04 Maret 2023

 

MANUFER FILSAFAT BARAT

Filsafat  bukanlah  pemikiran  a-historis  yang  terlepas  dari  konteks  sosial dan budaya, melainkan suatu sistem pemikiran yang tumbuh  dalam suatu bangsa, dibangun oleh suatu generasi, melayani  masyarakat  dan  mengekspresikan  suatu  peradaban.  Inilah  yang  diupayakan oleh para pendukung paradigma sosial dalam menelaah  pemikiran-pemikiran, kendatipun ia adalah proposisi  bukti kebenaran  diri sendiri  (  qadhiyah badîhiyyah  ) yang tidak perlu diperbaiki.  Untuk  itulah dibuat ilmu-ilmu humaniora secara kolektif, misalnya  ilmu pengetahuan sosial  yang  sudah  terkenal  atau  antropologi  budaya,  dengan mentransformasikan sejumlah paradigma sejarah: sejarah  filsafat,  sejarah  pemikiran,  dan  sejarah  aliran  pemikiran.

Krisis filsafat yang terjadi di universitas-universitas dan lembaga-lembaga kita saat ini disebabkan tidak adanya kesadaran terhadap bukti-bukti di atas melalui kesadaran ilmiah yang total. Meskipun krisis  filsafat  itu  berulang  kali  muncul  pada  awal  pertemuan  dan  akhir  setiap  pelajaran,  namun  tetap  saja  tidak  menghasilkan  solusi, signifikansi dan terciptanya bukti-bukti demonstratif serta analogi  terhadap konklusi-konklusi yang nyata bagi generasi kita.  Filsafat     hanya diartikan sebagai eksplanasi aliran pemikiran sosial dengan  mengikuti  apa  yang  sudah  ada  di  dalam  sebagian  referensi  asing  yang  ditransfer,  dan  untuk  kepentingan  sektoral  yang  lebih  banyak  muncul  dalam ranah politik daripada ilmu pengetahuan, atau hanya untuk  kepentingan analisis para mahasiswa terhadap persoalan-persoalan  sosial, baik berdasarkan aliran politik maupun tidak, dan sebagai  eskapisme  dari  tanggung  jawab  sosialnya.  Oleh  karena  itu,  alangkah     mudahnya  melindungi  ke  tempat-tempat  suatu  periode  maupun  klaim kemajuan sosial, dan langkah mudahnya melakukan pengulangan  slogan  -slogan  dan  perluasan  metode-metode  sosial.  

Posisi  inilah,  yang  pada  dasarnya,  mendorong  kita  memikirkan  relasi filsafat dengan posisi generasi kultural tertentu, yaitu generasi  bangsa kita.  Oleh karena itu, kami tidak berbicara tentang krisis  totalitas zaman maupun filsafat secara umum karena hal itu tidak  memiliki  relevansi  bagi  kita.  Disana  terdapat  konstruk-konstruk  potensi-psikologis-sosial yang muncul pada setiap zaman dan  hanya  mungkin  digeneralisasi  melalui  kadar  generalitas  jiwa  manusia  dan keabsolutan rasio manusia. Pada hakikatnya,       bersifat universal  yang  hanya  datang  setelah  spesifikasi  dan  dunia  rasio  potensial  tidak  mempunyai  eksistensi  dalam  dunia  nyata.  

Baik  di  universitas-universitas  maupun  dalam  kehidupan  umum  kita,  filsafat  sudah  berada  dalam  fase  krisis.  Substansi  krisis  ini  dapat  dinyatakan sebagai berikut: kita sudah mengolah universitas-  universitas modern sejak setengah abad lebih.  Universitas-universitas klasik kita sudah ada sejak seribu tahun lebih, namun kita tidak  dapat menyatakan bahwa di kalangan kita terdapat filsuf-filsuf atau  kita telah memproduksi filsafat.  Secara umum, kita sudah memulai  gerakan penerjemahan sejak satu setengah abad lebih, yaitu sejak Thahtawi kembali ke  Mesir dan mendirikan “Lembaga Ilmu Penge-tahuan” ( Dîwan al-  Hikmah  ) II, semacam bahasa sekolah. Hingga saat ini, kami tetap melakukan penerjemahan, meskipun dengan hasil yang minimal. Jadwal acara nasional kita yang representatif hingga saat ini adalah publikasi, seperti tampak pada program-program perolehan barang yang mayoritas mengambil fokus perhatian   penerjemah-penerjemahan. 

Sampai saat ini, terjemahan-terjemahan  ini  tidak  “berbunyi”  dan  tidak  menghasilkan  inovasi-inovasi.  Seolah  olah terjemahan adalah tujuan akhir, bukan sarana;  seolah-  olah  konklusi  adalah  tujuan  esensial.  Kita,  dalam  tataran  yang  terbaik, memproduksi karya-karya yang berhadapan dengan aliran-aliran pemikiran lain yang berlandaskan teguh pada teks-teks asli dan kajian-kajian sekunder.  Oleh karena itu, di kalangan kita, filsafat menjadi semacam antologi pendapat-pendapat, aliran-aliran, dan anotasi- anotasi teks sebagaimana yang kita lakukan terhadap materi-materi klasik. 

