13 Mei 2012

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an oleh beberapa sarjana ditempatkan sebagai sebuah karya asli Arab. Senada dengan itu, Fazlur Rahman mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan firman Tuhan, dan dalam arti yang biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad. Asumsi di atas dapat diterima sejauh dalam diskusi linguistik, bahwa itu semua merupakan ungkapan nalar verbalis dari eksternalisasi wahyu yang ditangkap oleh kesucian qalb Muhammad. Karena bagaimanapun tidak ada tempat baginya untuk ‘berpartisipasi’ dalam validitas materi wahyu.
Al-Qur’an, bagaimanapun merupakan respon Ilahiyah terhadap kondisi umat dalam bentuk medium kebahasaan yang tidak bisa melepaskan diri dari relasi background-nya. Dalam teknik penyampaian al-Qur’an menggunakan bahasa Arab, ini sesuai dengan fakta yang tidak dapat dibantah lagi, Muhammad secara geografis hidup di jazirah Arab, hanya saja perlu dicatat di sini pemilihan bahasa lokal tersebut bukan berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam kehilangan nilai-nilai universalistiknya.
Bagi para penganutnya, al-Qur’an merupakan perwujudan kritik dari dalam yang mengambil bentuk kongkrit pada dekonstruksi ‘kungkungan logosentrisme’ Arab jahiliyah yang cenderung materialis, jadi al-Qur’an menggunakan apresiasi kebahasaan dari bahasa Arab untuk memperbaharui kesadaran keagamaan. Al-Qur’an sendiri tidak mengambil langkah yang berarti terhadap penggantian daftar kosa kata pra-Islam tetapi sebaliknya tetap mempertahankan kosa kata populer tersebut, sebagai contoh sebut saja kata tija>rah, bay‘u, mi>za>n, qard}}, dan sebagainya. Melalui penilaian proses diakronik dalam skala kecil, hampir keseluruhan kata yang digunakan tidak meninggalkan wacana yang hidup baik pada masa pra-Islam maupun Islam, tetapi dengan sangat menarik, kata-kata itu mengalami pergeseran arti sebagai akibat diadakannya perubahan muatan definisi yang diselaraskan dengan visi monotheistik. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis ketika ada pergantian pandangan dunia, dan ini dibenarkan oleh definisi fungsional bahasa karena bahasa merupakan alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan sebagai hasil dari kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya.
Melihat dari aktivitas kebahasaan di atas, amat beralasan apabila analisis kebahasaan menempati posisi yang sangat penting dalam dunia tafsir, ini terbukti ketika sejarah menceritakan nabi melakukan kegiatan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan kajian bahasa, tradisi ini terus dihidupkan pada masa sahabat, terutama oleh ibn ‘Abba>s, sampai pada masa para mufassir-mufassir besar. Dan untuk zaman modern ini perhatian terhadap kajian bahasa memperoleh porsi yang sangat besar.
Dengan kerangka pemikiran di atas pula penulis ingin mengangkat kembali diskusi tentang kata hijrah, dan untuk itulah tulisan ini sebenarnya didedikasikan. Hijrah memiliki berbagai latar untuk dijadikan sebagai salah satu kata kunci di dalam kosa kata al-Qur’an. Dapat dijelaskan secara pasti, peristiwa hijrah dijadikan patokan penanggalan kalender Islam. Lebih penting dari itu, oleh beberapa pemikir diyakini bahwa hijrah adalah sebagai loncatan besar bagi pergerakan penyebaran risalah Ilahi yang ditempuh oleh beberapa rasul. Hijrah sendiri membangun medan semantiknya sedemikian rupa sehingga dengan bantuan jaringan asosiasi semantik ia mampu membentuk pandangan dunianya yang khas.
Pemunculan kata hijrah dalam al-Qur’an dibarengi dengan istilah-istilah yang hampir memiliki kesamaan makna dengannya, seperti bara’a, taraka, kharaja . Hanya saja istilah-istilah tersebut dipandang terserap oleh akar kata hajara, sebab akar kata tersebut mengandung semua makna dari akar kata lainnya. Mengikuti penanggalan kronologi wahyu dalam berbagai versi, kata hijrah sendiri sudah dikenal pada bagian awal penurunan wahyu yang hampir keseluruhannya menegaskan makna dasar, kemudian secara sistemik mengalami perubahan diakronik makna terutama pada masa Madinah.
Merujuk pada kekayaan semantikal hijrah yang terbentuk, amat disayangkan kemudian ketika perjalanan sejarah mereduksi makna hijrah sebatas dimaknai sebuah peristiwa masa lalu dengan sedikit kemungkinan akan terulang kembali. Hal ini banyak terlihat pada kesimpulan yang membingungkan dari sabda-sabda nabi yang seolah-olah hanya membatasi hijrah sebatas pada peristiwa yang ada pada zaman nabi belaka. Hal serupa terjadi pula pada dunia tafsir, sebagai studi kasus ada asumsi ayat-ayat yang berkenaan dengan qita>l, atau yang dikenal pula dengan ayat al-Sayf, menurut beberapa mufassir seperti ibn ‘Abba>s dan al-T{abari> telah menghapuskan ayat ‘hajran jami>lan’, tetapi menurut al-T{aba>t}aba>’i ayat qita>l tidak menghapuskan ayat ‘hajran jami>lan’, karena bagaimanapun keduanya harus tetap dijalankan, bahkan Sayyid Qut}b berpendapat, pengambilan sikap hajran jami>lan apabila ditambah dengan sikap sabar merupakan perwujudan jihad dalam makna aslinya. Semua pendapat di atas melandaskan argumen pada dasar yang sama, al-Qur’an dan hadis, hanya saja masalah yang muncul mengindikasikan akan problem penafsiran baik metodologis maupun kecenderungan pra-konsepsi, jadi wajarlah ketika pandangan dunia hijrah belum terbentuk secara lengkap.
H-j-r dan derivasinya telah mengalami metamorfosis. Eksplorasi posisi hijrah pra-Islam patut dilakukan setidaknya sebagai modal awal guna pembahasan menyeluruh tentang istilah ini. Dengan kata lain, ketika wahyu Islam dimulai, orang-orang Arab pagan di Mekah dan juga masyarakat kitab yang sudah memiliki fundamental values tidak mungkin memahami kata hijrah selain mengkaitkannya dengan semua unsur semantik yang ada pada pandangan dunia mereka yang notabene materialisme. Setelah kata hijrah dipergunakan oleh al-Qur’an secara otomatis merubah unsur semantik yang membentuknya sesuai dengan kosa kata al-Qur’an yang dipadukan ke dalam interpretasi sistemik yang sama sekali baru dalam sistem tersebut. Namun demikian, tanpa ‘disadari’ segala macam nuansa fenomena kesejarahan telah melahirkan paradoks yang mengaburkan eksistensi hijrah, semua itu berakibat keterasingan dan sikap penuh kecurigaan tatkala hijrah didengungkan kembali.
Kurang dari satu abad setelah nabi hijrah ke Madinah (622 M), istilah hijrah muncul kembali sesaat setelah selesainya arbitrasi antara ‘Ali dan Mu’awiyyah. Khawarij sebagai pihak yang tidak puas menggunakan konsep hijrah untuk menggalang komunitas sebagai sikap teologis politis dari situasi saat itu. Mereka beranggapan bahwa kedua pimpinan alternatif di atas sudah berstatus zalim dan patut ditinggalkan bahkan patut diperangi. Setelah sekian kurun konsep hijrah tenggelam, pada abad XX di Mesir muncul sebuah gerakan yang mendeklarasikan sebagai oposisi terhadap rezim setempat, mereka dikenal dengan nama al-Takfi>r wa al-Hijrah. Kelompok ini merupakan bagian Ikhwanul Muslimin yang berhaluan keras disebabkan menganut paham bahwa seluruh komunitas muslim di luar mereka saat ini adalah jahiliyah. Sesuai dengan namanya, grup ini memakai strategi hijrah. Di Indonesia, beberapa dekade lebih awal dari al-Takfi>r wa al-Hijrah, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) menjalankan strategi hijrah sebagai jalur politik guna menarik garis furqa>n antara mereka dengan lawan politiknya. Dalam perjalanannya, ada konflik intern tentang dilanjutkan atau tidaknya konsep hijrah ini. Tetapi informasi sejarah mengatakan bahwa pemberlakuan konsep hijrah tetap berlanjut sampai pada titik kulminasi pendirian NII (Negara Islam Indonesia) oleh S.M. Kartosoewirjo.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, setidaknya terdapat persoalan yang terangkat ke permukaan dan ini dianggap penting serta menarik oleh penulis untuk dikaji lebih jauh, yaitu:
1. Bagaimana para pemerhati al-Qur’an baik secara individu maupun kelompok memahami konsep hijrah ?
2. Bagaimana struktur pandangan dunia hijrah dalam al-Qur’an seutuhnya ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini penulis paparkan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan konsep hijrah menurut para pemerhati al-Qur‘an, baik mufassir individu maupun secara kelompok.
2. Mendeskripsikan struktur pandangan dunia hijrah dengan harapan akan diperoleh perimbangan antara nilai teoritis dan aplikasinya.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari kajian ini sebagai berikut :
1. Memberikan kontribusi pengkayaan perspektif dalam memahami ajaran hijrah secara teoritis.
2. Menselaraskan antara pemahaman teoritis dengan keakuratan dalam mengaplikasikan ajaran hijrah.
E. Telaah Pustaka
Untuk menganalisa pandangan dunia hijrah, penulis berupaya memanfaatkan rujukan-rujukan yang ada relevansinya dengan tema yang diangkat.
Buku yang telah membahas secara khusus tema hijrah, tentunya sesuai dengan pengetahuan penulis, Hamid Naseem Rafiabadi dengan judul Hijrah a Turning Point in Islamic Movement. Buku ini berdasarkan penelitian kesejarahan yang dikonfrontasikan dengan keadaan zaman sekarang. Rafiabadi memandang hijrah sebagai kewajiban bagi muslim yang terus berjalan sampai tercipta kebebasan pelaksanaan syari’ah. Pembahasannya secara umum telah menyentuh berbagai aspek hijrah tetapi dalam bentuk global, seperti makna, filosofi, sejarah dan bahkan ia menyoroti berbagai pendapat orientalis tentang tema ini.
Sedangkan Isma’il R. al-Faruqi dalam bukunya Hakikat Hijrah memandang hijrah membuat Islam menjadi suatu kemaujudan hukum, sosial, ekonomi, politik dan militer suatu negara, bahkan membentuk negara dunia yang potensial. Karenanya, al-Faruqi mencanangkan ’iqa>mah al-hijrah dengan melalui berbagai pendidikan dan dakwah. Uraian rinci Qur’ani belum terkuak karena ia menyoroti melalui kaca mata sosial-politis. Kajian yang sama dilakukan oleh Ali Syariati dalam Rasulullah Saw Sejak Hijrah hingga Wafatnya yang menghasilkan kesimpulan bahwa hijrah membuka kungkungan domestik sehingga terbentuklah peradaban besar, sebagai contoh ia menyebut kejadian-kejadian kesejarahan yang menggambarkan peristiwa “hijrah”. Syari’ati berkeyakinan dengan kesatuan iman–hijrah– jihad bukanlah suatu kebetulan tanpa makna. Tetapi dalam bukunya ini, ia tidak menjadikan hijrah sebagai objek kajian tafsir dan ini diakui sendiri olehnya.
Muhammad Abdullah al-Khatib menulis buku Makna Hijrah Dulu dan Sekarang di dalamnya ia berkesimpulan bahwa hijrah secara fisik, yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan kembali sosial-politik pada masanya, ini telah mempercepat pengembangan agama Islam ke berbagai wilayah. Tanpa menafikan makna hijrah secara fisik, hikmah hijrah dalam dimensi metafisik harus lebih banyak digali. Pendapat serupa tergambar pada tulisan Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, ia mengatakan hijrah adalah peristiwa historis-sosiologis yang mengikuti sunatullah yang tak berubah, juga hijrah sebagai peristiwa supranatural, peristiwa metafisis, yang dari berbagai segi termasuk mu’jizat nabi dan tindakan supranatural beliau. Dalam semangat spiritual ini, berhijrah ialah bertekad meninggalkan kepalsuan, pindah sepenuhnya kepada kebenaran, dengan kesediaan untuk berkurban dan menderita, karena keyakinan kemenangan terakhir akan dianugerahkan Allah kepada pejuang kebenaran itu.
Dalam buku Sikap Hidjrah PSII Kartosoewirjo berupaya memahami hijrah yang dikemas ke dalam sebuah konsep interpretatif-aplikatif. Hasil dari identifikasi terhadap bangsa Indonesia, ia berkeyakinan untuk membuat komunitas Islam dengan mempertimbangkan anasir politik dan sosial keagamaan. Kartosoewirjo menggunakan istilah “Madinah–Indonesia” dan “Makkah–Indonesia” sebagai konsekuensi keberpihakan ideologis, bahkan lebih jauh dari itu, ia berusaha membuat kategorisasi hijrah sesuai dengan kadar perjuangan.
Banyak lagi buku yang membahas tentang hijrah, namun kesemuanya tidak menjadikan sebagai tema tunggal dan kurang menggunakan pendekatan tafsir al-Qur’an, seperti M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat dan buku-buku yang berkenaan dengan sirah rasul.
Sedang untuk penerapan semantik terhadap al-Qur’an, penulis tidak mendapati buku yang membahas hijrah. Buku-buku yang menggunakan semantik sebagai alat pendekatan seperti Toshihiko Izutsu dalam Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Qur’an dan Relasi Tuhan dan Manusia , di dalamnya ia membahas tentang konsep kufr sebagai tema sentralnya, dan di dalam buku yang kedua, ia membahas secara dominan konsep Allah. Buku lainnya adalah karya Syinya Makino dengan judul Creation and Termination a Semantic Study of the Structure of the Qur’anic World View yang membahas tentang penciptaan alam dan hari akhir.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini dibatasi hanya pada library research. Dalam teknik penggarapan berupaya mengeksplorasi sumber-sumber pustaka yang terkait. Sedangkan karakter penulisan akan dicirikan dengan pemanfaatan metode semantik serta didukung oleh kajian historis. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa metode semantik mampu menguraikan secara sekaligus hubungan-hubungan antara ekspresi sebuah bahasa dengan obyek yang berkaitan dengan ekspresi tersebut. Semantik pun dinilai mampu mengilustrasikan gerakan dari cakupan definisi. Analisa obyek penelitian dipertajam dengan bantuan kajian historis. Penggalan sejarah yang akan dikaji meliputi fase Arab pra-Islam, fase nabi yang dibagi secara global menjadi periode Makkiyyah dan Madaniyyah dan terakhir adalah fase pasca nabi.
Pemilihan tema sentral mengharuskan penulis untuk menjadikan al-Qur’an dan terjemahannya sebagai data primer. Selain itu, dalam aplikasi semantik penulis merujuk pada karya Toshihiko Izutsu. Sedangkan data pendukung meliputi karya-karya dari disiplin keilmuan lainnya selama masih memiliki keterkaitan dengan tema penelitian. Misalnya, penulis merujuk ’Isfaha@ni@ untuk memperoleh makna kata yang luas berikut penerapannya dalam al-Qur’an. Kamus-kamus bahasa Arab, seperti Lisa>n al-‘Arab dan Ta>j al-‘Ars, mendapatkan tempat pula dalam penelitian ini, semata untuk melihat perubahan makna dari derivasi akar kata.
G. Sistematika Pembahasan
Penulisan skripsi ini dibuka dengan bab pertama berupa pendahuluan untuk mengantarkan menuju argumen, cakupan dan perihal mekanisme penelitian. Sementara gambaran umum mengenai konsep hijrah dalam penelitian ini muncul mula pertama pada bab kedua yang mengilustrasikan sebagian produk tafsir baik klasik atau modern yang berkaitan dengan tema hijrah, ini disusun sebagai peta awal guna memudahkan penelitian selanjutnya. Juga sebagai landasan alasan adanya celah untuk meneliti ulang tema hijrah ini.
Diteruskan dengan bab ketiga sebagai titik tekan pada penulisan ini memaparkan analisa struktur pandangan dunia hijrah melalui pelacakan makna dasar dan relasional, diawali dengan pencarian makna leksikal, makna pra-Islam dan perjalanan makna baik sinkronik maupun diakronik disambung dengan pembentukan struktur dalam (deep structure) dan bidang semantik hijrah. Mengenai urgensi pelacakan makna pra-Islam, dikarenakan keniscayaan mendeteksi pergeseran makna dalam pandangan dunia yang berbeda antara Arab pra-Islam dan Islam.
Karena ruang kerja semantik mencakup pula kajian perkembangan makna pada masa pasca wacana, maka pada bab keempat ini mencoba menghimpun data-data di mana hijrah dipahami setelah masa nabi oleh para pemerhati kajian-kajian Islam baik kelompok maupun individu. Observasi ini meliputi aliran Khawarij, al-Takfi>r wa al-Hijrah dan PSII. Penelitian skripsi ini ditutup dengan bab kelima yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
KONSEP HIJRAH DALAM PANDANGAN TAFSIR KLASIK DAN MODERN
A. Biografi ibn Jari>r al-T{abari> dan Sayyid Qut{b
Untuk memberikan gambaran tentang perkembangan penafsiran kata hijrah di kalangan mufassir, berikut diberikan contoh yang diandaikan mewakili dua generasi, klasik dan modern. Dari klasik dipilih ibn Jari>r al-T}abari> sedang dari kalangan modern diambil Sayyid Qut{b.
