17 Juni 2012


Dai Kriteria 4

PRINSIP-PRINSIP DASAR AL-DA’I

1. Tidak memaksakan agama kepada non muslim
            Islam sebagai agama damai memberikan kebebasan kepada manusia untuk mencari suatu keyakinan yang sesuai dengan hati nuraninya. Keyakinan yang dimiliki itu akan mampu mengantarkannya kepada suatu kebenaran, kedamaian dan kebahagian. Keyakinan pada seseorang tersebut tidak dapat dipaksakan kepada orang lain, karena bila sesuatu yang dipaksakan akan membawa kepada ketidak bertahanan seseorang dalam agamanya. Oleh karena itu suatu keyakinan merupakan kesadaran dari seseorang terhadap apa yang diyakininya. Untuk itu Allah Swt.. melarang memaksakan agama kepada orang lain, seperti firman-Nya surat al- Baqarah 256, (2) yaitu;

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

·         Munasabah ayat

            Pada ayat yang lalu diterangkan bahwa pokok-pokok agama adalah keesaan Allah Swt., serta kesucian-Nya yang ada dilangit dan dibumi. Demikian pula diterangkan tentang ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu dan Dia luhur dan Agung. Sedang pada ayat ini diterangkan keyakinan seperti tersebut pada ayat yang lalu, secara fitri petunjuknya adalah terdapat pada diri manusia dan ditunjang oleh berbagai realitas yang ada di alam semesta ini yang serba teratur dan tidak lagi membutuhkan pembuktian-pembuktian lain akan kebenarannya. Oleh karena itu pula orang tidak perlu dipaksa untuk meyakini hal-hal tersebut, sebab akidah itu tidak perlu diragukan lagi.[1]
  • Sebab Nuzulnya
Terdapat beberapa riwayat mengenai sebab nuzulnya ayat ini, antara lain:
1.    Sewaktu agama Islam belum datang kepermukaan bumi, ada seorang wanita yang apabila melahirkan, anaknya selalu meninggal. Oleh sebab itu ia berjanji pada  dirinya sendiri, apabila mempunyai anak yang  hidup akan dijadikan Yahudi. Ketika Islam hadir ditengah-tengah masyarakat orang-orang Yahudi Bani Nadhir di usir dari kota Madinah sebab pengkhianatannya. Ternyata anak dari perempuan itu dan beberapa anak orang-orang Anshar terdapat bersama-sama orang Yahudi. Sehubungan dengan itu orang-orang Anshar berkata,”Jangan kita biarkan anak-anak itu bersama orang-orang “Yahudi,”. Peristiwa inilah yang melatarbelakangi turunnya ayat ini yang menegaskan bahwa dalam memeluk agama Islam tidak ada paksaan. Kesemuanya didasarkan kepada kesadaran pribadi masing-masing. (H.R. Abu Dawud, al-Nasai dan Ibnu Hibban dari Abu Abbas).
2.    Ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan Husain, salah seorang sahabat Anshar dari suku Bani Salim bin Auf. Dia mempunyai dua orang anak yang memeluk agama Nasrani, padahal ia sangat patuh pada ajaran Islam. Pada suatu ketika Husain bertanya kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah bolehkah dua orang anakku  itu aku paksa memeluk agama Islam. Sebab kedua anakku itu tidak taat kepadaku dan tetap berkeinginan untuk melanjutkan memeluk agama Nasrani!”. Sehubungan dengan pertanyaan Husain tersebut, Allah Swt. menurunkan ayat ini sebagai jawabannya. Allah Swt.. secara tegas menerangkan, bahwa memeluk agama Islam itu harus didasari kesadaran pribadi, tidak boleh dipaksakan. Islam tidak membenarkan adanya intimidasi dan paksaan dalam beragama.( H.R. Ibnu Jarir dari Sa’id atau Ikrimah dari Ibnu Abbas).
3.    Ada seorang sahabat Anshar dari Bani Salim bin Auf bernama Husain mempunyai dua dua orang anak yang beragama Nasrani sedang dia sendiri taat menjalankan syariat Islam. Pada suatu ketika Husain bertanya kepada Rasulullah Saw.: Wahai Rasulullh, bolehkah aku memaksa anakku untuk memeluk agama Islam. Sebab kedua anakku itu tidak taat kepadaku dan masih berkeinginan untuk memeluk agama Nasrani”.
            Kedua anak Husain itu memeluk  agama Nasrani mereka berdagang anggur. Kedua anak itu ikut ke Syam dan hidup disana. Ketika kedua anak tersebut berangkat menuju Syam, Husain memaksanya untuk memeluk agama Islam, tetapi anaknya terlanjur berangkat ke Syam. Oleh sebab itu Rasulullah Saw. memerintahkan kepadanya untuk melacak sampai ke Syam. Di tengah-tengah pelacakan turunlah ayat tersebut yang menegaskan tidak boleh mengadakan paksaan dalam beragama, sebab sudah jelas mana yang benar dan mana yang salah.Turunnya ayat tersebut sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan Husain kepada Rasulullah Saw.di atas. ( H.R. Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Suddi dari Ibnu Abbas).
Tafsirnya :
            Huruf “لا“ pada ayat ini adalah “ لاالنافية “ (meniadakan), tetapi yang dimaksud adalah  Nahyi (larangan). Jadi maknanya adalah: Janganlah memaksa seseorang memeluk agama Islam.[2] Selain itu ada pula yang berpendapat, bahwa “لاالنافية “ tidak bermaksud Nahyi, melainkan berfungsi sebagai khabar. Oleh karena itu ayat ini, berarti : Bahwasanya Allah Swt.. tidaklah membina agama-Nya dengan dasar paksaan melainkan dibina atas dasar ikhtiar dan kebebasan. Justru itu tidak boleh memaksa seseorang untuk memasuki agama Islam.
            Ibnu Kastir menjelaskan makna “لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ  “ dengan : karena agama Islam itu jelas dan  nyata sekali dalil-dalil dan keterangannnya, tidak perlu seseorang dipaksa memasukinya. Bahkan siapa yang diberi petunjuk oleh Allah Swt.. untuk masuk Islam dan dilapangkan dadanya untuk menerima Islam dan diberi nur (cahaya) mata hatinya masuklah ia kedalam Islam berdasarkan bukti-bukti dan petunjuk yang nyata. Barang siapa yang ditutup hatinya oleh Allah begitu pula pendengaran dan penglihatannya, maka paksaan dan tindakan kekerasan tidak akan bermamfaat bagi mereka untuk memasukkannya ke dalam agama Islam.
            Mengapa tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam? Karena telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah, agaknya sangat rasional jika seseorang memilih jalan yang benar. Menurut M. Quraish Shihab (2000), tidak ada paksaan untuk menganut suatu keyakinan agama, karena Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Paksaan menyebabkan jiwa seseorang tidak damai, kedamaian sendiri tidak dapat diraih bila jiwa tidak damai. Tidak adanya paksaan ini juga merupakan refleksi kebebasan manusia  untuk memilih. Keyakinan kalau dipaksakan pada seseoarang akan melahirkan ketaatan semu, sementara agama menekankan perlunya kesempurnaan dalam pengabdian kepada Tuhan.
            Menurut al-Maraghi, ayat ini cukup dijadikan dasar untuk menolak tuduhan musuh-musuh Islam dan sebagian kecil orang-orang Islam sendiri, yang menyatakan bahwa Islam itu sendiri dikembangkan dengan pedang.[3] Sebenarnya Islam itu ditawarkan kepada manusia dengan kekerasan, demikan kata mereka. Siapa yang mau menerima akan selamat, tetapi siapa yang menolak maka pedanglah yang menjadi hakimnya. Sejarah yang menjadi saksi jujur, bahwa betapa dustanya tuduhan yang dibuat-buat ini,. Pernahkan Nabi Muhammad Saw. menggunakan pedang untuk memaksa seseorang masuk Islam? Bahkan Nabi Saw. pada masa permulaan dakwahnya melaksanakan shalat secara sembunyi-sembunyi, sedangkan kaum musyrikin selalu menganiaya beliau dan pengikutnya dengan berbagai cara.
            Kaum musyrikin tidak mendapat kesulitan untuk menganiaya orang-orang Islam yang lemah, sehingga dengan terpaksa Nabi Saw. dan para sahabatnya berhijrah. Adakah pernah pada priode Madinah, sebagai masa kejayaan Islam terjadi tindakan pemaksaan beragama Islam? Padahal ayat ini turun pada saat kaum Muslimin mulai memperoleh kejayaannya. Tentang peperangan umat Islam dengan orang Yahudi dari Bani Nadhir pada tahun IV Hijriah sama sekali bukan usaha pemaksaan beragama. Peperangn ini terjadi disebabkan pelanggaran, penyelewengan dan provokasi Bani Nadhir.
            Peperangan dan penaklukan yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya lebih kelihatan dimensi politis, ideologis dan ekonominya ketimbang penyebaran Islam. Buktinya kalau suatu wilayah sudah ditaklukan maka penduduknya tidak dipaksa untuk memeluk Islam, mereka tetap dibolehkan menjalankan kenyakinan agamanya bahkan mendapatkan perlindungan dari tentara Islam, dengan membayar uang jaminan keamanan (Jizyah). Dakwah Islam kepada mereka jelas ada namun kalau mereka lebih memilih untuk tetap pada agamanya maka mereka tidak diganggu apalagi dipaksa.
            Terkait dengan dakwah non-kursif ini, agaknya menarik untuk mencermati hadis Nabi Muhammad Saw.”Sampaikanlah kebenaran itu sekalipun pahit” (Qul al-haq walau kana murran). Banyak orang mengartikan hadis ini dengan keharusan berdakwah secara kekerasan, tegas dan kasar. Hadis ini sesungguhnya bukan menunjukkan tuntunan metode akan tetapi ia lebih menekankan nilai materi dakwah itu sendiri. Logikanya, setiap kebenaran yang disampaikan itu akan terasa “pahit”terutama oleh orang-orang yang tidak memiliki komitmen terhadapnya, atau setiap yang haq itu mengandung kepahitan bagi orang-orang yang menyalahinya. Dai dikehendaki agar dalam menyampaikan yang haq menggunakan cara yang bijak sehingga obyek dakwah dapat menerimanya tanpa merasa pahitnya. Jadi hadis tersebut hendaknya dipahami dalam konteks kemampuan untuk menyampaikan kebenaran dengan sebaik-baiknya, bukan keberanian berkonfrontasi. Kalau hadis tersebut dipahami dengan makna kedua maka akan menimbulkan berbagai keresahan dan ketegangan dalam masyarakat.
            Kata “ تبيـن  “ dari kata ”  بان “ yang berarti “ وضح “ dan “ظهر “ artinya nyata dan nampak. Kata “الرشد “ seperti dengan “ الرشاد “ .Kata ini biasanya  diartikan dengan petunjuk dan digunakan untuk semua kebaikan. Kabalikannnya adalah “الغى “ yang searti dengan  الجهل “ (kebodohan ). Al-rusyd dapat juga berarti “jalan lurus sedangkan al-ghayyu mengandung makna “jalan sesat.” Hanya saja kata al-jahlu berkenan dengan fi’liyah (perbuatan) sedangkan al-ghayyu berhubungan dengan I’tiqadiyah (keyakinan). Jadi untuk menghilangkan kebodohan adalah dengan ilmu pengetahuan dan untuk menghilangkan al-ghayyu adalah dengan al-rusyd (petunjuk atau hidayah).
            Maksud ayat ini yaitu sudah jelas jalan yang benar (Islam) dari jalan yang salah (kekafiran), karenanya orang tidak perlu dipaksa memeluk agama Islam. Apalagi Islam itu menyangkut masalah iman, dan iman adalah urusan hati, sedangkan hati seseorang tidak dapat dipaksa untuk meyakini atau menyukai sesuatu.                                                                  
            Ayat yang senada dengan ayat tersebut, yaitu firman Allah Swt..dalam QS. al-Kahfi (18) : 29:

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا

Artinya : Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Hal ini juga terdapat pada surat Yunus 99 (10/), yaitu :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

Artinya : Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?
            Sebagai seorang da’i memang tugasnya hanya untuk menyampaikan peringatan, bukan memaksakan kehendaknya. Firman Allah dalam QS. al-Ghasiyah (88) :21-22

