15 Februari 2023


 RASIONALISME DAN EMPIRISME ILMIAH

Manusia lahir ke dunia dengan segala keunikannya. Mereka melakukan ini dan itu kemudian mereka mereguk kesuksesan. Perlu diketahui bahwa sebuah kesuksesan tidak dipengaruhi dimana tempat tinggal mereka. Negara atau bangsa tidak menjamin arti sebuah kesuksesan  bagi siapapun. Manusia sendiri itulah yang menentukan. Mereka adalah decision maker. Hal ini diakibatkan oleh sebuah keadaan bahwa masing-masing negara atau bangsa memiliki tingkat dan kualitas yang berbeda dalam hal kemampuan menjadikan sukses seseorang. Artinya, kemajuan negara atau bangsa ditentukan oleh pengetahuan individu-individu secara absurd.

Terlepas dari perbedaan para filosof  akan tujuan-tujuan ilmu pengetahuan, hal tersebut tidak mempengaruhi urgensi ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia. Sebab, ada yang berpendapat bahwa tujuan pengetahuan adalah pengetahuan itu sendiri. Seperti seni untuk seni.  Ada juga yang berpendapat bahwa tujuan dari pengetahuan adalah semata-mata memenuhi dahaga keingintahuan manusia terhadap kehidupannya yang terbatas di bumi. Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa tujuan dari pengetahuan adalah alat untuk meningkatkan dan memajukan sebuah peradaban madani terhadap sebuah bangsa atau semua penduduk bumi secara umum. Sementara tujuan pengetahuan dalam Islam adalah bersandar pada asas manfaat.[1]

Bila kita runut ke belakang, kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa-bangsa terdahulu semisal bangsa Yunani dan kaum Islam, tidak bisa dilepaskan oleh pengetahuan. Dalam dunia kekinian, bisa disaksikan betapa bangsa-bangsa dan negera-negara dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi telah mendominasi kekuatan dunia. Jepang, Amerika, dan China contoh kecilnya. Hal ini menandaskan bahwa pengetahuanlah yang menjadi aktor utama.

Yang kemudian menjadi persoalan dari dahulu hingga sekarang, dan hal ini sudah menjadi pembahasan lawas, adalah bagaimana cara seseorang mendapatkan sebuah pengetahuan. Perdebatan mengenai sumber pengetahuan bagai lorong tidak berpenghujung. Para filosof masing-masing berdiri dengan argumentasinya masing-masing. 

SUMBER PENGETAHUAN; Rasionalisme dan Empirisme

Kurang lebih sepuluh abad Eropa diselimuti kabut teologis yang memanipulasi kebenaran dan mematikan pemikiran bebas, suatu gerakan kultural mula-mula muncul di Italia, dan secepat kilat gerakan tersebut menyebar luas pengaruhnya. Gerakan tersebut biasa disebut dengan renaisans, kelahiran kembali. Sebuah semangat baru dalam rangka menggali khazanah intelektual Yunani Kuno yang lebih mengedepankan rasionalitas dan kebebasan berpikir.

            Hegemoni Gereja yang sekian lama mendominasi, pada masa renaisans sedikit demi sedikit mulai luntur. Kepercayaan kepada otonomi manusia dalam memperoleh kebenaran menggejolak. Manusia meninggalkan dominasi teks-teks Gereja, martabat manusia telah kembali. Pada masa renaisans, melalui Francis Bacon, teks-teks Yunani Kuno dianggap sebagai salah satu idola yang dapat mendistorsi objektivitas pengetahuan ilmiah. Ilmu pengetahuan yang tadinya tidak berkembang pada abad pertengahan, mulai berkembang dengan pesatnya pada masa renaisans. Orang-orang tidak lagi menyandarkan diri pada teks-teks gereja dalam memperoleh pengetahuan, melainkan menempuh cara-cara metodis berupa pengamatan empiris dan perumusan hipotesis.

Perkembangan setelah renaisans adalah masa modern. Dalam masa modern, antroposentrisme mewarnai hampir semua bidang kehidupan. Kecenderungan untuk memandang manusia sebagai subjek yang otonom dalam masa tersebut dikenal dengan antroposentrisme modern.