Ibn Jari>r al-T}abari> dikenal sebagai bapak tafsir, karena tafsirnya yang berjudul Ja>mi’ al-Baya>n dianggap sebagai tafsir yang pertama kali muncul di dunia Islam dengan gaya penafsiran yang kompleks dan inovatif. Usaha itu dilakukan dengan menghimpun seluruh manuskrip kuno yang tercecer di beberapa tempat sejak zaman ‘Abdullah ibn ‘Abba>s sampai abad ke-3. Ia karenanya, menjadi karya yang menonjol di antara tafsir-tafsir klasik dan menjadi rujukan bagi mufassir belakangan. Begitu juga dengan Sayyid Qut}}b, karya tafsirnya, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n merupakan karya monumental yang menjadi inspirasi generasi muslim untuk melakukan reformasi agama.
Al-T{abari> mempunyai nama lengkap ’Abu> Ja‘far Muh}ammad ibn Jari>r ibn Yazi>d ibn Kasi>r ibn Ga>lib al-T{abari>. Lahir di Amul, Ibu Kota T{abaristan pada tahun 224/225 H (839/840 M). Nama al-T{abari> dinisbatkan kepada daerah T{abaristan. Sementara Sayyid Qut}b bernama lengkap al-Syahi>d Sayyid bin Hajj Qut}b bin ’Ibra>hi>m. Ia dilahirkan pada tahun 1908 di desa Mosha, suatu dusun yang terletak di Mesir yang masuk wilayah profinsi Asyu>t. Rentang yang cukup jauh antara kedua tokoh tersebut adalah juga yang menjadi kriteria pengelompokan keduanya dalam klasifikasi klasik dan modern.
Semenjak kecil kedua tokoh lahir dari keluarga dan lingkungan religius dan dididik dengan pengetahuan agama yang kental. Selain itu, keduanya juga dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan berkemampuan tinggi. Al-T{abari>, misalnya, diriwayatkan telah mampu menghafalkan al-Qur’an pada usia yang belum genap sembilan tahun seperti juga Sayyid Qut}b yang memperoleh prestasi tersebut pada usia 10 tahun.
Pendidikan awal al-T{abari> diperoleh di kampung halamannya sendiri, kemudian dilanjutkan ke kota Ray dan sekitarnya untuk mempelajari ilmu hadis dari Muh}ammad ibn H{umaid al-Ra>zi> dan Ah{mad ibn H}a>mid al-Dulabi>. Ia juga berangkat ke Baghdad untuk belajar langsung dari Ah}mad bin H{anbal, tapi orang yang dituju ternyata telah wafat (241 H). karena itu ia segera ke Wasi>t untuk mengikuti kuliah hadis untuk selanjutnya ke Kufah untuk belajar ilmu qira>’ah dari Sulaima>n Kha>lid al-Sa>miri> dan menerima 100.000 hadis dari Kuraib Muh}ammad ibn al-‘Ala>, seorang pakar hadis. Selain itu al-T{abari> juga tekun mempelajari fikih Syafi’i baik di Baghdad maupun di Fustah, Mesir, sebelum akhirnya ia mendirikan mazhab sendiri yang dikenal sebagai mazhab Jari>riyyah.
Demikian halnya dengan pendididkan awal Sayyid Qut}b berlangsung di madrasah tradisional di desanya selama empat tahun. Pada usia 13 tahun ia menamatkan sekolah dasarnya dan tidak bisa langsung melanjutkan ke jenjang mu’alimin tingkat pertama karena usianya terlalu muda. Oleh orang tuanya akhirnya ia dikirim ke Kairo dan masuk di sekolah Tajhi>ziyyah Da>r al-‘Ulu>m pada tahun 1929 M.
Pada tahun 1933 ia mendapatkan gelar sarjana mudanya dalam bidang pendidikan dan langsung diangkat sebagai penilik sekolah pada kementrian pendidikan dan pengajaran, yang kemudian ditinggalkannya untuk menggeluti karir sebagai penulis. Kekagumannya terhadap Amerika mulai hilang dan berubah menjadi kebencian ketika pada tahun 1949 ia dikirim ke Amerika sebagai delegasi kebudayaan untuk mengkaji tentang organisasi pendidikan.
Selain beberapa persamaan yang dimiliki kedua tokoh, ada sejumlah perbedaan yang melatari keduanya. Perbedaan-perbedaan penting tersebut antara lain, pada situasi zaman yang membentuk keduanya. Al-T{abari> adalah generasi yang hidup pada zaman ketika Islam mencapai kemajuannya. Ratusan bahkan ribuan sarjana Islam yang tersebar di seluruh wilayah Islam, mereka melibatkan diri dalam studi dan penelitian berbagai disiplin ilmu. Pada masa itulah banyak terjadi upaya penerjemahan sejumlah besar karya Yunani, Persi dan India ke dalam bahasa Arab.
Hal ini amat berbeda dengan kondisi yang melingkupi Sayyid Qut}b. Sayyid Qut}b sendiri menyebut bahwa masanya adalah masa ketika Islam menjadi suram. Keterpurukan umat terjadi dalam segala bidang, ekonomi, politik, sistem pendidikan dan metode pemikirannya. Karena itu Sayyid Qut}b merasa perlu mencari inisiatif untuk memajukan kehidupan umat Islam.
Perbedaan lainnya adalah pergolakan yang terjadi di masa al-T{abari> umumnya dipicu oleh persaingan aliran teologi dan fikih. Persaingan itu akhirnya menimbulkan perebutan justifikasi agama yang diambil dari al-Qur’an atau hadis. Akibatnya, saat itu banyak sekali muncul hadis-hadis yang dipalsukan untuk mendukung aliran fikih atau teologi tertentu. Sementara pada masa Sayyid Qut}b pertarungan itu terjadi antara gerakan Islam (dalam hal ini diwakili oleh kelompok Ikhwanul Muslimin, di mana Sayyid Qut}b terlibat di dalamnya) dan Barat yang oleh Sayyid Qut}b dituding sebagai biang kerok keruntuhan umat Islam. Karena itu Sayyid Qut}b berupaya untuk kembali kepada al-Qur’an yang dapat dipakai sebagai landasan ideologi yang sempurna. Proses penulisan tafsirnya dilakukan antara tahun 1952 hingga 1985. Akibat dari keterlibatannya dalam gerakan Ikhwanul Muslimin ia harus mendekam dalam penjara. Perlu segera disertakan adalah bahwa sebagian proses penulisan tafsirnya dilakukan dalam masa tahanan di penjara.
Perbedaan setting sosial dan pengalaman aktivitas antara kedua tokoh itu tidak mustahil akan berimplikasi pada perbedaan hasil penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an, terutama yang berkaitan dengan tema yang sedang dikaji dalam kajian ini.
B. Metode dan Karakteristik Penafsiran
Selain setting sosial, hal yang perlu juga dipertimbangkan adalah metode penafsiran yang dipakai oleh masing-masing tokoh sebelum berlanjut pada permasalahan penafsiran mereka tentang hijrah.
Ditilik dari metode yang dipakai, baik tafsir Ja>mi‘ al-Baya>n dan Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n sama-sama tah}li>li>. Artinya, keduanya lebih mengikuti pola penafsiran klasik yang menafsirkan ayat demi ayat dengan mengikuti urutan mush}afi. Namun di balik itu terdapat pula beberapa perbedaan antara keduanya.
Al-T{abari> cenderung menggabungkan dua corak penafsiran sekaligus, ma’s\u>r dan ra’y yang lebih dominan adalah ma’s\u>r. Ia melakukan perubahan tradisi penafsiran yang telah berlaku sebelumnya. Al-T{abari> mengecam mufassir yang hanya berpegang pada pemikiran bebas atau hanya bersandar pada pengertian-pengertian bahasa, ia juga menolak panafsiran yang tidak disertai pertimbangan kritis. Bila dipetakan model penafsiran al-T{abari> dapat dilihat sebagai berikut:
Pertama, dalam penafsirannya disertakan beberapa riwayat lengkap dengan sanadnya sebelum kemudian ditafsirkan. Hanya saja al-T{abari> tidak melangkah pada penelitian terhadap kualitas hadis tersebut, karena dianggap itu wewenang ahli hadis, meski dalam banyak tempat ia juga bertindak sebagai kritikus hadis.
Kedua, ia menolak penafsiran yang semata didasarkan pada pemikiran dan lebih memprioritaskan penafsiran yang bersumber dari nabi, sahabat atau tabi’in. Kalau terdapat perbedaan ia merangkum keseluruhan selama tidak menyangkut perbedaan yang prinsipil.
Ketiga, dalam beberapa kasus al-T{abari> sering menggunakan bantuan analisis linguistik, baik dari syair Arab, prosa untuk mencari kejelasan makna bila terjadi perbedaan di antara para mufassir. Keempat, al-T{abari> juga menaruh perhatian besar terhadap qira>’ah. Kelima, al-T{abari> sering mengupas masalah-masalah fiqhiyyah dalam kitab tafsirnya. Ia menyeleksi pernyataan fuqaha>’ dalam kaitannya dengan konsep-konsep hukum lalu melakukan tarji>h melalui penalaran ilmiah. Keenam, ia juga menerima kisah-kisah ’isra>’i>liyya>t dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam seperti Ka‘ab al-’Ah}ba>r atau Wahb bin Munabbih, sebagai keterangan pendukung dalam tafsirnya. Ia terkadang memberikan komentar atas kisah-kisah tersebut, tetapi kadang juga tidak.
Sayyid Qut}b memiliki metode yang berbeda. Dalam menafsirkan al-Qur’an, Qut}b tidak membawa pra-asumsi atau ketetapan-ketetapan sebelumnya baik ketetapan akal maupun rasa yang diambil secara langsung dari al-Qur’an. Dengan demikian tidak ada ketetapan terdahulu yang dijadikan penimbang atau pembanding terhadap al-Qur’an.
Dilihat dari segi pembahasannya, tafsir Qut}b memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dengan tafsir-tafsir lain, antara lain;
Dalam menafsirkan al-Qur’an, Qut}b tidak menjelaskan arti kata perkata dari ayat al-Qur’an, kecuali bila kata tersebut merupakan kata kunci pada ayat tersebut. Qut}b menjauhi cerita-cerita isra>’i>liyya>t dalam penafsirannya. Dalam penafsirannya tidak hanya menitikberatkan pada masalah-masalah fikih. Aspek-aspek keindahan bahasa, keserasian irama dan pengungkapan serta penggambaran dalam al-Qur’an sangat menonjol dalam tafsir karya Qut}b. Qut}b juga memberikan penafsiran yang lebih luas dalam hal-hal yang dianggap penting, terutama pada ayat-ayat yang berhubungan dengan esensi al-Qur’an dan tujuan Islam. Qut}b tidak banyak menggunakan ta’wi>l terlebih pada ayat-ayat mubhama>t dan mutasya>biha>t, karena pembahasan terhadap ayat tersebut tidak mendatangkan hasil. Menekankan analisis muna>sabah, yakni analisis kesinambungan dan keserasian dalam surat. Mengaitkan penafsiran dengan konteks zaman, terutama bila dikaitkan dengan penekanan pentingnya dakwah.
C. Penafsiran al-T{abari> dan Qut}b tentang Hijrah
Kata dengan akar h-j-r disebut sebanyak 31 kali dalam 27 ayat dan 17 surat dalam al-Qur’an.
Secara etimologis kata hijrah dan derivasinya, bermakna menyingkir atau berpindah. Seperti disebutkan al-T{abari@ dalam surat al-Ankabu@t (29): 26. Namun dalam konteks kalimat yang menjalinnya, ia bisa memiliki beragam arti. Misalnya dalam surat al-Nisa>’(4): 34, hajru fi> al-mad}a>ji‘, al-T{abari> memiliki pemaknaan yang berbeda dengan mufassir lain yang umumnya cenderung mengartikan sebagai pisah ranjang, tidak mengajak berbicara atau tidak berhubungan seks dengan istri. Dengan mengkaji pemakaian kata hijrah di dunia Arab dan juga dengan menganalisis hadis-hadis nabi, al-T{abari> selanjutnya memilih untuk arti mengajak bicara si istri, memberi nasehat secara berulang-ulang hingga istri kembali tidak nusyu>z.
Tetapi dalam banyak ayat, al-T{abari> sering menafsirkan kata hijrah sebagai aktivitas berpindah dari da>r al-syirk atau kufr menuju da>r al-Isla>m. Ini misalnya terlihat dari penafsirannya dalam surat al-Baqarah (2): 218, sebagai “orang-orang yang berpindah dari daerah kekuasaan ahl al-syirk karena takut akan fitnah mereka terhadap agama yang mereka anut…” atau dalam surat Ali ‘Imra@n (3): 195, “yaitu orang-orang yang hijrah dari kaum dan keluarga mereka yang kafir menuju saudara-saudara mereka yang beriman kepada Allah dan membenarkan rasul-Nya…mereka adalah orang-orang yang diusir oleh kaum musyrik Quraisy dari kota kelahiran mereka, Makkah…” , atau dalam surat al-Nisa>’ (4): 89, “yaitu orang-orang yang keluar dari da>r al-syirk dan penghuninya yang menyekutukan Allah menuju da>r al-Isla>m…” , atau surat al-Nisa@’ (4): 97 “orang-orang yang keluar dari tanah daerah asal mereka dan menjauhi orang-orang yang melarang mereka beriman kepada Allah dan mengikuti rasul Saw. menuju daerah yang tidak berada dalam kekuasaan ahl al-syirk, ..sehingga mereka dapat bertauhid dan beribadah…” atau juga surat al Nisa@’ (4): 100 “…memisahkan diri dari daerah penduduk syirk demi menjaga agama menuju wilayah penduduk Islam…” , atau pada surat al-’Anfa>l (8): 72, “orang-orang yang keluar dari kaum mereka yang kafir dari da>r al-h}}arb menuju da>r al-Isla>m…” . Juga pada surat al-Nah{l (16): 41, “yaitu orang-orang yang memisahkan diri dari kaum mereka, lingkungan dan negeri mereka karena permusuhan terhadap kekufuran mereka menuju wilayah lain…yang dimaksud mereka adalah masyarakat Makkah…” , atau al-Nah{l (16): 110 “orang-orang yang berhijrah atau berpindah dari rumah-rumah dan perkampungan yang musyrik menuju da>r al-Isla>m…setelah mereka mengalami fitnah dari kaum musyrik….”
Begitu juga dalam surat al-H{ajj (22): 58, “orang-orang yang memisahkan diri dari negeri dan keluarga mereka. Mereka meninggalkan semua itu untuk mencari rida Allah dan taat kepada-Nya serta berjihad terhadap musuh-musuh-Nya…” secara lebih spesifik—dengan merujuk pada hadis-hadis yang dianggap sebagai asba>b al nuzu>l, al-T{abari> juga menjelaskan bahwa hijrah itu adalah aktivitas dari Makkah menuju Madinah, seperti dalam surat al-Nu>r (24): 22, “yakni orang-orang yang hijrah dari rumah-rumah mereka, dari harta benda mereka demi berjuang melawan musuh Allah…mereka adalah orang-orang yang berhijrah dari Makkah ke Madinah…” atau juga dalam surat al-H{asyr (59): 8 & 7, “..orang yang berpindah dari Makkah menuju Madinah… muhajir adalah orang-orang yang meninggalkan rumah, harta dan keluarga mereka karena kecintaan kepada Allah…dan memilih Islam….” .
Kata hajara dalam arti menyingkir tetapi tidak dalam bentuk hijrah dari satu wilayah ke wilayah lain juga terdapat dalam, misalnya, surat al-Furqa>n (25): 30 yang oleh al-T{abari> ditafsirkan dengan, “tidak mendengarkan dan mengacuhkan al-Qur’an” . Dan dengan arah yang berbeda, makna di atas terdapat dalam surat al-Muzzammil (73): 10 “al-hajr al-jami@l adalah hijrah ke Zat Allah”. Tetapi hijrah juga dapat berupa meninggalkan perbuatan yang dapat menyebabkan datangnya siksa, seperti dalam surat al-Muddas\s\ir (74): 5, yang oleh al-T{abari> ditafsirkan sebagai, “..meninggalkan menyembah berhala, atau perbuatan yang dapat menimbulkan ‘azab…”
Demikian penafsiran kata h-j-r oleh al-T{abari> yang cenderung memberikan penafsiran dengan mengacu pada hadis atau syair-syair yang relevan dalam pemakaian kata tersebut dalam masyarakat Arab. Hal ini memiliki sejumlah perbedaan dengan penafsiran dari Sayyid Qut}b, yang meski merujuk pada peristiwa hijrah nabi dari Makkah ke Madinah, tetapi dalam penafsirannya atas beberapa ayat ia memberikan penekanan tentang relevansi ayat tersebut dengan konteks zamannya.