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ(21)لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ(22)إِلَّا مَنْ تَوَلَّى وَكَفَرَ(23)فَيُعَذِّبُهُ اللَّهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ


Artinya : Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, tetapi orang yang berpaling dan kafir.
            Selanjutnya pada ayat berikutnya kata “الطاغوت “ bersal dari kata    طغيان  yang berarti melampai batas dalam suatu hal. Kata ini termasuk dalam shighat mubalaghah, seperti kata “ ملكوت  dari kata “ ملك “. Kata thaghut boleh berarti mufrad atau jamak dan boleh berarti muanast atau muzakar. Adapun yang dimaksud dengan “الطاغوت “ dalam ayat ini adalah syaitan dan segala macam sembahan selain Allah Swt.. seperti berhala dan tempat-tempat yang dianggap keramat.
Lebih jauh terdapat dalam Allah QS.al- Baqarah (2) : 257, yaitu :
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Artinya : Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
            Kata thaghut disebut dalam beberapa kali antara lain : QS.al-Nisa’ (4) : 60 ;

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.
Thaghut pada ayat ini adalah orang yang selalu memusuhi nabi dan kaum muslimin dan ada yang mengatakan Abu Barzah, seorang tukang tenung dimasa Nabi. Juga termasuk thaghut yaitu : orang yang menetapkan hukum secara curang menurut hawa nafsu dan berhala-berhala. Adapun kata “ استمسك  “ berasal dari kata  مسك “ yang berarti memegang atau berpegang.
            Menurut al-Maraghi, barang siapa yang mengingkari hal-hal yang sesat, misalnya menyembah sesama manusia, syaitan, berhala atau mengikuti kehendak pemimpin yang salah yang mengikuti hawa nafsu, tetapi tetapi ia justru beriman kepada Allah Swt.., menyembah kepada-Nya, percaya kepada Rasul-Rasul yang diutus untuk menyampaikan perintah dan larangan-Nya, berita gembira dan peringatan demi akidah dan mengamalkannya, maka ia laksana orang telah berpegang kepada tali keselamatan dan bernaung dibawah panji-panji kebenaran yang amat kokoh.[4] Posisi yang demikian ini hanya bisa dicapai jika seseorang memegang tali yang kuat yang tidak dikhawatirkan putus kendatipun dengan beban yang sangat besar dan berat.
            Kata” الوثق“ adalah bentuk mu’annats dari kata “ الاوثق   “yang berarti tali yang berbuhul dengan keras dan kuat. Para mufasir berbeda pendapat tentang maksud  العروة الوثق “dalam ayat ini menurut Mujahid yang dimaksud dengan “al-urwat al-wutsqa “adalah iman, sedangkan al-Suddy mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Islam dan Dhahhak mengatakan bahwa maksudnya adalah “لااله الا “. Menurut al-Qurthubi pada prinsipnya ketiga pendapat ini sama, karena semuanya kembali kepada satu pengertian atau satu maksud, yaitu agama Allah dengan segala ajarannya.
            Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa “ العروة الوثق “adalah keimanan dan ke-Islaman yang merupakan pegangan yang sangat kuat.Karena itu siapa yang beriman kepada Allah Swt.. sesuai yang disembah selain Allah ; seperti berhala, maka sesungguhnya ia telah mempunyai pegangan yang kokoh, tidak akan terputus atau berantakan lagi. Sebaliknya orang yang tidak percaya kepada Allah Swt.. atau menyembah sesuatu selain-Nya, maka sesungguhnya pegangannya sangat rapuh dan mudah terputus. Seperti  Firman Allah Swt.. dalam QS.al- Ankabut (29) : 41, yaitu :

مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Artinya : Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.
            Kata “سميع“ apabila dinisbahkan kepada Allah berarti sesuatu sifat yang berdiri sendiri pada zat Allah yang dengannya tersingkap apa yang didengar atau kedengaran tanpa indra pendengaran. Kata “عليم “ jika yang dimaksud adalah sifat-sifat Tuhan,maka maknanya  adalah ilmu yang berdiri pada zat Allah Swt..yang menjadi sumber terbukanya  tabir sesuatu.
            Menurut al-Maraghi, ayat ini mengandung pengertian bahwa Allah Maha Mendengar pembicaraan orang-orang yang mengingkari thaghut  dan beriman kepada Allah. Allah Maha mengetahui apa yang tersimpan didalam hatinya, apakah pengakuan benar atau salah. Orang yang percaya bahwa segala sesuatu berjalan menurut kekuasaan Allah, tidak ada kekuasaan seseorang yang mempengaruhinya, maka ia adalah orang yang benar-benar beriman dan berhak mendapatkan pahala yang sempurna. Sebaliknya orang yang terpengaruh kepercayaanya kepada kehebatan berhala (watstani) dan kekuatan ghaibnya yang dapat menolong seseorang mendekatkan diri kepada Allah Swt.. maka ia berhak mendapat siksaan. Siksaan yang diterimanya adalah sama dengan siksaan orang yang mengaku beriman kepada Allah Swt.. dan hari akhir secara lisan tetapi hatinya tetap tidak beriman.
            Umat Islam menjadikan ayat ini sebagai prinsip agama dan politik yang sangat tinggi, karenanya mereka tidak membenarkan paksaan beragama kepada siapapun, sebagaimana hal tidak membenarkan seseorang memaksa orang Islam keluar dari agamanya. Prinsip ini dapat diperpegangi dengan baik, bila kita mempunyai kekuatan untuk membela agama Islam dan penganutnya dari serangan musuh. Allah Swt.. memerintahkan kepada umat Islam untuk berjihad dan menjaga keutuhan dakwah dari kelompok penentangnya, disamping tetap menjamin kemerdekaan berdakwah dan menutup pintu fitnah.
            Umat Islam berkewajiban mengangkat senjata hanyalah semat-mata untuk membela diri dan melindungi para mubaligh, serta mengamankan jalannya dakwah keseluruh dunia, juga mencegah orang-orang kafir berlaku jahat kepada kita. Disamping itu untuk melindungi  kelemahan iman umat, sehingga dapat tumbuh menjadi kuat dan mencegah fitnah orang kafir terhadap Islam, seperti yang pernah dialami umat Islam di Mekah yang terang-terangan kemerdekaan agamanya dihalangi, sehingga turunlah firman Allah Swt.. dalam QS. al-Baqarah (2) : 193, yaitu :

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ


Artinya : Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.


2. TIDAK MENCELA SESEMBAHAN NON MUSLIM
Secara tegas al-Qur’an sangat mengedepankan agar tidak mencela sesembahan agama oran lain, seperti firman Allah surat al-An’am ayat 108 (6), yaitu :

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
·         Sebab Nuzulnya
            Ibnu Abbas berkata dalam riwayat al-Wahibi, mereka berkata: Hai Muhammad sebaiknya engkau berhenti mencela Tuhan-Tuhan kami atau kami juga akan mencela Tuhan kamu, maka Allah melarang mencela sesembahan mereka karena kalau ini terjadi mereka juga akan mencela Allah tanpa pengetahuan. Dalam riwayat lain, Qatadah berkata; Orang  Islam menghina sesembahan orang kafir, lalu mereka mengembalikan hinaan tersebut, lalu Allah Swt.. melarang menghina Tuhan mereka juga menghina Allah tanpa pengetahuan.
            Menurut Muhammad Assad (1980), pelarangan terhadap sesuatu yang dipandang orang suci sungguhpun bertentangan dengan prinsip ke-Esaan Tuhan diekspresikan dalam bentuk jama’(plural) karena itu dipahami tertuju pada semua orang mukmin. Kendatipun orang Islam diharapkan berhadapan dengan keyakinan yang menyimpang, mereka tidak diperkenankan untuk mencela obyek kepercayaan mereka atau melukai perasaan para penganutnya. Rasyid Ridha menafsirkan ayat ini dengan : Janganlah orang-orang mukmin itu mencela sesembahan mereka dimana mereka berdoa kepadanya selain Allah untuk mendapatkan manfaat dan menolak mudarat.
            Pelarangan tersebut mencakup segala bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap sistem kehidupan, tradisi dan simbol-simbol keagamaan penganut agama lain. Hikmah dibalik pelarangan ini antara lain ialah agar tidak terjadi konflik dengan latar belakang agama. Mencegah berbagai manifestasi keberagamaan pemeluk suatu agama lain bisa menjadi pemicu timbulnya konflik mengingat masalah keyakinan ini sangat sensitif. Seseorang yang telah dilecehkan keyakinan yang dianutnya pasti akan membalas, dan kalau ini terjadi maka konflik akan sulit terhindarkan.
            Pelecehan dan celaan terhadap seseorang, baik perkataan, sikap maupun perbuatannya termasuk segala sesuatu atribut yang terkait dengannya bertentangan dengan naluri manusia. Secara psikologis setiap manusia itu memiliki harga diri dan sifat tidak mau dicela dan disalahkan. Dengan demikian, dai dalam mengembangkan tugas dakwanya harus menghidarkan diri dari sikap yang secara langsung menunjukkan kesalahan apalagi pencelaan atas perbuatan seseorang serta ejekan yang akan menimbulkan perasaan kebencian, sebab mereka merasa kehormatan pribadinya dijatuhkan dan dipandang enteng, sehingga dengan dalikh apapun mereka tetap mempertahankannya, kalaupun besar resikonya bagi mereka.
            Ajaran Islam memang tidak membenarkan untuk mencela perbuatan seseorang lebih-lebih apabila mereka melakukannya karena ketidaktahuan (bighair’ilm) semata-mata. Dalam hal ini diperlakukan adalah memberikan arahan, nasihat, peringatan dengan cara yang baik, gunakan cara yang halus dan bijak sehingga mereka merasa tidak dijatuhkan kehormatannya. Dalam konteks ini, agar dai dapat menjalankan tugas dengan baik perlu dibekali dengan ilmu jiwa dan komunikasi antar pribadi sosiologi dakwah.
             Pada ayat di atas terdapat seperti keindahan dihiaskan pada orang-orang musyrik atas perbuatan menyembah selain Allah, Allah menjadikan mereka indah dengan perbuatan mereka apakah dengan kekafiran atau iman, kebaikan atau kejelekan, telah berlalu sunnah kami dalam hal akhlak manusia dan keadaanya  yang senantiasa cendrung menganggap baik apa yang dilakukan dan menyadarinya kepada leluhur mereka. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa Allah menciptakan keindahan di hati sebagian umat pada kekafiran atau kejelekan di hati sebagaian mereka keindahan dengan keimanan dan kebaikan sebagai penciptaan awai (bawaan) tetapi merupakn aktivitas ikhtiar yang muncul darinya. Sebab apabila demikian halnya maka iman, kekufuran, kebaikan dan kejahatan merupakan potensi bawaan (garizah khalqiyah) dimana dakwah dan targhib mengacu padanya.
            Selanjutnya kalimat “ tsuma ila rabbihim ….pada potongan ayat ini adalah semua individu akan kembali kepada Tuhan mereka yang menguasai urusan segala sesudah dimatikan dan dibangkitkan, tidak kepada selain-Nya karena memang tidak ada Tuhan selain Dia, kemudian Allah menyampaikan akibat kembali mereka kepada-Nya dengan hisab dan ganjaran terhadap apa yang mereka telah lakukan, apakah menyenangkan atau tidak dan membalas perbuatan mereka, kebaikan dengan kebaikan, kejelekan dengan kejelekan.
            Dai dan umat Islam pada umumnya memang tidak layak untuk mencela sesembahan pemeluk agama lain, demikian pula sebaliknya karena pada akhirnya penilaian hakiki akan kembali dan memang merupakan hak Allah Swt.. Agama-agama lain, khususnya agama samawi (terutama bagi mereka yang tidak menerima teori nazikh-manzukh) memang diakui eksitensinya dalam Al-Qur’an, sebagaiman firman Allah dalam Qs.al-Baqarah (2):62;

