18 Maret 2023

 Syekh Dr. Abdul Karim Amrullah (1879-1949)

Inyiak Rasul atau Inyiak De-er ini, dari golongan Kaum Muda, ialah yang paling terkemuka ke-ulama-annya, berpengaruh dan yang terkenal kerasnya. Sebagai tokoh yang disebut radikal ini, fatwa berikut pengajian beliau banyak menimbul kontroversi ditengah masyarakat, sehingan kontan hal ini membuat beliau mempunyai banyak lawan, dan tak sedikit pula mempunyai kawan-kawan perjuangan. Banyak tercatat murid-murid beliau dikemudian hanya yang dikenal sebagai tokoh-tokoh perjuangan. Disamping perjuangan ala kaum Muda yang beliau lakoni, beliau juga dikenal berjasa dalam bidang pendidikan, sampai beliau dianugerahi DR (HC) dari al-Azhar, sangat besar andil beliau ketika berdiri Thawalib dan ketika kasus Ordonasi guru.[1] Dua zaman pemerintahan, orang Belanda dan Jepang mengenalnya selaku alim yang sering dimintai pendapat. Karena keras, tak jarang pula beliau diasingkan penguasa penjajah kala itu. Dalam usaha pembaharuan, beliau pulalah yang membawa Muhammadiyah ke Minangkabau tahun 1925, dan menjadikan kampung halamannya Sungai Batang sebagai kantor cabang Muhammadiyah pertama.

Beliau dilahirkan di Sungai Batang pada tanggal 17 shafar. Ayah beliau terkenal sebagai ulama besar dimasa itu, yaitu Syekh Amrullah Tuanku Kisa’i, ulama Tua menurut garis Tarikat Naqsyabandiyah. Dimasa kecilnya beliau telah belajar ilmu agama kepada beberapa ulama, disamping ayahnya, juga kepada Angku Haji Muhammad Shaleh dan Angku Haji Hud di Tarusan, kemudian kepada Sutan Muhammad Yusuf Sungai Rotan Pariaman. Pada tahun 1984 beliau berangkat ke Mekah dan belajar disana sampai tahun 1901. diantara guru-gurunya ialah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Abdullah Jumaidin, Syekh Thaher Jalaluddin, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Bajuned, Syekh Shaleh Bafadhal, Syekh Hamid Jeddah, Syekh Sa’id Yaman dan Syekh Jamil Jambek.[2] Setelah pulang beliau mengajar di kampung beliau Sungai Batang. Beberapa tahun kemudian beliau kembali ke Mekah, dan sempat mengajar di Mesjidil Haram. Tahun 1906 beliau pulang ke Sungai Batang dan kemudian berpindah-pindah, ke Padang, lalu Padang Panjang dan terakhir tinggal di Jawa hingga wafatnya.

Di masanya beliau digembar-gemborkan membawa faham baru, sebab kajinya berlawanan dengan amalan ulama-ulama Minangkabau masa itu. Beliau sangat keras kepada Tarikat Naqsyabandiyah, hingga dikabarkan beliau berseberangan dengan ayahnya yang dikenal selaku ulama Tarikat Naqsyabandiyah. Berikut, tanpa basa basi beliau menyebut kaji orang Syathari yang mengaji Nur Muhammad sebagai sesat. Namun beliau tidak bisa disebut sebagai orang yang sangat anti pati dalam Tasawuf dan Tarikat secara menyeluruh. Dalam satu cacatan tua yang ditemui di Kutubkhannah beliau di Sungai Batang, beliau merupakan penganut Tarikat Alawiyah dan Hadadiyah yang diterimanya dari ayahnya, catatan itu lengkap dengan silsilah Tarikat beliau itu.[3] Hal ini menjadi penting, sebab perihal Tarikat Inyiak Rasul ini tidak disebut-sebut Hamka dalam Biografinya.