Hal ini terbaca misalnya, dalam surat Ali ‘Imra>n (3): 195, Qut}b menulis, “…yakni orang-orang yang hijrah dari Makkah, dan keluar dari kampung mereka demi akidah…tetapi hal ini merupakan gambaran para pemilik akidah yang murni…di belahan bumi manapun dan kapanpun…gambaran tersebut muncul dalam suasana jahiliyah —jahiliyah apapun— di bumi yang terdapat pertentangan —bumi manapun— dan antara dua kaum yang bersitegang —kaum apapun—….” . Atau dalam surat an-Nisa>’ (4): 89, “orang yang hijrah dari da>r al-h}arb ke da>r al-Isla>m…da>r al-h}arb pada saat itu adalah Makkah tempat asal para Muhajirin…hingga mereka menyatakan dengan kalimat Islam, berkumpul dalam masyarakat muslim—di mana hijrah mereka demi jalan Allah–..dan demi menegakkan masyarakat muslim yang hidup dalam sistem yang Islami…” . Atau al-Nisa@’ (4): 97, “..hijrah ke da>r al-Isla>m…hukum hijrah ini tetap berlaku hingga akhir zaman…melampaui keadaan khusus, dalam sejarah tertentu yang dituju teks…hukum ini berlaku umum…setiap muslim patut melakukankannya —di bumi manapun— untuk mengamankan agamanya, hijrah dengan membawa akidahnya, dan hidup secara Islami dalam naungan syari’at Allah…”. Seruan hijrah pada saat ini mendapatkan relevansi karena situasi saat ini sudah kembali ke zaman jahiliyah, sebagaimana jahiliyah pada masa nabi….”
Di tempat yang berbeda dalam surat al-Nah}l (16): 41, Qut}b, menulis, “hijrah, berpindah dari rumah-rumah, harta benda, melepaskan semua yang mereka miliki dan cintai, mengorbankan kabilah dan keluarga dan semua yang mereka senangi… mereka adalah orang-orang yang mengharap akhirat sebagai ganti atas semua yang mereka lepaskan…” .
Penyelamatan akidah merupakan motif utama dalam hijrah, sebab akidah merupakan sesuatu yang agung karena itu “jika mereka difitnah oleh kaum musyrik, mereka harus hijrah jika terdapat kesempatan…guna memperbaiki keislaman mereka” . Sebab hijrah dalam al-Qur’an menurut Qut}b adalah “hijrah fi> sabi>lilla>h, sebuah perjalanan menuju da>r al-Isla>m dan kehidupan di da>r al-Isla>m,” bukan sekedar hijrah demi untuk tujuan perdagangan, pekerjaan akan tetapi kepada Tuhan.. hijrah dengan hati dan akidah sebelum hijrah dengan daging dan darah, hijrah semacam ini diperlukan untuk memurnikan ibadah, hati jauh dari kekufuran dan kesesatan…”. Selain itu, hijrah fi@ sabi>lilla>h juga diartikan sebagai, “melepaskan semua yang menipu jiwa; baik berupa warga masyarakat atau negeri, harta benda dan segala perangkat-perangkat hidup dan mengutamakan akidah di atas segalanya demi mencari rida Allah….”
Dalam konteks ayat yang berbeda, Qut}b juga menafsirkan hijrah dengan arti menyingkiri atau mengacuhkan, misalnya terdapat dalam surat al-Muddas|s||ir (74): 5 dan al-Muzzammil (73): 10. Surat al-Furqa>n (25): 30 yang menyinggung soal hijrah terhadap al-Qur’an. Ia menulis, “hijrah terhadap al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada hambanya agar menjadi peringatan bagi mereka… hijrah dengan menutup telinga-telinga mereka untuk mendengarkannya… tidak merenungkan makna-maknanya agar mendapatkan kebenaran darinya, dan memperoleh petunjuk dari pancaran cahayanya, tidak menjadikannya sebagai dustu>r bagi kehidupan mereka….” Begitu juga pada surat Maryam, ketika terdapat ayat yang berbunyi wahjurni> maliyya, Qut}b menafsirkannya dengan ib‘ad ‘anni> (menjauh dariku).
BAB III
ANALISIS STRUKTUR SEMANTIK PANDANGAN DUNIA HIJRAH
A. Makna Dasar
Bahasa merupakan satu sistem lambang bunyi yang arbitrer dan bermakna serta berfungsi sebagai sarana komunikasi, demikian para linguis mendefinisikan bahasa. Dalam kerangka semantik, pelacakan makna mendapatkan perhatian yang begitu besar. Langkah awal yang ditempuh adalah pencarian dan penentuan makna dasar kata sebagai salah satu konsep metodologi semantik utama. Makna dasar itu sendiri memiliki sisi nyata bahwa masing-masing kata individual, diambil secara terpisah, memiliki kandungan kontekstualnya sendiri yang akan tetap melekat pada kata itu, meskipun kata tersebut diambil di luar konteks. Atau dengan kata lain, sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri yang selalu terbawa di manapun kata itu diletakkan.
Cara kerja pencarian makna dasar dapat diperoleh melalui pengertian makna leksikal dan gramatikal. Berkaitan dengan ini perlu disadari sebuah kenyataan bahwa makna leksikal dapat berubah ke dalam makna gramatikal secara operasional. Bahkan dapat dikatakan kamus sebagai media representatif makna leksikal selalu menguatkan makna dengan meletakkan kata bersangkutan dengan kalimat. Dengan demikian, dalam kasus ini, kata hijrah sebagai tema sentral penulisan perlu dicarikan makna dasarnya. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi gerakan-gerakan dalam ruang cakupan kata terkait.
Asal kata hijrah adalah هجر yang mengandung arti: memutuskan, meninggalkan, berpisah dengannya, mengigau, mengikat dan lain-lain. هجر diartikan dengan صرمه (meninggalkan, memutus), dan sebagai antonim الوصل (menyambung). Sedangkan ’Isfaha@ni> mengatakan bahwa hijrah memiliki makna asli saling memutuskan dan saling meninggalkan atau berpisahnya seseorang dengan yang lain baik secara fisik, verbal ataupun qalb. Tiga hal ini dapat berlangsung secara simultan ataupun salah satu atau dua saja yang ditempuh. Singkatnya هجر dapat dimaknai:
يدل احد هما على قطيعة وقطع و الاخر على شد شئ وربطه.
Dari akar kata h-j-r memiliki ragam makna derivasinya. الهجرة berarti keluar dari satu daerah ke daerah lain. الهجر menunjuk arti tengah hari yang sangat panas, makna ini diperoleh karena matahari ada pada posisi ditengah meninggalkan pagi dan akan kewaktu sore. Dengan bentuk yang sama bisa berarti perubahan keadaan atau menunjukkan keadaan yang melebihi keadaan sebelumnya. Selain itu juga h-j-r bisa berarti ucapan yang buruk, menghina, ikatan yang kuat dan tempo.
Walaupun benar adanya tentang pendapat tidak ada sinonim dalam bahasa Arab, tetap tidak dapat dielakkan begitu saja sejumlah kata yang memiliki nilai sinonimitas pada titik-titik tertentu. Bagi kajian semantik hal ini dikenal dengan semantic field. Sehingga pada gilirannya akan dapat ditentukan posisi sentral (key word), posisi periferal (pinggiran) dan mana yang menempati posisi medium. Inipun terjadi pada kasus kata hijrah. Ada beberapa istilah dalam bahasa Arab yang berarti ‘menghindar’ di antaranya براء, ترك , خرج , إجتنب dan lain-lain. Untuk uraian lebih lanjut akan dibahas pada sub bab bidang semantik.
Meskipun dalam kasus apapun kata dan kalimat terjemahan tidak pernah mampu memberikan dasar yang dapat diandalkan untuk membicarakan struktur pandangan dunia sebuah bangsa, di sini penulis ingin mencoba memberikan gambaran tentang aktifitas alih bahasa. Kata هجر dan turunannya dalam bahasa inggris memperoleh banyak kata padanan, sebut saja sebagai contoh to emigrate, to dissociate, suffered exile, to talk nonsense, forsaking, exodus dan midday heat. Tetapi kerap pula dengan kesadaran kebahasaan dalam berbagai tulisan berbahasa Inggris kata hijrah tetap dipertahankan dalam bentuk aslinya. Dalam bahasa Indonesia terjemahan versi Departemen Agama memberikan arti; orang yang berhijrah, pisahkanlah, tinggalkanlah, perkataan keji, tidak diacuhkan dan jauhilah.
Untuk mendapatkan makna dasar hijrah, mau tidak mau, penulis tidak dapat mengabaikan observasi terhadap komunitas yang menggunakannya, yaitu bangsa Arab. Medan penelitian ini mencakup masa pra-Islam dan masa wacana Qur’ani. Ketika cakupan ini ditetapkan, otomatis akan menyentuh budaya Arab sebagai lapangan kajian ethnoliguistic yang akan membahas interrelasi antara pola-pola bahasa dan pola-pola kultural. Langkah ini harus ditempuh dengan mengingat adanya jalinan antara bahasa-pemikiran-sejarah sebagai deskripsi sejarah tentang respons suatu bangsa terhadap semesta. Meskipun kerangka kerjanya seperti disebut di atas, al-Qur’an sendiri sebenarnya menyediakan data-data makna dasar awal, dengan asumsi al-Qur’an membutuhkan proses pergeseran makna dalam logosfer Arab yang tidak mungkin terjadi secara revolutif.
Latar belakang bangsa Arab memiliki basis ekonomi yang boleh dikatakan telah maju, ini terbukti dengan adanya kegiatan diplomatik untuk membuat network dunia oleh orang-orang Qurays dan telah menghasilkan hubungan dagang yang cukup kuat dan luas. Sedangkan aktifitas dalam bidang politik, orang Arab, terutama Mekkah, terjadi ketika ada jaminan-jaminan keamanan, baik antara suku-suku Arab dengan kafilah dagang yang datang kedaerahnya, atau antara suku besar dan suku kecil membentuk konfederasi. Tetapi ada perubahan cara berpolitik setelah ada penyerbuan Abrahah ke Mekkah, pada penduduk Mekkah boleh dikatakan memiliki tatanan politik yang relatif mapan sebagai hasil dari munculnya rasa nasionalisme yang kuat. Yang paling menonjol dari kemajuan adalah kemajuan di bidang sastra. Arab sudah terkenal dengan rasa kebahasaan yang kaya akan perbendaharaan kata. Kompetisi pada zaman itu pun sudah banyak digelar, sebagai sarana unjuk kehebatan guna memperoleh prestise yang baik di masyarakat.
Semua bidang kehidupan di atas mewakili gambaran fundamental values orang Mekkah yang cenderung materialis. Segala sesuatunya hanya dilihat berdasar motivasi dan tujuan duniawi. Kasus yang cukup menarik adalah pola keagamaan penduduk Mekkah yang memiliki keunikan sendiri. Di satu sisi mereka percaya Allah yang notabene gaib, tetapi di satu sisi lain mereka tidak mempercayai hari kebangkitan atau ada kehidupan setelah mati yang juga bersifat gaib. Kehidupan keagamaan Mekkah ini merupakan hasil dari perkembangan yang cukup panjang. Di Mekkah sendiri terdapat penganut paganism, h}ani>f dan kristen. Bahkan menjelang kedatangan Islam jazirah Arab sedang mengalami Kristenisasi oleh Romawi. Jadi suatu kewajaran ketika penduduk Mekkah sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran Kristen disebabkan intensitas kontak dengan mereka
Menurut data sya’ir ’Abu> Tama@m, h-j-r dapat diartikan dengan ‘perjalanan’, ia berdendang:
فى صدر بقى الحب والبرحاء * ومسافة كمسافة الهاجرارتقى walaupun batas perjalanan itu selalu bertambah, namun dengan sisa harapan akan tanah lapang maka ia tetap meneruskan perjalanannya. Sedangkan Labi@d bin Rabi@‘ah dalam salah satu sya’irnya mengartikan h-j-r dengan ‘bergerak’, ia bersenandung dengan
لكا لمغتدي والرائح المتهجر * وانا واخوانا لنا قد تتا بعوا
Atau juga h-j-r dapat diartikan ‘perubahan ke arah yang lebih bagus’ ini terlihat dari sya’ir:
بأ شباه جدين على مثال *كعقر الهجري اذا بناه .
Menurut al-’Azhari>, seperti yang dikutip oleh al-Za@bidi>, kata hijrah digunakan oleh orang Arab untuk menunjukkan keluarnya badui dari sahara atau pedalaman ke kota, seseorang dikatakan hijrah apabila melakukan itu. Dan bagi setiap yang tetap tinggal di satu teritorial tetapi pindah ke kaum lainnya itupun disebut hijrah. Di sini penulis ingin memberikan unsur alternatif untuk definisi hijrah pra-Islam, menurut data historis orang Arab memiliki budaya nomad yang selalu berpindah untuk mencari tempat yang relatif lebih menjanjikan secara ekonomis, yaitu oase, aktifitas ini dapat merangkum berbagai makna hijrah. Mobilisasi ini hanya memiliki motivasi duniawi semata, yang nantinya akan dirasakan ada perubahan skala perioritas motivasi ketika kata hijrah diadopsi oleh Islam. Maka makna dasar hijrah pada pra-Islam yang dapat dipahami dari uraian di atas adalah adanya perpindahan baik sikap ataupun arah berdasarkan pertimbangan profanitas.
Pelacakan makna hijrah dalam tradisi Kristen pra-Islam menemukan berbagai kendala. Sebagai contoh, walaupun tentang keterpengaruhan pemikiran orang Mekkah oleh ajaran Kristen sudah tidak bisa diragukan lagi, hanya saja tidak ada bukti yang otentik tentang adanya terjemahan Injil ke dalam bahasa Arab sebelum datangnya Islam. Satu-satunya bukti yang dapat diperoleh hanya tentang hadis riwayat Bukhari. Hadis tersebut menceritakan adanya dialog antara Muh}ammad, Khadi@jah dan Waraqah bin Naufal penganut Kristen. Di dalamnya terungkap adanya penyetaraan status antara Muhammad dengan Musa oleh Waraqah, dengan dalih sesuatu (na>mu>s) yang datang kepada Muhammad adalah sama dengan yang datang kepada Musa. Begitu juga resiko yang dirasakan Musa akan dirasakan pula oleh Muhammad, yaitu terusir dari tanah air. Waraqah ketika mengatakan akan terusirnya Muhammad menggunakan kata يخرجك, pemilihan kata ini dapat dipastikan untuk menunjuk peristiwa eksodus dalam Injil, yang menceritakan keluarnya Musa berikut pengikut dari Mesir. Korelasi hadis ini dengan pembahasan makna hijrah akan memperoleh persambungan apabila kata خرج masuk ke dalam kajian semantic field yang terbangun oleh kata hijrah. Karena bagaimanapun, dalam sistem Qur’anik kata خرج terkadang dipakai sebagai sinonim dari kata hijrah.
Langkah berikutnya dalam pencarian makna dasar adalah penggunaan kata hijrah dalam al-Qur’an. Di sini penulis akan memulai dengan menyatakan bahwa hijrah, di samping iman dan jiha@d, menurut konsepsi al-Qur’an mengenai fenomena tersebut merupakan salah satu ciri utama bagi makna kombinatoral s}a>diqu>n, fa>’izu>n, mu’min haq.
Hijrah memiliki dimensi arah dan sikap. Dimensi arah sangat berhubungan dengan soal tempat di mana kebanyakan istilah dan atau konsep hijrah menggambarkan garis lurus berkenaan dengan arah yang benar, jalan yang harus diikuti dan ditempuh, serta tujuan yang harus dicapai. Tetapi kata hijrah tidak terbatas pada makna metafor yang sederhana, seperti terdapat pada keumuman ayat makkiyah, kata hijrah pada masa Madaniyah masuk ke dalam dataran aplikatif yang konkrit dengan adanya mobilisasi fisik yang cenderung memiliki muatan politis di samping religius. Kemudian, dimensi sikap mencakup soal-soal kesadaran dan pencerahan untuk melepaskan diri dari kondisi diz}a@limi dan fitnah serta sekaligus mengandung nilai kesabaran aktif dan harapan optimistik dalam tujuan kehendak mengubah jalan hidup untuk lebih baik.
Pada awal penurunan wahyu secara kronologis, periode Makkiyah cenderung menggunakan arti hijrah dengan berbagai alternatif. Seperti ‘menghindar’ atau ‘menjauh’ ini terlihat dari al-Muddas\s\ir [74]: 5, pemilihan kata dalam menerjemahkan ayat di atas harus hati-hati, karena bagaimanapun terjemahan versi Depag rawan kepada kesalahan berlanjut. Dalam surat al-Furqa@n [25]: 30, kata hijrah dapat diartikan ‘ucapan yang buruk’, dalam artian kaum kafir Mekkah menganggap al-Qur’an sebagai sihir yang keluar dari mulut orang gila, karenanya pula al-Qur’an tidak diacuhkan. Dalam Maryam [19]: 46, hijrah berarti ‘menjauh untuk meninggalkan’. Sedangkan pada al-Nah}l [16]: 41 dan 110 menunjuk arti memutuskan yang pertama untuk mengikat yang lain. Arti menghina dapat dilihat pada al-Mu’minu@n [23]: 67 dengan asumsi yang sama dengan al-Furqa@n [25]: 30. Dalam al-Ankabu@t [28]: 26 hajara berarti ‘keluar dari satu daerah ke daerah lain’, dan memiliki asumsi yang sama dengan al-Nah}l [16]: 41.
Sedangkan ayat Madaniyyah yang menunjukkan makna gramatikal adalah al-Nisa@’ [4]: 34, untuk menunjuk ‘memisahkan diri untuk sementara’. Selain itu, ada ayat yang penempatan kronologisnya masih dalam polemik. Sebagian, seperti versi Mesir dan ’Isfaha@ni>, beranggapan bahwa al-Muzzammil [73]: 10 adalah bagian dari Madaniyah. Sedangkan sebagian yang lain, seperti Noldeke, menganggap masuk ke dalam Makkiyyah. Tetapi yang jelas ayat ini menunjukkan kemungkinan arti hijrah yang menurut penulis lebih cocok diartikan ‘berkilahlah’ ketimbang arti yang diberikan oleh Depag dan Yusuf Ali yang mengartikannya ‘jauhilah’ dan ‘leave’ Pemaknaan semacam ini dapat diperoleh dari pemahaman terhadap kata s}abr yang jika dikaitkan dengan ucapan akan bermakna kitma@n (rahasia).