Sepertinya kita hendak mengganti bahan yang satu dengan bahan yang lain dan ganti orang-orang modern dengan orang- orang klasik. Oleh karena itu, ketika seorang penulis bergolak dan Mengajukan tuntutan, sesungguhnya ia membela aliran pemikiran yang dimunculkan dan menyerang lawan-lawannya dalam satu  hal.  Di  dalamnya,  tidak  ada  permainan  kata  yang Situ posisi riil kultural kita yang disarikan dalam retorika dan dialog, dalam silogisme dan pembuktian demonstratif, dan dalam logika spekulatif.  Sebaliknya, yang muncul adalah eksplorasi dalam logika ideologi. 

Bagi kami, pemikir-pemikir itu, benar-benar mengalami  perubahan  menjadi  duta-duta  dua  peradaban  yang  merepresentasikan aliran-aliran pemikiran asing, terutama tentang lingkungan ( milieu ) kita dengan refleksi penyelidikan, agitasi kultural, dan penyebaran Barat di luar batas- batas teritorialnya berbeda  dengan  Timur, di mana kita tidak menemukan di antara kita orang-orang yang merepresentasikankefilsafatannya baik di India maupun di Cina, sebagaimana yang terjadi di kalangan pemikir-pemikir periode pertama kita, seperti al-Biruni dan yang lainnya. Hal ini tampak jelas dalam penempatan Filsafat Timur di Universitas kami (Universitas Kairo, ed. ) dan bagaimana ia hanya diberikan dalam materi yang sempit serta dengan  berpegangan  pada  seorang  penulis  terkenal   yang menulis Filsafat Timur sebagai penyempurnaan bagi sejarah filsafat di Barat.  [1]

Di dalam pembahasan tersebut tampak terjadi pengulangan terhadap apa yang ada pada masa lampau, baik yang terdapat di buku-buku maupun di pelbagai pembahasan. Karena alasan inilah, konsistensi atas  kebutuhan agenda peradaban nasional risalah yang harus disampaikan di dalam setiap pertemuan dengan pemikir-pemikir yang mempunyai kepedulian.  [2]

Kedua: Tiga Macam Sikap Budaya

Dalam konteks kekinian, sikap kultural kita mempunyai tiga rancangan yang menampilkan tuntutannya. Dalam konteks ini, tidak ada alasan bagi siapa permainan kata-kata untuk mengubah bahkan mengungkapkan ketiga bagian yang menampilkan ketegangan tersebut.  Kalau itu terjadi, maka filsafat tidak lagi memiliki objek dan domain.

Pertama , sikap kita terhadap tradisi klasik. Hal ini penting karena kita adalah masyarakat tradisional yang kesadaran nasionalnya selalu terbuka terhadap orang-orang terdahulu ( qudama' ). Orang-orang terdahulu selalu merepresentasikan otoritas saya lalui kesadaran. Otoritas dijadikan justifikasi ketika teori menyacatinya. Pandangan kesadaran atau analisis fenomena   dan organisir kita  terhadap  dunia  selalu  berangkat  dari  tradisi,  sehingga  antara kita dan tradisi tidak terdapat pemisah. Bahkan gerakan kritik terhadap tradisi yang akan menempatkan sejarah modern kita dalam periode yang baru pun masih belum berkembang.             

Kedua ,  sikap kita terhadap tradisi Barat. Ini mulai menjadi salah  satu  pedoman  dan  rujukan  fundamental  bagi  kesadaran  nasional  kita,  bahkan  salah  satu  sumber  pengetahuan  langsung  bagi  kultur  intelektualisme  dan nasionalisme kita. Pada akhirnya, tradisi Barat secara  terus menerus  hadir  dalam  sikap  kultural  kita sejak zaman Yunani Kuno  hingga zaman modern. Di antara kita dan Barat tidak ada pemisah  kecuali  dalam  gerakan  salaf. Gerakan  kritik  Barat  hanya  berada  dalam  batas minimum yang dilakukan melalui paradigma retorika atau  dialog,  bukan  dengan  paradigma  kritis  dan  logika  demonstratif.

Ketiga , sikap kita terhadap realitas, di mana kita hidup di dalam- nya. Kita menguasainya dalam kesadaran kita, baik dengan sadar maupun tidak.                Realitas  merupakan  sumber  pengetahuan  yang  mengarahkan  pilihan  -pilihan.  Kadang-kadang  realitas  merupakan  sumber tunggal bagi pengetahuan melalui sensasi indriawi atau teoretisasi rasional.    