Dalam bidang tulis menulis, beliau termasuk yang paling produktif dikalangan teman-temannya. Beliau telah membangun satu pustaka yang dikenal dengan nama Kutubkhannah (=perpustakaan) di kampungnya, Sungai Batang, sebagai tempat berdiam mengarang, juga sebagai tempat penyimpanan dokumen dan kitab-kitab beliau yang cukup banyak. Kutubkhannah itu masih terawat sebagai benda cagar budaya saat ini, beberapa dokumen, kitab dan tulisan-tulisan beliau yang selamat dari kehancuran masih tersimpan rapi di sini. Karya-karya yang beliau hasilnya sangat kaya, mulai dari soal ibadah, sejarah, tafsir bahkan soal adat Minangkabau. Tentunya sebahagian besar karya beliau diwarnai dengan hal-hal yang mengundang polemik, tak jarang mengundang perdebatan yang alot.

Istimewanya, karya-karya beliau telah dikumpulkan dengan baik oleh peneliti-peneliti sesudahnya, tidak seperti karya ulama lain dizamannya yang sering dipandang sebelah mata. Tentu kita maklum, beliau ialah sosok pembaharu, tentu karya-karyanya menjadi objek buruan untuk sebuah penelitian, dan orang-orang memang gemar dengan hal-hal yang baru.

Karangan-karangan beliau dalam satu sumber yang cukup otoritatif berjumlah sebanyak 31 judul.[4] Hanya satu dua karya beliau yang tidak ditemui hingga kini. Identifikasi sebahagian karya beliau sebagai berikut:

1)      Qathi’u Riqab al-Mulhidin fi Aqa’idil Mufsidin

Ini adalah satu seri bantahan beliau, Inyiak Rasul, terhadap ajaran Tarikat. Lahirnya risalah ini berdasarkan pertanyaan- pertanyaan yang dilontarkan oleh para murid mengenai pangajian yang banyak dipakai Tuanku-tuanku Syekh di Minangkabau. Dalam karya ini beliau khusus mengecam pendirian kaum Tarikat Syathariyah dalam pengajian “Nur Muhammad”. Intinya, beliau menyebutkan bahwa ajaran ini merupakan dongeng fantasi saja dari kaum-kaum yang berpura-pura bersufi-sufian. Pada sampul kitab ini saja terdapat kalimat beliau yang keras terhadap pengajian Tarikat Syatariyah ini, beliau kemukakan bahwa:Ini Risalah ialah pemagar diri, supaya jangan mudah ditipu oleh pembual-pembual dengan mulut manis dan sorban besar dan menjinjing tasbih memperdungu kebanyakan awam dengan menjual-jual Tarikat kosong dan bohong dan bid’ah pada agama.[5] Selain dalam bentuk cetakan, karya ini juga kita temui dalam bentuk manuskrip yang selesai ditulis di Sungai Batang, Maninjau, 1914.

2)      ‘Umdatul Anam fi Ilmil Kalam

Dalam pengantar kitab ini disebutkan bahwa penulisan karya ini untuk memperjelas “Sifat Dua Puluh” yang wajib diketahui oleh setiap mukallaf, lebih dari itu kitab ini juga banyak menyinggung persoalan Tauhid secara luas, yaitu mencakup rukun Iman yang enam. Gaya penjelasannya yang dibuat dalam narasi tanya jawab membuat karya ini terasa enak untuk dibaca. Perjelasan setiap Sifat Allah, mulai dari wujud hingga kalam yang disertai dengan dalil masing-masih, apakah secara naql atau aql, menjauhkan kitab ini sebagai sebuah karya kering, dimana seorang pembaca harus menerima apa adanya. Namun karya ini memberikan alternatif argumentasi sehingga mengkayakan pembaca.

Pada akhir risalah, Inyiak rasul menyertakan beberapa bait sya’ir sebagai bentuk tawadhu’ beliau, dan sebagai permohonan untuk memperbaiki risalah jika terdapat khilaf dan salah. Kutipannya:

Wahai Saudara Taulan sahabat Silakan baca ini risalat

Jikalau ada khilaf dan sesat Janganlah ikhwan faqir diupat

Faqir mengarang Abdul Karim Dunia akhirat sangatlah dzamim Kok tidak limpah Tuhan yang rahim Sansi bertempat ke neraka jahim[6]

Risalah ini selesai ditulis tahun 1906, kemudian diterbitkan pada percetakan Sneelpress al-Moenir pada tahun 1916.

