16 Februari 2023

 


EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN

A. Pendahuluan

Manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi khali>fah di muka bumi. Manusia mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat sebagai khali>fah di bumi. Dia harus mengelola, menjaga, dan memakmurkannya. Dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban terhadap segala hal yang telah dia kerjakan dan lakukan selama hidup di bumi ini. Untuk tugas yang berat ini, Allah telah memberi manusia bekal berupa : akal, hati, indera, dan lain sebaginya. Allah telah memberi Nabi Adam a.s (manusia pertama) beberapa ilmu sebagai modal untuk menjadi khali>fah di bumi.

Ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Tanpa ilmu, tak ada artinya dan tak ada bedanya manusia dengan makhluk lainnya. Tanpa ilmu, manusia tidak akan bisa maju dan berkembang. Karena itu, sebagai makhluk yang beradab dan berperadaban, manusia harus mempunyai ilmu, khususnya ilmu pengetahuan.

Darimana manusia mendapatkan ilmu ? Dengan apa manusia bisa mendapatkan ilmu ? Bagaimana cara manusia mendapatkan ilmu ? Berikut akan dibahas dalam epistemologi ilmu pengetahuan. 

a. Definisi Epistemologi

Secara bahasa, epistemologi merupakan gabungan dari 2 (dua) kata, yaitu : “epistemo” dan “logi”. Keduanya berasal dari bahasa Yunani, “episteme” yang berarti  pengetahuan, dan “logos” yang berarti teori. Jadi secara bahasa, epistemology  berarti teori pengetahuan.

Sedangkan secara istilah, banyak definisi tentang epistemologi yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan, diantaranya :

    1. Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.[1]
    2. Epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar ilmu pengetahuan, terutama dalam batas-batas dan nilainya.[2]
    3. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyangkut problem – problem dasar, batas – batas serta validitas dari pengetahuan dan kepercayaan. (ini terjemahan dari apa yang telah ditulis oleh Antony Douglas Woozley).[3]
    4. The Liang Gie menyatakan sebagaimana yang dituilis oleh Suparman Syukur: “Hampir semua filosuf berpendapat bahwa epistemologi merupakan penyelidikan filsafat terhadap pengetahuan, khususnya tentang kemungkinan, asal mula, validitas, batas – batas, sifat – sifat dasar dan aspek – aspek pengetahuan yang berkaitan.”[4]
    5. Menurut Harun Nasution sebagaimana yang ditulis oleh Imam Syaukani, bahwa epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.[5]
    6. Epistemologi merupakan azas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan yang meliputi sumber dan sarana untuk mencapai ilmu pengetahuan.[6]

b. Definisi Ilmu

Secara bahasa , kata ‘ilmu’ merupakan serapan dari bahasa Arab al-‘ilmu ( العلم ) yang artinya pengetahuan.[7]

Sedangkan dalam bahasa Indonesia, “ilmu” adalah: pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Ilmu juga berarti: pengetahuan atau kepandaian.[8]

Sedangkan secara istilah, “ilmu” adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi dan diinterpretasi, yang menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah.[9] 

c. Definisi Pengetahuan

Dalam bahasa Indonesia, “pengetahuan” berasal dari kata “tahu” yang artinya : mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami, dan sebagainya), kenal (akan), mengenal, mengindahkan, mempedulikan, mengerti, pandai, cakap, insaf, sadar, tak pernah. Sedangkan “pengetahuan” adalah: segala sesuatu yang diketahui, kepandaian, segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran).[10]

Sedangkan secara istilah, ada banyak perbedaan di kalangan ilmuwan dalam mendefinisikan “pengetahuan”. Hal ini tak lepas dari adanya perbedaan aliran dan madh-hab di kalangan mereka. Diantaranya adalah :

    1. Menurut aliran Objektivisme, pengetahuan adalah gambaran atau copy dari apa yang ada dalam alam nyata.[11]
    2. Menurut aliran Subjektivisme, pengetahuan adalah gambaran subjektif tentang realitas.[12]                                   

Sedangkan kata “ilmu” dan kata “pengetahuan” ketika digabung dan dirangkai maka membentuk suatu disiplin ilmu tersendiri, yaitu ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan gabungan berbagai pengetahuan yang disusun secara logis dan bersistem dengan memperhitungkan sebab dan akibat.[13]

Jadi, “epistemologi ilmu pengetahuan” adalah cabang ilmu filsafat yang membahas tentang hakekat ilmu pengetahuan, sumber dan metode untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. 

