ul dari “at-tadlis”, dan tadlis dalam bahasa adalah penyembunyian aib barang dagangan dari pembeli. Diambil dari kata “ad-dalsu” yaitu kegelapan atau percampuran kegelapan, maka seakan-akan seorang mudallas karena penutupannya terhadap orang yang memahami hadits telah menggelapkan perkaranya maka lalu hadits menjadi gelap.[13]

  1. Hadits Mursal

Menurut bahasa adalah isim maf’ul dari “al-irsal” yang berarti “al-ithlaq” (melepaskan), seakan seorang pelaku irsal (mursil) membiarkan sanad tidak bersambung. sedangkan “khafi” (tersembunyi) lawan kata dari “jaliy” (nampak), karena irsal ini tidak nampak, maka tidak dapat diketahui kecuali dengan penelitian.[14] 

D.    Cacat Karena Periwayat: Tidak Adil dan Tidak Dhabith dan Syadz

Pada periwayat, terdapat kecacatan baik mengenai keadilannya maupun mengenai kedhabitannya:[15]

a.       Dusta, yakni berdusta dal membuat hadits walaupun hany sekali dalam seumur hidup. Hadits dha’if yang karena rawinya dusta disebut hadits mawdhu’, yaitu hadits yang diciptakan serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbahkan kepada Rasulullah SAW secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.

b.      Tertuduh berdusta, yakni rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tapi belum dapat dibuktikan bahwa ia pernah berdusta dalam membuat hadits. Hadits ini disebut hadits Matruk, yaitu hadits yang menyendiri dalam periwayatannya yang diriwayatkan oleh yang tertuduh dusta dalam perhaditsan.

c.       Fasiq, ialah kecurangan dalam amal, bukan kecurangan dalam I’tikad, juga mereka berbuat maksiat.

d.      Lengah dalam hafalan dan salah. Lengah biasanya terjadi dalam penerimaan hadits, sedangkan banyak salah terjadi dalam penyampaiannya.

Hadits yang rawinya fasiq, lengah dalam hafalan dan banyak salah, disebut hadits munkar, yaitu hadits yang menyendiri dalam periwayatan yang diriwayatkan oleh orang yan banyak kesalahannya banyak kelengahannya, atau jelas kefasiqannya yang bukan karena dusta.

e.       Banyak faham (purbasangka), yakni salah sangka seola-oleh hadits tersebut tidak ada cacat baik pada matn maupun pada sanad. Hadits yang demikian disebut hadits Mu’allal, yaitu hadits yang setelah diadakan penelitian dan penyelidikan, tampak adanya salah sangka dari rawinya, dengan me-waham-kan (menganggap bersambung suatu sanad) hadits yang munqathi’ (terputus) atau memasukkan sebuah hadits padasuatu hadits yang lain, atau yang semisal dengan itu.

f.        Menyalahi riwayat orang kepercayaan

-          Membuat suatu sisipan, baik pada sanad maupun pada matn, mungkin perkataannya sendiri atau perkataan orang lain, baik sahabat maupun tabi’in yang dimaksudkan untuk menerangkan makna kalimat-kalimat yang sukar atau men-taqyid-kan makna yang mutlak. Hadits ini disebut hadits mudraj, yaitu hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan, bahwa saduran itu termasuk hadits.

-     Memutarbalikkan, yakni mendahulukan sesuatu pada satu tempat dan mengakhirkanna pada tempat yang lain, adakalanya pada matn dan adakalahnya pada sanad, ini disebut hadits maqlub, yaitu hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahinya dengan hadits lain), disebabkan mendahulukan dan mengakhirkan.

-     Menukar-nukar rawi, disebut hadits mudhtharib, yaitu hadits yang mukhalafahnya (menyalahinya dengan hadits lain) terjadi dengan pergantian pada satu segi yang paling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan.

-      Perubahan syakal-huruf, yakni tanda hidup (harakat) dan tanda mati (sakanat), sedang bentuk tulisannya tidak berobah, seperti basyir dibaca busyair, hadits disebut muharaf, yaitu hadits yang mukhalafahnya (bersalahnya dengan hadits riwayat orang lain), terjadi disebabkan karena perobahan syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisan.

-       Perubahan tentang titik-titik kata, seperti Dirubah menjadi (sittan jadi syaitan). Hadits ini disebut Mushahhaf, yaitu hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah. 

g.    Tidak diketahui identitasnya (jahalah), kadang-kadang tidak disebutkan namanya, atau disebutkan tapi tidak dijelaskan siapa sebenarnya yang dimaksud nama itu, atau hanya disebutkan hubungan keluarganya (Ibn, ummun, abun dan lain-lain) yang belum menunjukkan nama pribadinya. Hal ini bias terjadi pada matn atau pada sanad, hadits ini disebut hadits mubham, yaitu hadits yang didalam matn atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan, apakah ia laki-laki atau perempuan.