3)      Al-Fawa’id al-‘Aliyah fi Ikhtilafil Ulama’ fi Hukmi Talafuzh bin Niyyah

Masalah Ushalli, melafazhkan niat, merupakan salah satu masalah yang sangat hangat dibicarakan diawal abad XX. Kedua kelompok, Kaum Tua dan Kaum Muda saling berkeras terhadap pendapat masing-masing. Kaum Tua kuat menyatakan bahwa mengucapkan Ushalli merupakan amalan Sunat, sebab menolang hati ketika menghadirkan niat dalam Takbiratul Ihram. Sedangkan kaum Muda bersikeras bahwa Ushalli merupakan hal bid’ah yang harus dijauhi, bahkan yang radikal diantara mereka mengatakan bahwa hal itu bid’ah dhalalah. Karya ini merupakan pendirian kaum Muda yang kokoh dalam masalah niat. Inyiak Rasul memberikan argumen yang jitu untuk menolak hujjah kaum Tua, yang kadang kala dalam risalah ini diuraikan dengan nada yang lumayan kasar.

Disamping mendudukkan perkara Ushalli yang menurut hemat penulis, Inyiak Rasul, tidak berdasar dari syara’, separoh karya ini merupakan bantahan yang cukup kuat terhadap tulisan Syekh Mungka yang membela amalan Ushalli dalam bagian akhir kitab Tanbihum Awam. Pada akhir risalah termuat sebuah sya’ir yang cukup panjang, berisi pujian terhadap risalah ini, berikut sindiran terhadap kaum Tua yang keras ber-Ushalli:

Siapa melihat ini risalah

Dapatlah dalamnya ilmu yang jelah Khilaf ulama ada terjumlah Melafazhkan niyah li muridis shalah

 Tiap-tiap khilaf ada tempatnya Tiap-tiap maqal ada maqam-nya  Ithla’ tafshil nyata bayan-nya Maudhu’ hukum satu-satunya

Bila risalah akan dibaca Jernihkan hati terang bak kaca  Jauhkan mulut dari mencerca Mizan syari’at ambil neraca[7]

Risalah ini kemudian ditashih oleh murid beliau, Zainuddin Hamidi, untuk kemudian dicetak pada percetakan Tandikek- Padang Panjang.

4)      Pedoman Guru Pembetulkan Qiblat Faham Keliru

Suatu ketika datang sepucuk surat kepada DR. Abdul Karim Amrullah dari seorang ulama berpengaruh di Borneo. Isi surat itu berkaitan dengan amal Muhammadiyah yang menurut ulama tersebut telah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam sebelumnya. Dengan gaya santun sang ulama menulis dalam suratnya:

berhubung dengan adanya pergerakan sekolah Muhammadiyah di Tanah Jawa, sehingga menjalar sampai ke tanah-tanah tempat diam saya Borneo, yang mana itu pergolakan sangat mengejutkan dunia Islam di sini, oleh karenannya banyak masalah-masalah hukum sedia kalanya selama Muhammadiyah itu rupa akan berubah ! [8]

Beberapa masalah yang dikemukakan oleh ulama Borneo itu kemudian dikupas oleh Inyiak Rasul dalam buku ini. maka jadilah buku ini sebagai benteng amal Muhammadiyah dalam berbagai hal, meski Inyiak Rasul juga pernah menyerang Muhammadiyah dalam satu segi.

Kitab ini kemudian dicetak di Limbago-Payakumbuh, dengan biaya adik beliau, H. Yusuf Amrullah.

5)      Aiqazhun Niyam Fima Ibtida’ min Umuril Qiyam

Perkara berdiri Maulid menjadi satu topik yang menghebohkan pula diawal Abad XX tersebut. Sebagaimana amalan ulama sebelum tiba fatwa yang menyalahi, ketika merayakan maulid, ulama-ulama beserta masyarakat banyak mereka melafazhkan Barzanji untuk mengenang perjuangan Rasulullah. Ketika sampai pada bacaan “Nabi dilahirkan”, mereka kemudian serentak berdiri sebagai ta’zhim kepada Nabi. Namun kemudian amalan ini ditolah oleh kaum Muda, meskipun amalan ini telah dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih sunnahnya. Sala satu bantahan kaum Muda ialah dalam kitab ini.