C.  Sumber Ilmu Pengetahuan

Banyak perbedaan di kalangan ilmuwan dan masyarakat tentang sumber ilmu pengetahuan, yakni darimana ilmu pengetahuan itu diperoleh?, darimana lahir atau munculnya ilmu pengetahuan? Perbedaan – perbedaan dalam hal ini berdampak pada munculnya aliran – aliran atau paham – paham dalam dunia epistemologi. Dari perbedaan pendapat dan bermacam – macam aliran tersebut dapat kita simpulkan secara umum dan garis besar bahwa sumber – sumber ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut :

  1. Wahyu

Secara etimologi ,wahyu” berasal dari bahasa Arab al - wahyu ( الوحي ), yang artinya : isyarat, petujuk, ilham, perkataan yang samar, suara, tulisan dan risa>lah.[14]

Sedangkan secara istilah, “wahyu” adalah :

 ÙƒÙ„ام الله تعالى المنزل على نبي من ﺃنبياﺋه .[15]

Artinya : Firman Allah yang diturunkan kepada seorang Nabi di antara para Nabi-Nya.

Definisi lain menyatakan bahwa “wahyu” adalah petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi dan lain sebagainya.[16]

Ilmu yang bersumber dari wahyu ini tinggkat kebenarannya bersifat mutlak (absolut), dan menghasilkan religious sciences.[17]

Wahyu sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan hanya diakui oleh kaum agamis yang mempercayai adanya Tuhan, adanya alam gha>ib dan metafisika. 

  1. Akal

Secara etimologi, “akal” merupakan serapan dari bahasa Arab al-‘aql ( العقل ) yang mengandung makna : pikiran, hati, ingatan, daya dan kekuatan berpikir, faham, dan lain – lain.[18] Sedangkan dalam bahasa Indonesia, “akal” adalah : daya pikir (untuk mengerti, dan sebagainya), pikiran, ingatan, jalan atau cara melakukan sesuatu, daya upaya, ikhtiar, tipu daya, muslihat, kecerdikan, kelicikan, dan lain-lain.[19]

Sedangkan secara istilah, “akal” merupakan potensi jiwa yang hanya dimiliki oleh manusia, ia merupakan tongkat kehidupan dan dasar yang menjadi pijakan perkembangan selanjutnya yang mampu menangkap sunnatulla>h, memahami realitas segala sesuatu, sehingga darinya terpancar ilmu pengetahuan, yang mampu membuat pertimbangan baik dan buruk yang akhirnya dapat menyimpulkan suatu tesis ”Tiada Tuhan Selain Allah”.[20].

Imam al – Ghaza>li mengatakan :

Ùˆ العقل منبع العلم Ùˆ مطلعه  Ùˆ ﺃساسه , Ùˆ العلم يجرى منه مجرى الثمرة من ا لشجرة  Ùˆ النور من الشمس  Ùˆ الرﺆية من العين ...[21]

Artinya : Akal adalah sebagai sumber , tempat memancar dan azas (landasan) bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan muncul darinya seperti buah muncul dari pohon, cahaya muncul dari matahai, dan penglihatan muncul dari mata….

Ilmu yang bersumber dari akal pikiran manusia ini tingkat kebenarannya bersifat nisbi ( relatif ), dan akal ini menghasilkan rational sciences.[22]

Akal sebagai sumber ilmu diakui oleh kaum agamis, aliran rationalisme, positivisme, dan fenomenalisme. Sedangkan aliran empirisme, mereka tidak mempercayai akal sebagai sumber ilmu. 