Filsafat pengetahuan di Barat pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua berdasarkan letak geografisnya. Erapa Daratan dengan rasionalisme dan Inggris dengan empirisme-nya.[2] 

1.      Rasionalisme

             Sebagai sebuah paham dalam aliran filsafat, rasionalisme mengandaikan akal sebagai sumber utama pengetahuan manusia dan pemegang otoritas terakhir bagi penentu kebenaran. Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah akal (rasio). Dalam pandangan kaum rasionalis, hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal budi sajalah yang memenuhi syarat dan standar kualifikasi pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya berfungsi sebagai peneguh pengetahuan yang didapatkan oleh akal. Akal bisa memberikan kebenaran dengan dirinya sendiri. Yang termasuk ke dalam ini adalah Rene Descrates, Spinoza, dan Leibniz[3].

            Inti dari pandangan rasionalisme adalah bahwa hanya dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja manusia bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, yaitu pengetahuan yang tidak mungkin salah. Dalam anggapan mereka, sumber pengetahuan, bahkan satu-satunya sumber, adalah akal budi manusia.  Konsekuensi yang harus dihadapi oleh kaum rasionalis adalah sebuah kenyataan dimana mereka menafikan sebuah kebenaran lain yang mengatakan bahwa manusia bisa mendapatkan pengetahuan melalui apa-apa yang bisa dicandra oleh indra manusia. Dengan demikian, akal budi semata bisa membuktikan kepada manusia bahwa ada dasar bagi pengetahuan manusia, dimana manusia boleh merasa yakin dan pasti akan pengetahuan yang diperoleh.[4]

            Dalam menyusun pengetahuan, kaum rasionalis menggunakan metode deduktif. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat di terima. Ide tersebut menurut kaum rasionalis bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip tersebut sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya, dan biasa disebut dengan paham idealisme. Dalam pandangan mereka, pikiran manusia hanya mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Dan prinsip tersebut juga sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan  berpikir rasionalnya. Pengalaman tidak membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional itulah maka manusia dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku di alam sekitarnya.

Metode deduksi mengandung asumsi bahwa manusia memiliki kapasitas untuk mengetahui aksioma-aksioma secara niscaya dan apriori (tanpa melewati pengamatan), sedangkan penemuan hukum-hukum alam merupakan derivasi dari dari aksioma-aksioma yang niscaya tadi. Kebenaran yang didapatkan melalui deduksi adalah kebenaran koherensi ekternal.  Sebuah kebenaran dimana tidak terdapat kontradiksi logis antar Proposisi. Contoh, semua logam dipanaskan memuai, besi adalah logam, besi dipanaskan memuai. Secara singkat bisa dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis bersifat apriori dan didapatkan manusia lewat penalaran rasional.[5]

2.      Emperisme

Istilah empirisme berasal dari bahasa Yunani “emperia” yang berarti pengalaman. Paham ini berlawanan dengan paham rasionalisme yang memandang bahwa akal budi sebagai satu-satunya sumber dan penjamin kepastian kebenaran pengetahuan, sementara emperisme memandang hanya pengalamanlah sumber pengetahuan manusia melalui penginderaan yang kongkret. Bagi empirisme, pengalaman indrawi adalah satu-satunya sumber dan penjamin kepastian kebenaran pengetahuan.

Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindra manusia. Gejala tersebut kalau ditelaah lebih jauh akan terlihat mempunyai karakteristik tertentu, terdapat pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Semisal air meresap melalui celah-celah kecil dan panas berkepanjangan mengakibatkan kemarau. Karena sumber pengetahuan adalah pengalaman maka metode yang diajukan kaum empiris adalah metode induktif.

David Hume, John Locke, dan Berkeley adalah tokoh utama emperisme yang cukup termashur. John locke (1632-1704) biasa dikenal dengan teori tabularasa-nya, misalnya, merupakan lawan serius Descartes dengan menyatakan bahwa ide bawaan adalah omong kosong. Benak manusia sewaktu dilahirkan kosong melompong bagaikan kertas putih. Ia adalah suatu ranah yang kemudian diisi pengetahuan yang berasal dari pengalaman. Locke dengan tegas menolak pemikiran Descartes tentang ide bawaan yang bersifat apriori. Ide yang terdapat di benak manusia menurutnya di dapatkan melalui pengalaman, atau dengan kata lain secara aposteriori.

Dalam pandangan John Locke, pengalaman inderawi adalah sumber gambaran dalam otak manusia, dan gambaran akal terhadap sesuatu adalah produk atau hasil gambaran yang disampaikan oleh indera kepada otak manusia sehingga menghasilkan pengetahuan. Pemahaman ini mengandaikan keniscayaan bahwa tidak mungkin seorang manusia bisa menggambarkan atau mengetahui sesuatu kecuali mendapatkannya dari indra.[6]

Dengan pemahaman seperti di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pandangan aliran emperisme, pengalaman menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, baik yang batiniyah maupun lahiriyah. Akal bukan menjadi sumber pengetahuan, tetapi ia hanya mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Pengalaman merupakan ukuran terakhir dari kenyataan.

Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman yang terjadi berkat bantuan pancaindra. Pengalaman seperti ini berkaitan dengan data yang ditangkap pancaindra, khususnya yang bersifat spontan dan langsung. Dengan kata lain, pengalaman, percobaan, pengamatan, dan penelitian langsung di lapangan untuk mengumpulkan fakta dan data, itulah yang merupakan titik tolak dari pengetahuan manusia karena pada dasarnya manusia tahu tentang sesuatu hanya berdasarkan dan hanya dengan titik tolak pengalaman indrawinya.

Menurut Dr. Sami ‘Afi<fi< Hija<zi<, konsekuensi logis dari pandangan kaum empiris adalah bahwa orang yang kehilangan salah satu indranya maka dia akan kehilangan sebuah pengetahuan yang berkaitan dengan pancaindra yang hilang tersebut. Dia mengatakan bahwa pengetahuan yang ditimbulkan atau dihasilkan oleh pengamatan inderawi bukanlah kebenaran utuh dan absolut akan tetapi relatif. Dalam pandangannya, jika manusia tidak melakukan sebuah pengamatan dalam bentuknya yang berbeda-beda maka dia tidak akan pernah mendapatkan gambaran kebenaran pengetahuan apapun, meskipun kebenaran tersebut sangat jelas dan gamblang.  Hal tersebut dikarenakan seseorang ketika lahir dia tidak mempunyai pengetahuan apapun. Kesadaran dan pengetahuannya dimulai berbarengan dengan dimulainya kehidupan secara praktis, keluasan keilmuannya berbarengan dengan semakin banyaknya pengalaman yang dia serap.[7]

Dengan demikian, maka pancaindra memainkan peranan penting dengan menyajikan bagi manusia pengalaman langsung dengan objek tertentu. Pancaindra memainkan peranan terpenting dibandingkan dengan akal karena: Pertama, semua proposisi yang diucapkan manusia merupakan hasil laporan dari pengalaman atau disimpulkan dari pengalaman. Kedua, manusia tidak punya konsep atau ide apapun tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman. Ketiga, akal budi manusia hanya berfungsi kalau punya acuan ke realitas atau pengalaman. Akal hanya menkombinasikan pengalaman indrawi untuk sampai pada pengetahuan, tanpa pengalaman indrawi tidak ada pengetahuan apa-apa.[8] 

METODE ILMIAH

Di atas telah disebutkan bahwa emperisme menggunakan metode induktif untuk memperoleh pengetahuan dan rasionalisme menggunakan mentode deduktif. Hal ini lazim karena sebuah metode bersifat praktis dan spesifik. Ia merupakan langkah-langkah sistematis yang digunakan dalam ilmu-ilmu tertentu yang tidak direfleksikan atau diterima begitu saja. Sedangkan metodologi tidak memfokuskan diri pada cara pemerolehan ilmu tertentu saja, melainkan pengetahuan pada umumnya.

Metode atau cara kerja ilmu pengetahuan pertama kali dikemukakan oleh filosof Yunani yang bernama Aristoteles. Hal ini merupakan upaya keras penolakan Aristoteles terhadap idealisme Plato. Plato mengajukan teori dua dunia yang mengatakan bahwa dunia terbagi menjadi dua, ide dan inderawi. Dunia indrawi sendiri merupakan cermin tidak sempurna dari dunia ide yang sempurna. Plato mengandaikan bahwa jiwa manusia telah ada di dunia ide dan kemudian jatuh terperangkap ke dalam tubuh yang membawanya berhadapan dengan semesta indrawi yang serba semu. Dalam pandangan Plato, jiwa manusia membawa ide-ide tentang semesta dari dunia ide namun kejatuhan manusia ke dalam tubuh mengakibatkannya mengalami kealpaan sehingga diperlukan rangsangan untuk mengingat kembali. Proses mengetahui menurutnya terjadi ketika manusia berhadapan dengan semesta di dunia indrawi dimana ia mengalami pengingatan kembali akan apa-apa yang pernah dialaminya di dunia ide. Ia menambahkan, pengetahuan manusia bagaimanapun tidak pernah mencapai kesempurnaan selama ia masih terbelenggu oleh sihir dunia inderawi yang semu karena kesempurnaan hanya dapat dicapai tatkala jiwa manusia telah terbebas dari belenggu tubuh.[9]

