14 Februari 2023

 

MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA

Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ke tujuh sampai abad ke delapan masehi. Ini mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M. Sedang menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345 M.

Agama Islam yang bermahzab Syafi’i telah mantap disana selama se abad, oleh karena itu berdasarkan bukti ini abad ke XIII di anggap sebagai awal masuknya agama Islam ke Indonesia. Daerah yang pertama-pertama dikunjungi ialah: Pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di peureulak Aceh Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara. Pesisir Utara pulau Jawa kemudian meluas ke Maluku yang selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit.

Pada permulaan abad ke XVII dengan masuk Islamnya penguasa kerajaan Mataram, yaitu: Sultan Agung maka kemenangan agama Islam hampir meliputi sebagai besar wilayah Indonesia. Sejak pertengahan abad ke XIX, agama Islam di Indonesia secara bertahap mulai meninggalkan sifat-sifatnya yang Singkretik (mistik).

 

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

PERADAPAN ISLAM DI INDONESIA SEBELUM PENJAJAH

A.    Teori Masuknya Islam di Indonesia

Islam di Indonesia baik secara historis maupun sosiologis sangat komplek, terdapat beberapa masalah, mislanya tentang sejarah dan perkembangan awal Islam. Islam dalam batasan tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da’i) dan pengembara sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama itu tidak bertendensi apa pun selain bertanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama mereka berlalu begitu saja. Tidak ada catatan sejarah atau prasasti pribadi yang sengaja dibuat mereka untuk mengabadikan pesan mereka, ditambah lagi wilaya Indonesia yang sangat luas dengan perbadaan kondisi dan situasi. Oleh karena itu wajar kalau terjadi perbedaan tentang kapan, dari mana, dan dimana pertama kali Islam datang di Nusantara. Namun, secara garis besar perbedaan pendapat itu dapat dibagi menjadi sebagai berikut:[1]

a.       Pendapat pertama di pelopori oleh serjana-serjana orientalis Belanda, diantaranya Snouck Hurgonje yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M dari Gujarat (bukan dari Arab langsung) dengan bukti ditemukannya makam sultan Malik as-Sholeh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang dikatakan berasal dari Gujarat.

b.      Pendapat kedua dikemukakan oleh sarjana Muslim, di antaranya Prof Hamka, yang mengadakan “Seminar Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan tahun 1963. Hamka dan teman-temannya perbendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ke-7 sampai ke-8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai jauh sebelum abad ke-13 (yaitu sudah ada sejak abad ke-7 M) melalui Selat Malaka yang menghubungkan dengan Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat.

c.       Sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 atau ke-8 M, tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuasaan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Bagdad menyebabkan aktivitas perdagangan ke arah Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara.

B.     Strategi Penyebaran Islam di Indonesia

Kedatangan Islam dan penebarannya kepada golongan bangsawan dan rakyat umumnya, dilakukan secara damai. Apabila situasi politik suatu kerajaan mengalami kekacauan dan kelemahan disebabkan perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana, maka Islam dijadikan alat politik bagi golongan bangsawan atau pihak-pihak yang menghendaki kekuasaan itu. Mereka berhubungan dengan pedagang-pedagang Muslim yang posisi ekonominya kuat karena menguasai pelayaran dan perdagangan. Apabila kerajaan Islam sudah berdiri, penguasanya melancarkan perang terhadap kerajaan non-Islam. Hal itu bukan karena dorongan politis untuk menguasai kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada enam, yaitu: [2]

1.      Saluran perdagangan

Pada taraf permulaan, saluran islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M. Membuat pedangang-pedagang Muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan Timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham.

2.      Saluran perkawinan

Dari sudut ekonomi, para pedangang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik dari pada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin, mereka diislamkan lebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya, timbulah kampapung-kampung, daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan Muslim. Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan, tentu saja setelah yang terakhir ini masuk Islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses Islamisasi. Demikian yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan Ngampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan putri Kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak), dan lain-lain.

3.      Saluran Tasawuf

Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajaran teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pemikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syikh Lemah Abang dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M.  Menurut Taufik Abdullah para sufi mengajarkan Islam melalui dua cara:[3]

a.       Dengan membentuk kader mubalig, agar mampu mengajarkan serta menyebarkan agam Islam di daerah.

b.      Melalui karya-karya tulis yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat. Di abad ke-17, Aceh adalah pusat perkembangan karya-karya keagamaan yang ditulis para ulama dan para sufi.