  1. Indera

Secara etimologi, “indera” bermakna : alat untuk merasa, mencium bau, mendengar, melihat, meraba, dan merasakan sesuatu secara naluri (intuitif).[23]

Indera merupakan bagian dari organ tubuh manusia yang berfungsi sebagai alat untuk mengenal dunia luar. Mata untuk melihat, hidung untuk mencium bau, telinga untuk mendengar, lidah untuk mengecap rasa, dan kulit untuk meraba. Semua ini dikenal sabagai panca indera. Dengan indera manusia menerima info, sinyal, data – data dari dunia luar yang kemudian dikirim dan diolah di otak, sehingga manusia mengerti dan paham apa yang ada di dunia luar,  yang dikenal sebagai suatu pengetahuan atau ilmu.

Kaum empiris meyakini bahwa inderalah sumber ilmu bagi manusia. Pengetahuan manusia, bagi mereka bukan didapat lewat penalaran yang abstrak, tetapi lewat penalaran yang konkrit dan dapat diperoleh melalui panca indera[24]. 

D.  Alat ( Sarana ) Untuk Mendapatkan Ilmu Pengetahuan

Kita mengetahui dan mengakui, bahwa sejak lahir telah dibekali oleh Allah dengan berbagai macam organ dan fasilitas dalam diri, yang dengan itu kita bisa mengetahui, mengerti dan faham tentang berbagai hal yang ada dalam jangkauan kemampuan manusia. Fasilitas dan organ tersebut adalah : akal-pikiran, indera, hati, dan lain sebagainya. Dengan alat-alat tersebut manusia bisa mengerti alam semesta, mengenal ilmu pengetahuan, menciptakan dan menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengembangkannya. Namun ada perbedaan dan pertentangan di kalangan umat manusia terutama para ilmuwan tentang apa yang menjadi sarana utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, yang akhirnya mendorong  lahirnya berbagai macam aliran dalam dunia epistemologi. 

E.  Cara ( Metode )  Mendapatkan  Ilmu  Pengetahuan

Ilmu merupakan suatu hasil yang telah dicapai oleh manusia berkat bekal kemampuan – kemampuannya sebagai anugerah dari Tuhan Maha Pencipta. Ilmu tidak dibekalkan sebagai barang jadi, tetapi ilmu harus dicari. Dan untuk ikhtiya>r mencarinya, Tuhan telah membekali manusia dengan berbagai kemampuan yang memang sesuai kodrat dan keinginan untuk mengetahui apa saja. [25]

Allah telah membekali manusia sebagai khali>fah di bumi dengan akal, indera, hati, dan lain – lain. Semuanya mempunyai fungsi dan tugas masing – masing. Yang dengan semuanya itu, manusia akan bisa menjadi makhluk Allah yang beradab dan berperadaban, serta mulia derajatnya dibandingkan dengan makhluk – makhluk yang lain.

Secara fit}rah, manusia selalu ingin mengetahui apa saja yang dapat dijangkau oleh akal dan intuisi-nya. Dengan modal ke-fit}rah-an ini, usaha manusia dengan proses tertentu dan dengan metode keilmuan akan sampai kepada ilmu.[26]

Bagaimana manusia bisa mendapatkan dan memperoleh ilmu pengetahuan ?

Di depan sudah dijelaskan bahwa ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang sudah diklasifikasikan, diorganisasi, disistematisasi dan diinterpretasi, yang menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya, dan dapat diuji ulang secara ilmiah.[27] Dengan demikian, untuk mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan atau lahirnya suatu ilmu pengetahuan membutuhkan suatu proses yang panjang, mulai dari pengumpulan data, observasi, penelitian dan penyelidikan, pengujian kebenaran, dan lain sebagainya. Yang semua ini dikenal di kalangan ilmuwan sebagai metode ilmiah.

Semua konsep ilmu pengetahuan diperoleh melalui suatu penelitian ilmiah. Penelitian adalah suatu pencarian terhadap pengetahuan baru, atau sekurang-kurangnya terhadap pengaturan baru dari pengetahuan yang timbul dengan menggunakan metode ilmiah.[28] Setiap ilmu pengetahuan mempelajari dari suatu sudut pengamatan tertentu suatu bagian tertentu dari kenyataan. Dan hal itu dilakukannya menurut suatu metode ilmiah tertentu pula.[29]  

Jadi, untuk lahirnya atau untuk mendapatkan suatu ilmu pengetahuan haruslah melalui proses metode ilmiah.