Kitab ini ditulis berdasarkan pertanyaan dan sanggahan terhadap al-Moenir di Padang karena telah menyebarkan fatwa bahwa berdiri Maulid adalah bid’ah. Inyiak Rasul kemudian menulis sanggahan pula untuk sipenanya, maka ditulislah buku ini sebagai jawaban pertahanan kaum muda tersebut.

Seperti risalah-risalah lainnya, diakhir risalah ini Inyiak Rasul juga menulis beberapa bait untuk menyuruh pembaca berpikir jernih dalam hal ini, di antaranya:

Seruan kepada segala pembaca Istimewa penduduk pulaunya perca Panaspun garang langit cuaca Bedakan intan daripada kaca

Ayuhai ikhwan buah hati sayang Celup saduran sangat berbayang Serupa zhahirnya emas dan loyang Peraknya umpama malam dan siang

Ayuhai arifun yang bijaksana Takwilkan ibarat faqir yang hina Ilmu pengetahuan amat berguna Sampai disini berhenti pena[9]

Risalah ini kemudian dicetak oleh al-Moenir, Pondok-Padang, pada tahun 1911.

6)      Sendi Aman Tiang Selamat

Kitab ini berupa cerminan pemikiran Inyiak Rasul yang cemerlang. Beliau telah merangkum berbagai hal dalam risalah yang terdiri dari dua jilid ini. mulai dari akhlak, yang beliau sebut dengan adat limbago, perkara adab berguru dan tata krama seorang guru, hingga beberapa kritikannya terhadap Muhammadiyah sendiri. Tentunya beliau dalam risalah tak luput membicarakan perubahan, mana-mana yang tidak sesuai menurut syara’, memang beliau ungkai dalam kitab ini. misalnya berpusaka kepada kemenakan, beliau katakan:

…tidaklah akan tersembunyi lagi oleh segala niniak mamak duksana saudaro bahasa adat jahiliyah (berpusaka kepada kemenakan) itu wajib diubah, lembaganyapun wajib dipecah!… [10]

Karya ini cukup fenomenal dan mengundang para peneliti untuk mendedah isi kandungannya Pembuka Mata: Menerangkan Nikah bercina Buta

Isinya menjelaskan keranjuan Nikah Muhallil yang saat ini mulai menjadi budaya sebahagian orang. Beliau dalam buku ini menjelaskan betapa sikap tersebut merupakan satu yang tidak sesuai dengan furu’ syari’ah, yakni dengan cukup alasan dan dalil dari kitab-kitab fiqih.

Diawal kitab ini, beliau menyindir orang-orang yang nikah

Muhallil sebagai bercina buta, berikut:

Bacalah tuan pembuka mata Nikah muhallil supaya nyata Memupus thalaq bercina buta Tiada dibenarkan agama kita

Hukumnya haram atau berzina Dikutuki Allah Tuhan maulana Agama Islam suci sempurna Mengharamkan segala kerja yang hina

Bercina buta jadi sebutan Menghalalkan faraj itu buatan Bagi si-muhallil sikambing jantan Dikutuki oleh Rasul ikutan[11]

Risalah ini selesai ditulis pada tahun 1923 dan kemudian dicetak pada Drukkerij Baroe, Fort de Kock, Bukittinggi.

7)      Sullamul Wushul Yarqi bihi Sama’u ilmil Ushul

Sebagai yang tertulis pada judul, karya ini merupakan satu karya mengenai ilmu Ushul yang ditulis dalam bahasa Melayu populer. Keterangan yang tertulis pada bagian akhir kitab ini berupa sebuah keistimewaan, sebab karya ini disebut-sebut sebagai kitab Ushul Fiqih pertama yang ditulis dalam bahasa jawi.[12] Karya ini dikemudian ditashih oleh DR.

H. Abdullah Ahmad, yang kemudian memberi taqrizh berupa sya’ir mengenai keutamaan kitab ini. kutipan sya’ir itu ialah:

Berkata haqir dagang yang hina Pen-tashih kitab ushul sempurna Sullamul wushul nama yang mana Tangga penyampai lurusan makna

Tangga penyampaikan kitab pertama Karangan alim bulan purnama

Abdul Karim Amrullah masyhurlah nama   Di alam Minang jarang yang sama

Kitab ini kemudian dicetak DR. H. Abdullah Ahmad pada percetakan al-Moenir di Padang, pada tahun 1915.