4.      Saluran Pendidikan

Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.[4]

5.      Saluran Kesenian

Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana,  tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukur.[5]

6.      Saluran Politik

Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politik banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.[6]

 

C.    Kerajaan-Kerajaan Besar Islam di Indonesia

Di daerah-daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti daerah Aceh  dan Minangkabau di Sumatera dan Banten di Jawa, agama Islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik penganut-penganutnya sehingga daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah menunjukkan diri dalam bentuk yang lebih murni. Di kerajaan-kerajaan tersebut agama Islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka.[7] Kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang di Indonesia adalah sebagai berikut:

1.      Kerajaan Samudra Pasai

Pasai didirikan pada abad ke-11 oleh Meurah Khair. Kerajaan ini terletak dipesisir Timur Laut Aceh. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Pendiri dan raja pertama Kerajaan Samudra Pasai adalah Meurah Khair. Ia bergelar Maharaja Mahmud Syah (1042-1078). Pengganti Meurah Khair adalah Maharaja Mansyur Syah dari tahun 1078-1133. Pengganti Maharaja Mansyur Syah adalah Maharaja Ghiyasyuddin Syah dari tahun 1133-1155. Raja Kerajaan Samudra Pasai berikutnya adalah Meurah Noe yang bergelar Maharaja Nuruddin berkuasa dari tahun1155-1210. Raja ini dikenal juga dengan sebutan Tengku Samudra atau Sulthan Nazimuddin Al-Kamil. Sultan ini sebenarnya berasal dari Mesir yang ditugaskan sebagai laksamana untuk merebut pelabuhan di Gujarat. Raja ini tidak memiliki keturunan sehingga pada saat wafat, kerajaan Samudra Pasai dilanda kekacauan karena perebutan kekuasaan.[8]

Meurah Silu bergelar Sultan Malik-al Saleh (1285-1297). Meurah Silu adalah keturunan Raja Perlak (sekarang Malaysia) yang mendirikan dinasti kedua kerajaan Samudra Pasai. Pada masa pemerintahannya, system pemerintahan kerajaan dan angkatan perang laut dan darat sudah terstruktur rapi. Kerajaan mengalami kemakmuran, terutama setelah Pelabuhan Pasai dibuka. Hubungan Kerajaan Samudra Pasai dan Perlak berjalan harmonis. Meurah Silu memperkokoh hubungan ini dengan menikahi putri Ganggang Sari, anak Raja Perlak. Meurah Silu berhasil memperkuat pengaruh Kerajaan Samudra Pasai di pantai timur Aceh dan berkembang menjadi kerajaan perdagangan yang kuat di Selat Malaka. Perkembangan Kerajaan Samudra Pasai didorong beberapa faktor yaitu : Letak Samudra Pasai strategis di tepi selat Malaka dan melemahnya kerajaan Sriwijaya yang menyebabkan Samudra Pasai berkesempatan untuk berkembang.[9] Di bidang agama, Samudera Pasai menjadi pusat studi Islam. Kerajaan ini menyiarkan Islam sampai ke Minangkabau, Jambi, Malaka, Jawa, bahkan ke Thailand. Dari Kerajaan Samudra Pasai inilah kader-kader Islam dipersiapkan untuk mengembangkan Islam ke berbagai daerah. Salah satunya ialah Fatahillah. Ia adalah putra Pasai yang kemudian menjadi panglima di Demak kemudian menjadi penguasa di Banten.

Raja-raja Samudra Pasai selanjutnya adalah Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326), Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345), Sultan Manshur Malik Zahir (1345-1346), dan Sultan Ahmad Malik Zahir (1346-1383).[10] Raja selanjutnya adalah Sultan Zainal Abidin (1383-1405). Pada masa pemerintahannya, kekuasaan kerajaan meliputi daerah Kedah di Semenanjung Malaya. Sultan Zainal Abidin sangat aktif menyebarkan pengaruh Islam kepulau Jawa dan Sulawesi dengan mengirimkan ahli-ahli dakwah, seperti Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak. Setelah muncul Kerajaan Malaka, Samudra Pasai mulai memudar. Pada tahun 1522 Samudra Pasai diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai sebagai kerajaan maritim digantikan oleh Kerajaan Aceh yang muncul kemudian.