Metode ilmiah merupakan pendekatan atau cara yang dipakai dalam penelitian suatu ilmu.[30] Untuk mendapatkan atau lahirnya suatu ilmu pengetahuan yang bisa diakui dan diterima kebenaran dan kredibilitas-nya haruslah melalui beberapa fase dan proses  yang panjang. Fase atau tahap-tahap dalam metode ilmiah adalah sebagai berikut :

1.      Perumusan masalah.

Hal ini dimaksudkan bahwa penelusuran ilmiah diawali dengan masalah yang dirumuskan secara tepat dan jelas dalam lingkaran pertanyaan, hingga bisa membuka ruang keadaan sesuatu untuk diketahui fakta – fakta apa saja yang harus dikumpulkan.

2.      Pengamatan dan observasi (pengumpulan data)

                                          Tahap ini memiliki corak empiris dan induktif, dimana seluruh kegiatan diarahkan pada pengumpulan data dengan kecermatan pengamatan, dan didukung oleh berbagai sarana yang memungkinkan. Kemudian hasil observasi ini tertuang dalam pernyataan – pernyataan.

3.      Pengamatan dan klasifikasi data.

                                             Tahapan ini ditekankan pada penyusunan fakta – fakta dalam kompleks tertentu, bedasarkan suatu sifat yang sama. Hematnya, dalam hal ini dituntut untuk melakukan klasifikasi, menganalisis, membandingkan, dan membedakan data – data yang relevan.

4.      Perumusan pengetahuan (definisi)

Dalam hal ini, para ilmuwan mengadakan analisis dan sintesis secara induktif. Melalui analisis dan sintesis, mereka mengadakan generalis (kesimpulan umum). Dari sinilah sebuah teori dilahirkan.

5.      Tahap prediksi

Disinilah deduksi beraksi memainkan peranannya, dimana sebuah teori yang sudah tercipta membentuk hipotesis baru, dan dari hipotesis ini lewat deduksi juga. Kemudian dibentuk implikasi – implikasi logis agar dapat melakukan prediksi tentang suatu gejala yamg perlu diketahui. Perlu dipahami, bahwa deduksi ini selalu dirumuskan dalam bentuk silogisme.

6.      Verifikasi ( pengujian kebenaran hipotesis)

Dalam hal ini dilakukan pengujian kebenaran hipotesis. Perlu dicatat, bahwa dalam hal ini keputusan terletak pada fakta. Apabila fakta tidak mendukung hipotesis maka hipotesis tersebut harus di-rekontruksi ulang dengan diganti oleh hipotesis lain, dan seluruh kegiatan ilmiah harus dimulai lagi dari titik awal. Hematnya, data empiris merupakan penentu bagi benar atau tidaknya hipotesis.[31] 

Melalui penyelidikan-penyelidikan dan percobaan-percobaan ilmiah, manusia semakin lama semakin mendapatkan pengertian yang mendalam atas kenyataan ; setiap kali aspek-aspek dan segi-segi baru, hubungan-hubungan dan ikatan-ikatan baru, menjadi jelas.[32] 

F. Aliran - Aliran  Dalam  Epistemologi

Banyak aliran dan paham – paham yang muncul dan berkembang dalam bidang epistemologi. Hal ini dipacu oleh adanya perbedaan pendapat tentang sumber – sumber ilmu dan pengetahuan. Perbedaan ini menimbulkan perbedaan pula dalam metode dan cara lahirnya atau munculnya ilmu pengetahuan serta sifat – sifat bagi ilmu tersebut. Diantara aliran – aliran yang muncul dalam epistemologi adalah sebagai berikut : 

  1. Rasionalisme

Secara etimologi, “rasionalisme” berasal dari kata dasar “rasio”, yang secara bahasa artinya adalah:

    • Pemikiran menurut akal sehat, akal budi, nalar.
    • Hubungan taraf atau bilangan antara dua hal yang mirip, perbandingan antara berbagai gejala yang dapat dinyatakan dengan angka, nisbah.[33]

Sedangkan secara istilah,  rasionalisme” adalah:

1.      Teori (paham) yang menganggap bahwa pikiran dan akal merupakan satu-satunya dasar untuk memecahkan problem (kebenaran) yang lepas dari jangkauan indra.