8)      Al-Qaulus Shahih

Hangat-hangat perkara Ahmadiyah yang menghebohkan awal abad XX, ketika gurunya Syekh Thahir mengarang Perisai menyatakan kesesatan Ahmadiyah, Inyiak Rasul juga tidak ketinggalan untuk masuk arena. Beliau membantah pendirian Ahmadiyah berikut segala syubhat yang dilontarkan pengikut Qadiyan dengan bukunya al-Qaulus Shahih ini. setelah mebahas dengan jitu dan cukup alasan, Inyiak Rasul didalam kaya ini menyimpulkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad, sebagai pendiri Ahmadiyah itu telah sangat berati memutar balikkan ayat dan hadist untuk keperluannya, melakukan kebohongan untuk menjual agama barunya,[13] dikemukakan pula bahwa Dajjal yang diriwayatkan serupa dengan laku Mirza ini.

Kitab ini mulanya ditulis dalam Arab Melayu, dan dicetak Tsamaratul Ikhwan Bukittinggi, 1926. kemudian dilatinkan oleh Hamka, dan dicetak di Yogya, pada Persatuan Muhammadiyah.

9)      Al-Mishbah li Tanwiri Qulubiz Za’imin

Kitab ini berisi tentang pendirian Inyiak Rasul bahwa perempuan makhruh shalat ‘Ied di Lapangan. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab, dengan format kecil. Risalah ini dicetak pada percetakan Badest, Padang Panjang, tahun 1940.[14]

10)  Al-Kawakib ad-Durriyyah

Bahasa Indonesia, atau Melayu, digunakan dalam khutbah Jum’at pada selain Rukun-rukunnya, baru dimulai pada awal abad ke XX. Sebelum masa itu, khutbah diberikan dalam bahasa Arab. Perubahan terjadi dalam penyampaian khutbah ini telah membawa dampak yang besar ditengah masyarakat, dan menimbul pro kontra pula bagi sebahagian kalangan.

Pada awal abad XX itu juga terbit sebuah risalah di tanah Bugis, dengan judul al-Barahin al-Jaliyyah fisy tarati kaunil khutbah bil ‘Arabiyah karangan Syekh As’ad Bugisi. Di dalam risalah yang isinya ditulis dengan bahasa dan aksara Bugis ini disebutkan bahwa khutbah jum’at dengan bahasa ajam (selain Arab) ialah Bid’ah, terlarang.[15] Risalah itu dikirim kepada Inyiak Rasul disertai dengan sepucuk surat dari kaum Muslimin Celebes meminta pendapat beliau tentang masalah ini.

Inyiak Rasul kemudian membalasi surat itu dengan mengarang sebuah buku, bertajuk al-Kawakib ad-Durriyah li Bayan adam istirath khutbah bil ‘Arabiyah. Kesimpulan dari tulisan beliau ini ialah bahwa khutbah jum’at boleh diucapkan dalam bahasa ajamiyah (Indonesia).[16]

Risalah ini kemudian dilatinkan oleh Hamka, dan diterbitkan dengan nafkah beliau sendiri di Medan, tahun 1940.

 11)  al-Burhan: Mentafsirkan dua puluh dua puluh dari pada al-

Qur’an

layaknya ulama-ulama zamannya yang multidisipliner, Inyiak Rasul juga menuangkan waktu untuk menulis Tafsir al- Qur’an sederhana, namun menarik. Dalam kitab ini, Inyiak Rasul menafsirkan 22 surat, mulai dari ad-Dhuha sampai an- Nass. Dalam pengantarnya, beliau mengemukakan bahwa keinginan menulis tafsir ini didasarkan kuliah-kuliah beliau di Surau Jembatan Besi dalam Tafsir al-Qur’an.[17] Meski sederhana, lebih dari itu Tafsir ini telah tersebar dan dibaca hingga luar pulau Sumatera.