Pada masa Madaniyah, kata hijrah sudah mendapatkan definisi yang ketat. Hijrah berarti mobilisasi sikap dan arah dari kondisi da>r al-kufr yang penuh kez}a@liman dan fitnah menuju kondisi da>r al-’Isla>m yang penuh dengan harapan rahmat dan rida Allah SWT. Perubahan makna relasional semakin kuat dalam sistem kosa kata al-Qur’an yang menunjukan visi monotheisme, dengan demikian mengatasi makna dasar awalnya sedemikian rupa sehingga menghasilkan kata baru dengan makna dasar seperti yang disebut pada awal paragraf. Fenomena ini mengakibatkan adanya pergeseran skala perioritas motivasi, hijrah dilakukan dengan motivasi Allah dan rasul. Sedangkan ekses ekonomis dan politis adalah akibat dari menjalankan titah Allah SWT.
B. Makna Relasional
Selain sebagai alat komunikasi, bahasa pun dapat dijadikan sebuah ciri bagi bangsa pemakainya. Pernyataan di atas berlandaskan asumsi bahwa bahasa merupakaan cermin bagi pemakai dalam melihat alam semesta sedemikian rupa sehingga mampu menkonstruk sebuah weltanschauung yang khas. Weltanschauung sendiri terbentuk dari proses panjang, bahkan masih tetap berlanjut, dari cermatan, pemilahan dan kombinasi berbagai tanda yang disepakati sampai pada titik-titik tertentu mencapai sebuah kematangan bahasa.
Berbicara seputar bahasa Arab, Gustave Lebon, seperti yang dikutip Cawidu, menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa bahasa Arab telah mencapai puncak kematangan pada abad ke-5 Masehi atau satu abad sebelum kelahiran rasulullah. Data-data selalu berbicara tentang kekayaan bahasa Arab, baik dari segi bentuk derivatifnya, maupun dari segi keragaman kata untuk menunjuk objek yang sama tetapi memiliki nuansa. Meskipun demikian Ahmad Amin mengingatkan bahwa bahasa Arab, bila dibandingkan dengan bahasa Yunani, hanya memiliki kesan seperti mutiara-mutiara yang berserakan tanpa terbentuk dalam jalinan sebuah kalung. Ini dikarenakan bangsa Arab dalam membangun weltanschauung kurang konprehensif tidak mencakup semua dunia being dan mengaitkannya dari satu ke yang lain. Tetapi sebaliknya Yunani dengan ciri berfikir filosofis telah melakukan itu semua.
Terlepas dari penilaian dari berbagai segi tersebut, penulis ingin mendeteksi perubahan-perubahan yang dialami bahasa Arab sebelum dan sesudah bersentuhan dengan Islam. Proyek ini dilakukaan guna membuktikan terdapat pergeseran makna akibat adanya perubahan pandangan dunia yang ekstrim. Berbagai survey menyimpulkan bahwa pra-Islam dan Islam selalu ditempatkan secara diametrikal berlawanan satu dengan yang lainnya.
Hipotesis yang dipasang dalam penelitian ini adalah dikarenakan adanya perubahan weltanschauung otomatis akan membawa pergeseran makna, walaupun masih menggunakan kata-kata yang sama, diakibatkan perubahan kombinasi relasional dalam struktur bahasa atau perubahan makna relasional. Makna relasional sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang konotatif diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus pula, berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut. Kajian semacam ini penting dan dibutuhkan, karena bagaimanapun sebuah kata tidak bisa tidak dipengaruhi oleh kata-kata di sekelilingnya.
Pada periode Makkiyyah, ayat hijrah belum memiliki makna relasional yang baku. Berbagai relasi dikonotasikan dengan hijrah, sebut saja komunikasi baik verbal ataupun behavior, ini dapat dilihat pada kasus nusyu>z’ dan hardikan kaum Mekkah kepada al-Qur’an. Hijrah pun digunakan untuk menunjukkan pemisahan, seperti kedua kasus Ibrahim as. Pada masa penurunan wahyu berikutnya, makna relasional hijrah mengalami transformasi ke arah yang lebih khusus.
Dalam berbagai ayat, hijrah selalu disandingkan secara gramatikal dengan kata ’i@ma@n dan jiha@d. ’I@ma@n sebagai landasan berhijrah sedangkan jiha@d adalah aksi konkrit dari ’i@ma@n dan hijrah. Atau dengan arah yang berbeda, hijrah adalah syarat untuk berjiha@d. Hijrah pun tidak bisa bebas dari konsep sabi>l, ini begitu penting karena disebut dalam berbagai ayat hijrah. Tentunya yang pasti harus selalu dikaitkan dengan hijrah adalah Allah dan rasul, dengan alasan tanpa keduanya hijrah takkan ada.
1. Relasional Allah
Ketika berbicara konsep-konsep tertentu yang terdapat dalam al-Qur’an, seseorang tidak bisa meninggalkan dan mengabaikan begitu saja terhadap kata fokus tertinggi yang terdapat dalam al-Qur’an. Kata fokus tertinggi itu adalah ‘Allah’. Demikian pula, penulis ketika ingin mencoba merangkai pandangan dunia hijrah mau tidak mau harus melihat kata fokus Allah. Semua ajaran dalam al-Qur’an tidak pernah bisa lepas dari sisi monotheistik.
Artikulasi hijrah dalam al-Qur’an memiliki ragam kontekstual yang masing-masing memiliki titik tekanan yang khas. Semuanya masuk dalam kerangka menjalankan ajaran Allah. Tentu dengan pengecualian kasus sikap para pembangkang jahiliyah. Essensi Pengalaman keagamaan dalam Islam adalah tauhid. Pengakuan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dengan mendeklarasikan La> Ilah Illa Alla>h. Bagi Muslim, tauhid harus dijadikan sebagai inspirasi dan sekaligus pertimbangan dalam melakukan segala aktifitas. Bukan hanya sebatas mentauhidkan sesembahan, akan tetapi segala macam bidang kehidupan haruslah diukur dengan tauhid. Tidak ada satupun perintah dalam Islam yang bisa dilepaskan dari tauhid. Allah harus selalu ditempatkan dalam posisi sebagai sumber dan akhir dari segala kegiatan.
Dalam kasus hijrah, Allah dijadikaan sebagai niat awal dan tujuan akhir bagi para muhajir. Niat agar bisa menjalankan ajaran Allah dan tujuannya adalah sebagai bukti keta’atan kepada Allah. Hijrah sendiri dianggap batal apabila menggunakan niat dan tujuan selain Allah. Karena bagaimanapun, tanpa tauhid takkan ada Islam. Wajarlah jika Allah dan rasul-Nya menempatkan tauhid pada status tertinggi dan menjadikannya penyebab kebaikan dan pahala terbesar. Bahwa tauhid adalah perintah Allah yang tertinggi dan terpenting dibuktikan oleh kenyataan adanya janji Allah untuk mengampuni semua dosa kecuali pelanggaran terhadap tauhid.
Sifat omnipresent dan omnipotent Allah memungkinkan bagi-Nya untuk mengetahui serta mengawasi segala bentuk kegiatan lahiriah ataupun batiniah. Allah meliputi dan mempengaruhi segala apa yang ada di dunia. Bagi muslim, Allah harus tetap sebagai Tuhan di manapun, kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun, baik di waktu sempit ataupun lapang. Singkatnya Islam menempatkan Allah sebagai inti dari segalanya. Ini pulalah sebenarnya yang membedakan antara Islam dengan Jahiliyah. Jahiliyah menempatkan Allah bukan pada posisi sentral, hanya akan muncul pada saat-saat tetentu. Diperparah lagi dengan posisi struktural Allah yang memiliki tuhan-tuhan kecil.
Seperti telah disebutkan di atas, semua hal termasuk hijrah tidak bebas dari Allah. Dalam berbagai ayat hijrah hanya sebagian yang secara eksplisit menyebutkan Allah, baik dengan kata Allah ataupun Rabb . Pemakaian kata Rabb kaitannya dengan hijrah adalah untuk menegaskan kembali niat awal untuk melaksanakan hukum Allah. Rabb memiliki turunan tauhid rubu>biyyah yang berkonotasi dengan hukum.
2. Relasional Rasul
Figur lain yang harus selalu menjadi panutan sekaligus memiliki otoritas adalah rasul. Pandangan paling umum diterima bahwa rasul berarti yang memiliki pewalian otoritas dari Sang Pengutus, makna harfiahnya berarti ‘utusan’. Rasul memiliki tempat yang sama dalam kapasitas otoritas dengan Allah, tentu hal ini sesuai dengan dan atas izin-Nya. Terkadang pula rasul dipisahkan, secara susunan segmental, dengan Allah, dalam pengertian adanya perioritas berdasar kualitas ontologis. Dalam sistem Qur’anik, rasul hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan Allah, karena selain asumsi keta’atan kepada rasul adalah sekaligus ta’at kepada Allah, pun seseorang dapat disebut ka@fir haq jikalau membuat pemilahan antara Allah dan rasul.
Rasul selalu saja dihubungkan dengan wahyu. Karena bagaimanapun wahyu merupakan media komunikasi verbal antara Allah dan manusia. Perlu dicatat, Muhammad bukanlah tujuan akhir, tujuan wahyu harus menjangkau manusia seluruhnya. Berbeda dengan tradisi agama semitik lain, dalam Islam diyakini akan kemurnian wahyu sebagai firman Tuhan disampaikan oleh Muhammad tanpa ada sedikitpun perubahan. Disebut rasul karena kapasitasnya sebagai penyampai firman-firman Allah. Dari sini muncul persoalan tentang tabli>g ‘penyampaian’. Allah menekankan hal ini dengan mengingatkan kepada rasul agar menyampaikan segala apa yang didapat.
Sosok misterius yang pasti dihubungkan dengan rasul adalah malaikat Jibril. Dalam banyak informasi kenabian (hadis) Jibril merupakan utusan Allah untuk menyampaikan wahyu kepada Muhammad. Pada awalnya makhluk agung dan gaib ini pada periode Mekkah disebut dengan nama simbolik ru>h al-quds dan atau al-ru>h al-ami>n. Kemudian periode Madinah Roh suci ini disebut malaikat Jibril. Pengungkapan peran sosok ini, terutama pada Makkiyyah, sebagai penegasan bahwa wahyu bukan merupakan ilham yang berasal dari jin. Ini berguna untuk bantahan terhadap anggapan para kafir Qurays yang menyimpulkan Rasul majnun (kerasukan jin).
Rasul membawa risalah Ilahi selalu bertolak belakang dengan pegangan ideologi hidup masyarakatnya. Hal yang sudah jelas menurut sistem Qur’anik mereka dalam keadaan kesesatan nyata. Melalui bimbingan rasul, para muslim dipersiapkan sebagai komunitas terbaik ‘khair ummah’ sebagai aktualisasi pengolahan potensi primordial (fit}rah).
Sebagai syarat terbentuknya khair ummah, para muslim diperintahkan untuk selalu menerima apa-apa yang datang dari rasul, sekaligus meninggalkan apa yang dilarang. Sikap penerimaan kebijakan rasul dalam menghakimi sesuatu dapat dijadikan patokan iman tidaknya seseorang. Benar sepenuhnya rasul adalah basyar yang memiliki sifat keumuman manusia, juga benar adanya rasul adalah basyar yang diberi wahyu guna menetapkan dan melaksanakan hudu>d Allah, baik itu perdata maupun pidana. Bahkan dalam teknis strategi perjuangan rasul mempunyai kelayakan untuk menjadi rujukan terbaik ‘uswah hasanah’.
Mempetimbangkan kapasitas rasul sedemikian rupa itulah, segala sesuatu yang berkaitan dengan hijrah harus diukur melalui kebijakan-kebijakan rasul. Rasul banyak mengeluarkan berbagai keputusan dalam hal ini. Pada periode Mekkah, rasul melalui bimbingan al-Qur’an menerapkan hijrah ‘fisik’ dengan mendirikan Da>r al-’Arqam sebagai cerminan diferensiasi ideologis. Tetapi pada periode yang sama, rasul dengan bekal analisa politik internasionalnya mengeluarkan kebijakan untuk para pengikutnya agar mencari suaka politik ke negeri Habsyi. Baru pada masa transisi, rasul memerintahkan kepada ummat untuk hijrah ke Yatsrib, karena dari sana rasul, setelah mengadakan serangkaian kesepakatan politik, dipastikan mendapatkan jaminan politik yang penuh.
Meskipun periode Madinah adalah gambaran representatif bagi Islam ka>ffah, data-data sejarah menginformasikan masih ada perintah hijrah bagi kaum muslimin. Suasana semacam itu semakin jelas pada saat menjelang perang ’Ah}za>b. Muhammad mengeluarkan maklumat kepada muslimin yang berada di luar Madinah, di manapun mereka berada, untuk segera hijrah memasuki Madinah. Langkah ini diambil rupanya untuk memperkuat Madinah dalam rangka menghadapi musuh gabungan kafir. Setelah pihak Madinah mampu mengatasi keadaaan, Muhammad menerbitkan maklumat susulan yang isinya agar mereka kembali ke tempat asalnya masing-masing. Fase berikutnya terjadi pada waktu penaklukan Mekkah. Rasul dengan berbekal analisa agama dan politik bersabda tidak ada hijrah setelah penaklukan. Pada tahap ini pulalah makna hijrah semakin jelas definisinya. Fath} al-Makkah menggambarkan telah hilang kez}a@liman dan fitnah. Jadi, walaupun benar sabda ini terjadi pada penaklukkan Mekkah, tetapi hendaklah jangan disalahtafsirkan perintah hijrah telah dihapus. Karena bagaimanapun, banyak pertimbangan data sabda rasul yang menunjukkan hijrah tetap selalu ada selama matahari terbit dari timur.
3. Relasional Iman
Agama berfungsi sebagai proses pelunasan ‘hutang janji’ manusia kepada Allah. Ini terpahami kalau mengingat bahwa manusia pada dimensi ruh telah bersaksi akan ke-Rabb-an Allah. Oleh karena itu pula risalah Ilahi disebut al-Di>n. al-Di>n menurut filolog berasal dari akar kata د – ي – ن dapat bermakna adanya transaksi antara kedua belah pihak, satu di antaranya mempunyai posisi lebih tinggi. Dengan kerangka di atas, dapat dijelaskan bahwa rasul ditugaskan oleh Allah untuk mengingatkan kembali manusia akan janji yang pernah mereka ikrarkan. Rasul dipersiapkan untuk membangun jalan lurus menuju surga.
Respon terhadap risalah ini mengakibatkan terbentuknya dua jalan, iman dan kufur. Dua istilah ini memiliki posisi kontradiktif satu sama lainnya. Perlawanan konseptual yang fundamental ini kemudian dalam sistem Qur’anik kian menguat. Sebenarnya antitesis iman dan kufur sudah tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut, tetapi dikotomi dasar ini merupakan catatan kunci bagi dan dari sistem Islam.
Karakter yang melekat pada mu’min dan kafir selalu dilawankan dalam penjelasannya. Sebut saja ketika orang beriman berperang di jalan Allah, orang kafir berperang di jalan t}a>gu>t. Atau juga pola hidup di dunia dua kubu ini jelas sekali memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Orang beriman selalu berbuat kebajikan (amal salih) di dunia baik itu berupa membangun relasi manusia dan Tuhan, juga membangun hubungan mutualism dengan sesama makhluk Tuhan. Sehingga wajarlah di kemudian hari mereka itu dijanjikan ganjaran surga tempat segala keindahan dan kenikmatan. Berbeda halnya dengan kafir, mereka di dunia hanyalah berbuat segala sesuatu tanpa harus berpikir, wajar apabila kemudian al-Qur’an menggambarkan mereka seperti makannya binatang-binatang. Tetapi atas segala fasilitas Allah yang mereka konsumsi, tidak sedikitpun terbersit untuk berterima kasih, dan inilah makna dasar awal dari kufr yaitu orang yang tidak berterima kasih. Kaitan dengan ini Izutsu menulis:
Kadangkala yang menjadi sasaran ketidakpercayaan adalah ajaran tentang Hari Kebangkitan, yang merupakaan salah satu pokok ajaran Islam. Di sini kufr merupakan penolakan untuk menerima ajaran tersebut dengan alasan bahwa hal itu benar-benar mustahil dan fantastik. Hal itu ada kaitannya dengan reaksi terhadap ‘berterima kasih’, dan masalah itu tergantung pada diterima atau tidaknya ajaran semacam itu bagi pikiran manusia. Orang-orang kafir adalah mereka yang secara pasti mengambil sisi akal dalam masalah ini sehingga menganggap sepi terhadap wahyu.
Sikap penerimaan terhadap al-Qur’an membutuhkan ongkos yang mahal. Al-Qur’an mempengaruhi penganutnya untuk selalu mengadakan perlawanan dan pergumulan wacana dengan para pembangkang. Sampai-sampai akhirnya dalam kehidupan yang real, wilayah konflik tidak terbatas hanya pada bidang agama, tetapi meluas kepada segala aspek kehidupan. Kebijakan Da>r al-Nadwah menetapkan pemboikotan ekonomi, selain kebijakan pengisolasian hubungan sosial. Bahkan sampai kepada upaya membuat kesepakatan politik. Muhammad, sebagai pimpinan komunitas baru, diajak untuk sharing kekuasaan. Muhammad ditawari kursi pimpinan tetapi dengan syarat membubarkan Da>r al-’Arqam sebagai wadah representatif bagi Islam di Mekkah.