2.      Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M).[11] Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naik tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Beberapa faktor yang mendorong berkembangnya kerajaan Aceh, antara lain: Jatuhnya Malaka dalam kekuasaan Portugis tahun 1511, letak kerajaan Aceh sangat strategis pada jalur perdagangan internasional dan Kerajaan Aceh mempunyai pelabuhan dagang yang ramai dan menjadi pusat agama Islam. [12] Dalam bidang sosial, letaknya yang strategis di titik sentral jalur perdagangan internasional di Selat Malaka menjadikan Aceh makin ramai dikunjungi pedangang Islam. Terjadilah asimilasi baik di bidang sosial maupun ekonomi. Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi perpaduan antara adat istiadat dan ajaran agama Islam. Pada sekitar abad ke-16 dan 17 terdapat empat orang ahli tasawuf di Aceh, yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumtrani, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf dari Singkil.

Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai. Dengan jatuhnya Pasai pada tahun 1524 M, Aceh Darussalam menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka bahwa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.[13]

Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, pasukan Aceh tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590 1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh. Wilayah kekuasaan Aceh mencapi Pariaman wilayah pesisir Sumatra Barat, Perak di Malaka yang secara efektif bisa direbut dari portugis tahun 1575.[14]

3.      Kerajaan Minangkabau

Diperkirakan bahwa Kerajaan Minangkabau itu sudah berdiri semenjak abad ke-7 M, yaitu dilembah sungai kampar dan Batanghari, kita sebut sebagai Kerajaan Minangkabau Timur. Pada pertengahan abad ke-14 M, berdiri Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung Luhak Tanah Datar. Kerajaan ini hidup sampai permulaan abad ke-19 M. Pada pertengahan abad ke-14, yang memegang tampuk kekuasaan di wilayah Minangkabau adalah Datuk Katumanggungan. Pada era itulah Adityawarman datang dari Majapahit, Jawa. Ibu Adityawarman adalah seorang wanita yang berasal dari Minangkabau. Dia kemudian dinobatkan menjadi Raja di Pagaruyung pada tahun 1349. [15]

Kerajaan Minangkabau Pagaruyung ini pada hakekatnya telah berakhir pada tahun 1809, ketika Sultan Muningsyah I meninggalkan istana. Raja-raja yang bertahta sesudahnya di Pagaruyung adalah Sultan Muningsyah II dan Muningsyah III serta Puti Reno Sumpur. Akan tetapi kekuasaan masing-masing Sultan dan Puti ini tidaklah begitu besar lagi. Puti Reno Sumpur lahir di Sumpur Kudus, tempat kedudukan resmi Rajo Ibadat, pada tahun 1816, dan wafat di Pagaruyung pada tahun 1912 dalam usia 96 tahun. Dari pihak ibu ia adalah keturunan Rajo Ibadat Sumpur Kudus, sedangkan dari pihak bapak ia adalah keturunan seorang Rajo Adat di Buo. Dengan demikian, ia merupakan salah seorang keturunan asli dari Raja-raja di Minangkabau. Sebagai keluarga istana, ia berdaulat di daerah Singingi dan Gunung Sahilan. Setelah Sultan Muningsyah II yang bergelar Sultan Alam Bagagarsyah dibuang Belanda ke Betawi tahun 1833 tidak ada lagi raja bertahta di Pagaruyung. Barulah pada akhirnya abad ke-19, Puti Reno Sumpur dijemput ke Gunung Sahilan dan didudukkan kembali di Istana Balai Janggo, Pagaruyung, sebagai Tuan Gadih, yaitu Ratu yang tiada berdaulat. [16]

Kerajaan Minangkabau pada masa kejayaannya pada 14 dan 15 mempunyai wilayah kekuasaan yang batas-batasnya meliputi :

1.      Sebelah Timur antara kerajaan Palembang dan Sungai Siak.

2.      Disebelah Barat antara kerajaan Manjuto di Muko-Muko dan Sungai Singkel.

3.      Daerah asli kerajaan adalah Luhak Nan Tigo sekarang yaitu; Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluah Koto.