Aristoteles menolak idealisme Plato dengan mengatakan bahwa pengetahuan manusia harus berangkat dari benda-benda kongkret yang terpersepsi indera untuk kemudian diabstraksikan menjadi pengetahuan akal budi yang bercirikan universal. Aristoteles berpegang pada diktumnya, “nihil est in inteleccu nisi quod prius in sensu”. Yang artinya, “ Tidak ada satu pun yang terdapat di akal budi yang tidak lebih dulu ada pada indra”. Berkebalikan dengan Plato, dasar filsafat pengetahuan Aristoteles bukanlah pengingatan kembali  dari dunia ide melainkan abstraksi dari semesta kongkret menuju ide melalui tahapan tertentu.

Metode Aristoteles pada abad pertengahan memperoleh afirmasi dan pengembangan oleh para pemikir semisal Roger Bacon, William Of Ockham, John Duns Scotus, Robert Grossette, dan Nicolaus. Namun pada abad ke-17 muncul berbagai pemikiran yang pada dasarnya menolak otoritas pandangan dunia Aristotelian yang dianggap mendominasi wacana keilmuan. Tiga pemikir besar yang nyata-nyata menyerang dan menolak otoritas Aristotelian adalah Galileo, Francis Bacon, dan Rene Descartes. Mereka beranggapan bahwa pemikiran Aristoteles terlalu spekulatif dan metafisik terutama konsep sebab final alam semesta sebagai penjelasan teologis semesta.[10] Dalam pandangan Francis Bacon, pandangan Aristoteles tidak memenuhi syarat pertama keilmiahan pengetahuan seorang ilmuan berupa kembali lagi seperti anak kecil yang polos lugu di hadapan alam. Sementara dalam pandangan Descartes, untuk lepas dari dogma-dogma dan semua tradisi, seorang manusia harus melakukan keraguan radikal yang sistemis. Keraguan radikal ini akan memberikan ide-ide yang begitu jelas dan gamblang sehingga tak tersisa keraguan sedikitpun didalamnya. Keraguan radikal Descartes ini menghasilkan tiga ide yang tidak bisa diragukan kebenarannya yaitu: ide tentang wujud yang sempurna, ide tentang diri yang berkesadaran, dan ide tentang materi yang berkeleluasan. Pengetahuan manusia tentang tiga ide tersebut didapatkan secara apriori-bawaan dan tidak melalui verifikasi empiris (aposteriori). Pada dasarnya Descartes hendak mengatakan bahwa hukum-hukum di alam merupakan konsekuensi deduktif dan kebenaran-kebenaran yang niscaya (necessary truth) yang seharusnya dikenali oleh setiap individu yang reflektif. 

INDUKSI  DAN DEDUKSI

Metode induksi adalah penarikan kesimpulan yang bertitik tolak dari data-data kongkret menuju pada kesimpulan umum. Contoh, manusia mati minum insektisida Theodan, hewan mati minum insektisida Match, maka kesimpulanya: makhluk hidup mati minum  semua insektisida.

Masalah utama yang timbul dari cara berpikir empiris dan dalam penyusunan pengetahuan secara induktif adalah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung hanya menjadi suatu kumpulan fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten  dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif. Suatu kumpulan mengenai fakta, atau kaitan antara berbagai fakta, belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sistematis; kecuali kalau dia hanya “seorang kolektor barang serbaneka”. Lebih jauh Einstein mengingatkan bahwa tak terdapat metode induktif yang memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.[11]

Metode lainya adalah metode deduksi. Deduksi adalah cara penarikan kesimpulan dari pernyataan umum ke pernyataan khusus. Dalam metode deduksi yang diperlukan adalah ketertiban dalam bernalar. Antara pernyataan yang satu dengan pernyataan yang lain tidak boleh ada kontradiksi. Selan itu, dalam metode deduksi juga dikenal tiga jenis pernyataan: Pertama, pernyataan universal. Pernyataan yang telah diterima sebagai sebuah aksioma, suatu kebenaran umum yang telah terjustifikasi. Kedua, pernyataan partikular. Pernyataan yang bersifat khusus, lawan dari universal. Ketiga, kesimpulan atau hasil penalaran deduksi. Contohnya, semua kayu dibakar terbakar, jati adalah kayu, maka kesimpulannya adalah jati kalau dibakar terbakar.