Bila nama seorang rawi disebutkan dengan jelas, akan tetapi ternyata ia bukan tergolong orang yang sudah dikenal keadilannya dan tidak ada rawi yang tsiqat, yang meriwayatkan darinya selain seorang saja, maka haditsnya disebut Majhul.

Jika seorang rawi dikenal keadilannya dan kedhabitannya atas dasar periwayatan orang-orang yang tsiqat, akan tetapi penilaian orang-orang tersebut belum mencapai kebulatan suara, maka haditsnya disebut Mastur.

h.      Penganut bid’ah, yakni ada kecurangan dalam ’itikad, mereka mengitikadkan sesuatu itikad yang berlawanan dengan yang diterima Nabi SAW dengan dasar syubhat. Bid’ah adakala mengkafirkan, adakala memfasikkan. Jika bad’ahnya mengkafirkan, jumhur ulama tidak menerima haditsnya, dan haditsnya disebut hadits Mardud. Jika tidak mengkafirkan, maka sebagian ulama menerimanya.

i.        Tidak baik hafalannya

-          Menyalahi riwayat orang yang lebih rajih. Hadits ini disebut Syadz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang maqbul (tsiqah) menyalahi riwayat orang yang lebih rajah, lantaran mempunyai kelebihan-kelebihan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya dari segi-segi pentarjihannya.

-          Buruk hafalan karena lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitabnya. Yang dimaksud dengan su’u al-hifzhi ialah kalau salahnya lebih banyak dari pada betulnya, lupanya lebih banyak dari pada hafalnya, hadits ini disebut Mukhtalith, yaitu hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atu hilang kitab-kitabnya. 

E.     Cacat Karena Syudzudz Pada Matn

Syudzudz, secara bahasa dapat diartikan: yang jarang, yang menyendiri, yang asing, yang menyalahi aturan, yang menyalahi orang banyak.[16]

Menurut al-Syafi’iy, suatu hadits baru kemungkinan mengandung syadz, apabila memiliki dua syarat. Pertama, terkait dengan periwayat, yakni tsiqat dan kedua, terkait dengan riwayat, yakni pertentangannya dengan riwayat para periwayat lain. Dia menegaskan bahwa hadits syadz tidak disebabkan oleh kesendirian periwayat saja, yang dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah fard muthlaq. Periwayatnya tidak menyendiri dalam periwayatannya, tetapi bertentangan dengan selainnya. Ini terjadi karena penambahan, pengurangan dalam sanad dan atau matn dan antara kedua tidak dapat dikompromikan.[17]

Para ilmuan mengelompokan hadits yang cacar karena syudzudz pada matn ebagai berikut:

a.       Hadits Maqlub

Yaitu suatu hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau suatu sanad untuk matannya.[18]

b.      Hadits Mudthorib

Yaitu hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi atau lebih dengan beberapa redaksi yang berbeda dan dengan kualitas yang sama, sehingga tidak ada yang dapat diunggulkan dan tidak dapat dikompromikan.[19]

c.       Hadits Mudraj

Yaitu hadits yang didalamnya terdapat penambahan, baik pada sanad maupun pada matnnya.[20]

Atau hadits yang disisipkan ke dalam matannya sesuatu perkataan orang lain, baik orang itu sajabat ataupun tabi’I untuk menerangkan maksud makna.

d.      Mushahhaf

Tashhif menurut bahasa adalah mengubah redaksi suatu kalimat sehingga makna yang dikehendaki semula menjadi berubah. Tashhif pada asalnya bermakna kesalahan.[21] 

F.     Cacat Karena ‘Illat Pada Matn Kehujjahan Hadits Dha’if

Secara bahasa kata ‘Illat dapat berarti “cacat, kesalahan, penyakit dan keburukan. Hadits yang cacat karena adanya ‘Illat pada matn dinamakan hadits ma’lul, namun ada sebagian para ahli hadits yang menamakan al-mu’al, ma’lul dan mu’allal.

Ada dua syarat yang harus dipenuhi sehingga suatu matn dapat dinilai ber-‘illat, yaitu[22]:

1.      Sebab-sebab tersebut tersembunyi dan samar.

2.      Sebab-sebab tersebut merusak dan mempengaruhi kualitas ke-shahih-an hadits. 

Menemukan cacat (illat) hadits ini membutuhkan pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Sebab, illat itu sendiri samara lagi tersembunyi, bahkan bagi orang-orang yang menekuni ilmu hadits. Ibnu Hajar berkata: “menemukan illat ini termasuk bagian ilmu hadits yang paling samara dan paling rumit. Yang bias melaksanakannya hanyalah orang yang oleh Allah SWT diberikan pemahaman yang tajam, pengetahuan yang sempurna terhadap urutan-urutan perawi, dan kemampuan yang kuat terhadap sanad-sanad dan matan-matan.