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Artinya : Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
            Ada tiga ayat yang semakna dengan ayat tersebut, misalnya surat al-Hajj (22), yaitu :17. Artinya : Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
            Kedua ayat terakhir ini dapat memberikan kontribusi dalam perdebatan seputar masalah pluralisme agama yang dinilai Isa J.Boullata, Guru besar sastra Arab dan Tafsir, McGill University Canada, sebagai sebuah doktrin prinsip yang dikedepankan al-Qur’an. Namun demikian tampaknya ayat-ayat ini tidak mendapatkan perhatian serius dari banyak mufasir.[5]  Fazlur Rahman misalnya beragumentasi bahwa mayoritas mufasir hanyut dalam sebuah perdebatan wacana yang tidak bermanfaat untuk menghindari pengakuan secara jelas bahwa siapa saja yang beriman kepada Tuhan dan hari kemudian serta beramal saleh akan selamat. Dalam visi Sayyid Quthb faktor krusial dari ajaran Tuhan tergantung pada kenyakinan yang benar dan bukan pada label komunitas atau kelompok tertentu.
            Menurut Rahman, para mufasir mengklaim bahwa keempat komunitas agama yang disebutkan dalam ayat tersebut mengacu pada orang yang sungguh-sungguh telah menjadi muslim atau mereka yang hidup sebelum masa Nabi Muhammad Saw. Amir ‘Abd ‘Aziz sendiri menyakini bahwa hanya ada tiga komunitas agama, yakni: ummah Qur’aniyah, Nasrani dan Yahudi, tidak ada komunitas non-muslim ketiga diluar kedua kelompok terakhir ini. Thanthawi Jawhari adalah salah satu diantara mufasir yang mempertahankan bahwa agama-agama tersebut telah dinasakh oleh agama Islam.                 Rahman menolak pendapat yang mengatakan bahwa agama-agama tersebut telah dinasakh. Dia mengatakan bahwa interpretasi ini secara nyata bertentangan dengan fakta bahwa komunitas muslim hanya mewakili kelompok pertama dari empat komunitas agama, yaitu; “mereka yang beriman”. Karena itu komunitas muslim seharusnya diidentifikasi sebagai sebuah komunitas diantara komunitas-komunitas lainnya. Rahman mendukung pendapatnya dengan al-Qur’an surat al-Maidah (5):48, yaitu :

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.Hanya kepada Allah-lah kembali semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselishkan itu.” Ayat ini memberikan jawaban final terhadap masalah dunia multi-komunitas.
Misalnya, berkenaan dengan masalah pluralisme – suatu unsur amat asasi dalam masyarakat sebagaimana diletakkan dasar-dasarnya oleh Nabi – kita dapatkan bahwa masyarakat kita masih menunjukkan pemahaman yang dangkal dan kurang sejati. Namun dalam masyarakat ada tanda-tanda bahwa orang memahami pluralisme hanya sepintas lalu, tanpa makna yang lebih mendalam, tidak berakar dalam ajaran kebenaran. Paham kemajemukan masyarakat atau pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai bernilai positif, merupakan rahmat Tuhan kepada manusia, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. Pluralisme adalah suatu perangkat untuk mendorong pengkayaan  budaya bangsa. Maka budaya Indonesia, atau “Keindonesiaan”, tidak lain adalah hasil interaksi yang kaya (resourceful) dan dinamis antara para pelaku budaya yang beraneka ragam itu dalam suatu “melting pot” yang efektif seperti diperankan oleh kota-kota besar Indonesia, khususnya Ibukota Jakarta Raya sendiri.
Jadi pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within tho bonds of civility). Bahkan, pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam Kitab Suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.[6]
Demikian juga persoalannya dengan prinsip pluralisme, lebih-lebih lagi persoalannya terhadap prinsip toleransi. Banyak indikasi menunjukkan bahwa masyarakat memahaminya hanya secara sepintas lalu, sehingga toleransi menjadi seperti tidak lebih daripada persoalan prosedural, persoalan tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda. Padahal persoalan toleransi adalah persoalan prinsip, tidak sekedar prosedur. Toleransi adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan suatu ajaran yang benar. Hikmah atau manfaat itu adalah sekunder nilainya, sedangkan yang primer ialah ajaran yang benar itu sendiri. Maka sebagai yang primer, toleransi harus kita laksanakan dan wujudkan dalam masyarakat, sekalipun untuk kelompok tertentu – bisa jadi untuk diri kita sendiri – pelaksanaan toleransi secara konsekwen itu mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang “enak”. Hal ini menyangkut pihak yang kita benci dan membela kita.[7] Logika pandangan ini ialah bahwa akibat “tidak enak” pelaksanaan suatu kebenaran hanya terjadi dalam dimensi terbatas, berjangka pendek. Sedangkan kebaikan yang dihasilkan oleh pelaksanaan suatu kebenaran selalu berdimensi sangat luas, berjangka panjang, bahkan abadi, sama halnya dengan akibat buruk pelanggaran terhadap kebenaran itu yang juga berjangka panjang, mungkin abadi.
Toleransi sebagai suatu asas masyarakat madani adalah lebih prinsipil daripada toleransi seperti yang pernah tumbuh di masyarakat Eropa. Dalam catatan sejarah, paham toleransi di Eropa antara lain dimulai oleh “Undang-Undang Toleransi 1689” (The Toleration Act of 1689) di Inggris. Tetapi toleransi Inggris itu hanya berlaku dan diterapkan terhadap berbagai pecahan intern gereja Anglikan saja, sementara paham Katolik dan Unitarianisme tetap dipandang tidak legal.[8]11 Dan di abad 18, toleransi dikembangkan sebagai akibat ketidakpedulian orang kepada agama, bukan karena keyakinan kepada nilai toleransi itu sendiri.[9]12 Apalagi saat Revolusi Perancis kebencian kepada agama (semangan laicismeI dan Ianti-clericalisme) sedemikian berkobar-kobar. Maka yang muncul tidak saja sikap tidak peduli kepada agama, tapi kebencian kepadanya yang meluap-luap. Hal itu tercermin dalam ungkapan Diderot, bahwa agama dengan segala lembaga dan pranatanya adalah sumber segala kebobrokan masyarakat, dengan ciri utama tidak adanya sama sekali toleransi.[10]13 Akibatnya, toleransi dikembangkan hanya sebagai suatu cara (suatu prosedur!) agar manusia dapat menyingkir dari agama, atau agama menyingkir dari manusia. Itulah sebabnya di Barat ada keengganan besar sekali untuk menjadikan agama sebagai tempat mencari rujukan otentifikasi dan validasi pandangan hidup sosial-politik yang diperlukan masyarakat.
Betapapun, dunia Barat akhirnya harus menerima dan memperjuangkan dengan sungguh-sungguh pluralisme dan toleransi, sebagai bagian integral demokrasi. Bahkan, para agamawan yang semula di sana menjadi target gerakan paham toleransi dan pluralisme juga memperjuangkannya. Sekalipun begitu, tetap cukup jelas nampak bahwa pengertian mereka tentang toleransi masih lebih banyak bersifat ke dalam kalangan agama mereka sendiri, sebagai bagian dari usaha mereka mengatasi efek negatif perpecahan, bahkan peperangan karena perbedaan penafsiran ajaran agama, seperti yang sampai detik ini masih berlangsung di Irlandia Utara. Dalam keadaan seperti itu, kaum Yahudi di sana masih mengalami perlakuan kejam tak terperikan dalam holokos dan genosida Nazi, dan sampai saat ini tetap berada di bawah bayangan ancaman “anti-Semitisme” yang sewaktu-waktu dapat meledak. Dan dunia Barat sekarang dihadapkan kepada ujian untuk belajar menerima kehadiran berbagai agama yang mulai berkembang di sana, khususnya Islam, Hinduisme dan Budhisme. Secercah harapan memang telah muncul dari Konsili Vatikan II (1960-an). Mungkin adanya konsili itu merupakan permulaan ditinggalkannya prinsip “ektra eccleciam nulla sallus  (di luar gereja tidak ada keselamatan), diganti dengan pandangan lebih positif kepada  agama-agama lain, dengan mengakui adanya keselamatan di luar gereja sendiri. Konsili itu juga menyerukan agar semua kaum agama, khususnya Nasrani dan Islam, melupakan sejarah permusuhan panjang di masa lalu, dan memulai zaman baru dengan penuh saling pengertian dan penghargaan.[11]
Konsili itu merupakan fenomena luar biasa di Barat dalam perkembangan yang sangat menggembirakan tentang sejarah hubungan antar agama dan pertumbuhan paham toleransi dan pluralisme. Sudah barang tentu masih harus ditunggu seberapa jauh prinsip itu akan terbukti membawa dampak yang nyata. Sebab agama Islam pun, menurut bunyi lafal berbagai firman dalam Kitab Suci al-Qur’an, juga mengakui dengan tegas adanya keselamatan pada agama-agama lain, selama para penganutnya beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Hari Kemudian, serta berbuat kebajikan.15 Tetapi karena berbagai pengalaman historis kaum Muslim, khususnya pengalaman permusuhan dan pertentangan dengan kaum-kaum yang lain, muncul kecenderungan untuk menghindar dari makna lafal firman-firman serupa itu, dengan diterapkannya cara “interpretation away” atau “explanation away” (suatu cara penafsiran atau penjelasan dengan maksud menghindar dari maksud semula pengertian asal lafalnya).
Jika toleransi diharapkan akan membawa berkah, yaitu berkah pengalaman suatu prinsip dan ajaran kebenaran, maka kita tidak boleh memahaminya seperti di Eropa pada abad-abad yang lalu. Toleransi bukanlah sejenis netralisme kosong, yang bersifat prosedural semata-mata, tetapi suatu pandangan hidup yang berakar dalam kebenaran ajaran agama. Maka menghadapi milenium ketiga ini adalah saatnya para pemeluk semua agama ditantang untuk dapat dengan konkret menggali ajaran-ajaran agamanya dan mengembangkan paham toleransi yang otentik dan absah, sehingga toleransi bukan semata-mata persoalan prosedur pergaulan, tapi persoalan prinsip ajaran kebenaran.
Karena berbagai pengalaman kesejarahan di sana, masyarakat Barat sendiri akhirnya mengakui bahwa toleransi adalah “prinsip yang akan memberi kesempatan terbaik kepada keimanan yang benar untuk menang” (Toleration is the principle which gives to true faith [12]the best chance of prevailing).16 Dan prinsip tidak dibenarkannya paksaan dalam agama yang ditegaskan dalam Kitab Suci al-Qur’an pun berdasarkan pandangan bahwa yang benar jelas berbeda dari yang palsu, sehingga manusia dapat memilih dengan bebas dan penuh tanggung jawab.17 Maka, ketika Rasulullah SAW dalam Piagam Madinah meletakkan asas-asas pluralisme dan toleransi, dengan sendirinya beliau sama sekali tidak bertindak atas dasar kepentingan sesaat dan kegunaan jangka pendek, tapi karena ajaran prinsipil dalam agama yang diwahyukan kepada beliau.
Untuk memahami pluralisme dan toleransi sebagai masalah prinsip ajaran agama, dan bukan sebagai masalah prosedur atau tata cara pergaulan semata, berikut ini beberapa kutipan dari Kitab Suci dan Sunnah Nabi SAW:
1)      Dan bagi tiap-tiap umat ada arah yang ia menghadap kepadanya. Maka berpaculah kamu dalam berbagai kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[13]
2)      Untuk setiap umat di antara kamu, Kami telah berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya kami Ia jadikan umat yang tunggal. Tetapi ia hendak menguji kamu berkenaan dengan apa yang telah Ia anugerahkan kepada kamu. Maka berpaculah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah kembalimu semua, kemudian Ia akan jelaskan kepadamu tentang segala hal yang kamu pernah berselisih di dalamnya itu.[14]
3)       Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi, seluruhnya! Maka apakah engkau (hai Muhammad) akan memaksa manusia sehingga mereka beriman semua?[15]
4)       Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya jalan hidup yang benar telah jelas berbeda dari jalan hidup yang sesat. Maka barangsiapa ingkar kepada tirani dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat, yang tidak akan putus. Dan Alah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[16]
5)       Janganlah kamu berbantahan dengan para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab) melainkan dengan sesuatu yang lebih baik, kecuali terhadap yang zalim dari kalangan mereka. Dan nyatakanlah olehmu semua, “Kami beriman kepada ajaran yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu, dan Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu, dan kita semua adalah orang-orang yang berserah diri (muslimun) kepada-Nya.”[17]
6)       Mereka itu tidaklah semuanya sama; di antara para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab) itu ada golongan yang tegak lurus. Mereka membaca ayat-ayat Allah di tengah malam, sembari bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, dan bergegas kepada berbagai kebajikan. Mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Apapun kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak akan diingkari. Allah Maha Tahu tentang orang-orang yang bertakwa.[18]
7)       Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta berbuat kebajikan, bagi mereka pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.[19]
8)       Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku ini diutus dengan semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyah al-samhah).[20]
            Kelihatannya agak sulit menerima aplikasi teori abrogasi (nazikh mansukh)  terhadap ayat tersebut dengan alasan; jika Tuhan sungguh telah menasakh agama-agama tersebut berarti Tuhan telah mengingkari janji-Nya, sesuatu yang mustahil bagi-Nya karena bertentangan dengan prinsip keadilan Tuhan.
            Hikmah di balik variasi komunitas agama adalah agar mereka berlomba-lomba antara satu dengan yang lain dalam mewujudkan kebaikan. Dalam hubungan ini Isa J.Boullata mengatakan bahwa setiap komunitas diperintahkan untuk tampil mengupayakan kebaikan dan menciptakan kehidupan harmonis antara agama secara intensif harus dilakukan diantara berbagai komunitas agama untuk mencapai kehidupan yang harmonis dan penuh kedamaian. Olehnya itu justru yang patut dikedepankan adalah saling menghargai, melakukan dialog bahkan kerjasama untuk mewujudkan tugas-tugas kekhalifahan, yakni memakmurkan bumi sehingga kehidupan ini dinamis, di mana setiap pemeluk agama kompetitif dalam hal perwujudan sesuatu yang baik.
            Dai sebaiknya lebih terbuka, lebih apresiatif terhadap pemeluk agama-agama lain dan memperluas wawasannya tentang agama-agama tersebut. Terkait dengan ini agaknya menarik untuk mempertimbangkan penerapan teori passing over  (melintas) dan coming back (kembali) seperti yang disarankan oleh John S. Dunne. Pasing over berarti melakukan pengembaraan spritual kedalam agama lain sedangkan coming back  berarti kembali ke agama semula dengan membawa pandangan baru yang memperkaya agama semula tersebut. Kenyataan historis menunjukkan bahwa mereka yang telah mempraktekkan konsep ini sangat terbuka dan toleran terhadap pemeluk agama lain. Sayyed Husein Nasr, misalnya yang sangat moderat itu dalam proses pengembaraannya berangkat dari Islam lalu melintas ke Yahudi, Kristen, Budhisme, Cofusionisme dan Toisme tetapi akhirnya dengan membawa wawasan baru kembali kepada Islam.
            Wilfred Cantwel Smith, pendiri Institut agama Islam McGill University Canada, yang saat ini menjadi guru besar sejarah perbandingan agama di Universitas Harvard Amerika, bertolak dari kristen kemudian berkelana ke Islam dan akhirnya kembali kepada Kristen. Mahatma Gandhi memulai dan mengakhiri pengembaraan spiritualnya dengan Hinduisme; ia melintas terutama kedalam agama Kristen dan Islam, tetapi selalu kembali kepada Hinduisme. Gandhi, misalnya, mengatakan; dengan mendekati agama Hindu seorang muslim diharapkan banyak belajar dan merasakan sikap toleransi orang-orang Hindu. Sebaliknya dengan mendekati agama Islam, seorang Hinduime akan banyak belajar prinsip-prinsip monoteisme agama Islam.
            Konsep “melintas” dan “kembali” ini, sangat signifikan dalam pluralisme agama, mengingat nilai spritual (mistik) dari masing-masing agama senantiasa mencerminkan unsur-unsur persamaan dan pengenyampingkan perbedaan-perbedaan. Disamping itu ia dapat mempermulus jalannya dialog antar umat beragama. Melalui dialog dengan pemeluk agama lain, masalah sosial, politik, ekonomi secara satu persatu membuatnya menjadi fokus bersama. Dengan dialog, semua persoalan bisa diupayakan pemecahannya bersama secara memuaskan. Saling percaya dan menyemangati untuk mencari interaksi yang lebih bermakna.