Seperti disebutkan pada bab di atas bahwa premis yang digunakan oleh kaum empiris dalam menyusun pengetahuan melalui cara deduksi didapatkan dari ide yang menurut anggapan mereka jelas dan dapat diterima. Masalah yang timbul dari cara berpikir seperti ini adalah mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat diterima. Suatu ide bagi si A mungkin jelas dan dapat diterima, namun hal itu belum tentu bagi si B. Mungkin saja bagi si B menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali lain dengan sisitem pengetahuan si A karena si B mempergunakan ide lain yang bagi si B merupakan prinsip yang jelas dan dapat diterima. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis dalam penyusunan pengetahuan secara deduktif adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif. Karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tidak dapat dilakukan. Oleh karenanya lewat penalaran rasional akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai satu obyek tertentu tanpa adanya suatu konsesnsus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran rasional cenderung untuk bersifat solipsistik[12] dan subyektif.[13]

Sementara itu, sarana yang digunakan dalam penalaran berpikir logis atau ilmiah adalah bahasa, matematika, statistika. 

TEORI TENTANG KEBENARAN

            Untuk menguji kebenaran dari kesimpulan yang berangkat dari proses berpikir deduktif dan induktif biasanya menggunakan teori kebenaran korespondensi dan konsistensi. Teori korespondensi dicetuskan oleh Aristoteles. Dia mengungkapkan bahwa kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan. Kebenaran atau keadaan benar adalah sesuatu yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi aktual. Kebenaran ialah persesuaian antara pernyataan mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan dengan situasi yang diinterpretasikan. Singkatnya, menurut teori ini kebenaran ialah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Sebagai contoh, “Surabaya adalah kota metropolitan”. Ini adalah sebuah pernyataan, dan apabila kenyataanya memang “Surabaya adalah kota metropolitan”, maka pernyataan ini benar dan merupakan suatu kebenaran. Teori ini banyak diikuti aliran realisme dan materialisme.

            Sementara itu, teori konsistensi adalah sebuah teori yang mengungkapkan bahwa suatu putusan dianggap benar apabila mendapat kesaksian oleh putusan-putusan lainya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima dan diakui kebenaranya. Contoh jika kita menyatakan bahwa, ”Semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “Si Siti adalah seorang manusia dan si Siti pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama. Berbeda dengan korespondensi yang banyak diikuti oleh kalangan realisme dan materialisme, teori konsistensi ini banyak diikuti kaum idealisme.[14] 

SIKAP ILMIAH

Sikap ilmiah adalah sikap-sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap ilmuwan dalam melakukan tugasnya untuk mempelajari, meneruskan, menolak atau menerima serta merubah atau menambah suatu ilmu. Dalam merumuskan keputusan-keputusan ilmiah para pakar berbeda pendapat mengenai macam-macam sikap ilmiah yang harus dikedepankan guna mencapai hasil-hasil simpulan yang baik. Menurut Prof. Harsojo, dia menyebutkan paling tidak ada enam macam sikap ilmiah:

1). Obyektivitas

Dalam suatu peninjauan yang dipentingkan adalah objeknya. Pengaruh subyek dalam membuat deskripsi dan analisa seharusnya dilepaskan jauh-jauh. Meskipun tidak mungkin untuk mendapatkan obyektivitas yang absolut, oleh karena ilmu itu sendiri merupakan hasil budaya manusia, yang sebagai subyek sedikit banyak akan memberikan pengaruhnya.

2). Sikap Serba Relatif

Ilmu tidak mempunyai maksud untuk mencari kebenaran mutlak. Ilmu mendasarkan kebenaran-kebenaran ilmiahnya atas beberapa postulat, yang secara apriori telah diterima sebagai suatu kebenaran. Malahan teori-teori dalam ilmu sering digugurkan oleh teori-teori lain.

3). Sikap Skeptif

Yang dimaksud dengan sikap skeptif ialah sikap untuk selalu ragu-ragu terhadap pernyataan-pernyataan yang belum cukup kuat dasar pembuktiannya.

4). Kesabaran Intelektual

Sanggup menahan diri dan kuat untuk tidak menyerah kepada tekanan agar dinyatakan suatu pendirian ilmiah, karena memang belum selesai dan cukup lengkap hasil dari penelitian, adalah sikap utama seorang ilmuawan.