Tafsir ini dicetak pada Percetakan Baroe, Fort de Kock, 1927.

12)  al-Faraidh

Risalah ini berisi tentang petunjuk mengenai cara pembagian harta warisan menurut aturan Islam. Penulisannya tampak dimotivasi dengan keinginan untuk memberi pengetahuan pada masyarakat dalam bidang fara’idh. Sebagaimana diketahui bahwa diawal abad XX terjadi pula perdebatan mengenai hukum pewarisan di Minangkabau dan kedudukan harta pusaka. Para ulama tampak menggalakkan menerapan fara’idh, diantaranya dengan mengajarkan ilmu faraidh secara langsung, dan ada pula dengan menulis buku-buku berkenaan dengan warisan.

Risalah ini selesai ditulis pada tahun 1935, di Kutubkhannah Maninjau. Kemudian diterbitkan oleh pengarang sendiri ditahun itu juga.

13)  al-Basha’ir: Dalil-dalil yang kuat, pemandangan yang hebat, penolak segala kesamaran dan Syubhat

Hadirnya buku ini berawal dari tulisan beliau, Inyiak Rasul, dalam buku Pelita tentang istri-istri nabi yang oleh sebahagian kalangan termasuk riwayat yang dha’if. Persoalan ini kemudian menjadi heboh. Beberapa tokoh membantah isi karangan Pelita itu, karena dituduh menghina Nabi. Berdasarkan bantahan itu semua, Inyiak Rasul kemudian menulis bantahan untuk bantahan tersebut, dengan judul al- Basha’ir (2 jilid). Buku ini pun lalu menjadi pembicaraan hangat pula masa itu. Pada sampul al-Basha’ir, Inyiak Rasul menulis terang-terangan:

Saya terima cacian tuan-tuan yang bijaksana, mengatakan karangan saya kasar dan keras, tidak sesuai dengan zaman. Karena saya tidak pandai mehalus-haluskan. Hanya diharap supaya tuan-tuan gunakan sabut, dan tempurung, isi kelapa dan minyak yang akan dimakan[18]

Jika menyaksikan karangan ini, akan terasa sikap keras Inyiak Rasul terhadap pendiriannya. Kitab ini dicetak di Bukittinggi, pada Islamijah, 1357 H.

Karangan-karangan Inyiak Rasul lainnya ialah:

1)      Izhharu Asatir Mudhillin fi Tasyabbuhihim bil Muhtadin

2)      As-Suyuful Qathi’ah

3)      Darul Mafasid

4)      Syamsul Hidayah

5)      Mursyidut Tujjar

6)      Pertimbangan Adat Limbago Minangkabau

7)      Dinullah

8)      Al-Ifsah

9)      Kitabur Rahmah

10)  Cermin Terus

11)  An-Nida

12)  Asy-Syir’ah

13)  Hanya Allah

14)  Al-Ihsan

REFERENSI

1.  Baca lebih lanjut perjuangan beliau itu dalam Murni Djamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau pada awal abad ke-XX (Jakarta: INIS, 2002) terutama pada bab III dan bab IV

2.   Lihat Dr. Abdul Karim Amrullah, al-Burhan: Mentafsirkan dua puluh dua puluh dari pada al-Baqarah (Ford de Kock: Derekrij Baroe, 1928) hal. 1; Hamka, Ayahku…, op. cit., hal. 56; Tim Islamic Centre, op. cit., hal. 125

3.   Manuskrip ini ditemui oleh Penulis, berikut Bpk Ahmad Taufik Hidayat dan beberapa peneliti UNAND di Kutubkhannah Inyiak Rasul Maninjau, Desember 2010. catatan konon belum pernah dibuka-buka sama sekali, tertumpuk di lemari tanpa disentuh-sentuh orang sebelumnya.