Sementara menurut Al-Hakim, syarat utama yang harus dimiliki orang yang melakukan penelitian ‘illat hadits adalah hafalan, pemahaman dan pengetahuan yang luas tentang hadits. Dengan persyaratan yang cukup berat untuk melakukan penelitian ‘illat hadits menunjukkan bahwa penelitian ‘illat hadits sangat sulit.[23] 

Kehujjahan hadits Dha’if

Ada tiga pendapat di kalangan ulama mengenai penggunaan hadits dha’if[24]:

1.      Hadits dha’if tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadha’il maupun ahkam. Ini diceritakan oleh Ibnu Sayyidinnas dari yahya Ibn Ma’in. dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu al-Arabiy. Tampaknya, ia juga merupakan pendapat Imam Bukhari dan Imam Muslim, berdasarkan krtiteria-kriteria yang kita pahami dari keduanya.

2.      Hadits dha’if bisa diamalkan secara mutlak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu daud dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadits dha’if lebih kuat dari pada ra’yu perseorangan.

3.      Hadits dha’if bisa digunakan dalam masalah fadha’il, mawa’idz, atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat. Ibnu hajar menyebutkan syarat-syarat itu sebagai berikut:

  1. Kedha’ifannya tidak terlalu. Sehingga tidak tercakup di dalamnya seorang pendusta atau yang tertuduh berdusta yang melakukan penyendirian, juga orang yang terlalu sering melakukan kesalahan. Al-Ala’iy meriwayatkan kesepakatan ulama mengenai syarat ini.
  2. Hadits dha’if itu masuk dalam cakupan hadits pokok: yang bisa diamalkan.
  3. Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekadar berhati-hati.

 

PENUTUP 

Kesimpulan

Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih ataupn syarat-syarat hasan, serta tidak terdapat pula syarat-syarat maqbul. Secara umum sebuah hadits dinilai dha’if dikarenakan dua sebab yaitu dilihat dari ketidakmuttashilan sanad dan selain ketidakmuttashilan sanad.

Sedangkan kehujjahan hadits dha’if itu sendiri, di kalangan muhadditsin, ada yang mengatakan tidak boleh mengamalkannya secara mutlak, ada yang membolehkannya dengan syarat tertentu, dan ada yang boleh mengamalkannya pada fadha’il ‘amaliah, al-mawa’idz wa al-qishash. 

Saran

Dengan mempelajari kajian kecacatan hadits dha’if ini, ketika mengamalkan sebuah hadits harus diteliti benar kualitas hadits tersebut, agar tidak terjadi kesalahan dalam mengamalkan hadits tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

 

Buchari. M., Kaidah Ke-shahih-an Matn Hadits, Padang: Suryani Indah, 2004 

Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: Raja Grafindi Persada, 2004 

Ismail, H.M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998 

Al-Qaththan, Manna, Mabahits Fi Ulumul Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005 

Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996 

Soetari, Endang AD, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997 

‘Itr, Nuruddin, Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits, Terj. Mujiyo, Bandung: Rosda Group, 1994

 



[1]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), cet. I, h. 176

[2]Ibid., h. 176

[3]Nuruddin ‘Itr, Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits, Terj. Mujiyo, (Bandung: Rosda Group, 1994), h. 51

[4]Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. 304

[5]Ibid. h. 305

[6]Ibid., h. 306

[7]Lihat. h.2

[8]Nuruddin ‘Itr, Op.cit., h. 52

[9]Manna Al-Qaththan, Mabahits Fi Ulumul Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005), h. 132

[10]Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), cet-II, h. 136

[11]H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 147 

[12]Ibid., h. 149

[13]Manna ‘Al-Qaththan, Op.cit., h. 139

[14]Ibid., h. 143

[15]Endang Soetari AD, Op.cit., h. 143-148

[16]Buchari. M., Kaidah Ke-shahih-an Matn Hadits, (Padang: Suryani Indah, 2004), h. 211

[17]Ibid, h. 212

[18]Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Op.cit., h. 310

[19]Nuruddin ‘Itr, Op.cit., h. 235

[20]Buchari. M., Op.cit., h. 167

[21]Nuruddin ‘Itr, Op.cit., h. 249

[22]Buchari M., Op.cit., h. 254

[23]Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 2004), h. 58

[24]Muhamad ‘Ajjaj Al-Khatib, Op.cit., h. 315

0 Comment