5). Kesederhanaan

Kesederhanaan sebagai sikap ilmiah adalah kesederhanaan dalam cara berfikir, dalam cara menyatakan, dan dalam cara pembuktian.

6). Sikap tidak Memihak pada Etik

Sikap tidak memihak pada etik dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan ialah tidak mempunyai tujuan untuk pada akhirnya membuat penilaian tentang apa yang baik dan apa yang buruk, karena ilmu pengetahuan mempunayai tugas untuk mengemukakan apa yang salah dan apa yang benar secara relatif.[15] 

KESIMPULAN

Aliran rasionalisme dan empirisme dengan segala kekurangan dan kelebihannya  menegaskan kepada kita semua pada hakekatnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran tentang apa-apa yang melingkupi kehidupannya. Sebuah usaha untuk memecahkan masalah keseharian yang acapkali ditemukan dalam dinamika kehidupan. Namun demikian, tidak ada kebenaran yang benar-benar final dalam dunia ilmiah. Semuanya bersifat relatif, meskipun pada hakekatnya ada juga pemikir-pemikir yang membagi kebenaran ke dalam dua bentuk: kebenaran mutlak dan kebenaran relatif. Relatifitas ilmiah inilah yang pada akhirnya akan menjadi dasar selalu berkembangnya semua disiplin ilmu pengetahuan. Walla<h A’lamu Bi al-S}awa<b.           

DAFTAR PUSTAKA

Mahmud, Abd Ali. Falsafat al-Ma’rifah Fi al-Qur’an al-Kari<m. Kairo: Majma’ Buhu<ts al-Islamiyyah, 1973.

Al-Zaydi, Abd. Rahma<n bin Zaiyd. Mas{a<dir al-Ma’rifah Fi< al-Fikr al-Di<ni< Wa al-Falsafi<. Riyadh: Maktabah al-Muayyadah, 1992.

Hija<zi<, Sami ‘Afi<fi<.  al-Falsafat al-Isla<miyyah Qada<ya<  wa Muna<qasha<t. Kairo: ttp.

Russel, Betrand. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu, Agama dan Filsafat. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987.

Suriasumantri, Jujun Suria. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.

Keraf, A. Sony & Dua,  Mikhael.  Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: PT. Kanisius, 2001.

Adian, Donny Gahral. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Teraju, 2002.

Abd. Mahmu<d, Ali. Falsafat al-Ma’rifah Fi> al-Qur’an al-Kari<m. Kairo: Majma’ Buhuts al-Islamiyyah, 1973.

Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembanganya di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009.



[1] Ali Abd. Mahmu<d, Falsafat al-Ma’rifah Fi al-Qur’an al-Kari<m (Kairo: Majma’ Buhu<ts al-Isla<miyyah, 1973), 265.

[2] Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, ed. M. Saleh Mude, et al. (Jakarta: PT. Teraju, 2002), 41.

[3]Surajiyo,  Filsafat Ilmu dan Perkembanganya di Indonesia  (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), 33.

[4] A. Sony Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2001),  43-44.

[5] Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, ed. M. Saleh Mude, et al. (Jakarta: PT. Teraju, 2002), 39-40.

[6] Abd. Rahma<n  bin Zayd al-Zaidi<, Mas{a<dir al-Ma’rifah Fi< al-Fikr al-Di<ni< Wa al-Falsafi< (Riyadh: Maktabah al-Muayyadah, 1992), 438.

[7] Dr. Sami ‘Afi>fi< Hija<zi<, al-Falsafat al-Isla<miyyah Qad{a<ya< wa Muna<qasha<t  (Kairo: Tanpa Tahun dan Penerbit), 117.

[8] A. Sony Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis  (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2001), 49-50.

[9] Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, ed. M. Saleh Mude, et al. (Jakarta: PT. Teraju, 2002), 30-38.

[10] Konsep Aristoteles tadi ialah sebab materi, sebab efesien, sebab formal, dan sebab final. Keterangan lebih lanjut bisa dilihat dalam Buku “Menyoal Obyektivitas ilmu Pengetahuan” karangan Dony Gahral Adian dan “Sejarah Peradaban Filsafat Barat” karangan Betrand Russel.

[11] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer  (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), 52.

[12] Hanya benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang berada dalam benak orang yang berpikir tersebut.

[13] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer  (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), 51.

[14] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Agama dan Filsafat (Surabaya: PT. Bina  Ilmu, 1987), 18-25.

[15] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Agama dan Filsafat (Surabaya: PT. Bina  Ilmu, 1987), 56-57.

0 Comment