Raja-raja dari kerajaan inilah yang kemudian memperbesar daerah pengaruhnya dari pantai barat sampai pantai timur,sehingga mencakup kerajaan-kerajaan Indrapura, Indragiri, dan Pucuk Jambi Sembilan Lurah. Raja-raja dari daerah tersebut itu mengakui raja yang berkedudukan di Pagaruyung sebagai “Raja Alam”, yaitu sebagai maharaja di antara mereka. Dengan kata lain dapat dikemukakan, bahwa daerah kekuasaan Minangkabau pada masa itu mencakup seluruh daerah Propinsi sumatera Barat kini, serta sebahagian Propinsi Riau dan sebahagian Propinsi Jambi, hampir sama dengan daerah Propinsi Sumatera Tengah pada permulaan kemerdekaan RI.

Adityawarman adalah putra Dara Jingga yang berasal dari keturunan Melayu Minangkabau itu, dibesarkan dalam lingkungan istana majapahit yang beragama Hindu. Pada tahun 1340 ia diutus oleh Raja Majapahit untuk menaklukkan Minangkabau dan mengusai daerah penghasilan lada, karena pasukan-pasukan yang diutus sebelumnya menemui kegagalan ketika berhadapan dengan Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Mereka bukan kalah dalam pertempuran , melainkan kalah dalam sayembara “Batakok Kayu Tataran Naga” dan “Adu Kerbau”.

Cerita tentang sayembara ini memperlihatkan “kecerdikan” orang Minang saja. Pada waktu pasukan Majapahit dengan kekuatan yang lebih unggul dari kekuatan Datuk Katumanggungan, memasuki wilayah Minangkabau, sang Datuk menjalankan siasatnya.  Komandan pasukan Majapahit diajak “beradu pintar” dengan Datuk. Masing-masing disuruh menerka ujung dan pangkal dari sepotong kayu yang dinamakan “Kayu Tataran Naga”. Kalau sang komandan dan rombongan berhasil menerkanya, maka kekuasaan di Minangkabau bisa dia peroleh. Ternyata mereka gagal menerkanya, sedang Datuk Katumanggungan berhasil dengan baik menunjukan mana pangkal dan mana ujung dari sepotong kayu, yaitu dengan memasukan kayu itu ke air. Bagian pangkal kayu adalah yang lebih dalam terbenamnya dibanding bagian ujungnya, karena ia lebih berat. [17]

Rombongan pendatang mengaku kalah dan dengan sukarela kembali ke Majapahit. Majapahit belum puas dengan misinya. Maka pasukan dikirim lagi untuk kedua kalinya. Kedatangan pasukan ini pun dihadapi dengan siasat lain, yaitu “beradu Kerbau”. Dan sebagaimana telah dipaparkan sebelumya, pasukan Majapahit pun kalah. Ternyata, ”orang Minang memang banyak akal”

Dia mau terimpit - asal diatas.

Dia mau terkurung - asal di luar.

Kalau berjalan bergandeng dua - dia harus ditengah-tengah.

Dangakan nan di urang-lakukan nan di awak.

“ikolah cadiak pandai namonyo”, “psikhis resah”

 

Kesudahannya, sekitar pertengahan abad ke 14, Adityawarman datang ke Minangkabau. Karena ibunya berasal dari orang Melayu Minangkabau, maka dia terima. Dan tepat pada tahun 1347 Adityawarman berhasil mendirikan kerajaan Suwarnabbumi di daerah Melayu/Jambi yang kaya dengan penghasilan lada. Sementara itu ia senantiasa memperluas daerah kekuasaannya, hingga akhirnya, ia menguasai seluruh daerah Minangkabau, dan memindahkan pusat kerajaan ke Pagaruyung di tempat yang bernama Bukit Batu Patah. Dan ia berusaha untuk melepaskan hubungannya dengan kerajaan Majapahit dan menjadi raja yang berdiri sendiri.