3. TIDAK MENYULITKAN OBYEK DAKWAH
Kehadiran da’i dalam Islam adalah memberikan kemudahan kepada penganut agama, bukan memberikan kesulitan, karena pada hakikatnya kedatangan agama selain memberikan kemudahan, juga sebagai jalan-jalan menuju kepada kesenangan dan kebahagiaan. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat al-Hajj 78, (22), yaitu;

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ

Artinya : Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.
            Menurut al-Zamakhsyari, perintah jihad di sini bersifat umum yakni terhadap orang kafir, kezaliman dan hawa nafsu. Ayat ini juga dipahami sebagai perwujudan apa yang diperintahkan Allah dan menghentikan segala yang dilarang. Penjabarannya berjihadlah terhadap dirimu sendiri dalam mentaati Allah dan menolak hawa nafsu dan iilah jihad yang besar.[21] Ibn ‘Athiyah mengatakan menurut Muqati ayat ini telah dimansukhkan oleh firman Allah QS.Al-Taghabun (64) : 16, yaitu :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta`atlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ“ adalah dengan makna Allah memberikan kemudahan dan tidak memberikan kesulitan kepadamu. Keringanan yang didasarkan pada kesanggupan dalam perintah-perintah ini. [22] Said Ibn Musayyab menginformasikan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda : “ Yang terbaik dalam agamamu adalah kemudahhnya.”, sementara Haywah ibn Syuraih, mengungkap bahwa Nabi Saw. bersabda : Orang yang berjihad itu adalah orang yang berjuang mengendalikan hawa nafsunya karena Allah Azza wa Jalla. Kalaupun Wahbah al-Zuhaili membagi jihad itu kepada tiga bagian yaitu : Jihad dengan  nafsu dan hawa, kedua jidah dengan setan dan ketiga jihad dengan orang kafir dan munafik.[23] Berdasarkan otoritas Abu Ghalib dari Abi Umamah, bahwa Nabi Saw. ditanya tentang jihad yang paling Afdhal, ia menjawab : “ menyatakan keadilan dihadapan raja yang kejam.” هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ maknanya memilihkan untuk kamu agama-Nya dan pertolongan-Nya. Sesungguhnya seseorang itu dipilih karena loyalitasnya. Ia dapat juga bermakna Tuhan memilih kamu untuk menegakkan agama-Nya dan menjalankan perintah-Nya Dalam hal ini sebagai ta’kid terhadap perintah bermujahadah. Dalam versi lain ditafsirkan dengan wajib atasmu berjihad karena sesungghnya Allah telah memilih kamu. “وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ  “ yakni dalam semua urusan agama berlaku keringanan dari kesulitan, yang merupakan beban dalam pelaksanaannya. Implikasinya dalam dakwah adalah seseorang da’i harus senantiasa menunjukkan kemudahan ajaran Islam kepada masyarakat. Demikian pula menerangkannya dengan cara yang mudah, dengan bahasa yang komunikatif dan persuasif. Hal ini akan menjadi motivasi bagi audience untuk meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan agama mereka. Dalam salah satu hadis Nabi disebutkan yang artinya “diberitakan oleh Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Marwah dari ‘Aisyah r.a…. Rasululah bersabda : mudahkanlah jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan menjadikan mereka lari”.[24]
            Ada tiga hal yang terkait dengan ayat di atas. Pertama, kata haraj di sini  berarti kesulitan/kesempitan, seperti disebutkan dalam surah al-An’am. Ayat ini masuk pada banyak masalah hukum, yaitu kekhususan Allah terhadap umat ini. Kedua, para ulama berbeda pendapat mengenai kesulitan yang diangkat oleh Allah Taala. Ada yang mengatakan qasar dalam sholat, tidak puasa bagi musafir, kebebasan jihad bagi orang buta dan lain-lain. Ketiga, ulama berkata : kesulitan diangkat bagi orang konsisten dengan syariat, sedangkan bagi para pencuri dan pelanggar aturan merupakan kesulitan.
            Muhammad Asad menafsirkan ayat ini dengan beberapa faktor : 1. Ia terbatas dari proposisi dogma atau doktrin yang dapat menyebabkan ajaran-ajaran Al-Qur’an sulit di pahami atau mungkin bertentangan dengan alasan dasar manusia, 2. Ia menghindari semua ritual atau sistem tabu yang membingungkan yang dapat menciptakan restriksi pada kehidupan manusia sehari-hari, 3.Ia menolak semua kehidupan asketis yang berlebihan, yang pada dasarnya kontras dengan natur manusia dan 4. Ia mempertimbangkan kondisi ril manusia sebagai mahluk  yang diciptakan dalam keadaan lemah.
            Sedangkan makna Millata abikum… adalah mengikuti agama bapak kamu, juga berarti dan melakukan kebaikan sebagaimana yang diperbuat bapak kamu tegakkanlah amal di atas millah tersebut. Al-Qadhi berkata : dan bahwasannya dijadikannya Ibrahim bapak kamu karena ia bapak Rasulullah Saw., ia merupakan ayah bagi umatnya, dialah yang menjadi penyebab kehidupan mereka yang abadi, atau karena kebanyakan orang arab itu dari keturunannya, maka mereka menang terhadap yang lainnya. ”Dhamir”هو “ dalam ayat ini, kembali kepada Ibrahim, maknanya adalah dialah (Ibrahim) menamai kamu dengan muslim, sebelum kedatangan Nabi Saw. Kalimat millata abikum Ibrahim  “yakni Al-Qur’an dengan segala hukum-hukumnya yang ditegaskan bahwa siapapun yang mengikuti Muhammad Saw. dia adalah Muslim. Seperti firman Allah pada surat al-Baqarah(2):128, yaitu :

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Artinya :”Jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kamiu umat yang tunduk patuh kepada Engkau…….”Dalam riwayat Ali ibn Abi Thalhah dari Ibn Abbas dinyatakan bahwa ayat tersebut berarti Allah Azza wa Jalla menamakan kamu Muslim sebelumnya, yakni pada kitab-kitab terdahulu dan dalam Al-Qur’an ini.
            Rasul menjadi saksi bagi manusia dengan tablighnya kepada mereka, atau karena sesungguhnya ia telah menyampaikan kepada kamu Risalah-risalah Tuhanmu.”                                                                  “sebagai saksi terhadap manusia melalui dakwah Rasul kepada mereka. Hal ini sejalan dengan Qs.Al-Baqarah (2):143,:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Kiblat sebagai tempat menghadap shalat pada ayat di atas adalah sebagai cerminan keistemewaan manusia seperti perintah shalatفاقيموالصلوة ….  Maksudnya, jika kamu diberi keistimewaan berupa kehormatan sembahlah Dia, nafkahkanlah apa yang telah dianugrahkan kepadamu, kepada fakir miskin dan janganlah meminta pertolongan kecuali kepada-Nya, karena Dialah sebaik-baik pemberi pertolongan. Ayat yang semakna dengan ayat tersebut antara lain adalah Qs.al-Baqarah (2):286, yaitu :

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".
Setelah memperhatikan ayat-ayat di atas, maka Islam secara prinsip tidak akan memberi beban kepada pemeluknya, karena kedatangan Islam secara hakiki adalah memberikan kemudahan bagi pemeluknya sekaligus juga menumbuhkan kesadaran kepada dirinya bahwa agama bukanlah taklif, akan tetapi suatu kebutuhan bagi kehidupan manusia.