2.      Paham yang lebih mengutamakan (kemampuan) akal daripada emosi, batin, dan lain sebagainya.[34]

Aliran ini berpendapat bahwa ilmu pengetahuan berasal dan bersumber dari kemampuan akal ( rasio). Mereka mempercayai bahwa sumber ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya dan mencukupi adalah akal. Pengetahuan yang didapat melalui akal sajalah yang memenuhi syarat aturan umum dan syarat pengetahuan ilmiah. Bagi seorang rasionalis, akal tidak memerlukan pengalaman, karena pengalaman berfungsi untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat melalui akal.

Diantara tokoh aliran ini adalah Descartes, Spinoza dan Leibniz.[35]

Menurut pandangan kaum rasionalis, pengetahuan manusia terbagi menjadi dua :

1.      Pengetahuan intuitif (sifatnya kepastian), yang sumber pokoknya adalah akal. Pengetahuan kepastian disini maksudnya adalah bahwa akal sebagai sumbernya tidak perlu mencari dalil kebenarannya, seperti mengetahui sumber kejadian mesti ada sebab.

2.      Pengetahuan teoritis dan informasi, akal sebagai sumbernya tidak akan mempercayainya kecuali dengan bantuan pengetahuan-pengetahuan “pendahulu”. Proses pemikiran sangat diperlukan dengan cara menggali kembali pengetahuan terdahulu.[36]. 

  1. Empirisme.

Secara etimologi, “empirisme” berasal dari kata dasar “empiri” atau “empiris”, yang artinya adalah: pengalaman (yang ditemui dari alam ini) sebagai sumber pengetahuan. “Empiris” artinya: berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan).[37]

Sedangkan secara istilah, “empirisme” adalah:

1.      Aliran ilmu pengetahuan dan filsafat berdasarkan metode empiris.

2.      Teori yang mengatakan bahwa semua pengetahuan didapat dengan pengalaman.[38]

Aliran ini berpendapat bahwa ilmu pengetahuan berasal dan bersumber dari kemampuan indera lahir dan empirisitas. Jika kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio, maka kaum empiris mendasarkan diri kepada pengalaman.

Pengetahuan manusia bukan didapat lewat penalaran yang abstrak, tetapi lewat penalaran yang konkrit dan dapat diperoleh melalui panca indera.[39]

Akal atau rasio dalam hal ini hanya bersifat pasif pada saat pengetahuan didapatkan. Semula akal mirip dengan secarik kertas yang tanpa tulisan, bersih tiada bernoda (tabularasa). Kemudian ia menerima guratan-guratan yang mula-mula kecil dan sedikit seterusnya makin lama besar dan banyak yang datang dari pengalaman. Dengan demikian, objek pengetahuan adalah gagasan atau ide-ide yang timbul karena pengalaman, baik pengalaman lahiriah (sensation) atau karena pengalaman batiniah (reflection).[40]

Diantara tokoh aliran ini adalah : John Locke, Berkeley, dan David Hume.[41] 

  1. Positivisme.

Secara etimologi, “positivisme” berasal dari kata dasar “positive”, yang artinya : pasti, tegas, tentu, yakin, bersifat nyata dan membangun, lebih besar dari nol, dan lain-lain.[42]

Sedangkan secara istilah, “positivisme” adalah aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.[43]

Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan manusia bisa didapat dari kedua - duanya ( rasio dan indera). Antara indera dan akal (rasio) terdapat hubungan yang saling berkaitan. Keduanya memiliki fungsi dan tugas masing – masing dan tidak dapat dipisahkan sehingga melahirkan suatu ilmu pengetahuan.