Mengingat latar belakang kehidupan dan pendidikanya di kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, Adityawarman sangat terpengaruh dengan sistem pemerintahan yang otokratis dan susunan masyarakat berkasta-kasta. Sedang di Minangkabau didapatinya cara pemerintahan yang demokratis berdasarkan musyawarah serta susunan masyarakat yang tidak mengenal kasta, melainkan berdasarkan prinsip “duduk samo randah, tagak samo tinggi”. Nagari-nagari di Minangkabau lebih mirip dengan republik-republik kecil yang berdiri sendiri sehingga kekuasaan raja tidak dapat menjangkau urusan dalam masing-masing nagari itu. Hal ini dipandangnya sebagai pengerbirian terhadap kekuasaan raja dan menghambat kelancaran jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, Adityawarman mengemukan keinginannya supaya masyarakat di Minagkabau disusun berkasta-kasta seperti yang berlaku dalam masyarakat Hindu, dan agar pemerintahan diatur seperti yang berlaku di Majapahit, yaitu bertingkat-tingkat, sehingga setiap nagari dikuasai penuh oleh raja. Keinginan ini mendapat tantangan , karena masyarakat Minangkabau tidak menyukai hidup berkasta-kasta, dan mereka menjunjung tinggi kehidupan demokrasi, dimana tiap-tiap nagari berhak mengatur dirinya sendiri. Dengan kebijaksanaan para pemimpin adat, yaitu Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, didapatlah kompromi: [18]

Pertama, bahwa pangkat-pangkat adatlah yang diatur bertingkat-tingkat, sehingga di samping Penghulu sebagai kepala suku, diadakan pangkat Manti, Malin dan Dubalang. Sedangkan kehidupan bersuku, berkampung dan bernagari tetap berdasarkan kerakyatan dan musyarawah, serta duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Selain dari ketetapan tersebut diatas, masih ada beberapa ketetapan lainnya yang telah disepakati bersama. Pertama, bahwa Adityawarman hanya diberi kedaulatan di daerah Rantau, yaitu Pasaman, Pesisir Panjang, Kuantan, batanghari, Kampar dan Rokan. Sedang di daerah Luhak Nan Tigo (Agam, Lima Puluh Koto dan Tanah datar ) ia hanyalah sebagai lambang kesatuan saja, sebagai penengah atau pendamai, bila terjadi perselisihan.

Kedua, bahwa sebagai raja, ia tidak ikut dalam kehidupan bersuku karena sebagai penengah ia harus berada di atas semua suku.

Ketiga, bahwa raja tidak mempunyai hak ulayat atas tanah karena hak ulayat tersebut merupan hak mutlak bagi setiap nagari dan suku-suku dalam nagari. Dengan demikian, kekuasaan Adityawarman sebagai raja Minangkabau yang bertahta di Pagaruyung tidaklah mutlak, tidak mencakup seluruh daerah kerajaan Minangkabau, dan tidak pula dapat menjangkau urusan-urusan dalam tiap-tiap nagari.

4.      Kerajaan Demakah

Berdirinya Kerajaan Demak dilatarbelakangi oleh melemahnya pemerintahan Kerajaan Majapahit atas daerah-daerah pesisir utara Jawa. Daerah-daerah pesisir seperti Tuban dan Cirebon sudah mendapat pengaruh Islam. Dukungan daerah-daerah yang juga merupakan jalur perdagangan yang kuat ini sangat berpengaruh bagi pendirian Demak sebagai kerajaan Islam yang merdeka dari Majapahit. [19]

Raden Patah adalah raja pertama Kerajaan Demak. Ia memerintah dari tahun 1500-1518. Pada masa pemerintahan agama Islam mengalami perkembangan pesat. Raden Patah bergelar Senopati Jimbun Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Pengangkatan Raden Patah sebagai Raja Demak dipimpin oleh anggota wali lainnya. Pada masa pemerintahannya, wilayah kerajaan Demak meliputi daerah Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi, dan beberapa daerah di Kalimantan. Pada masa pemerintahannya juga dibangun Masjid Agung Demak yang dibantu oleh para wali dan sunan sahabat Demak. Pada masa Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Raden Patah merasa berkewajiban untuk membantu. Jatuhnya kerajaan Malaka berarti putusnya jalur perdagangan nasional. Untuk itu, ia mengirimkan putrannya, Pati Unus untuk menyerang Portugis di Malaka. Namun, usaha itu tidak berhasil. Setelah Raden Patah wafat pada tahun 1518, ia digantikan oleh putranya Pati Unus. Pati Unus hanya memerintah tidak lebih dari tiga tahun. Ia wafat tahun 1521 dalam usahanya mengusir Portugis dari kerajaan Malaka. Saudaranya, Sultan Trenggono, akhirnya menjadi raja Demak ketiga dan merupakan raja Demak terbesar. Sultan Trenggono berkuasa di kerajaan Demak dari tahun 1521-1546. Sultan Trenggono dilantik menjadi raja Demak oleh Sultan Gunung Jati. Ia memerintah Demak dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. [20]

Pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya dan agama Islam berkembang lebih luas lagi. Sultan Trenggono mengirim Fatahilallah ke Banten. Dalam perjalanannya ke Banten, Fatahillah singgah di Cirebon untuk menemui Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Bersama-sama dengan pasukan Kesultanan Cirebon, Fatahillah kemudian dapat menaklukan Banten dan Pajajaran. Setelah wafatnya Sultan Trenggono pada tahun 1546, Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran karena terjadinya perebutan kekuasaan. Perebutan tahta Kerajaan Demak ini terjadi antara Sunan Prawoto dengan Arya Penangsang. Arya Penangsang adalah Bupati Jipang (sekarang Bojonegoro) yang merasa lebih berhak atas tahta Kerajaan Demak. Perebutan kekuasaan ini berkembang menjadi konflik berdarah dengan terbunuhnya Sunan Prawoto oleh Arya Penangsang. Arya Penangsang juga membunuh adik Sunan Prawoto, yaitu Pangeran Hadiri. Usaha Arya Penangsang menjadi Sultan Demak di halangi oleh Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggono. Jaka Tingkir mendapat dukungan dari para tetua Demak, yaitu Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi. Konflik berdarah ini akhirnya berkembang menjadi Perang Saudara. Dalam pertempuran ini, Arya Penagsang terbunuh sehingga tahta Kerajaan Demak jatuh ke tangan Jaka Tingkir. [21]

Jaka Tingkir menjadi raja Kerajaan Demak dengan gelar Sultan Hadiwijya. Ia kemudian memindahan pusat kerajaan Demak ke daerah Pajang.Walaupun sebenarnya sudah menjadi kerajaan baru, kerajaan Pajang masih mengklaim diri sebagai penerus Kerajaan Demak. Sebagai tanda terima kasih kepada Ki Gede Pemanahan yang telah mendukungnya, Sultan Hadiwijaya memberikan sebuah daerah Perdidikan (otonom) yang disebut Mataram. Ki Gede Pemanahan kemudian menjadi penguasa Mataram dan di sebut Ki Gede Mataram. Sultan Hadiwijaya bukanlah digantikan oleh putranya, yakni Pangeran Benawa, melainkan putra Sunan Prawoto, Aria Pangiri. Pangeran Benawa sendiri diangkat sebagai penguasa daerah Jipang. Pangeran Benawan kurang puas dengan keputusan ini. Apalagi, pemerintahan Aria Pangiri di Pajang juga dikelilingi oleh para bekas pejabat Kerajaan Demak. Pangeran Benawa kemudian minta bantuan kepada Sutawijaya, putra Ki Ageng Mataram, untuk merebut kembali tahta Kerajaan Pajang.

Pada tahun 1588, Sutawijaya dan Pangeran Benawan berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Pajang. Kemudian, Benawa menyerahkan hak kuasanya pada Sutawijaya secara simbolis melalui penyerahan pusaka Pajang pada Sutawijaya. Dengan demikian, Pajang menjadi bagian kekuasaan Kerajaan Mataram.Di bidang keagamaan, Raden Patah dan dibantu para wali, Demak tampil sebagai pusat penyebaran Islam. Raden Patah kemudian membangun sebuah masjid yang megah, yaitu Masjid Demak. Dalam bidang perekonomian, Demak merupakan pelabuhan transito (penghubung) yang penting. Sebagai pusat perdagangan Demak memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik. Bandar-bandar tersebut menjadi penghubung daerah penghasil rempah-rempah dan pembelinya. Demak juga memiliki penghasilan besar dari hasil pertaniannya yang cukup besar. Akibatnya, perekonomian Demak berkembang degan pesat.