4. TIDAK DISKRIMINATIF KEPADA OBJEK DAKWAH
Didalam al-Qur’an sangat tegas sekali larangan merendahkan atau melecehkan ketaatan seseorang beribadah kepada Allah Swt.. seperti terdapat dalam firman-Nya surat al-An’am 52, (6) : yaitu :

وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ

Artinya : Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keredhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim.
·         Sebab Nuzulnya
            Ayat  ini diturunkan sehubungan dengan enam orang sahabat yang berada di samping Rasulullah Saw. Mereka itu diantaranya Sa’ad bin Abi Waqqas dan Abdillah bin Mas’ud. Ketika itu orang-orang kafir Quraish berkata kepada Rasulullah Saw. : “ usirlah mereka! Sebab kami merasa malu menjadi pengikutmu seperti mereka yang hina itu.” Kata-kata orang kafir ini sangat menusuk hati Rasulullah Saw. Sehubungan dengan ini Allah Swt..  menurunkan ayat ini sebagai larangan terhadap kaum muslimin mengadakan penilaian terhadap seorang serta membedakan pangkat dan kedudukkan dalam pergaulan. ( H.R. Ibnu Hibban dan Hakim dari Sa’ad bin Abi Waqqas).[25]
            Dalam riwayat lain disebutkan waktu pembesar-pembesar kaum kafir Quraish lewat dihadapan Rasulullah Saw. yang duduk bersama Khabab bin Arat, Shuhaib, Bilal bin Rabah dan  Ammar bin Yasir seorang budak yang telah dimerdekakan. Mereka berkata : “ Wahai Muhammad, apakah kamu rela duduk setingkat mereka. Apakah mereka itu gelah diberi nikmat oleh Allah melebihi kami. Seandainya kamu tidak keberatan mengusir mereka tentu kami akan mengikuti ajaranmu.” Sehubungan dengan itu Allah Swt.. menurunkan ayat ini sebagai ketegasan dan larangan terhadap kaum muslimin mengadakan penilain terhadap martabat orang lain. (H.R. Ahmad,Thabrani dan Ibnu Hatim dari Ibnu Mas’ud).[26]
            Versi lainnya menyebutkan bahwa pada suatu waktu Uthbah bin Rabi’ah, Muth’im bin Adiy dan Harist bin Naufal dari kalangan pembesar kafir Quraish Bani Abdil Manaf datang menghadap kepada Abi Thalib, paman Rasulullah Saw. Yang juga ayah Ali, seraya berkata: “Wahai Abi Thalib, kalau sekiranya anak saudaramu (Muhammad) bersedia mengusir para budak yang berada disisinya, tentu kami akan lebih berbahagia dan akan menjadi pengikutnya yang taat dan setia kepadanya.” Abi Thalib menyampaikan tawaran ini kepada Rasulullah Saw. Mendengar tawaran ini Umar bin Khatab langsung berkarta: “ Sekiranya engkau, wahai Rasulullah, memenuhi permintaan mereka, kita lihat apa saja yang akan terjadi dan apa yang mereka minta lagi.” Sehubungan dengan peristiwa ini Allah Swt.. menurunkan ayat ini sebagai ketegasan tentang perintah kepada Rasulullah Saw. untuk menyampaikan wahyu tentang larangan mengusir orang-orang yang telah beribadah kepada Allah Swt.. sekalipun mereka bermartabat rendah. Disamping ayat ini juga menyatakan pelarangan mengadakan penilaian terhadap martabat seseorang, sebab Allah Swt.. lebih mengetahui keadaan mereka yang selalu bersyukur kepada-Nya. (H.R. Ibnu Jarir dari Ikrimah). [27]
Penggalan ayat وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ  bermakna hai Rasul janganlah kamu mengusir orang-orang mukmin yang mentauhidkan Allah, yang berdoa kepada Tuhannya diwaktu pagi dan petang. Doa di sini bisa berarti shalat, shalat memang merupakan salah satu bentuk doa. Shalat pada masa permulaan Islam dilaksanakan pada dua waktu yaitu pagi dan sore. Yuriduna Wajhah, ditafsirkan dengan mereka berdoa kepada Tuhannya baik diwaktu pagi maupun diwaktu malam karena menginginkan ridha-Nya. Penafsiran seperti ini antara lain dapat dilihat dalam QS.al- Insan (76) : 9, yaitu :

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا


Artinya : Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.
            Terdapat persamaan antara respon masyarakat terhadap dakwah Rasulullah Saw. dengan respon yang diberikan umat-umat terdahulu kepada Rasul-Rasul yang diutus kepada mereka. Persamaan pertama yaitu bahwa orang-orang yang pertama mengikuti ajarannya adalah dari kalangan orang-orang lemah dan miskin. Persamaan kedua adalah dari segi musuh yang dihadapi, mereka itu cenderung menghina orang-orang yang lebih dahulu mengikuti ajaran nabi dan mereka tidak rela diperlakukan sama dengan orang-orang tersebut.
            Argumen tersebut dapat dilihat dari sikap umat-uamt terdahulu kepada Rasul-Rasul Allah, Allah Swt.. misalnya, merekam perkataan pemimipin orang kafir terhadap Nabi Nuh as. Seperti termaktub dalam QS. Hud (11) : 27;
Artinya : Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat ma`siat lagi sangat kafir.
            Sekalipun Nabi Nuh As. Mengungkap isyarat keinginan para pemimpin kafir quraish tersebut untuk memintanya agar mengusir orang lemah yang sudah beriman, dia tetap tidak akan melakukannya, karena tugasnya hanyalah memberi peringatan. Sikap Nabi Nuh ini antara lain dapat dilihat dalam QS. al-Syu’ara (26) : 114-115, yaitu :

وَمَا أَنَا بِطَارِدِ الْمُؤْمِنِينَ(114)إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُبِينٌ


Artinya:  Dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang beriman. Aku (ini) tidak lain melainkan pemberi peringatan yang menjelaskan".
Pernyataan yang senada disebutkan dalam QS.Hud (11) : 29, yaitu :

وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ وَمَا أَنَا بِطَارِدِ الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَلَكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا

Artinya : Dan (dia berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui".
            Menurut al-Maraghi, dari ayat ini dipahami bahwa Rasul tidak memiliki wewenang untuk melakukan hisab terhadap perbuatan orang-orang yang menyeru Tuhan di waktu pagi dan petang. Konsekuensinya adalah Rasul tidak mempunyai alasan untuk mengusir mereka dengan mengklaim perbuatan mereka buruk sebaiknya merekapun tidak mempunyai alasan untuk menghisab perbuatan Rasul. Hak penghisapan adalah pada Allah Swt..bukan pada Rasul.

              Ayat ini mengindikasikan bahwa pengusiran dapat membawa pelakunya pada kezaliman. Pengusiran didasarkan pada perbuatan buruk yang dilakukan, setelah penghisabandan pembalasan atas suatu amal perbuatan, yang sepenuhnya menjadi hak Allah Swt.. Allah berfirman dalam QS. al-Syu’ara (26) : 113, yaitu : Artinya : Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, kalau kamu menyadari.

Pernyataan yang semakna dengan ayat tersebut yaitu QS.’Abasa (80) : 1-2, yaitu : عَبَسَ وَتَوَلَّى(1)أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى . Sebab nuzul ayat ini : versi menyebut, menurut suatu riwayat, pada sauatu ketika Rasulullah Saw. menerima dan berebicara dengan pemuka-pemuka Quraish seperti Uthbah bin Rabi’ah, Abu Jahl, Abbas bin ‘Abd al-Muthalib, Ubay bin Khalaf dan Umayyah bib Khalaf, ia mengharapkan masuk Islam. Dalam pada itu datanglah Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat nabi yang buta yang mengharapkan agar Rasulullah Saw. membacakan kepadanya ayat-ayat al-Qur’an yang telah diturunkan Allah.Tetapi Rasulullah Saw. bermuka masam dan memalingkan muka dari Ibn Ummi Maktum yang buta itu, lalu Allah menurunkan surah ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah terhadapnya.
            Penafsiran An Enlightening Comment in The Light Of the Holy Qur’an mengemukakan versi lain sebab nuzul ayat ini, yaitu seorang laki-laki dari kalangan Umaiyah sedang duduk di samping Nabi Muhammad Saw. di saat itu Abdullah ibn Ummi Maktum datang ketika orang tersebut melihat Abdullah ia membelakanginya, seakan-akan ia terpegaruh dengan kedatangannya. Diinformasikan bahwa Imam Shadiq menyetujui pendapat ini ketika ia  ditanya tentang sebab nuzul ayat ini. Sayyed Murtaz, ulama besar Islam menerima sebab nuzul ini.
            Agaknya memang tidak ada indikator dalam ayat ini yang menunjukkan secara jelas bahwa ia ditunjuk kepada Muhammad Saw. Satu-satunya sinyal dapat ditemukan pada ayat 8 sampai 10 ketika mereka mengatakan :”Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Inilah indikasi yang mungkin benar tentang Nabi Muhammad saw ketimbang orang lain. Akan tetapi menurut apa yang telah dikatakan Sayyed Murtaz, terdapat beberapa sinyal dalam ayat yang menunjukkan bahwa orang dimaksudkan bukanlah Nabi Muhammad Saw. Beberapa alasan dapat dikemukakan sebagai berikut:
            Memalingkan wajah bukanlah karakter dan perlakuan nabi-nabi, utamanya nabi Islam. Beliau berbicara dengan ramah dengan muka yang manis sungguhpun keadaan musuh-musuhnya dan tentunya lebih sopan lagi terhadap orang mukmin yang selalu mencari kebenaran. Lebih dari itu mencurahkan perhatian kepada orang kaya dan mengabaikan orang fakir tidak dapat diterima sama sekali dengan apa yang telah dikatakan tentang dirinya dalam Qs al-Qalam (68):4,” yaitu :

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Artinya : Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung,” (dengan catatan bahwa surah al-Qalam telah diturunkan sebelum surah ‘Abasa)
            Namun anggaplah sebab nuzul versi pertama yang benar, tindakan ini tak lebih sebagai meninggalkan sesuatu untuk mendapatkan yang lebih baik dan tidak terdapat didalamnya yang bertentangan dengan status kemaksuman. Karena pertama, tujuan Nabi secara pasti untuk mempengaruhi pemimpin kaum Quraish agar menyebarkan Islam dan berhenti melakukan sabotase. Kedua, tidak begitu menjadi masalah untuk memalingkan muka dari orang buta karena ia tidak dapat melihat. Lebih dari itu Abdullah Ibn Ummi Maktum tidak menuruti aturan etika, karena ia sesungguhnya tidak mengintrupsi Nabi di saat beliau sedang sibuk berbicara dengan orang-orang yang berkumpul di sana.
            Sebaliknya, karena penekanan Allah adalah pada cinta dan afeksi kepada orang miskin dan papa, diantara orang mukmin, tidak terbuktikan sedikitpun kurang perhatian Rasul kepada hamba yang beriman, karena itu ia menghargainya. Di sisi lain, jika kita menganggap Nabi Saw. sebagai suatu kebenaran, Nabi besar, dari ayat-ayat ini dapat dilihat bahwa hal itu merupakan sebuah mukjizat, karena pemimpin besar Islam menyebutkan beberapa tanggung jawab penting dalam kitab suci, tentang dirinya sendiri, bahwa ia menemukan meninggalkan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik sebagai suatu pilihan : Yakni sejumlah kecil kurang perhatian kepada seorang mukmin buta yang mencari kebenaran, yang Allah menjadikannya peringatan. Inilah suatu pembuktian fakta bahwa kitab ini dari Allah dan ia adalah seorang Nabi yang benar, karena jika buku ini bukan dari Allah, tentunya ia tidak memuat materi seperti itu.
            Suatu hal yang lebih menakjubkan adalah bahwa menurut riwayat tersebut, dimanapun Nabi melihat Abdullah Ibn Maktum, ia mengingat peristiwa itu dan memberikannya penghormatan yang layak. Aspek lain yang dikandung ayat tersebut adalah bahwa kultur Islam dalam hubungannya dengan perilaku yang ditunjukkan pada orang tertindas dan orang arogan  : Seperti bagaimana ia mempertimbangkan orang mukmin yang buta lagi miskin dibandingkan dengan para pemimpin musyrik Arab yang kaya lagi berkuasa. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa Islam merupakan suatu dukungan terhadap kelompok tertindas dan melawan orang arogan.
            Kesimpulannya, bahwa kendatipun riwayat versi pertama mengenai sebab nuzul ayat terkenal dikalangan mufasir, bahwa tidak ditemukan isyarat yang pasti dalam ayat ini untuk membuktikan pandangan bahwa Nabi Saw. menjadi tujuan yang jelas dari peringatan. Implikasi tafsir kedua ayat tersebut yaitu bahwa seorang dai sebaiknya memperlakukan sama setiap obyek dakwah. Pelayanan dakwah tidak hanya diberikan pada kelompok-kelompok tertentu yang mungkin secara kasat mata lebih menguntungkan, baik ekonomis, politis, maupun stastus sosial.
                       