Diantara tokoh aliran ini adalah David Hume. [44] 

  1. Fenomenalisme.

Secara etimologi, “fenomenalisme” berasal dari kata dasar “fenomena”, yang artinya: hal-hal yang dapat disaksikan dengan panca indra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah, fakta, kenyataan, sesuatu yang luar biasa, keajaiban, gejala.[45]Fenomena” adalah segala sesuatu yang tampak dan bisa kita persepsi dengan indera kita. [46]

Sedangkan secara istilah, ”fenomenalisme” adalah teori yang menyatakan bahwa semua pengetahuan adalah fenomena, dan semua yang ada ini adalah fenomenal (luar biasa, hebat, dapat disaksikan dengan panca indera).[47]

 Aliran ini hampir sama dengan aliran positivisme, yakni mempercayai bahwa ilmu pengetahuan manusia bisa didapat dari rasio dan indera, dan antara keduanya terdapat hubungan saling berkaitan, namun kedunya hanya mampu mengetahui segala sesuatu yang tampak dan yang bisa di-persepsi dengan indera saja (fenomena). Sedangkan sesuatu yang tidak bisa diketahui, tidak bisa digambarkan, dan tidak bisa dicapai dengan indera maka tidak bisa diketahui oleh manusia.

Diantara tokoh aliran ini adalah :Immanuel Kant. [48] 

G. Validitas Kebenaran Ilmu Pengetahuan

Di depan sudah dijelaskan, bahwa ilmu yang bersumber dari wahyu derajat kebenarannya mutlak (absolute), sedangkan ilmu yang bersumber dari selain wahyu derajat kebenarannya relatif (nisbi), baik yang bersumber dari akal-pikiran, indera, intuisi, dan lain sebagainya. Ilmu pengetahuan muncul, ditemukan, dan diketahui oleh manusia lewat proses dan metode yang panjang dan berliku-liku. Bagaimana kebenaran dari  suatu ilmu pengetahuan bisa dinilai atau diakui ? Atau, apa ukuran atau kriteria kebenaran dari suatu ilmu?

Ada beberapa teori yang telah dibangun oleh para ilmuwan guna menilai derajat “kebenaran” dari suatu ilmu atau teori. Diantara teori-teori tersebut adalah:

  1. Teori koherensi

            Teori ini menyatakan bahwa suatu pernyataan akan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan yang memiliki hierarki yang lebih tinggi yang sebelumnya dianggap benar, baik skema, sistem maupun nilai, mungkin pada tataran rasional dan mungkin pada tataran transenden.

  1. Teori korespondensi

Teori ini menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan itu.

  1. Teori pragmatis

Teori ini menyatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak.[49]    

H. Kesimpulan

Epistemologi ilmu pengetahuan merupakan cabang ilmu filsafat yang membahas tentang hakekat ilmu pengetahuan, sumber dan metode untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.

Banyak perdebatan dan perbedaan di kalangan ilmuan berkaitan dengan sumber ilmu pengetahuan, yang akhirnya melahirkan (memunculkan) berbagai macam aliran dalam epistemologi. Ada aliran rasionalisme, empirisme, positivisme, fenomenalisme, dan lain sebagainya.

Akal dan indera merupakan dua organ dan dua faktor yang sangat penting dan krusial bagi manusia dan bagi lahir dan munculnya ilmu. Meskipun banyak perdebatan dan perselisihan dikalangan ilmuwan tentang sumber – sumber ilmu serta metode dan cara mendapatkan ilmu, namun semuanya tidak mengingkari urgensitas masing – masing ( akal dan indera ). Keduanya mempunyai tugas dan fungsi masing – masing, dan keduanya saling berkaitan  serta berhubungan hingga tercapainya ilmu dan pengetahuan. Ilmu pengetahuan lahir dan muncul melewati dua organ tersebut dan melewati fase dan proses yang panjang yang disebut metode ilmiah. Dengan metode ilmiah inilah suatu ilmu dihasilkan sehingga menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang bisa diterima kebenaran dan kredibilitasnya. 

I. Bibliografi :

1.      Abd. Rachman Asegaf, Studi Islam Kontekstual. Yogyakarta : Gama Media, 2005.

2.      Abu> H{a>mid Al-Ghoza>li, Ih}ya’ ‘Ulu>m al-Di>n jilid 1. Cairo : Da>r al-H{adi>th, 2004.

3.      A.W.Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia. Surabaya : Pustaka Progresif, 1997.

4.      Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1997.

5.      Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 2007.

6.      Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemilogi Hukum Islam Indonesia. Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2006.