Dua sikap yang pertama merupakan dua sikap kultural dalam pengertian harfiah.  Artinya, kedua sikap itu biasanya berinteraksi dengan budaya-budaya baku dan diwarnai oleh metode pener- jemahan dengan memalingkan pandangan dari sumbernya, baik terjemahan dari ilmuan-ilmuan terdahulu ( kudama ) maupun ilmuan-ilmuan modern. Sementara hanya sikap yang ketiga yang Berinteraksi dengan pengetahuan materi (al-kham) tanpa apriori, baik yang berasal dari ilmuan-ilmuan klasik maupun modern. Biasanya sikap ketiga kultural ini tidak berimbang, begitu juga dengan kehadiran  bagian-bagiannya.  Kadang-kadang sikap kultural hanya dipusatkan pada sikap terhadap tradisi klasik.  Dari sinilah kultur dan gerakan keagamaan, pendidikan tradisional, serta sistem kita berkembang secara “tetap” atau lebih tepatnya tanpa organisir.

Kadang-kadang sikap kultural kita dipusatkan pada sikap terhadap tradisi Barat.  Dari tradisi ini menguaklah budaya ilmiah rasional, gerakan reformasi, modernisasi, pendidikan modern dan sistem timbul modern secara optimistik untuk menyokong kepentingan- pemegang kekuasaan.  Dan, terkadang sikap kultural kita tertekan pada bagian ketiga, yakni realitas.  Dari sini, peradaban nasional, gerakan-gerakan perubahan sosial dan revolusi-revolusi mutakhir lahir.  Kesenjangan di dalam sikap kultural inilah yang menyebabkan pupusnya kesatuan identitas (wahdah asy-syakhshiyyah)  dan menjadikan kita hidup dalam “keretakan yang payah”  sehingga peradaban-peradaban, metode-metode pendidikan dan aliran-aliran  politik  saling  berbenturan.  Akibatnya,  persatuan  nasional  dan  identitas kebangsaan menjadi hancur.   

Sikap ketiga kultural di atas saling bersinergi tanpa klasifikasi yang ketat dan otentik.  Ada kalanya kesadaran individu menerima tradisi klasik yang membuatnya menolak tradisi Barat.  Menentang, ia juga bisa menerima tradisi Barat dengan menafikan tradisi klasik. Biasanya, dalam Kaitan dengan sikap terhadap realitas, doa sikap yang saling bertolak belakang di atas mengemuka, karena salah satu diandaikan sebagai alternatif terhadap realitas kehidupan, sehingga pertentangan hanya terjadi dalam buku-buku dan wacana, bukan terjadi di antara  manusia. 

Sedangkan seseorang yang menerima sikap Positif dengan kesadaran penuh terhadap realitas biasanya akan  bersikap  positif  terhadap  dua  sikap  kultural  di  atas  dengan  menerima  keduanya  secara  kritis. Oleh  karena  itu,  prioritasnya  adalah  mengusung  kemaslahatan di atas teksteks, mengangkat manusia di atas kebudayaan  dan  kehidupan  di  atas  peradaban  .



[1]  Dalam Universitas tersebut hanya terdapat dua jam bagi kelas khusus pada tahun ketiga pada kelas filsafat tentang Filsafat Timur dengan berpedoman pada karya Masun Orsel: Filsafat Timur yang disusun sebagai penyempurnaan atas buku Sejarah Filsafat karya Emile Bariyyah yang selanjutnya menjadi materi pada tahun pertama. Ia juga menjadi materi kuliah di Jurusan Filsafat Universitas                                 Shan'a'.

[2] Di antara tulisan-tulisan kami adalah:Tradisi dan Pembaruan, Sikap Kita TerhadapTradisi Klasik, dipublikasikan di Kairo pada 1980 dan di Beirut pada 1981; Sikap Kita terhadap Tradisi Barat,Masalah-persoalanKontemporerIItentangPemikiranBaratKontemporer,(Kairo, 1977 dan Beirut, 1981); Tradisi dan Krisis Perubahan Sosial,(Kairo, 1981); Tradisi dan Krisis Praksis Politik, (Rabat, 1982); Tradisi dan KebangkitanPeradaban,(Kuwait,1980); PemikiranIslamdan Garis Sirkulasi Kultural Masa Depan , (Kuwait, 1983);  Kapan  Filsafat  Mati  dan  Kapan  Hidup  ?,  (Kuwait,  1983);  Dari  Tradisionalisme  (taqlid)  Menuju  Pembebasan  ,  (  Rabat,  1979);  Dari  Kesadaran  Individual  Menuju  Kesadaran Sosial,  dalam  Dirasat Islamiyyah  , (Kairo, 1981);  dan terakhir adalah  Dari Teologi Menuju Revolusi, Sebuah Upaya Rekonstruksi Ilmu Usuludin , (Kairo dan (Beirut, 1988). 

0 Comment