5. MEMBERIKAN KETELADANAN KEPADA AUDIENS
            Kata telada dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Uswatun. Didalam al-Qur’an kata  أسوة  (uswatun) hanya ditemukan tiga  kali dalam  dua surat yaitu : surat al-Ahzab; 21 (33/90) dan surat al-Mumtahanah; 4, 6 (60/91).[28]  Memperhatikan dari segi turun kedua surat ini adalah sama-sama surat madaniyah, surat al-Mumtahanah diturunkan sesudah surat al-Ahzab. Hal dapat dilihat pada surat dan ayat sebagai berikut :
a. Surat al-Ahzab; 21 (33/90) yaitu : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
            Uswatun hasanah yang dimaksudkan di sini adalah tertuju kepada Nabi Muhammad Saw. yaitu suri teladan tentang keimanannya yang kuat, berani, sabar, tabah menghadapi segala ketentuan-ketantuan Allah dengan menampilkan akhlak yang mulia. Mengorbankan dirinya untuk menegakkan agama Allah melalui perang, mengharapkan pahala dari Allah pada hari akhirat, mengharapkan menemui Allah dengan imannya, meyakini adanya hari berbangkit sebagai hari pembalasan perbuatan, takut  akan ‘ikabnya dan harap akan pahalanya.[29] Keteladanan Nabi Muhammad Saw. yang sangat menonjol adalah budi pekertinya yang luhur ditengah kehidupan masyarakat yang penuh dengan dosa dan maksiat.
b.  Surat al-Mumtahanah; 4 (60/90), yaitu : Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Allah kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.
c. Surat al-Mumtahanah; 6 (60/91), yaitu : Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya lagi terpuji.
Uswatun hasanah pada ayat di atas tertuju kepada Nabi Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Uswatun di sini adalah bagi orang yang haus kepada kebaikan dan pahala dari Allah baik pada kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat serta mengharapkan kesuksesan hidup akhirat. Keteladanan tersebut menggerakkan kepada keimanan bagi semua orang yang beriman dengan Allah dan meyakini tentang janji-janjinya.[30] Keteladanan Nabi Ibrahim yang sangat menonjol adalah mempertahankan ke-Maha-Esaan Allah dengan segala konsekwensinya, sekalipun bapaknya sendiri seorang yang bertugas membuat berhala, namun hal itu bukanlah menjadi halangan baginya dalam mendakwahkan ke-Esaan Allah kepada masyarakat.
Memperhatikan ketiga kata uswatun dalam al-Qur’an, para mufassir menganalisanya, antara lain: Imam Ahmad Mushtafa al-Maraghi mengemukakan bahwa ungkapan uswatun pada  ketiga ayat di atas adalah, pertama yang terdapat pada al-Ahzab 21 menunjukkan sebagai contoh yang paling tinggi, panutan yang baik, baik dari segi amaliyah maupun kesuksesan dalam melaksanakan ketentuan Allah Swt. [31] Sedangkan pada surat al-Mumtahanah; 4-6 uswatun semakna dengan al-qudwah[32] yaitu sesungguhnya pada diri Nabi Ibrahim terdapat suri teladan yang baik  bagi orang -orang mukmin dan orang-orang yang bersamanya dalam mentaati Allah. Kata al-Qudwah merupakan seperangkat keteladanan yang baik  bukan hanya melalui bahasa kumunikasi transaksi dengan audiens, akan tetapi diinternalisasikan dalam kehidupan nyata,[33] baik dalam perkataan, perbuatan maupun dalam sikap dan tingkah laku kesehariannya, menjadi panutan oleh lingkungannya.
Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili,  uswatun pada surat al-Ahzab; 21 Allah menyuruh kepada pengikutnya untuk mengikuti cara-cara Nabi Muhammad Saw. pada peristiwa al-Ahzab, yaitu yaitu peperangan yang dilancarkan oleh orang-orang Yahudi, kaum munafik dan orang-orang  musyrik terhadap orang-orang  mukmin di Madinah, mereka telah mengepung rapat orang mukmin sehingga sebagian mereka telah putus asa dan menyangka  bahwa mereka akan dihancurkan oleh musuhnya. Peristiwa ini adalah ujian berat dari Allah kepada kaum muslimin, sampai sejauhmana keteguhan iman mereka. Akhirnya Allah menurunkan bala tenteranya yang tidak kelihatan  dan angin topan, sehingga musuh-musuh menjadi kacau dan melarikan  diri.[34]
Mengikuti Nabi Muhammad adalah dengan segala aspeknya, baik dari segi perkataan, perbuatan, maupun sikap dan tingkah lakunya, kesabaran dan puncak kesabarannya, perjuangan di medan perang dan  keseriusannya  dalam menunggu petunjuk Allah Swt.[35]  Sementara pada surat al-Mumtahanah; 4 dan 6  uswatun dipahaminya sebagai  al-qudwah baik dalam perkataan maupun dalam perbuatannya, tidak menyembah selain Allah Allah seperti orang-orang kafir. Oleh karena itu patut dijadikan sebagai suri teladan yang baik sebagai seorang bapak para Nabi dan berserta orang-orang yang beriman yang mengikutinya. Maka uswatun di sini adalah tertuju kepada orang yang mau dalam  posisi kebaikan dan pahala dari Allah baik di dunia ataupun kesuksesan di akhirat kelak.[36]
            Lebih jauh M. Quraish Shihab menjelaskan  bahwa al-Qur’an pada hakikatnya  telah mengajak Nabi Muhammad mengikuti  sifat-sifat para Nabi  terdahulu. Sebagaimana Allah menyebutkan dalam surat al-An’am; 83  dan  90 (6/55) yang menyebutkan terdapat 18 orang Nabi  pilihan yang patut dijadikan sebagai panutan, [37]  dalam membawa orang lain kepada kebenaran dan petunjuk.
            Allah Swt. di dalam al-Qur’an selain mempergunakan kata uswatun hasanah, juga memakai akar kata أثر   ( atsara), yaitu dampak atau efek  dari suatu  perkataan, perbuatan dan sikap, baik dari para Nabi, maupun dari peristiwa  yang terjadi pada masa lalu. Efek dari sebuah aktifitas atau peristiwa masa lampau itu dapat dijadikan sebagai contoh bagi kehidupan. Begitu juga menjadi contoh dalam melaksanakan sesuatu, atau dalam hal meninggalkannya. Kata astara dalam al-Qur’an yang berimplementasi sebagai suatu yang  dapat dijadikan contoh tergelar sebanyak lima belas kali dalam sebelas surat.[38] Hal ini dapat dilihat pada surat dan ayat berikut :
a. Surat al-Maidah; 46 (5/112), yaitu : Pada ayat ini Allahn telah memberi  contoh secara jelas  kepada umat Nabi Muhammad Saw. tentang asal-usul keturunan Nabi-Nabi  sampai kepada Isa As. sekaligus dengan kitabnya membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Allah telah memberikan kepada  kaum Bani Israil Kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi) dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Kitab Taurat tersebut menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. Maka kalimat atsarihim pada ayat ini adalah bahwa kaum Isa mengikuti atau mengiringi kaum sebelumnya sebagai Rasul mereka sebagaimana juga Nabi Musa sebagai Rasul bagi kalangan Bani Israil.[39] Allah mengutus Nabi Isa ibn Maryam setelah Musa yang mendasari hukum mereka kepada kitab Taurat sebagai jalan  yang mereka tempuh baik  dalam perkataan, maupun dalam perbuatannya.[40]
b. Surat al-Kahfi; 6, 64 (18/69) yaitu : (6) Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al Qur'an). Kata atsarihim pada  ayat ini adalah dengan pengertian setelah mereka berpaling[41] dari keimanan, karena mereka tidak beriman dengan al-Qur’an, sehingga ia mencelakakan dirinya sendiri. Maka Allah mengingatkan bahwa siapa yang mendapat petunjuk adalah untuk  dirinya dan siapa yang mendapat kesesatan, maka kesesatan itu  adalah  dari dirinya sendiri. (64) Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Sedangkan pada ayat 64 kata astarihima berkonotasi menelusuri kembali  jejak        semula.[42] Ayat di atas sekaitan dengan hadis Nabi Muhammad Saw.. tentang Musa dan Khaidir dalam peristiwa mencari ilmu. Nabi Musa ketika berpisah dengan Khaidir, lalu ia ingin mencari kembali ketempat ia bersama Khaidir, ternyata Musa tidak mendapatkannya.
c. Surat Thaha; 84  (20/45) yaitu : Berkata Musa: "Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Allahku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)". (96) Samiri menjawab: "Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak Rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku".
d. Surat al-Rum; 50 (30/84), yaitu : Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Allah yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
e. Surat Yasin; 12 (36/41) yaitu; Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).
f. Surat al-Shaffat; 70 (37/56), yaitu : Lalu mereka sangat tergesa-gesa mengikuti jejak orang-orang tua mereka itu.
g. Surat Ghafir; 21, 82  (40/60), yaitu : (21) Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya dari pada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah. (82) Maka apakah mereka tiada mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka.
h. Surat al-Zukhruf; 22, 23 (43/63), yaitu : (22) Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka." (23) Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka."
i. Surat al-Ahqaf;  4  (46/66) yaitu ; Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? Bawalah kepada-Ku Kitab yang sebelum (Al Qur'an) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar".
j. Surat al-Fath; 29 (48/111), yaitu : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
k. Surat al-Hadid; 27 (57/94), yaitu : Kemudian Kami iringkan di belakang mereka Rasul-Rasul Kami dan Kami iringkan (pula) Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.
            Memperhatikan ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa di dalam al-Qur’an terdapat dua bentuk suri teladan yang baik dijadikan panutan, yaitu pertama Nabi/Rasul-Nya itu sendiri, kedua dampak dan akibat dari perbuatan umat sebelumnya. Dengan demikian suri teladan bukan hanya tertuju kepada Nabi, akan tetapi juga kepada kejadian-kejadian masa lalupun dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi kehidupan.
Secara psikologi pada dasarnya manusia cenderung memerlukan sosok teladan dan panutan yang mampu mengarahkan kepada jalan kebenaran dan dapat memberikan motivasi  jiwa dalam membentuk kepribadian yang sempurna. Rasulullah Saw. sebagai pembawa syari’at Allah adalah cerminan ajaran Islam itu sendiri. Sehingga dalam memberikan materi dakwah, juru dakwah diperintahkan  untuk melihat langsung cara Rasulullah melaksanakan ajaran agama Islam. Hal  ini terlihat misalnya pada hadis riwayat Imam Bukhari.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيُّ الْقُرَشِيُّ الْإِسْكَنْدَرَانِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو حَازِمِ بْنُ دِينَارٍ أَنَّ رِجَالًا أَتَوْا سَهْلَ بْنَ سَعْدٍ السَّاعِدِيَّ وَقَدِ امْتَرَوْا فِي الْمِنْبَرِ مِمَّ عُودُهُ فَسَأَلُوهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْرِفُ مِمَّا هُوَ وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ أَوَّلَ يَوْمٍ وُضِعَ وَأَوَّلَ يَوْمٍ جَلَسَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى فُلَانَةَ امْرَأَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ قَدْ سَمَّاهَا سَهْلٌ مُرِي غُلَامَكِ النَّجَّارَ أَنْ يَعْمَلَ لِي أَعْوَادًا أَجْلِسُ عَلَيْهِنَّ إِذَا كَلَّمْتُ النَّاسَ فَأَمَرَتْهُ فَعَمِلَهَا مِنْ طَرْفَاءِ الْغَابَةِ ثُمَّ جَاءَ بِهَا فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَ بِهَا فَوُضِعَتْ هَا هُنَا ثُمَّ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَيْهَا وَكَبَّرَ وَهُوَ عَلَيْهَا ثُمَّ رَكَعَ وَهُوَ عَلَيْهَا ثُمَّ نَزَلَ الْقَهْقَرَى فَسَجَدَ فِي أَصْلِ الْمِنْبَرِ ثُمَّ عَادَ فَلَمَّا فَرَغَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي *

Artinya : Qutaibah ibn Sa’id bercerita  kepada saya (Bukhari), katanya, Ya’cub Abdurrahman ibnMuhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Quraish  al-AskanDarani bercerita kepada saya, katanya, Abu Hazim ibn Dinar bercerita, ada beberapa orang datang kepada Sahl ibn Sa’ad al-Sai’di mereka memegang kayu mimbar, kemudian bertanya tentang kayu itu. Ia menjawab, saya mengtehui dan melihat kayu itu sepanjang hari terletak di sini dan Rasul duduk di atasnya. Waktu Rasul menyuruh seorang wanita Sahl menyebut nama wanita  itu--, perintahkan anak-laki-lakimu kepada tukang kayu agar membuat kayu (tempat duduk) untuk tempat duduk ketika  aku berbicara di hadapan orang banyak. Wanita itu memerintahkannya dan tepat duduk kayu  itu dibuat dari kayu hutan. Setelah selesai wanita itu mengirimkannya kepada Rasul.Rasulullah memerintahkan agar kayu diletakan  di sini. Kemudian sasya melihat Rasul shalat, takbir dan ruku’. Dia turun mundur dan  sujud ditepi lalu kembali lagi.Setelah selesai memperagakan sshalat ia berkata dihadapan shahabat, wahai manusia, sesungguhnya aku melakukan hal ini  agar kalian mengikutiku dan kemudian mengajarkan cara shalatku.
            Secara ilmiah menunjukkan bahwa keteladanan dalam bentuk peragaan (demonstrasi) mengandung azas dakwah yang sangat esensial dalam mencapai tujuan Islam kepada umat.
Pertama; Dakwah Islam merupakan langkah konkrit yang senantiasa menyeru manusia kejalan Allah. Dengan demikian seorang juru dakwah dituntut untuk menjadi teladan di hadapan objek dakwah (mad’u), dengan harapan audiensnya dapat pula menindak lanjuti perbuatan tersebut (al-Tathbiq). Setiap objek dakwah akan meneladani subjek dakwah dan merasa puas dengan ajaran diterimanya, sehingga prilaku ideal  yang  diharapkan dari objek merupakan tuntutan realistik dan  dapat diaplikasikan. Hal itu tak obahnya seperti orang tua bagi anak-anaknya dalam keluarga. Sejak kecil anak-anak diarahkan oleh Islam dari orang tuanya. Maka juru dakwah harus menyempurnakan dirinya dengan akhlak mulia yang berasal dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Kedua; Hadis di atas, mengisyaratkan bahwa Islam telah menjadikan Rasulullah sebagai teladan abadi dan aktual sepanjang masa bagi setiap juru dakwah. Setiap juru dakwah yang membaca pernyataan-pernyataannya akan menambah rasa cinta  dan berhasrat untuk meneladaninya. Namun perlu  disadari bahwa keteladanan itu bukan menunjukkan sebagai kekaguman kepadanya. Islam menjadikan keteladanan itu agar manusia melakukan kepada dirinya sendiri, sesuai dengan kesanggupannya. Keteladanan dalam  Islam senantiasa  terlihat dan tergambar jelas, sehingga tidak beralih menjadi imajinasi kecintaan spritual tanpa dampak yang nyata. Agaknya yang mempermudah pemindahan keteladanan itu adalah kesiapan meniru  (imitasi) yang menjadi karakteristik manusia.
            Secara psikologi, manusia memiliki karakter untuk meniru pada figur yang  dicintainya. Peniruan itu bersumber dari kondisi mental seseorang yang senantiasa merasa bahwa dirinya berada dalam perasaan yang sama dengan kelompok lain (empati). Sehingga dalam peniruan itu, masyarakat sering cenderung meniru orang yang lebih baik darinya, kaum lemah cenderung meniru orang kuat, bawahan cenderung meniru atasan. Naluri ketundukkanpun bisa dikategorikan sebagai pendorong untuk meniru, terutama anggota kelompok pada pemimpin kelompok tersebut. Dalam perkembangannya, naluri untuk meniru, mulai terarahkan dan mencapai puncaknya ketika metode dakwah mulai  dibuktikan, sehingga naluri meniru disempurnakan oleh adanya kesadaran, ketinggian dan tujuan yang mulia. Pada dasarnya peniruan itu berpusat kepada tiga aspek, yaitu :
1)   Kesenangan untuk meniru dan mengikuti. Seperti peniruan gaya  bahasa, cara gerak, cara bergaul atau berprilaku dari orang yang mereka kagumi.
2)   Kesiapan untuk meniru. Tahapan usia manusia memiliki kesiapan dan potensi yang terbatas sesuai dengan tahapan tersebut. Justru itu Islam menekankan kewajiban shalat pada anak yang usianya belum mencapai tujuh tahun dengan tetap menganjurkan kepada orang tua untuk mengajak anaknya meniru gerakan-gerakan shalat. Namun orang tua tetap harus memperhitungkan kesiapan dan potensi ketika anak meniru seseorang. Biasanya, kesiapan untuk meniru muncul setelah seseorang mengalami berbagai krisis. Dalam kondisi seperti manusia mencari panutan atau pimpinan yang seluruh prilaku  dan sosialnya akan ditiru. Untuk itu seorang juru dakwah mampu menangkap fenomena psikologis masyarakat.
3)   Peniruan terkadang memiliki tujuan yang sudah diketahui  oleh si peniru atau bisa jadi tujuan itu  sendiri  tidak  jelas. Pada umumnya bagi masyarakat, peniruan lebih cenderung  didorong oleh tujuan kehidupan yang defensif, yaitu kecenderungan mempertahankan suatu idealogi. Dari peniruan tersebut ia akan memperoleh kekuatan dan keperkasaan. Kegiatan meniru ini akan meningkat menjadi kegiatan berfikir yang memadukan kesadaran, keterkaitan, dan perasaan kebanggan jika pada  perkembangan meningkat. Dalam dakwah Islam peniruan yang dilandasi kepada kesadaran ini meningkat menjadi ittiba’ yang jenis tersebut meningkat  bila disertai dengan petunjuk atau pengetahuan  tentang tujuan dan cara menirunya.[43]
            Dengan demikian, keteladanan merupakan prinsip dakwah yang paling  potensial, bahkan paling besar pengaruhnya bagi manusia untuk menarik manusia kepada kebaikan  dan kebenaran. Karena langsung menyentuh hati dan perasaan objek dakwah ketika menyaksikan praktek nyata yang dilakukan juru dakwah. Keteladanan dapat mengubah  pandangan dakwah dari teori kepada realita yang dapat disaksikan dan dirasakan dari perkataan  kepada pelaksanaan. Sekaligus dalam waktu yang sama, keteladanan merupakan dakwah yang efektif dalam masyarakat. Karena apa yang disampaikan  dapat dipraktekan secara  nyata.
            Prinsip uswatun hasanah dalam  berdakwah akan mengandung pemaknaan bahwa seorang juru dakwah sekaligus sebagai materi dakwah. Masyarakat yang melihat sosok juru dakwah sudah merasakan bahwa sikap dan perbuatan adalah kebenaran yang dibawa oleh juru dakwah. Nabi Muhammad Saw.,  dilihat ia sebagai  manusia biasa yang perlu makan, minum dan lain-lain. Semua itu menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan Muhammad sebagai teladan bagi manusia dalam melaksanakan ajaran-Nya.[44] Sekaligus membuktikan bahwa tuntunan Allah dapat dilaksanakan oleh manusia.
            Ayat di atas membawa pesan bahwa orang-orang muslim harus meneladani Nabi Saw. dalam semua perbuatan  dan keadaannya. Juru dakwah, tiada jalan  lain terkecuali meneladaninya, baik perkataan, perbauatan maupun sikap dan tingkah lakunya. Lebih lebih jauh lagi antara perkataan dengan perbuatan adalah konsisten .  Bila juru dakwah konsisten, maka objek dakwah melihatnya sebagai sosok yang kontroversial.
            Pengaruh, baik langsung ataupun tidak dari sebuah keteladanan, akan menentukan sejauhmana seseorang memiliki sifat yang mampu mendorong orang lain untuk meniru dirinya, baik dalam keunggulan ilmu pengetahuan, kepemimpinan maupun ketulusannya. Dalam kondisi yang demikian, pengaruh keteladanan itu akan terjadi secara spontan. Ini berarti bahwa setiap orang yang ingin dijadikan panutan oleh orang  lain harus senantiasa mengontrol prilakunya dan menyadari bahwa ia akan diminta pertanggungjawaban dari Allah Swt. atas segala tinduk tanduk yang diikuti oleh masyarakat banyak. Semakin tulus, semakin bertambahlah kekaguman orang kepadanya, sehingga bertambah pula kebaikan dan dampak positifnya. Pemberian pengaruh kepada audiens bisa jadi secara sengaja dan sangat boleh jadi dalam bentuk demontratif, yaitu melihatkan kepada orang lain bagaimana mengembangkan sesuatu yang mereka kerjakan. Lalu diberi petunjuk sehingga audiens dapat melakukan sendirinya.
            Dalam melaksanakan dakwah, Rasulullah Saw. selalu menyesuaikan diri dengan apa yang ia sampaikan kepada umat. Artinya apa yang ia perintahkan ia kerjakan, dan apa ia larang ia juga meninggalkannya. Misalnya perintah shalat seperti dalam hadis  ia bersabda :

حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا عبد الوهاب قال حدثنا أيوب عن ابى قلابة قال حدثنا مالك قال أتينا الى النبى صلى الله عليه وسلم ونحن شببة متقاربون فأقمنا عنده عشرين يوما وليلة وكان رسول الله عليه وسلم رحيما رفيقا فلما ظن انا قد اشتهينا اهلنا او قداشتقنا سألنا عمن تركنا بعدنا فأخبرناه قال ارجعوا الى اهلكم فأقيموا فيهم وعلموهم ومروهم وذكر اشياء احفظها وصلوا كما رايتموني اصلى. (رواه البخـارى [45]

Artinya : Muhammad ibn al-Mutsanni bercerita kepada saya (Bukhari), katanya, Abdul  Wahab bercerita kepada saya, dari Abu Qilabah, katanya, Ayyub bercerita kepada saya, katanya, saya datang kepada Nabi. Saya meninggalkan anak-anak remaja perempuan bersama keluarga. Tinggal bersama Nabi selama dua puluh hari dan malam . Nabi sangat suka  dan lembut kepadaku. Ketika Nabi menduka ketika saya sedang rindu kepada keluargaku, maka ia menanyakan kepadaku tentang orang-orang yang saya tinggal  (dirumah). Saya menceritakan semua kepada Nabi. Lalu Nabi  mengatakan: Kembalilah kepada keluargamu, tinggallah bersama mereka, ajarkan (agama) kepada mereka dan  perintahkan mereka sesuai yang saya ajarkan  kepadamu, kerjakanlah shalat seperti kamu melihat diriku shalat.
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa dakwah yang disampaikannya tidak hanya melalui teori, atau hanya sekedar memberi arahan, atau menggambarkan sesuatu yang wujud pelaksanaan tidak dipraktekkan, maka dakwah yang seperti itu adalah sangat sia-sia. Termasuk dalam memberi nasehat, jika belum pernah melakukannya, agaknya untuk tidak memberi nasehat kepada orang  lain. Atau sama halnya dengan seorang juru dakwah sering menjelaskan masalah iman dan taqwa, padahal sang juru dakwah sendiri tidak mengerti apa yang dimaksudkannya dengan nasehatnya itu. Dengan demikian dapat ditanggkap bahwa metode ini adalah masalah yang memamg benar-benar diketahui dan mampu dilaksanakan oleh juru dakwah itu sendiri. Hal ini sesuai dengan Firman Allah surat al-Shaffat; 2-3 yaitu :