Bukanlah hal yang keliru apabila kemudian iman dan kufur tidak dimaknai hanya sekedar diferensiasi teologis, tetapi juga sebagai diferensiasi ideologi politis. Diceritakan dalam sejarah bahwa para pembesar Mekkah saat itu sudah cenderung menerima seruan Muhammad, hanya saja mentah kembali dikarenakan upaya politis di atas mengalami kebuntuan. Muhammad dan ajarannya telah menjadi agenda utama pada sidang-sidang Da>r al-Nadwah. Serangkaian pertemuan terus diadakan guna mencari jalan untuk mengatasi kelompok Muhammad yang sudah semakin besar dan berpengaruh.
Melihat iklim politik yang tidak kondusif, Muhammad kemudian memerintahkan pengikutnya untuk mencari suaka politik keluar negeri, dan akhirnya dengan kalkulasi yang tepat Muhammad menunjuk negeri Habsyi. Beliau sendiri, walaupun tidak ikut ke Habsyi, tetap mencari peluang ke luar daerah. Rasul mengalami kegagalan di Ta’if, penduduk setempat rupanya tidak jauh berbeda dengan Mekkah. Rasul akhirnya memperoleh momentum penting pada saat event haji, beliau dengan pendekatan agama dan politik akhirnya mampu meyakinkan pihak Yatsrib untuk menjamin beliau dan pengikutnya. Serangkaian usaha itu tidak lain hanyalah untuk upaya merealisasikan keimanan mereka secara aman dan bebas tanpa ada kez}a@liman dan fitnah yang menganggu. Akhirnya hijrah dapat dipahami sebagai cara atau strategi perjuangaan guna menjalanakaan keimanan. Hijrah ada karena iman. Keyakinan Syari’ati tentang hubungan antara ’i@ma@n-hijrah-jiha@d bukanlah hubungan tanpa sebab, memperoleh pembuktian yang nyata dengan uraian di atas.
4. Relasional Jiha@d
Kekurangan dalam mewadahi pandangan dunia bahasa yang sedang diterjemahkan terasa pula pada kata jiha@d. Bahasa Inggris, dengan kontroversial, menerjemahkaan jiha@d menjadi holy war. Sedangkan bahasa Indonesia mengalami sikap yang lebih membingungkan, terkadang diterjemahkan menjadi ‘perang yang bersifat fisik’.
Jiha@d sebenarnya memiliki makna kesungguhan usaha dalam mencapai dan mempertahankan sesuatu, lebih umum diartikan ‘sungguh-sungguh’. Kata turunan جهد diperkenalkan dalam fase kronologis Makkiyah dengan kesungguhan usaha baik dalam arah verbal, fisik atau aksi. Dalam cara verbalis, jiha@d digambarkan dalam kesungguhan bersumpah. Sedangkan dalam dataran aksi, terlihat pada usaha maksimal para orang tua Mekkah dalam propaganda untuk tetap musyrik, ini nyata terkait jiha@d. Sedangkan ayat jiha@d, pada periode Makkiyyah, yang diperuntukan kepada kaum mu’min dimaknai sebuah deskripsi perjuangan maksimal dalam mempertahankan keyakinaan dan mencapai tujuan. Atau juga sikap komitmen dalam memegang keyakinan dan memberikan batasan yang ketat terhadap orang kafir.
Pada fase Madaniyah, jiha@d mendapatkan makna konotatif dengan sabi>l Allah. Jiha@d haruslah mencakup diri dan harta. Para nafs kaum muslim akan membentuk dengan sendirinya sebuah komunitas yang terorganisir. Dan juga amwa>l para muslim akan terhimpun guna membiayai mobilisasi ummat. Karena bagaimanapun, sejarah di berbagai belahan dunia menceritakan bahwa sebuah revolusi harus ditopang oleh masyarakat terorganisir dan dana yang memadai. Kedua unsur jiha@d ini semata-mata menuju ‘sabi>l Alla>h’.
Konotasi perang fisik terhadap jiha@d sebenarnya tidak memperoleh justifikasi dari al-Qur’an. Kalaupun mau, itu hanyalah sebagai bagian kecil dari jiha@d. Al-Qur’an banyak menggunakan kata dalam menunjuk makna ‘perselisihaan’. Kata yang lebih memiliki makna ke arah perang fisik contohnya adalah qita>l. Kata qita@l sendiri dalam beberapa ayat hijrah sering disebut. Qita@l akhirnya dapat dipahami sebagai resiko yang harus dialami oleh muhajir ketika mempertahankan akidah. Qita@l pun dalam hal ini merupakan perwujudan puncak dari jiha@d.
Maka jika semua arti dan maksud yang terkandung dalam uraian di atas dirangkum, maka jiha@d berarti usaha sungguh-sungguh yang berupa persediaan, persiapan atau kelengkapan pada jalan Allah, yang menuju ke arah kebenaran dan kenyataan, sepanjang ajaran agama Islam. Makna ini memperoleh korelasi dengan hijrah, ketika hijrah dimaknai sebuah proses perubahan sikap dan arah menuju pembangunan komunitas baru yang dapat dipastikan membutuhkan anfu>s dan amwa>l yang solid.
5. Relasional Sabi>l
Ada beberapa istilah al-Qur’an yang menunjukkan arti ‘jalan’. Akar kata s-b-l adalah kata yang paling sering muncul dalam al-Qur’an. Sy-r-‘a, t}-r-q, dan s-r-t} merupakan akar kata yang dapat dijumpai dalam al Qur’an yang juga menunjuk soal jalan. Kesemuanya ini dalam kajian semantik otomatis akan membantuk semantic field.
Sabi>l awalnya dapat diartikan ‘sebuah jalan yang penuh kesulitan’. Tidak ada perubahan berarti dalam perjalanan makna ‘sabi>l’, baik pada periode Makkah ataupun Madinah. Pada periode Makkiyyah sabi>l kerap diartikan dengan ‘cara’, tetapi dengan semakin menguatnya makna relasional sabi>l, kemudian mampu mengatasi makna dasar awal dan segera membentuk kata baru dengan makna dasar ‘kubu’ atau ‘pihak’. Dalam pengertian ini jelas sekali bahwa antara mu’min dan kafir adalah kubu yang berhadapan dan saling memerangi. Kesemuanya dipastikan harus memiliki perangkat struktur ataupun infrastruktur.
Menurut keterangan al-Qur’an sabi>l akan selalu dihubungkan dengan berbagai keadaan. Sebagai contoh dalam masalah da‘wah (seruan), nufu>r (instruksi untuk berangkat), i@ma@n (percaya), jiha>d (berjuang), hijrah (bergerak/pindah), diya>r (tempat tinggal), ard} (bumi), qita>l (perang), dan lain-lain. Sabi>l Alla>h bukan saja disandingkan, seperti banyak orang telah salah memahaminya, dengan jiha@d, tetapi juga disandingkan dengan hijrah. Para muhajir keluar dari suatu tempat menuju sabi>l Alla>h.
C. Struktur Dalam (Deep Structure) Hijrah
Mengenai hijrah, telah diketahui beberapa hal karena sudah diberikan referensinya berkaitan dengan aspek tersebut berlandaskan maknanya yang kompleks. Pada paruh pertama fase Mekkah, hijrah memiliki jangkauan relasional yang lebih luas. Hijrah dapat dihubungkan dengan perkataan, perselisihan, dan pengambilan sikap yang kesemuanya dapat dirangkum dalam persoalan komunikasi.
Berdasarkan analisis dimensi sikap dan arah, hijrah selalu dikaitkan dengan kez}a@liman dan fitnah. Kondisi ini melambangkan sebuah keadaan yang sudah tidak kondusif dan tidak layak untuk tetap tinggal di dalamnya. Tetapi dalam keadaan seperti ini dituntut adanya sikap sabar dalam artian positif dan klasiknya, yaitu mengesankan adanya usaha dalam menyikapi dengan keberanian berbagai fitnah dan kez}a@liman. Sekaligus memiliki harapan (raja>’) yang dapat diperoleh dari Allah, yaitu rahmat dalam bentuk sabi>l yang memiliki kriterium baldah tayyibah wa Rabb gafu>r.
Empat istilah ini selanjutnya dapat diklasifikasikan secara semantis menjadi deep structure, dengan pertimbangan ke empat istilah tersebut menjadi sesuatu yang pokok yang melatari pesan di balik kata hijrah. Sehingga dapat dipastikan bahwa ketika kondisi sudah tidak ada kez}a@liman dan fitnah maka hijrahpun dihapuskan. Sebaliknya, jika keadaan tersebut masih ada , maka hijrah tetap diberlakukan.
1. Z}ulm
Z}ulm sering diartikan kegelapan yang di dalamnya tidak ada cahaya. Tetapi kebanyakan ahli bahasa memaknainya ‘meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya’, baik dengan pengurangan atau melebihkan. Juga berkenaan tempat atau pun waktu. Dari makna tersebut dapat diperinci menjadi perbuatan aniaya yaitu dengan bertindak sedemikian rupa yang melampaui batas benar dan melanggar hak orang lain. Hal ini dapat dipahami dari janji Allah bahwa Dia tidak akan berbuat kez}a@liman kepada makhluk-Nya.
Karakter z}a@lim dalam sistem Qur’anik meliputi bagi mereka yang ‘memperolok-olok ayat Allah’, ‘mereka yang hatinya mengeras’, ‘orang yang menghalangi jalan Allah’, ‘orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah’, dan lain-lain. Kesemuanya memperlihatkan sebuah perbuatan aniaya dalam berbagai dimensi, apakah itu z}a@lim terhadap Tuhan, sesama manusia ataupun diri sendiri.
Selanjutnya, setelah mengetahui pelaku kez}a@liman, melangkah kepada al-Qur’an surat an-Nahl [16]: 41, orang berhijrah yang pada sebelumnya telah mengalami kez}a@liman, perlakuan aniaya yang melampaui batas dan melanggar hukum. Dengan demikian, melakukan perbuatan z{ulm adalah benar-benar menyakitkan seseorang tanpa alasan yang dapat diperkirakan, seperti terlihat pada kasus Ibrahim. Dengan cara yang sama, pengusiran orang-orang muslim dari tanah airnya oleh orang kafir tidak memiliki argumentasi yang dapat dipikirkan atau orang kafir tidak memiliki alasan yang kuat sampai mereka berani mengusir kaum muslim. Kecuali dari itu semua mereka hanya memandang bahwa keyakinan muslim tentang ‘Tuhan kami adalah Allah’ adalah perbuatan z}ulm bagi keyakinan konvensional yang ada pada saat itu di Mekkah. Mereka tidak dapat memahami alasan yang diberikan oleh al-Qur’an bahwa Tuhan adalah satu.
Meskipun perbuatan z}ulm dalam ayat ini tidak diperinci, tetapi dari rekaman sejarah dapat kita lihat bahwa pada saat itu terjadi pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran. Kebebasan beragama telah dilanggar sedemikian rupa sehingga berimbas kepada pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi lainnya, sebut saja pengisolasian ataupun penerapan sistem karantina kaum mu’allaf agar tidak dapat berhubungan dengan dunia luar. Pemberlakuan embargo ekonomi sekaligus pemutusan hubungan sosial secara massif. Bahkan lebih tragis lagi adanya sistem penyiksaan fisik yang benar-benar telah melampaui batas.
2. Fitnah
Kecenderungan mayoritas menerjemahkan fitnah sebagai ‘tuduhan’ cukuplah besar. Pemaknaan seperti ini sulit dilacak. Akan tetapi banyak data yang menggambarkan cakupan makna fitnah. Fitnah sendiri memiliki makna aslinya sebagai usaha memasukkan emas untuk dilebur guna dapat memisahkan yang baik dan yang buruk. Dalam sistem Qur’anik fitnah sering digunakan untuk menunjuk makna ‘ujian’, yang meliputi harta, akidah, istri dan anak, serta hewan ternak. Melihat jenis materi yang dijadikan bahan fitnah, bukan hal yang keliru kalau disimpulkan bahwa fitnah dalam pengertian ini adalah hal-hal yang memiliki nilai ‘perhiasan’ bagi manusia.
Kemudian pada transformasi wahyu selanjutnya, fitnah bisa dipahami sebagai kekacauan yang bersifat multidimensional sehingga mampu mengganggu pelaksanaan agama. Oleh sebab itu, kemudian Allah memerintahkan ummat Islam untuk memerangi orang yang membuat fitnah agar hanya agama Allah yang aman dan damai sajalah yang ada. Dalam konteks ini, fitnah lebih besar dosanya ketimbang membunuh di bulan Haram. Dengan kata lain, muslim tidak diperbolehkan mendiamkan fitnah menyebar walaupun harus melanggar hukum bunuh pada bulan haram, mengingat akibat yang akan ditimbulkan oleh fitnah tersebut.
Fitnah, seperti makna awalnya, dalam sistem Qur’anik dipakai untuk istilah ujian seleksi bagi orang-orang yang mengaku beriman, seseorang belum dikatakan beriman tanpa melewati ujian baik itu ujian dengan kelapangan ataupun kesempitan. Dalam kasus hijrah, fitnah memperoleh korelasinya ketika semua yang berangkat hijrah telah memenuhi ujian tersebut. Mereka semua telah lulus ujian dengan lebih mementingkan Allah dan rasul dari pada harta, anak, istri dan hubungan jahiliyah lainnya. Tetapi fitnah dalam ayat hijrah dapat pula diartikan ujian dalam arti negatif, tentunya selain pengertian yang telah disebut di atas, yaitu penyiksaan, penganiayaan. Kesemuanya itu dilakukan oleh ahli neraka yaitu orang kafir Qurays.
3. S{abr
S{abr dalam bahasa Indonesia mengalami reduksi yang mengarah kepada pengertian sikap nerima dalam bentuk negatif. Padahal s}abr, sebagai lawan jaza>’, memiliki pengertian kekuatan jiwa yang cukup agar tetap sabar dalam keadaan sengsara dan menderita serta gigih ditengah-tengah kesulitan dalam memperjuangkan tujuannya sendiri. Secara kebahasaan, s}abr berarti ‘bertahan dalam buruknya keadaan’. Kata s}abr adalah kata umum dimaknai tergantung keadaan. Jika menahan diri dalam musibah maka berarti tabah sebagai lawan kata dari gelisah, jika dalam pertempuran dimaknai keberanian sebagai lawan takut, jika dalam keadaan musibah yang membuat sempit , s}abr dimaknai lapang dada sebagai lawan tertekan, dan dalam keadaan menahan ucapan maka dimaknai ‘sembunyi’ atau ‘rahasia’ sebagai lawan kata bebas lepas.
Dalam al-Qur’an semua makna di atas digunakan pula. Akan mudah dilihat bahwa s}abr merupakan sifat kejantanan yang representatif dari serdadu di medan perang. Tidak ada keberanian tanpa s}abr. S{abr dalam pengertian الامساك في ضيق adalah aspek khusus dari keimanan. Karena bagaimanapun pada periode Mekkah kaum muslim mengalami berbagai kesempitan. Hidup ditengah-tengah orang yang memuja duniawi dan harus selalu bertahan dari serangan bertubi-tubi dari musuh agama. S{abr pada al-Muzzammil [73]: 10 dapat diartikan ‘menahan ucapan untuk tidak terpancing dengan perdebatan kosong’, juga ‘menahan ucapan dengan pertimbangan keamanan dalam pengertian stabilitas dalam berdakwah’. Sedangkan kata s}abr dalam al-Nah}l [16] : 110 dapat berarti ‘berani dalam menempuh segala resiko dan tetap berlapang dada’.
S{abr adalah aspek pendorong bagi terbentuknya sifat tidak takut menghadapi maut, bahkan terkesan selalu menantang maut dengan asumsi mati di jalan Allah akan mendapatkan status syahid.
4. Raja>’
Kata raja>’ amatlah penting dalam deep structure hijrah. Meskipun kondisi penuh dengan kez}a@liman dan fitnah tetapi apabila tidak ada raja>’, tetap seseorang tidak akan bergerak hijrah. Ini tergambar dengan peristiwa yang dikisahkan dalam al-Nisa@’ [4]: 97, mereka hanya mampu memastikan diri mereka dalam keadaan teraniaya tanpa adanya pikiran untuk melepaskan diri dari keadaan semacam itu, bahkan pada akhirnya mereka sendiri disebut menz}a@limi diri sendiri. Raja>’ selalu beriring dengan khauf, dalam sebuah pengharapan hampir dapat dipastikan terdapat kekhawatiran. Raja>’ sering dimaknai sebagai ‘prakiraan terhadap sesuatu yang diperlukan dan hasilnya diharapkan menyenangkan’.
Salah satu pembeda antara kafir dan muslim pun dapat dilihat dari kata raja>’. Dikatakan orang yang tidak memiliki harapan pertemuan dengan Allah dan lebih senang kepada kehidupan dunia serta melalaikan ayat-ayat-Nya, mereka itu tempatnya di neraka. Orang yang memiliki kriteria semacam ini adalah kafir. Sedangkaan muslim harus selalu mengharapkan pertemuan dengan Allah.
Dalam ayat hijrah yang secara eksplisit disebut sebagai harapan muha@jir adalah rahmat Allah. Tetapi akan lebih jelas maksud rahmat dalam konteks hijrah ini apabila melihat berbagai ayat lainnya. Diceritakan bahwa orang yang berhijrah akan memperoleh ’a‘z}am darajah (tempat yang mulia), rizq (rizqi), rid}a> (restu), fad}l (keutamaan) , gufr (pengampunan) serta dunya h}asanah (tempat yang bagus).