5.      Kerajaan Mataram

Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari Panjang meminta bantuan kepada Ki Panamahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk menghadapi dan menuntaskan pemberontakan Aria Penangsang.[22] Kerajaan Mataram berdiri tahun 1586 dengan raja yang pertama Sutawijaya yang bergelar Panembahanas Senopati (1586-1601). Pengganti Penembahan Senopati adalah Mas Jolang (1601 – 1613). Dalam usahanya mempersatukan kerajaan-kerajaan Islam di Pantai untuk memperkuat kedudukan politik dan ekonomi Mataram. Mas Jolang gugur dalam pertempuran di Krapyak sehingga dikenal dengan nama Panembahan Seda Krapyak. Kerajaan Mataram kemudian diperintah Sultan Agung pada masa inilah Mataram mencapai puncak kejayaan. Wilayah Mataram bertambah luas meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat kemajuan yang dicapai Sultan Agung meliputi :[23]

Kemajuan Bidang Politik dicapai kerajaan Mataram,  Sultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang VOC di Batavia. Serangan Mataram terhadap VOC dilakukan tahun 1628 dan 1929 tetapi gagal mengusir VOC. Penyebab kegagalan antara lain : Jaraknya terlalu jauh yang mengurangi ketahanan prajurit Mataram, kekurangan persediaan makanan dan pasukan Mataram kalah dalam persenjataan dan pengalaman perang. Bidang Ekonomi, Kerajaan Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi. Bidang Sosial Budaya dengan munculnya kebudayaan kejawen yang merupakan kebudayaan asli Jawa dengan kebudayaan Islam, Sultan Agung berhasil menyusun Tarikh Jawa dan ilmu pengetahuan juga seni berkembang pesat, sultan Agung mengarang kita sastra Gending Nitisruti dan Astabrata. Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645, kerajaan mataram mengalami kemunduran sebab penggantinya cenderung bekerjasama dengan VOC.

6.      Kerajaan Banten

Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.

Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Pelurusan Sejarahbahwa Pangeran Sabakingkin atau Sultan Maulana Hasanuddin nikah dengan Putri Kintamani mempunyai Anak yang pertama bernama Yusuf Akbar (Maulana Yusuf), pelurusan sejarah bahwa Anak Kedua Ratu Siti Rodiah kawin dengan Sultan Mahmud Badaruddin II Kesultanan Palembang Darussalam sedang anak ketiga Muhammad Nazaruddin (Sultan Maulana Muhammad Nazaruddin bergelar Alamsyah) Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama (inilah Sejarah Bikinan Belanda). [24]

Pelurusan Sejarah bahwa Sultan Muhammad bukan anak dari Maulana Yusuf tetapi anak ketiga dari Sultan Hasanuddin, dengan nama lengkap Sultan Muhammad Nazaruddin "Alamsyah" dikawal oleh empat Pengawal Kesultanan masing-masing bernama Ananta Kusuma, Daeng, Nata Kusuma dan Jalaluddin pada saat itu Sultan Muhammad Nazaruddin yang bergelar Alamsyah berusia 19 tahun,melakukan perjalanan ke Palembang pada masa Inggeris masuk ke Palembang...bukan untuk memerangi palembang tetapi menyambangi keluarga (Saudaranya yang bernama Ratu Siti Rodiah yang nikah dengan Sultan Mahmud Badaruddin II).

Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten. Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung. [25]

Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.

7.      Kerajaan Makasar

Kerajaan Makasar yang berdiri pada abad 18 pada mulanya terdiri dari dua kerajaan yaitu kerajaan Gowa dan Tallo (Gowa Tallo) yang beribu kota di Sombaopu. Raja Gowa Daeng Maurabia menjadi raja Gowa Tallo bergelar Sultan Alaudin dan Raja Tallo Karaeng Matoaya menjadi patih bergelar Sultan Abdullah.  Karena posisinya yang strategis di antara wilayah barat dan timur Nusantara, Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur yang kaya rempah-rempah. Kerajaan Makassar memiliki pelaut-pelaut yang tangguh terutama dari daerah Bugis. Mereka inilah yang memperkuat barisan pertahanan laut Makassar. Raja yang terkenal dari kerajaan ini ialah Sultan Hasanuddin (1653-1669). Hasanuddin berhasil memperluas wilayah kekuasaan Makassar baik ke atas sampai ke Sumbawa dan sebagian Flores di selatan. Karena merupakan bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur, Hasanuddin bercita-cita menjadikan Makassar sebagai pusat kegiatan perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini merupakan ancaman bagi Belanda sehingga sering terjadi pertempuran dan perampokan terhadap armada Belanda. Belanda kemudian menyerang Makassar dengan bantuan Aru Palaka, raja Bone. Belanda berhasil memaksa Hasanuddin, Si Ayam Jantan dari Timur itu menyepakati Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Isi perjanjian itu ialah: Belanda mendapat monopoli dagang di Makassar, Belanda boleh mendirikan benteng di Makassar, Makassar harus melepaskan jajahannya, dan Aru Palaka harus diakui sebagai Raja Bone.[26]