فَالزَّاجِرَاتِ زَجْرًا(2)فَالتَّالِيَاتِ ذِكْرًا


Artinya : Demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan ma`siat), dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran.
Para shahabat sebagai objek dakwah ketika itu tidak merasa kesulitan dalam melaksanakan perintah-perintah Nabi, karena mereka telah melihat peragaan praktis dari perintah tersebut. Dalam hal-hal yang sangat  pribadi, misalnya masalah perempuan, ia tidak memberikan petunjuk langsung, tetapi ia sampaikan melalui isterinya. Contoh Nabi menjawab wanita Anshar tentang bagaimana cara membersihkan bekas-bekas darah haid. Nabi mengatakan ambil kain yang halus dan beri wangi-wangian. Tekan-tekanlah kain itu. Nampaknya wanita itu kurang paham dengan penjelasan Nabi tersebut, maka dia berulang-ulang menanyakan kepada Nabi,  sehingga Nabi menerangkan dengan rinci kepada A’isyah, melalui dia wanita tersebut diajaknya masuk kamar dan menjelaskan cara membersihkan bekas-bekas darah haid tersebut, sehingga wanita tersebut dapat memahaminya dengan sempurna.
Lebih jauh sebagai teladan yang baik  dalam  masyarakat, Nabi membangun masjid untuk mewujudkan suatu tempat pertemuan bagi  seluruh muslimin, kemudian ia mempersaudarakan mereka guna menyatukan hati, agar terbentuk suatu kelurga Islam yang kompak dan  dinamis.[46]   Bukti ini menunjukkan bahwa jika Nabi ingin membentuk jam’ah, pekerjaan yang pertama ia kerjakan bukan mengumpulkan  dan mencari orang-orang yang ingin ia satukan, akan tetapi yang ia kerjakan terlebih dahulu adalah membuat fasilitas dan wadah tempat berkumpul bagi masyarakat, sehingga untuk mewujudkan  keinginannya dapat terealisasi dengan baik. Pada masa Orde Baru disebut dengan dakwah pembangunan atau dalam bahasa agama dikenal dengan dakwah bi al-hal. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan (لسان الحال افصح من لسان المقال ) “ Tindakan itu lebih baik dari  ucapan”.[47]
Selain uswatun hasanah dari para Nabi dan Rasul, tidak kalah penting adalah astara, (dampak) ketimbang uswatun. Kalau ungkapan astara lebih berkonotasi  kepada pristiwa masa lalu yang terjadi dikalangan masyarakat. Kejadian tersebut sekaligus memberikan pelajaran kepada manusia, sedangkan uswatun tertuju kepada pribadi Nabi dan Rasul dalam upayanya memperjuangkan agama tauhid kepada masyarakat. Keteladan tersebut dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan, terutama bagi juru dakwah yang telah merelakan dirinya untuk memperjuangkan agama Islam kepada manusia.
Setelah memperhatikan uraian di atas dapat dipahami bahwa prinsip juru dakwah dalam bentuk uswatun hasanah, bukan hanya pada aspek yang ada pada pribadi  Nabi, tetapi juga terhadap aspek kongkrit dari apa yang dilakukannya dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain disebut dakwah bi al-hal, yaitu dakwah melalui gerakan nyata dan melalui perbuatan. Kenyataan dakwah seperti ini dikalangan orang Arab mendapat respon yang sangat positif sekali, sehingga banyak dari kalangan mereka yang masuk agama Islam.-
5.      TIDAK MENGHARAPKAN IMBALAN DUNIAWI

         Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin menuntut penganutnya agar selalu dalam ikhlas dan menuntut keredaan Allah, sehingga apa yang mereka lakukan dalam menempuh kehidupan di dunia ini, tertutama sekali dalam menyampaikan ajaran agama kepada orang lain supaya tidak meminta upah kepada orang yang akan diajak kepada Islam. Larangan meminta itu ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-Furqan 56-57, (25) : yaitu;


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا(56)قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلَّا مَنْ شَاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلًا

Artinya : Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan hanya sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.
          Said Hawwa (1989) menafsirkan ayat ini dengan aku tidaklah menuntut upah dari kamu atas dakwah yang kulakukan. Aku melakukan demikian hanyalah untuk mengharapkan keredhaan Allah Swt.. Prinsip tersebut sangat signifikan mengingat disebutkan sekitar 13 kali dalam al-Quran. Hal ini tidak tertuju kepada seorang Rasul, akan tetapi kepada hampir semua Rasul, seperti juga disampaikan kepada Nabi Nuh as, Nabi Hud as, Saleh as, Nabi Luth as dan Nabi Syuaib as masing-masing dalam al-Qur’an ditemukan misalnya surat al-Syu’ara’ 109, 127, 145, 164, dan 180, (26). Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa kegiatan berdakwah itu bukan dimaksudkan untuk mendapatkan imbalan duniawi dalam bentuk apapun.
            Kata “sabila” pada ayat di atas semakna dengan “thariqa, maslaka dan manhaj.”Tafsirnya adalah : upahku yaitu agar kamu mengikuti jalan Allah dengan iman, ketaatan, sedekah dan infaq. Itulah upahku kerena sesungguhnya Allah yang memberikan upah kepadaku atas pelaksanaan dakwah tersebut.
            Menurut M.Quraish Shihab (2000), kerena ciri khas dakwah keagamaan bersumber dari “langit”sehingga para penyampainya harus mampu melepaskan kaitan antara dakwanya dengan tujuan-tujuan pribadinya yang bersumber dari “bumi” (keduniaan). Apabila hal ini terjadi terbukalah pintu selebar-lebarnya untuk mencemohkan dan mengabaikan ajarannya. Dakwah harus dibebaskan dari kepentingan duniawi pengajaknya karena kalau tidak demikian, ia harus diputarbalikan atau dalam istilah Al-Qur’an ia iakan ditakwilkan (QS.Al-Imran (3) :7) demi kepentingan pribadi guna menciptakan kesempatan berkuasa, mempertahankan kedudukan, memperoleh popularitas dan atau menimbun materi. Ayat yang senada dengan ayat tersebut, antara lain yaitu Surat Saba’(34):47, yaitu :

قُلْ مَا سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Artinya : Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.
Ungkapan yang senanda ditemukan juga pada surat al-Syura 23, yaitu :
ذَلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ

Artinya : Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.
Maksud ayat ini yaitu bahwa Rasulullah Saw. sekali-kali tidak meminta upah atas dakwanya kepada mereka. Harapan yang diminta Rasulullah Saw. hanyalah pengertiannya untuk menerima ajakan demi untuk kebahagiaan mereka sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.
Mengenai pertanyaan apakah secara mutlak seorang dai tidak boleh menerima imbalan sama sekali dari obyek dakwanya. Dalam hal ini terdapat tiga kelompok pandangan ulama.Kelompok pertama, terdiri atas ulama Mazhab Hanafi dan lain-lain berpendapat bahwa imbalan tersebut haram, baik ada perjanjian sebelumnya ataupun tidak.Kelompok kedua, terdiri atas imam maliki bin Anas, Imam Syafi’i dan lain-lain memandang boleh baik di dahului perjanjian atau tidak.Kelompok ketiga, terdiri atas al-Hasan al-Basahri, al-Sya’bi, Ibnu Sirin dan lain-lain menekankan bahwa kalau ada perjanjian sebelumnya untuk memungut imbalan maka hukumnya haram. Akan tetapi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya kemudian penceramahnya diberi imbalan, maka hal itu hukumnya boleh. Moh.Natsir sendiri menyatakan bahwa pemberian dari penerima dakwah dapat diterima karena hal itu merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam kewajiban dakwahnya, agar dakwah tetap berkesinabungan.
   










[1] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Dar al-Fikr, Beirut, 1991, h. Jilid I, h. 21
[2] Ibid
[3] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Dar al-Fikr, Beirut 1365, Jilid I, h. 16
[4]Ibid
[5]Pemikiran Isa J. Boullata ini disarikan dari hasil berapa kali kuliah umum yang ia berikan ketika penulis mengikuti program S2 IAIN al-Raniry Banda Aceh tahu 1993.
[6]Al-Baqarah 251, yaitu : فَهَزَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُدُ جَالُوتَ وَءَاتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ
[7]Salah satu contoh ialah “Piagam Aelia” (Mitsaq Ayliya) yang dibuat oleh Khalifah Umar dengan patriak Yerussalem, Sophronius, setelah kota suci tiga agama itu dibebaskan oleh kaum Muslim.

[8] John Herman Randall, Jr., The Making of the Modern Mind, New York, Columbia University ress, 1976, h. 283
[9] Ibid. h. 376.
[10]Suatu kebencian kepada agama yang meluap-luap, khususnya kepada agama Kristen saat itu, seperti dikemukakan oleh Diderot, menjadi sebagian latar belakang hakikat paham mula-mula tentang toleransi. Kita akan mengerti sedikit lebih baik sejarah perkembangan konsep toleransi dan pluralisme jika kita mengetahui adanya kebencian kepada agama seperti diwakili oleh Diderot. Sebab, pandangan itu kemudian diterapkan kepada agama-agama lain tanpa dasar yang wajar. Kata Diderot, "The Cristian religion is to my mind the most absurd and atrocious in its dogmas; the most unintelligible, the most metaphysial, the most interwisted and obscure, and consequently the most subject to divisions, sects,, schisms, and heresies; the most mischievous for the public tranquility, the most dangerous to sovereign by its hierarchic order, its persecutions, its discipline; the most flat, the most dreary, the most Gothic, and the most gloomy in its ceremonies; the most puerile and unsociable in its morality, considered not in what is common to it with universal morality, but in what is peculiarly its own, and constitutes it evangelical, apostolic, and Cristian morality, which is the most intolerant of all. Lutheranism, freed from some absurdities, is preferable to Catholicism, Protenstanism (Calvinism) to Lutheranism, Socianism to Protestanism, Deism, with temples and ceremonies, to Socianism". (Diderot, Letter to Damilaville, 1766, in “Euvre”, ed., Assezat et Tourneux, XIX, 477, sebagaimana dikutip dalam John Herman Randall, Jr., The Making of the Modern Mind, New York, Columbia University Press, 1976, h. 292.

[11]Kajian ini disari dari hasil pidato Nurchalis Madjid pada acara Halal Bihalal KAHMI dengan penyuntingan dan penyempurnaannya, Jakarta, 11 Syawal 1419 /28 Januari 1999


[13]Q.s., al-Baqarah/2:148
[14]Q.S., al-Maidah/5:48
[15]Q.S., Yunus/10:99
[16]Q.S.,  al-Baqarah/2:256
[17]Q.S., al-‘Ankabut/29:46
[18]Q.S., Alu Imran/3:113-115
[19]Q.S.,al-Baqarah/2:62
[20] Hadits, riwayat Imam Ahmad, yang lafalnya adalah kira-kira demikian.
[21]Abi Qasim Jar-Allah Muhammad bin Umar al-Zamakhsyari al-Khawarijmi, al-Khasysyaf, Maktabah Mishri, Tt, h. 239
[22]Lihat QS. Al-Baqarah;  185 dan 286
[23] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, op.cit, jilid, XVII, h. 285
[24]Lihat Hadis Riwayat imam Bukhari dan Muslim
[25] Wahbah al-Zuhaili,  Tafsir  fil al-‘Aqidah wa al Syar’iyah wa la-Manhaj, Dar al-Fikr, Lebanon, 1411H/1991 jilid VII, h. 208
[26] Ibid
[27] Ibid
[28]Muhammad Bassâm Rushdî al-Zayn, op.cit. jilid  1, h. 126
 [29]Wahbah al-Zuhailî,. Tafsîr al-Munîr Fi al-‘Aqîdat wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, (Lebanaon: Dâr al-Fikr, Lebanon, 1411H/1991), h. 285
[30]Ibid, juzu’ XVII, h. 130
[31]Ahmad Musthafâ al-Marâghî, op.cit.  h. 146
[32]Ibid, jilid  XXX, h. 65
[33]Q.S.al-Shaf; 3 (61/109) :  يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ(2)كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا ا تَفْعَلُونَ(3)
[34]Dep. Agama RI, al-Qur’an dan terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, 1971), h. 665
[35]Wahbah al-Zuhailî, op.cit. jilid 22, h. 273
[36]Ibid, jilid, 28, h. 128-131
[37]QS. al-An’am; 90, yaitu : أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
   [38]Muhammad Bassâm Rusydî, op.cit. jilid 1, h. 68
[39]Wahbah al-Zuhaili, op.cit. jilid VI, h. 204
[40]Ahmad Musthafa al-Maraghî, op.cit. jilid 2, h. 
[41]Wahbah al-Zuhaili, jilid XVI, op.cit, h. 204
   [42]Ibid, h. 290.
[43]QS. Yusuf; 108 (12/53), yaitu : قل هذه سبيلي أدعوا إلى الله على بصيرة أنا ومن اتبعني وسبحان الله وما أنا من المشركين
[44]QS. al-Ahzab; 21 (33/90), yaitu; لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
[45]Abî Abd Allâh Muhammad bin Ismâîl bin Ibrahîm Ibn al-Mughîrah bin Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukharî, al-Maktabah al-Bahiyyah, Mesir, 1349 H, juz. I, h. 155
[46]Ahmad Syalabi,  al-Mujtama’ al-Islamiyah,  (Ter.) Muchtar Yahya dengan  judul : Masyarakat Islam, (Yogyakarta: CV.  Ahmad Nubhan, tt), h. 45
[47]Muhaimin CS, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan  Kerangka Dasar  Operasionalnya,  (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h.236

0 Comment