Raja>’ dengan s}abr membentuk kekuatan yang nantinya mampu mengatasi situasi yang buruk sekalipun (kez}a@liman dan fitnah). S{abr di sini tentunya diartikan dalam pengertian positif, yaitu mampu bertahan dalam keadaan buruk, yang ditunjang oleh harapan (raja>’) yang memiliki kekuatan motifator untuk terus bertahan bahkan mengatasi keadaan semula dan merubahnya menjadi lebih baik. Dan ini semua telah dibuktikan oleh Muhammad Saw dan sahabat-sahabatnya.
D. Bidang Semantik Hijrah
Dalam sub bab sebelumnya penulis telah berupaya menganalisa berbagai segi semantik hijrah. Akan tidak lengkap kalau tidak dibarengi dengan analisa bidang semantik. Jaringan konseptual yang terbentuk oleh kata-kata yang berhubungan erat ini sesungguhnya pengantar kepada pemahaman utuh hijrah. Karena dengan memahami kata-kata ini seseorang dapat melihat nuansa dari berbagai kata yang menunjukan sinonimitas terbatas tesebut.
Al-Qur’an banyak menggunakan kata yang hampir memiliki kesamaan dengan hijrah, mereka memiliki titik tekan tersendiri berikut perbedaan ruang lingkup yang dicakupnya. Kata-kata kunci yang akan dibicarakan di sini adalah: kharaja, bara’a, taraka, ijtanaba dan i‘tazala.
1. Kharaja
Meskipun kata ini memiliki cakupan luas dalam kosa kata al-Qur’an, kata ini memperoleh tempat khusus dalam wacana pasca nabi tepatnya pada perbincangan teologi Islam. Kelompok yang menyatakan memisahkan diri dari dua kubu yang berselisih kemudian terkenal dengan khawarij. Kata kharaja terkadang dihubungkan dengan arti tumbuh, muncul ketika dipasangkan dalam konteks yang menerangkan tumbuh-tumbuhan. Dapat pula diartikan keluar bila dihubungkan dengan perpindahan tempat.
Kharaja mempunyai makna keluar dari tempat tinggalnya, sedangkan hijrah dapat diartikan keluar dari suatu tempat ke tempat lain. Dari pengertian yang diberikan ini dapat ditarik garis kesamaan, yaitu keluar dari tempat asal. Kata kharaja terkadang digunakan sebagai ganti kata hijrah secara utuh, karena bagaimanapun baik orang yang memiliki inisiatif sendiri dan yang diusir, intinya adalah akibat dari keterpaksaan, sebab sudah tidak dapat dipertahankan lagi tinggal di tempat awal yang kurang mendukung. Tetapi di tempat lain, kharaja dibedakan dengan hijrah.
Kharaja dalam menggambarkan keluar dari suatu tempat terkadang digunakan dalam bentuk negatif. Ini untuk melukiskan suatu keadaan terpaksa dalam melakukannya. Ini pula yang membedakan dengan kata hijrah. Tidak dapat dipungkiri seseorang cinta terhadap tanah air dan berbagai hubungannya, tetapi apa boleh buat kesemuanya harus ditinggalkan demi kehidupan yang lebih menjanjikan, yaitu hidup di bawah naungan Islam.
Untuk menggambarkan pengusiran para rasul, al-Qur’an menggunakan kata kharaja, sebut saja sebagai contoh Syu’aib. Dalam kisah keluarnya Muhammad, tentunya selain menggunakan kata hijrah, juga menggunakan kata kharaja. Di sini kemudian kata kharaja yang digunakan Waraqah dalam perkiraannya memiliki korelasi semantic field dengan hijrah.
Hemat penulis dalam menanggapi pemakaian kata kharaja adalah untuk menekankan akan adanya unsur keterpaksaan. Sehingga dapat disimpulkan selama tidak ada gangguan dan situasi yang kondusif dalam pelaksanaan di>n tentunya akan lebih baik tidak keluar dari tempat asal, bahkan nabi pernah bersabda hijrah di tempat adalah lebih baik dibanding dengan hijrah keluar dari daerah asal. Dihadapkan dengan kharaja, hijrah lebih memiliki kesan adanya kesadaran yang didukung kalkulasi politis dalam melihat fenomena sehingga menyimpulkan harus diadakan praktek ‘pergi untuk kembali’. Ini dibuktikan dengan data adanya penaklukan Mekkah.
2. Bara’a
Bila dibandingkan dengan kharaja, kata bara’a memiliki level yang lebih rendah. Bara’a sebenarnya memiliki makna memutus terhadap apa-apa yang dibenci yang berada pada sekelilingnya. Dalam al-Qur’an kata turunan b-r-’ memiliki ragam yang menunjukkan berbagai arti. Al-Ba>ri’u adalah salah satu nama Allah, yang kemudian dapat dihubungkan dengan kata bariyyah sebagai ciptaan Allah. Muhammad, Nuh, Hud, Ibrahim menggunakan kata ini untuk menunjuk ‘pelepasan diri dari tanggung jawab terhadap kaum pembangkang’. Sedangkan untuk Musa dan Yusuf, kata b-r-’ digunakan untuk pembersihan dari tuduhan bagi keduanya, begitu pula dalam pengertian yang sama ditujukan guna klarifikasi kasus ‘Aisyah . Kata bara’a dapat pula berarti menyembuhkan, ini terlihat pada kasus Isa. Dari sekian penggunaan kata bara’a sedemikian rupa, tetapi hanya Muhammad dan Ibrahim saja yang sama-sama menggunakan kata hijrah di samping kata bara’a.
Kalau dilihat, kata bara’a dilontarkan kepada musuh dengan cara deklaratif, ini berbeda sekali dengan hijrah yang tidak pernah dipakai dalam keadaan sama. Konteksnya selalu dalam diskusi peribadatan dan akidah, ini pula nuansa lain dari bara’a dibanding dengan hijrah. Bara’a rupanya diambil sebagai ekspresi pemutusan atau pelepasan diri dari tanggung jawab dalam hal akidah dan peribadatan. Sedangkan hijrah memiliki cakrawala yang lebih luas, bukan hanya masalah akidah saja yang menjadi bahan pertimbangan hijrah, akan tetapi lebih jauh dari itu adalah untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan di>n Alla>h. Penjelasan ini kemudian jangan melalaikan bahwa bara’a pun adalah salah satu aspek hijrah, dan ini pada gilirannya membentuk semantic field dengan kedudukan yang lebih rendah.
Bara’a sepertinya tidak membutuhkan pergi keluar daerah, dari berbagai contoh dalam al-Qur’an tidak ada contoh yang menunjukkan adanya kegiatan eksodus. Bagi keluarnya Muhammad dan Ibrahim dari tanah air, sudah jelas karena beliau berdua pun menggunakan kata hijrah. Moment pengungkapannya pun boleh dikatakan ketika mereka sudah memiliki posisi daya tawar yang minimal telah diperhitungkan oleh pihak musuh. Muhammad menggunakan kata ini terutama pada masa Madinah, walaupun sebenarnya terdapat ungkapan yang sama dengan bara’a pada periode Mekkah yaitu surat al-Kafiru@n [109]: 1-6. Sifat bara’a semacam ini dapat dicarikan kesamaan unsurnya dengan hijrah pada sabda rasul bahwa hijrah di tempat adalah lebih baik ketimbang hijrah dengan keluar daerah.
3. Taraka
Sebenarnya kebanyakan penggunaannya dalam al-Qur’an lebih kepada makna ‘barang peninggalan untuk dibagikan kepada ahli waris’. Pengertian yang dibawa ke arah tersebut tidak menyalahi definisi kebahasaannya. Karena bagaimanapun taraka dimaknai sebagai ‘meninggalkan sesuatu sebagai lambang penolakan dengan niat ikhtiyar ataupun terpaksa’. Peninggalan harta waris dalam penjelasan sering menggunakan kata taraka dikarenakan adanya unsur ‘keterpaksaan’ bagi orang yang meninggal untuk meninggalkan dunia berikut isinya.
Selain makna di atas, taraka dalam berbagai ayat dimaknai sebagai suatu sikap yang tegas dalam meninggalkan keyakinan yang lama dan peribadatannya. Yusuf digambarkan memberikan pernyataan bahwa beliau telah meninggalkan millah orang-orang yang tidak percaya kepada Allah dan hari akhir. Sedangkan bagi orang yang tetap dalam keyakinan semula, menggunakan kata taraka untuk mendapatkan kejelasan konsekuensi yang akan diperoleh seandainya mereka melepaskan keyakinan lama mereka. Kalau pada penggunaan kata bara’a konteks yang dialami Yusuf membawa pengertian bebas dari tuduhan, maka sebagai lambang bahwa ia adalah seorang penganut agama baru yaitu Islam dipakailah kata taraka dengan dilawankan dengan millah yang tidak meyakini Allah dan hari akhir. Jelas bahwa taraka dan bara’a memiliki level yang sama dalam struktur semantic field, karena keduanya selalu dikaitkan dengan akidah.
Dari makna dasarnya, kata taraka sangat berhubungan dengan hijrah. Hijrah adalah meninggalkan sesuatu karena penolakan yang tegas dari apa yang diperoleh sebelumnya. Tetapi sebagai penegasan kata hijrah tentu telah mencakup semua kata dalam semantic field karena keluasan cakupannya.
4. Ijtanaba
Kata ini hampir memiliki status yang sama dengan taraka dan bara’a. Dalam diskusi Qur’ani selalu dikaitkan dengan sikap yang ditempuh setelah keluar dari keyakinan lama. Ijtanaba selalu dikaitkan dengan kaba>ir (dosa besar), rijs (perbuatan keji), aws\a>n (berhala), t}a>gu>t} (sesembahan tandingan), qaul al-zu>r (ucapan kotor), serta d}an (prasangka tak berdasar).
Ijtanaba sepertinya menjadi kata pengganti hijrah dari segi ragam rujza. Hijrah seperti sudah diuraikan di atas, dalam transformasi wahyu semakin memiliki cakupan yang khusus dan terfokus. Betul jika dikatakan hijrah lebih dulu dikenalkan dalam al-Qur’an untuk perintah menjauhi hal yang bertentangan dengan Islam. Tetapi tidak lama kemudian, tepatnya setelah diselang lima kali penurunan wahyu, kata ijtanaba mulai dipakai untuk tujuan yang sama. Kemudian berbagai unsur cakupan hijrah terbagi ke dalam berbagai kata yang di kemudian hari menampung pengertian hijrah secara partikular. Sekali lagi kesemuanya itu akan membentuk semantic field di mana hijrah tentu memperoleh tempat yang tertinggi.
5. I‘tazala
Kata ini hanya memiliki perbedaan sedikit dengan hijrah. I‘tazala selain berbicara tentang penolakan konsep peribadatan juga dibarengi dengan aksi mobilisasi eksodus mencari tempat yang menjanjikan. Para ’Ash}a>b al-kahf diperintahkan untuk menyingkir dari mereka yang masih memeluk agama sesat untuk mencari gua Kahfi sebagai pelindung.
Lain halnya dengan kasus Ibrahim, ia ber’i‘tiza@l dari kaumnya setelah diusir oleh bapaknya (wa uhjurni>), otomatis memusuhi sesembahan mereka. Di sini dapat dipahami bahwa Ibrahim melakukan kekhilafan ataupun masih belum terlalu paham tentang dilarangnya mendo’akan orang musyrik, sehingga Allah menegurnya. Dan boleh jadi karena dalam status seperti ini pulalah, kenapa dalam ayat Maryam [19]: 48-49 untuk menggambarkan berpisahnya Ibrahim menggunakan kata i’tazala, berbeda ketika Ibrahim mengutarakan niatnya kepada Lut untuk meninggalkan kaum beserta ajarannya, Ibrahim menggunakan kata انى مهاجر.
BAB IV
DISKUSI HIJRAH PASCA NABI
Menentukan sebuah tema, walaupun secara arbitrer, sebagai batasan kajian penelitian merupakan keniscayaan dalam kerangka manifestasi konkrit pelaksanaan semantik. Sebagai contoh sebut saja kasus hijrah. Penelitian kata ini berdasarkan kepada terpenuhinya kriteria-kriteria tertentu oleh kata hijrah sehingga menjadikannya sebuah kata yang berpredikat kata kunci. Di samping itu, terdapat beberapa penafsiran pada masa pasca nabi yang dinilai telah mereduksi semangat konsep hijrah itu sendiri, yang otomatis konsekuensi tersebut dapat dirasakan pada pengambilan ketetapan dalam epistemologi legal formal.
Fenomena tersebut merupakan kenyataan tak terpungkiri dalam perjalanan historis yang mau tidak mau selalu membawa nuansa kontekstual. Kesenjangan antar waktu ini akan mengakibatkan berbagai keterputusan; seperti keterputusan historis, kebahasaan, budaya dan intelektual. Amat wajar kemudian generasai pasca Nabi mengalami kesulitan dalam memahami teks keagamaan yang hanya berbentuk bahasa tulis, yang dengan sendirinya telah kehilangan relasi dengan berbagai suasana ketika teks masih dalam bentuk wacana Qur’ani pada jaman nabi.
Untuk pembahasan lebih lanjut penulis menghadirkan tiga kasus yang dianggap representatif dalam mendeskripsikan pemahaman hijrah pasca nabi. Kesemuanya mengambil bentuk dengan prototype wujud komunitas reaksioner yang memiliki kecendrungan sebagai oposan mayoritas. Tentunya ini terlepas dari penilaian benar dan salah. Mereka itu adalah Khawarij, PSII, serta Al-Takfi>r wa al-Hijrah.
A. Khawarij: Aplikasi Hijrah pada Masa Akhir al-Khulafa@’ al-Ra@syidu@n dan Dinasti Mu‘a@wiyah
Kecuali seperti telah ditulis oleh berbagai kalangan yang memiliki concern terhadap kelompok ini, tidak banyak yang dapat dikatakan lagi ketika membicarakan Khawarij. Hal ini dapat terjadi dikarenakan Khawarij dituntut oleh keadaan yang selalu disibukkan dengan perlawanan-perlawanan kepada pemerintah yang berkuasa tanpa sempat berfikir banyak untuk merekam berbagai ajarannya.
Khawarij dikenal dalam kalangan teologi sebagai sekte pertama dalam Islam yang secara deklaratif menyatakan keluar dari golongan mayoritas. Perbedaan persepsi dalam merespon perubahan politik menghasilkan minimal empat golongan dalam Islam. Pihak Ali sebagai pemegang resmi kekuasaaan, Mu’awiyah sebagai tokoh birokrat orde lama yang menuntut pertanggung jawaban Ali yang dianggap merekayasa fitnah al-kubra> sebagai langkah kudeta, golongan lainnya yang secara aktif menyikapi nuansa politik saat itu adalah kelompok yang ternaungi di bawah bendera Khawarij yang ingin mengartikulasi ketidakpuasan terhadap manajemen konflik yang diterapkan Ali, sehingga terkesan dan dapat dipastikan Khawarij menolak kedua pihak di atas sebagai figur kepemimpinan alternatif saat itu, sedangkan kelompok terakhir adalah kelompok bersikap pasif dengan menempuh keputusan netral, tidak memihak kepada semua golongan yang ada (Jumhur ‘Amiyah).
Untuk melegitimasi keputusan politiknya, Khawarij mencari justifikasi dengan membangun pemahaman teologis, hanya saja kemudian terjadi banyak konflik intern yang menyebabkan Khawarij terpecah kepada beberapa sub sekte yang tentunya ini sangat merugikan Khawarij sendiri karena tidak mampu menjaga kekompakan kelompok dan akhirnya hanya memiliki kekuatan yang lemah.
Ada sejumlah ajaran pokok Khawarij yang membedakan dengan kelompok lainnya. Mereka menganut faham lebih demokratis-liberalis, dalam bidang politik terutama tentang kriteria khalifah dengan tidak membatasi pihak yang berhak duduk di kursi khalifah. Tetapi, boleh jadi, prinsip ini kemudian harus dibayar mahal ketika terlalu longgarnya pemberlakuan mekanisme pemilihan khalifah sehingga mengabaikan pinsip-prinsip syu>ra> dan terjadilah banyak sub sekte. Prinsip lainnya adalah vonis yang bercorak politik teologik terhadap seluruh orang yang terlibat sekaligus menerima arbitrase. Bahkan lebih jauh, dua terakhir dari empat khalifah dianggap telah fasik dan kafir. Sedangkan ajaran-ajaran lain yang berkembang bersifat turunan dalam arti kata berlaku terbatas dalam sub sekte tertentu, walaupun demikian diferensiasi sudut pandang ini yang menyebabkan terjadinya perpecahan, seperti ajaran taqiyyah dan hijrah.
Nampaknya kalau dilihat dari karakter awal terbentuknya kelompok ini, hampir dapat dipastikan semua sub sekte menerapkan konsep hijrah, tetapi belum tentu dengan konsep taqiyyah. Al-Aza>riqah merupakan sub-sekte yang diakui secara eksplisit menerapkan hijrah dengan ketat. Al-Aza>riqah membagi teritorial kepada dua karakter, da>r al-Isla>m dan da>r al-kufr. Da>r al-Isla>m adalah area di mana mereka berkuasa atau tepatnya mereka berada, dan daerah di luar da>r al-Isla>m semuanya da>r al-kufr yang harus diperangi. Pemetaan semacam ini kemudian secara langsung menerapkan konsep hijrah yang berfungsi sebagai furqa>n ke mana dan di mana seseorang itu berada. Hukum yang ditetapkan bagi orang yang tidak berhijrah adalah musyrik, hukum ini berlaku pula atas orang yang sepaham dengan mereka apabila tidak mengindahkan seruan hijrah.