Sultan Hasanuddin kemudian digantikan oleh Mapasomba. Namun, Mapasomba tidak berkuasa lama karena Makassar kemudian dikuasai Belanda, bahkan seluruh Sulawesi Selatan. Tata kehidupan yang tumbuh di Makassar dipengaruhi oleh hukum Islam. Kehidupan perekonomiannya berdasarkan pada ekonomi maritim: perdagangan dan pelayaran. Sulawesi Selatan sendiri merupakan daerah pertanian yang subur. Daerah-daerah taklukkannya di tenggara seperti Selayar dan Buton serta di selatan seperti Lombok, Sumbawa, dan Flores juga merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya alam. Semua itu membuat Makassar mampu memenuhi semua kebutuhannya bahkan mampu mengekspor. Karena memiliki pelaut-pelaut yang tangguh dan terletak di pintu masuk jalur perdagangan Indonesia Timur, disusunlah Ade’Allapialing Bicarana Pabbalri’e, sebuah tata hukum niaga dan perniagaan dan sebuah naskah lontar yang ditulis oleh Amanna Gappa.


 

BAB III

PENUTUP

Islam masuk ke Indonesia memiliki beberapa pendapat oleh para sejarawan, ada tiga pendapat yang sangat dominan, dianataranya adalah: Pertama, Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M dari Gujarat (bukan dari Arab langsung). Kedua, Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ke-7 sampai ke-8 M) langsung dari Arab. Ketiga,  Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 atau ke-8 M, tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuasaan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Strategi penyebaran Islam di Indoneisa memiliki berbagai macam langkah, ada enam langkah yang dikemukakan oleh ahli sejarah, yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian dan politik.

Kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang di Indonesia adalah sebagai berikut: kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Aceh, kerajaan Demak, kerajaan Mataram, kerajaan Banten dan kerajaan Makasar. Kerajaan-kerajaan Islam ini berkembang pesat di Indonesia hal ini disebabkan karena menguasai berbagai bidang, diantaranya bidang politik, bidang seni, bidang sosial dan bidang ekonomi.


Baca Juga; 
👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Sejarah Umat Islam Indonesia (Majelis Ulama Indonesia,, 1991)

Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradapan Islam Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005)

Thohir, Ajid. Perkembangan Peradapan di Kawasan Dunia Islam (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004)

Yatim, Badri. Sejarah Peradapan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005)

http://dahlanforum.wordpress.com/2009/05/02/kerajaan-kerajaan-bercorak-islam-di-indonesia/

http://unsilster.com/2011/02/ makalah-tentang-sejarah-proses-masuk-dan-berkembangnya-islam-di-indonesia/

http://www.daneprairie.com.



[1] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradapan Islam Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 8-9

[2] Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 201-204

[3] Musyrifah Sunanto, Op.Cit, h. 11-12. Lihat Taufik Abdullah (Ed), Sejarah Umat Islam Indonesia (Majelis Ulama Indonesia,, 1991), h. 111

[4] Badri Yatim, Loc.Cit, h. 201-204

[5] Ibid, h. 203

[6] Ibid, h. 203-204

[7] Ajid Thohir, Perkembangan Peradapan di Kawasan Dunia Islam (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), h 293  

[10] Badri Yatim, Op.Cit, h. 208

[11] Ibid, h. 208

[14]  Badri Yatim, Op.Cit, h. 210

[15] http://www.daneprairie.com.

[16] http://www.daneprairie.com.

[17] http://www.daneprairie.com.

[18] http://www.daneprairie.com.

[20] Badri Yatim, Op.Cit, h. 211

[22] Badri Yatim, Op.Cit, h. 214

[24] Badri Yatim, Op.Cit, h. 218

0 Comment