7.      J.S.Badudu, Kamus Kata – Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Kompas, 2007.

8.      Kamajaya, Cerdas Belajar Fisika Untuk Kelas X SMA / MA. Bandung : Grafindo Media Pratama, 2007.

9.      Manna>’ al-Qat}a>n, Maba>h}ith Fi ‘Ulu>m Al-Qur’a>n. Mans}u>rah al-‘As}r al-H{adi>th, 1973.

10.  R.A. Rivai, Filosofi. PT.Dharma Aksara Pratama, 1973.

11.  Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan IAIN Wali Songo, 2007.

12.  Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta : PT.Bumi Aksara, 2009.

13.  Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk, Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.

 

 

 

     

 

 



[1]  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (  Jakarta: Balai Pustaka, 1997 ),  268.

[2] J. S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia (  Jakarta: Kompas, 2007), 96.

[3]  Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan IAIN  Wali Songo, 2007 ),  9.

[4]  Ibid. , 10.

[5] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia ( Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006 ), 157.

[6] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik ,  207.

[7]  A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir  ( Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 ),  966.

[8]  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia  ,  371.

[9]  Abd. Rachman Asegaf, Studi Islam Kontekstual  ( Yogyakarta  : Gama Media, 2005 ), 194.

[10] Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,  990 – 991.

[11] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia  , 159 - 160.

[12] Ibid. , 159 - 160.

[13] Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan,  Kamus Besar Bahasa Indonesia ,  371.

[14] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir ,  1545.

[15]Manna> ‘u al-Qat}a>n,  Maba>h}ith fi ‘Ulu>m al - Qur’a>n  ( Manshura>t  al – ‘As}r al –H{adi>th,  1973), 33.

[16] Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,  1122.

[17] Abd. Rachman Asegaf,  Studi Islam Kontekstual  , 194.

[18] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir ,  957.

[19] Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan,  Kamus Besar Bahasa Indonesia  , 16.

[20] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik  ,  66.

[21] Abu> H{a>mid al – Ghaza>li,  Ih}ya ‘ ‘Ulu>m al – Di>n  jilid-1 ( Cairo : Da>r al – H{adi>th,  2004 ),  112.

[22] Abd. Rachman Asegaf,  Studi Islam Kontekstual  , 194.

   [23]  Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , 377.

[24] Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk,  Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontenporer  (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,  2009 ),  9.

[25] Abd. Rachman Asegaf, Studi Islam Kontekstual  ,  197.

[26] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik ,  213.

[27] Abd. Rachman Asegaf,  Studi Islam Kontekstual  , 194.

[28] Kamajaya, Cerdas Belajar Fisika Untuk Kelas X  SMA / MA  ( Bandung : Grafindo Media Pratama, 2007),  3.

[29] R.A. Rivai,  Filosofi  (PT.Dharma Aksara Pratama, 1973),  83.

[30] Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,  653.

[31] Surajiyo, Ilmu Filsafat suatu pengantar  ( Jakarta : PT Bumi Aksara, 2009 ),  77 – 78.

[32] R.A. Rivai, Filosofi ,  87-88.

[33] Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan,  Kamus Besar Bahasa Indonesia  ,  821.

[34] J. S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia  ( Jakarta: Kompas, 2007 ), 295.

[35] Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk, Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontenporer  ,  8 – 9.

[36] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik ,  57.

[37] Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan,  Kamus Besar Bahasa Indonesia , 262.

[38] J. S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia  , 90.

[39] Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk,  Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontenporer  ,  9.

[40] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia  (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006 ), 160-161.

[41] Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk,  Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontenporer  ,  9.

[42] Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan,  Kamus Besar Bahasa Indonesia , 783.

[43] J. S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia  , 283.

[44] Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk,  Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontenporer,  9.

[45] Departemen  Pendidikan Nasional,  Kamus Besar Bahasa Indonesia  (Jakarta: Balai Pustaka, 2007 ),  315.

[46] Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk,  Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontenporer  ,  11.

[47] Departemen  Pendidikan Nasional,  Kamus Besar Bahasa Indonesia  , 315.

[48] Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk,  Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontenporer  , 11.

[49] Ibid. , 163.

0 Comment