Berbeda dengan al-Aza>riqah, sub-sekte al-Najdah meskipun menerapkan konsep hijrah, tetapi memandang orang-orang Azraqi yang tidak berhijrah ke dalam lingkungan al-Aza>riqah tidak lantas dicap musyrik. Konsep alternatif yang ditawarkan al-Najdah kemudian adalah penerapan taqiyyah. Konsep ini digulirkan semata-mata untuk keselamatan jiwa, bahkan lebih jauh lagi menurut al-Najdah, taqiyyah bukan terbatas pada perkataan tetapi juga perbuatan.
Sedangkan sub-sekte al-Aza>ridah bersifat lebih lunak, karena mereka memahami hijrah bukanlah sebuah kewajiban tetapi sekedar kebajikan. Sub-sekte lainnya adalah al-Sufriah yang memiliki kedekatan dalam faham dengan al-Najdah, dikatakan semacam itu karena al-Sufriyyah pun memandang orang yang tidak berhijrah tidak dipandang kufr. Sub sekte ini pun memiliki perbedaan pendapat dengan al-Aza>riqah tentang da>r al-h}arb, menurut mereka yang harus diperangi hanyalah ma‘askar atau camp pemerintah saja. al-Sufriyyah hanya membolehkan taqiyyah dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
Konsep hijrah secara faktual terdapat dalam al-Qur’an dan mendapat penjelasan detail pada maklumat-maklumat rasulullah Saw. Merujuk kepada dua pegangan ini segala praktek dapat dinilai sejauh mana perilaku tersebut mendekati maud}u>‘nya. Berkaitan dengan penerapan konsep hijrah ala Khawarij patut diduga terdapat banyak keganjilan. Betul sepenuhnya apabila dikatakan Khawarij memiliki i‘tiqa>d melaksanakan salah satu ajaran dalam al-Qur’an, tetapi bukanlah hal yang keliru apabila Khawarij dipandang kurang memahami konsep hijrah. Hal ini akibat kerancuan mengamati nuansa kontekstual antara zaman nabi dan zaman di mana Khawarij muncul. Menurut data sejarah, nabi menerapkan konsep hijrah secara gradual tergantung kepada tuntutan kondisi, bahkan memberikan keputusan penghapusan hijrah tatkala dinilai kondisi illat hukum sudah hilang. Sedangkan Khawarij, dengan kekaburan definisi terma-terma fasik, kafir, dan musyrik, menjalankan konsep hijrah secara ketat. Perilaku mereka menurut kacamata semantik sudah kehilangan analisa deep structure.
Seperti disebutkan pada bab III, deep structure hijrah terdiri dari fitnah, z}ulm, s}abr dan raja>’. Kemunculan Khawarij rupanya tidak mendapat dukungan situasi dan kondisi yang relevan untuk menerapkan konsep hijrah. Sejarah mencatat motivasi dari kehadiran Khawarij bukan karena adanya fitnah dan z}ulm terhadap mereka, bahkan sebaliknya, dapat dikatakan Khawarij sendirilah yang membuat fitnah dan kezaliman . Pemahaman Khawarij terhadap raja>’ pun pada gilirannya menyimpang dari makna aslinya, bahkan terkesan hanya merupakan upaya apologetik. Diperparah lagi gerakan Khawarij yang tidak mampu menterjemahkan spirit makna s}abr dalam makna aslinya. Sehingga diberbagai fase sejarahnya Khawarij cenderung menjelma menjadi gerakan sparatis dan terkesan tidak terorganisir secara massif.
Khawarij sendiri mengalami kegagalan dalam menentukan kondisi internal dan eksternal. Hal ini bisa terlihat pada penerapan taqiyyah. Boleh jadi taqiyyah digulirkan untuk mewadahi salah satu bagian makna hijrah, yaitu hijrah ideologi tanpa harus pindah teritorial, tetapi dalam aplikasinya terdapat kerancuan dengan diperbolehkannya taqiyyah dalam bentuk perbuatan oleh sub-sekte al-Najdah yang hal ini tidak pernah dilakukan oleh nabi baik di Mekkah maupun di Madinah.
Pemahaman Khawarij yang sedemikian itu ditengarai oleh berbagai kalangan sebagai akibat dari mayoritas penganut Khawarij berasal dari pedalaman yang memiliki kecendrungan pemahaman tekstualis-eksoteris.
Asumsi ini dapat diterima sebatas bukan pada persoalan penguasaan bahasa. Sebuah fakta yang tak terbantahkan bahwa Badui sangatlah mumpuni dalam bidang kebahasaan. Penulis menilai, ini semata-mata sebagai akibat dari perbedaan kapasitas wawasan politik belaka, atau ditambah dengan minimnya frekuensi perjumpaan dengan rasulullah dan sahabat besar. Dan secara antropoligis Khawarij kebanyakan berasal dari bani Tami>m yang memiliki karakter emosional progresif dan akibatnya selalu berfikir pendek. Anasir di atas bermuara kepada pembentukan kepribadian yang cenderung eksklusif, kurang menerima terhadap unsur eksternal.
B. Hijrah: Penggalan Sejarah Indonesia
Paruh pertama abad XX dinilai merupakan cikal bakal pergerakan di Indonesia. Tercatat ada banyak organisasi bermunculan dengan beragam latar belakang dan tujuannya. Di antara sekian banyak organisasi-organisasi tersebut, Serikat Islam (SI) merupakan satu di antara organisasi politik Indonesia abad XX yang paling menonjol. SI dalam perjalanannya telah banyak mengalami metamorfosis seiring dengan penilaian konteks yang berkembang.
Perubahan SDI (Serikat Dagang Islam) menjadi SI bukan hanya dalam perubahan kulit saja, tetapi terutama dalam perubahan orientasi, dari komersial ke politik murni, ini terlihat pada penghapusan kata ‘dagang’. Semakin banyak didapati di daerah-daerah, juga ada perluasan tujuan setelah ada suntikan segar dari organisatoris handal H.O.S. Tjokroaminoto.
SI sebagai wadah terbesar komunitas Islam saat itu mencita-citakan terwujudnya kemerdekaan kebangsaan yang berlandaskan Islam. Di antara berbagai konsep negara Islam yang dilontarkan oleh para pemikir Indonesia, SI memiliki corak tersendiri. Hal ini dapat terlihat pada pemikiran pemimpinnya Tjokroaminoto, bahwa SI akan membawa bangsa Indonesia kepada negara yang berdasarkan standar negara ideal Madinah pada zaman nabi.
Sejak awal dapat dipastikan organisasi ini menempuh jalur non-kooperatif terhadap pemerintah Belanda, tetapi kemudian ada sebagian kader organisasi yang mencoba merubah haluan ke arah kooperatif dengan dalih memaksimalkan manfaat fasilitas yang legal di mata pemerintah Belanda. Inilah sebab kedua, setelah Komuni-Sosialis, yang mengakibatkan SI menjadi lemah. Dari drama konflik ini muncul apa yang menyebut dirinya sebagai KPK (Kelompok Pembela Kebenaran) PSII. Pecahan PSII ini berbasis terutama di Jawa Barat yang dipelopori dan dipimpin oleh tokoh kontroversial Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo.
Dapat dikatakan secara pasti bahwa Kartosoewirjo adalah penulis buku Sikap Hidjrah PSII sebagai realisasi tugas yang diembankan oleh kongres ke-22 kepada beliau. Pemikiran yang dituangkan hampir tidak dapat diragukan lagi sebagai lanjutan cita-cita Tjokroaminoto tentang negara ideal yang tercermin pada Madinah masa rasulullah Saw.
Dalam usaha memahamkan hijrah, Kartosoewirjo memulai uraiannya dengan mencarikan makna hijrah. Usaha ini ditempuh melalui pelacakan berbagai ayat yang berkenaan dengan hijrah. Kemudian beliau mengurutkan secara kronologis ayat-ayat tersebut guna mendapatkan kekayaan makna hijrah. Kartosoewirjo mengambil kesimpulan bahwa hijrah adalah sebuah program yang harus dilaksanakan oleh PSII, karena bagaimanapun, masih menurut Kartosoewirjo, hijrah merupakan kewajiban dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia . Hijrah pun dipandang olehnya lebih bernilai positif bila dibandingkan dengan cara non-kooperatif.
Selanjutnya berdasarkan pembacaan terhadap riwayat Islam dan ayat-ayat al-Qur’an, Kartosoewirjo menyimpulkan bahwa hijrah merupakan hukum yang diberlakukan kepada semua penganut Islam, baik itu laki-laki ataupun perempuan, apakah itu muda ataupun tua. Untuk menguatkan argumennya beliau mengutip Q.S. Al-Ah{zab [33]: 50 dan Q.S. Al-Mumtah{anah [60]: 12 yang mewartakan bahwa muslimat pun ikut dilibatkan dalam proses hijrah . Masih menurut Kartosoewirjo, ada beberapa kriteria yang terbebas dari keharusan hijrah, mereka itu adalah orang-orang, baik itu laki-laki, perempuan ataupun anak-anak, yang tidak lagi memiliki kekuatan untuk hijrah, dan termasuk golongan ini pula adalah orang-orang yang tidak mengetahui jalan untuk berhijrah. Dua sebutan ini terangkum pada kata mustad}‘afi>n. Penjelasan ini berdasarkan penglihatan Q.S. al-Nisa@’ [4]: 98.
Dalam menghadapi persoalan kontekstual penerapan hijrah, Kartosoewirjo terlebih dahulu mengingatkan bahwa dalam sejarah perjuangan Islam telah terjadi minimal tiga peristiwa hijrah yang tercatat dalam berbagai kitab sirah. Ia menyebutkan prilaku exodus diawali pada masa Mekkah yaitu dengan meminta suaka politik ke negeri Abesina oleh sebagian sahabat, hijrah kedua kalinya terjadi sesaat setelah Muhammad mendapat jaminan politik-teologik dari penduduk Yatsrib untuk tinggal di Yatsrib. Dan yang terakhir adalah hijrah kecil ke Is pada masa Madinah akhir, hijrah ini terjadi dikarenakan Madinah tidak mengijinkan untuk masuk ke wilayahnya.
Penerapan secara kontekstual kemudian ditawarkan oleh Kartosoewirjo dengan memberikan penafsiran alternatif berdasarkan pengambilan substansi fakta sejarah. Ia menulis bahwa hijrahnya bagi orang-orang seperti masyarakat Indonesia bukanlah negeri Madinah atau Is yang berada di Arabia, tetapi kepada suatu tempat yang sama substansinya dengan negeri Madinah ataupun Is. Untuk lebih tegasnya lagi Kartosoewirjo kemudian memperkenalkan istilah Mekkah-Indonesia, Madinah-Indonesia, dan Is-Indonesia . Istilah-istilah ini muncul dari hasil analisis terhadap diferensiasi masyarakat Indonesia berdasarkan keyakinan ideologinya.
Dengan mengutip Q.S. al-Anfa@l [8]: 75, Kartosoewirjo mengatakan bahwa samalah derajatnya orang yang hijrah baik ke Habsi, Madinah ataupun Is, karena semuanya itu adalah ekspresi keimanan mereka untuk melaksanakan agama Allah . Selanjutnya Kartosoewirjo dengan mengutip Q.S al-Anfa@l [8]: 72 menjelaskan bahwa walaupun golongan ’ans}a>r tidak memiliki kesempatan untuk hijrah, tetapi mereka mengambil peran sebagai penolong dan pelindung para kaum muha>jiri>n, sehingga terjalin relasi simbiotik antarkeduanya. Bahkan dalam Q.S. al-Anfa@l [8]: 74 kedua unsur tersebut memiliki predikat yang sama yaitu al-Mu’minu>n al-h{aq.
Kartosoewirjo dalam pembahasan lanjutannya mengajak kepada pembaca untuk menelaah berbagai riwayat sejarah terutama berkenaan dengan masa berlakunya hijrah. Hijrah akan berlaku selama di tempat tersebut merajalela peraturan-peraturan berhala, dan hijrah akan terhenti secara otomatis apabila falah} dan fatah} telah menjelang . Fakta sejarah berbicara falah} dan fatah} terjadi ketika pembukaan kota Mekkah sebagai simbol pusat paganis.
Analisa selanjutnya adalah keterkaitan dengan sebab hijrah. Kartosuwirjo dengan berlandaskan Q.S. al-Nah{l [16]: 10 dan hadis riwayat ‘Aisyah menyatakan bawha fitnah adalah sebab adanya hijrah. Sedangkan Q.S. al-Taubah [9]: 100, yaitu dengan hijrah berarti mengharapkan, mencari dan mendapatkan rida Allah SWT. Selain itu Kartosoewirjo pun menyebutkan Rahmat Allah sebagai tujuan dan maksud hijrah.
Melalui kajian segmental, Kartosoewirjo membagi macam-macam hijrah menjadi empat jenis. Hijrah fi>-Alla>h dengan mengutip Q.S al-Nah{l (16): 41, beliau mendefinisikan hijrah fi>-Alla>h sebagai hijrah dari faham h}ubbuddunya kepada faham zuhuddunya. Hijrah semacam ini berlaku untuk orang yang memiliki kesadaran tentang hukum hijrah tetapi tidak memiliki kekuatan untuk melepaskan diri dari keadaan. Jenis kedua adalah hijrah fi> sabi>lilla>h, dengan merujuk Q.S. al-Hajj [22]: 58, hijrah ini bukan hanya dalam i‘tiqa>d, juga harus tampak pula dalam amal perbuatannya. Selanjutnya adalah jenis hijrah ila-Alla>h, yang bermakna muha@jir harus berpendirian bahwa segala apa yang mengenai dirinya atau yang ada di luar dirinya haruslah menjadi “jembatan” untuk tawajuh dan zikir kepada yang Esa. Ketiga jenis hijrah ini berkaitan satu dengan yang lain dan akan berpengaruh kepada nilai hijrah. Untuk kesempurnaan hijrah maka, masih menurut Kartosoewirjo, ketiga jenis di atas harus dilengkapi dengan jenis hijrah yang keempat, yaitu hijrah ila-Alla>h wa ila rasu>lihi, untuk jenis ini Kartosoewirjo mengutip hadis riwayat ‘Aisyah.
Kartosoewirjo memandang bahwa sahnya hijrah itu tergantung kepada ada atau tidak adanya follow up. Yang dimaksud langkah lanjutan tersebut adalah jiha@d. Kartosoewirjo memberikan alasan bahwa hampir di dalam tiap-tiap ayat yang menceritakan hijrah terdapat pula perkataan jiha@d. Beliau menganalogikan hijrah tanpa jiha@d sama dengan nahi munkar tanpa amar ma’ru>f. Ditegaskan lagi bahwa bukanlah perbuatan hijrah seandainya suka mencela tapi tak pandai memperbaiki.
Ulasan hijrah berakhir pada uraian tentang bangunan hijrah. Setelah menerangkan tentang cakupan luas yang diliput agama, Kartosoewirjo berkeyakinan bahwa hijrah termasuk dari ibadah. Dikarenakan pengertian ibadah yang diberikan Kartosoewirjo adalah semua perilaku yang meliputi segala sendi kehidupan, maka akan berpengaruh kepada keluasan bangunan hijrah. Beliau secara global membagi bangunan hijrah kepada dua bagian. Pertama adalah yang bersangkutan dengan semua urusan ‘ubu>diyyah. Sedangkan kedua berkaitan dengan hijrah bagian al-h}ayah al-ijtima‘iyah yang meliputi sosial, ekonomi dan politik.
Pemaknaan hijrah yang diuraikan Kartosoewirjo boleh jadi bukan hal yang baru, akan tetapi Kartosoewirjo telah mencoba menerapkannya baik melalui KPK PSII ataupun NII-nya . Detail uraiannya secara global sudah cukup memadai, walaupun demikian ada beberapa persoalan yang dapat diajukan.
Kartosoewirjo dalam menjelaskan siapa yang dimaksud dengan muha@jir sudah cukup jelas, hanya saja Kartosoewirjo melewatkan penjelasan tentang siapa yang dimaksud dengan ’ans}a@r. Ini menjadi persoalan ketika konsep hijrah akan dimanifestasikan secara kontekstual di Indonesia. Begitu juga berkaitan dengan tempat hijrah, walaupun Kartosoewirjo mendirikan institusi s}uffah . Bukan berarti kemudian s}uffah representatif sebagai Yatsrib-Indonesia. Hemat penulis, Kartosoewirjo berusaha untuk tidak terjebak kepada tempat secara geografis, sebagai solusinya boleh jadi tempat hijrah yang dimaksudkan oleh Kartosoewirjo adalah berupa organisasi atau lembaga, seperti terlihat pada dua wadah yang dibentuknya, KPK PSII dan NII.
Kesempurnaan uraian tentang sebab hijrah terkurangi dengan tidak dikutip Q.S. al-Nah{l [16]: 41 yaitu komentar tentang z}ulm sebagai sebab kedua berlakunya hijrah. Selanjutnya walaupun secara global pemilihan atau tentang maksud dan tujuan hijrah cukup memadai yaitu rida Allah, tetapi kemudian ketika menyebut rahmat Allah Kartosoewirjo tidak mengutip ayat al-Qur’an.
C. Al-Takfi>r wa al-Hijrah: Deskripsi Pola Pergerakan Kelompok Militan di Mesir
Tradisi gerakan fundamentalis di Mesir telah memiliki akar yang kuat dalam sejarah. Walaupun awal kemunculan mereka berawal dari reaksi terhadap sekularisme yang ditetapkan oleh kebijakan pemerintah Mesir, kelompok-kelompok ini hadir dalam berbagai format. Keragaman mereka bukan terlihat pada ideologi, tetapi lebih nampak pada taktik. Karena bagaimanapun ideologi mereka adalah sama berupaya memberlakukan syari’ah sebagai landasan hukum negara.
Meskipun dalam lapangan organisasi-organisasi Islam ini membawa bendera masing-masing, ditengarai ada hubungan terselubung antar organisasi-organisasi tersebut. Ini dapat terlihat dari lima atribut; kurun kemunculan dan kelangsungan organisasi hampir bersamaan, tipe kepemimpinan yang dianut, ukuran cakupan organisasi, tingkat militansi dan status secara politis di mata pemerintah Mesir.
Kemunculan organisasi-organisasi yang memiliki militansi yang kental berawal dari ekspresi kekecewaan generasi muda Islam terhadap seniornya yang ada di Ikhwanul Muslimin (IM). Namun demikian, antara IM dan kelompok militan ini memiliki hubungan yang tak bisa dipisahkan. Di samping para pendiri kelompok militan pada awalnya anggota IM, juga adanya adopsi ideologis yang dilakukan oleh kelompok militan dari salah satu tokoh pemimpin IM yang sangat berpengaruh, Sayyid Qut}b. Sayyid Qut}b memiliki posisi yang sangat penting dan diperlukan oleh Ikhwanul Muslimin dan kelompok militan. Karena pada hakikatnya Qut}b sebagai ideolog militan mampu mengadakan regenerasi transisional dari Ikhwanul Muslimin yang sudah mengalami stagnasi kepada generasi muda yang penuh semangat ekstrim pada tahun 1970-an. Sifat karakter Qut}b begitu kuat dan luas. Sebagai teoritisan, Qut}b mampu menggunakan kekuatan pengaruh terhadap proses regenerasi dan sekaligus mengalihkan arah keideologi Islam konprehensif. Sebagai anggota resmi senior Ikhwanul Muslimin, Qut}b mampu mengorganisir keberlangsungan antara Ikhwanul Muslimin dengan cabang-cabang atau anak organisasi yang suka melawan mereka, dan selaku aktivis, perlawanan Qut}b terhadap negara dan kematiannya menghasilkan militansi yang lebih kuat dikalangan muda dengan sebuah model dari kesyahidan yang utama dan dapat diraih.
Formulasi ideologi Qut}b dapat dirangkum menjadi: pertama, sistem sosio-politis yang dominan pada Islam kontemporer dan dunia non-Islam adalah jahiliyah, sebuah kondisi yang penuh dengan dosa, ketidakadilan, penderitaan dan ketidaktahuan terhadap aturan-aturan Islam. Kedua, kewajiban para muslim adalah untuk menghidupkan kembali Islam untuk mengubah masyarakat jahili melalui dakwah dan jiha@d. Ketiga, merubah masyarakat jahili ke dalam naungan negara Islam adalah tugas dari barisan depan muslim. Dan keempat, tujuan utama yang dijalankan muslim harus membangun haki>miyyah, pemerintahan yang berdasar kedaulatan Allah di muka bumi untuk mengakhiri seluruh dosa, penderitaan dan tekanan.
Meskipun demikian, Qut}b belum secara eksplisit mempersoalkan kesalehan muslimin di daerah jahili dan belum memberikan penyelesaian secara tuntas dalam masalah ini. Akan tetapi, Qut}b mempertimbangkan bentuk perintah bahwa seorang muslim harus berusaha menyamai hijrah nabi dengan memisahkan diri dari masyarakat jahili untuk membentuk barisan terdepan yang kuat sebagai awal untuk kemenangan akhir, yaitu membangun kedaulatan Tuhan di bumi. Qut}b, dari berbagai tulisannya mendukung aksi hijrah.
Dari sikap yang diambil oleh Qut}b tersebut, secara langsung mengakibatkan konflik interpretatif pada para muridnya. Dapat dipastikan akar konflik dari fundamentalis adalah sikap terhadap konsep “hijrah” nabi ke Madinah dan pencapaian “walayah” sebagai pembeda dengan yang masih tinggal di Mekkah.
Di antara pengikut ideologis Qut}b adalah Syukri@ Ah}mad Must}afa> (1942-1978) yang mengambil penafsiran sempit terhadap pandangan-pandangan Qut}b. Must}afa> adalah pendiri organisasi Jama‘ah al-Muslim, yang kemudian hari organisasi ini mendapat penamaan al-Takfi>r wa al-Hijrah. Must}afa> berpendirian bahwa seluruh masyarakat sudah tidak Islami. Dan terhadap sistem hukum Islam klasik harus ditolak dengan alasan bukan firman Tuhan dan hanya karya manusia belaka. Bahkan Must}afa>, di bawah pertanyaan persidangan, mengakui ketidakyakinannya tentang kualitas transmisi al-Qur’an.
Selaku pemegang gelar sarjana muda di bidang pertanian, Must}afa> terbilang memiliki concern yang tinggi terhadap permasalahan Islam. ini terlihat ketika ia tercatat sebagai anggota IM. Tetapi ketika Must}afa> tertangkap pada tahun 1965, di penjara ia mengalami kekecewaan terhadap kolega seniornya dalam sikap ketidakmelawanan mereka terhadap rezim. Setelah pembebasannya pada tahun 1971 Must}afa> memulai pengembangan gerakannya.
Must}afa> dikenal sebagai pemimpin kharismatik autokratif yang membuat seluruh keputusan final. Bahkan, para pengikutnya percaya bahwa Must}afa> adalah al-Mahdi@ yang harus dipatuhi dan diikuti melalui proses bai‘ah.
Di antara kelompok militan lainnya, al-Takfi>r wa al-Hijrah lebih memiliki kekuatan ideologis. Al-Takfi>r memandang rezim dan seluruh masyarakat sudah menjadi jahiliyah dengan tidak memberlakukan syari’ah. Dalam bidang ekonomi, al-Takfi>r menolak komunisme dan kapitalisme karena tidak sesuai dengan ajaran Tuhan dan tidak manusiawi. Sedangkan pijakan berbagai kebijakan harus berdasar al-‘Adl ’Asa@s al-Hukm. Kriteria lain tentang penguasa harus dipilih berdasarkan keimanan, keshahihan, rasionalitas dan kepatuhan terhadap syari’ah. Juga bagi para anggota syura> harus diperiksa dalam kasus pengabaian tugas-tugas mereka kepada Allah dan komunitas Islam. Al-Takfi>r-pun menentang para ulama yang bertindak sebagai patron rezim birokrat. Must}afa> mengambil keputusan bahwa semua anggota organisasinya dilarang salat di belakang orang-orang di luar organisasi.
Dengan berdasar basis ideologi seperti disebut di atas, al-Takfi>r menerapkan konsep hijrah. Al-Takfi>r mengorganisir anggotanya secara konprehensif untuk membuat masyarakat mandiri. Ini dikarenakan al-Takfi>r bercita-cita hidup seperti model yang telah ditempuh oleh komunitas nabawi.
Untuk menjalankan konsep hijrah ini, otomatis al-Takfi>r menempuh gerakan bawah tanah dan bersifat laten. Ini bisa terlihat pada strategi yang dikembangkan. Al-Takfi>r pada awalnya berkonsentrasi pada kota-kota kecil dan setelah merasa memiliki cukup kekuatan, Must}afa> memutuskan untuk mengadakan relokasi ke ibukota negara. Selain itu pula, sifat laten al-Takfi>r dapat dilihat pada pandangan ‘Ali ‘Abduh ‘Isma>’i>l, salah seorang Syaikh al-Azhar yang mendukung al-Takfi>r. Menurut ‘Isma>’i>l, selama umat masih lemah dan mudah diserang maka yang harus ditempuh adalah menahan diri dari jiha@d, sambil memisahkan diri secara spiritual dan fisik demi membangun kekuatan. Al-Takfi>r akan bergerak jiha@d hanya ketika keanggotaan di setiap sel gerakan telah berkembang dan mampu memberikan perlawanan yang tangguh. Namun rencana ini gagal dikarenakan pemerintah menangkap lebih dari 400 orang anggota kemudian mengeksekusi 5 pimpinan At-Takfi>r. Dari peristiwa inilah, al-Takfir> mendapat julukan ‘Khawarij abad XX’.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdurrahman, ‘Aisyah, Tafsir Bintusy Syathi’, terj. Muzakkir Abdussalam, Bandung: Mizan, 1996.
——-, Manusia Sensitivitas Hermeneutika al-Qur’an, M. Abid al-Arif, Yogyakarta: LKPSM, 1997.
Ahmad, Zainal Abidin, Politik Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
‘Ali, Abdullah Yusuf, The Meaning of the Holy Qur’an: Complete Translation with Selected Notes, Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 1997.
Amal, Taufik Adnan dan Syamsul Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994.
’Ami@n, ’Ah}mad, Fajr ’Isla@m, Beirut: Da>r al-Kitab al-Arabi, 1969.
’Anas, ’Ibrahim, Al-Mu’jam al-Wasi@t, tt.,ttp.
Arkoun, Mohammad, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta : INIS, 1993.
——-, Berbagai Pembacaan al-Qur’an, terj. Machasin, Jakarta: INIS, 1996.
——-, Pemikiran Arab, terj. Yudian W. Asmin, Yogyakarta: LPMI & Pustaka Pelajar, 1996.
‘Azam, Muh}ammad ‘Abduh (tahqiq), Di@wa@n ’Abi@ Tama>m bi Syarh al-Khat}i>b al-Tibri@zi>, jilid. I, Mesir: Da>r al-Ma’a>rif, t.t.
‘Azami@, M. M., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Ya’kub, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1994.
al-Ba>qi>, Muh}ammad Fu’a>d ‘Abd, al-Mu‘jam al-Mufahras li ’Alfa>z\ al-Qur’a>n al-Kari>m, Beirut: Da>r al Fikr, 1981.
Bucaille, Maurice, Bibel, Qur’an dan Sains Modern, terj. H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufur dalam al-Qur’an, Jakarta : Bulan Bintang, 1991.
Dekmejian, R. Hrair, Islam in Revolution: Fundamentalism in the Arab World, New York: Syiracuse University Press, 1985.
Depag RI, YPPP Al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahannya, Madi>nah: Mujamma‘ al-Malik al-Fahd li T{iba>’ah al-Mus}h}af al-Syari>f, 1411 H.
Denny, F. M., “Kosa Kata Taubat dalam Al-Qur’an: Arah dan Sikap”, terj. M. Yusron Asrofi, Suara Muhammadiyah, no.4 tahun ke-48.
Al-Di>nuri>, Abi> Muh}ammad ‘Abd Alla@h bin Muslim bin Qutaibah, Al-Syi’ru wa al-Syu‘ara@’ wa T{abaqa@t al-Syu‘ara@’ Beirut: Da>r al-Kutub al-‘I@lamiyyah, 1985.
Djaja Sudarma, Fatimah, Semantik Pemahaman Ilmu Makna 2, Bandung: Eresco, 1993.
Fadhlullah, Mahdi, Titik Temu Agama dan Politik: Analisa Pemikiran Sayyid Qutb, Solo: Penerbit Ramadhani, 1991.
Al-Faruqi, ‘Isma‘il R., Hakikat Hijrah, terj. Badri Saleh, Bandung: Mizan, 1996.
Al-Fayru@zabadi, Ibn Ya’qu>b, Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r ibn ‘Abba@s, Mesir: Syirkah Maktabah wa Mat}ba‘ah Must}afa> al-Babi> al-H}alabi> wa Awla@duh, 1951.
——-, Al-Qa>mu>s al-Muhi@>t, Beirut: Da>r al-Fikr, 1995.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1984.
Haque, Ziaul, Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiawati al-Khattab, Yogyakarta : LKiS 2000.
Hidayat, Komarudddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta : Paramadina, 1996.
Al-Hamawi@, Abu@ ‘Abdilla@h Ya@qu@t ibn ‘Abdilla@h al-Ru@mi@ al-Hamawi, Mu‘jam al- Udaba@’, juz XII, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991
Huart, “T{abaristan” dalam M. Th. Hoursma, et. al. (ed), E. J. Brill’s First Ensiclopaedia of Islam 1913-1936, jld. VII, Leiden: E. J. Brill’s, 1987
Hunter, Shireen T. (ed), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington & Indiana Polis: Indiana University Press, 1992.
Al-’Isfaha@ni>, Al-Ra@gib, Mu‘jam Mufrada>t li ’Alfa@z\ al-Qur’a>n, Beirut : Da>r al-Fikr, t.t.
‘Isma@‘il, Bakr, Ibn Jari@r al-T{abari@ wa Manh{ajuhu fi@ al-Tafsi@r, Kairo: Da@r al-Mana@r. 1991.
Izutsu, Toshihiko, Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Qur’an, terj. Agus Farhi Husen, dkk, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1993.
——–, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husen, dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Jansen, J.J.G., The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, Leiden: E.J. Brill’s, 1980.
——–, “al-Takfi@r wa al-Hijrah, al-jama’ah,” dalam John L. Esposito (editor in chief), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, New York: Oxford University press, 1995.
Al-Juwaini@, Must{afa@ al-S{awi@, Mana@hij fi@ al-Tafsi@r, Iskandariyyah: Mansya’ah al-Ma‘arif, tt
Kartosoewirjo, S.M., Sikap Hidjrah PSII, Jakarta: Lajnah Tanfidziyah PSII, 1936.
——-, Daftar Oesaha Hidjrah PSII, Malangbong : Poestaka Dar al-Islam, 1940.
Al-Khatib, Muhammad Abdullah, Makna Hijrah Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Mu’in, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Kister, M.J., Studies in Jahiliyya and Early Islam, London: Variorum Reprints, 1980.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985.
Madjid, Nurcholish, Khasanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
——-, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 2000.
Makino, Syinya, Creation and Termination a Semantic Study of the Structure of the Qur’anic World View, Tokyo: The Keio Institue of Cultural and Linguistic Studies, 1970.
Ma’luf, Louis, Al-Munjid fi> al-Lugah wa al-’A‘la@m, Beirut: Da>r al-Masyriq, 1975.
Manz}u>r, Ibn, Lisa>n al-‘Arab, Beirut: Da>r al-S}adi>r, 1995.
Meetham, A.R.& R.A. Hudson (ed), Encyclopaedia of Linguistics Information and Control, Tokyo: Pargama & Toppan Company, 1969.
Mubarok, Achmad, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000.
Muhajir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rakae Sarasin, 1992.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986.
Nabi, Malik bin, Fenomena al-Qur’an, terj. Saleh Mahfoed, Bandung: al-Ma’arif, 1983.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996.
Noldeke, Th., ”Arabs (Ancient)”, dalam James Hastings (ed), Encyclopaedia of Religion and Ethics, New York: Charles Seribners Sons.
Parera, J. D., Teori Semantik, Jakarta: Erlangga, 1990.
Peters, F.E.(ed), The Arabs and Arabia on the Eve of Islam: The Formation of the Classical Islamic World, vol. 3, Brook Field: Variorum Reprints, 1996.
Qut}b, Sayyid, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, Beirut: Da>r ’Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, 1967.
……., Karakteristik Konsepsi Islam, terj. Muzakki, Bandung: Pustaka, 1990.
Rafiabadi, Hamid Naseem, Hijrah–A Turning Point in Islamic Movement, Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1995.
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1984.
Rahmat, Jalaluddin, “Komunikasi dan Perubahan Politik di Indonesia”, dalam Yudi & Idi Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung: Mizan, 1996.
——-, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996.
Roy, Olivier, The Failure of Political Islam, London: I.B. Tauris Publishers.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992.
Stoddard, Lothrop, Dunia Baru Islam, trj. Tudjimah dkk, Jakarta: t.p., 1996
Syari’ati, Ali, Rasulullah saw. Sejak Hijrah hingga Wafatnya: Tinjauan Kritis Sejarah Nabi Periode Madinah, terj. Afif Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
Al-T}abari>, Ibn Jari>r, Ja>mi‘ al-Baya>n fi@ Ta’wi>l al-Qur’a>n, Beirut: Da>r al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1992.
Al-T}aba>t}aba>’i, Al-Mi@za@n fi@ Tafsi>r al-Qur’a>n, Beirut: Mu’assasah al-‘A@lami> al-Mat}bu@‘ah, 1991.
Tarski, A., “The Semantic Conception of Truth and the Foundations of Semantics”, dalam Robert M. Harnish (ed), Basic Topics in the Philosopy of Language. New York: Harvester Whentsheaf, 1994.
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Bandung: Remaja Rosdaakarya, 1995.
Al-‘Umari, Akram Diya’, Madina Society at the Time of the Prophet, terj. Huda Khattab, Virginia : IIIT, 1995.
Voll, John Obert, Islam Continuity and Change in the Modern World, Colorado: WestView Press, tt.
Watt, W. Montgomery, Mohammad at Mecca, Oxford: The Clarendon Press, 1968.
——-, Richard Bell: Pengantar al-Qur’an, terj. Lilian D. Tedjasudjana, Jakarta: INIS, 1998.
Wehr, Hans, “Hijra” dalam J. Milton Cowan (ed), A Dictionary of Modern Written Arabic, Ithaca: Spoken Language Services Inc, 1976.
Zakariyya>, Fa@ris bin, Mu‘jam al-Muqayyas fi@ al-Lugah, Beirut: Da>r al-Fikr, 1994.
Zahrah, Imam Muhammad Abu, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Jakarta: Logos, 1996.

0 Comment