4.    Daftar dan identifikasi lengkap karya Beliau lihat dalam M. Sanusi Latief, dkk, Studi Tentang Karya Tulis DR. H. Abdul Karim Amrullah (Laporan Penelitian The Toyota Foundation, Padang, 1988) lihat daftar kronologis karya pada halaman 43-46; sedangkan dalam Ayahku, Hamka menyebutkan hanya 27 karangan saja, ditambah 3 karya yang tidak dicetak. Lihat Hamka, Ayahku…op. cit., hal. 258-260

5.   DR. H. Abdul Karim Amrullah, Qati’u Riqal al-Mulhidin fi Aqa’idil Mufsidin (Pondok, Padang: Direkrij al-Moenir, 1916) pada halaman sampul

6.      DR. H. Abdul Karim Amrullah, ‘Umdatul Anam fi Ilmil Kalam

7.      (Padang: Snellpress al-Moenir, 1916) hal. 54

8.    DR. H. Abdul Karim Amrullah, Al-Fawa’id al-‘Aliyah fi Ikhtilafil Ulama’ fi Hukmi Talafuzh bin Niyyah (Padang Panjang: Tandikek, 1908) hal. 73-74

9.  DR. H. Abdul Karim Amrullah, Pedoman Guru: Pembetul Kiblat Faham Keliru (Payakumbuh: Limbago, 1922) hal. 3

10. DR. H. Abdul Karim Amrullah, Aiqazhun Niyam Fima Ibtida’ min Umuril Qiyam (Padang: Durekrij al-Moenir, 1911) hal. 53

11.  DR. H. Abdul Karim Amrullah, Sendi Aman Tiang Selamat (Padang: al-Moenir, t.th) jilid I. hal. 136

12.  DR. H. Abdul Karim Amrullah, Pembuka Mata: Menerangkan Nikah bercina Buta (Fort de Kock: Drukkerij Baroe, 1923) halaman sampul

13.  DR. H. Abdul Karim Amrullah, Sullamul Wushul Yarqi bihi Sama’u ilmil Ushul (Padang: Durekrij al-Moenir, 1915) hal. 202, bagian tanbih

14.  Lihat DR. H. Abdul Karim Amrullah, al-Qawloesh Shahih

15.  (Yogyakarta: Durekrij Persatuan Muhammadiyah, t. th) hal. 60 dst…

16.  DR. H. Abdul Karim Amrullah, Al-Mishbah li Tanwiri Qulubiz Za’imin (Padang Panjang: Badezt, 1940) 36 halaman

17.  Kitab ini ada tersimpan di Kutubkhannah, Maninjau

18. DR.H. Abdul Karim Amrullah, al-Kawakib ad-Durriyah li Bayan adam istirath khutbah bil ‘Arabiyah (Medan: t.tp., 1940) hal. 40

19.  DR.H. Abdul Karim Amrullah, al-Burhan…, op. cit., hal. 16

20. DR. H. Abdul Karim Amrullah, al-Basha’ir: Dalil-dalil yang kuat, pemandangan yang hebat, penolak segala kesamaran dan Syubhat (Fort de Kock: Islamiyah, 1357 H) halaman sampul

 



[1] Baca lebih lanjut perjuangan beliau itu dalam Murni Djamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau pada awal abad ke-XX (Jakarta: INIS, 2002) terutama pada bab III dan bab IV

[2] Lihat Dr. Abdul Karim Amrullah, al-Burhan: Mentafsirkan dua puluh dua puluh dari pada al-Baqarah (Ford de Kock: Derekrij Baroe, 1928) hal. 1; Hamka, Ayahku…, op. cit., hal. 56; Tim Islamic Centre, op. cit., hal. 125

[3] Manuskrip ini ditemui oleh Penulis, berikut Bpk Ahmad Taufik Hidayat dan beberapa peneliti UNAND di Kutubkhannah Inyiak Rasul Maninjau, Desember 2010. catatan konon belum pernah dibuka-buka sama sekali, tertumpuk di lemari tanpa disentuh-sentuh orang sebelumnya.

[4] Daftar dan identifikasi lengkap karya Beliau lihat dalam M. Sanusi Latief, dkk, Studi Tentang Karya Tulis DR. H. Abdul Karim Amrullah (Laporan Penelitian The Toyota Foundation, Padang, 1988) lihat daftar kronologis karya pada halaman 43-46; sedangkan dalam Ayahku, Hamka menyebutkan hanya 27 karangan saja, ditambah 3 karya yang tidak dicetak. Lihat Hamka, Ayahku…op. cit., hal. 258-260

[5] DR. H. Abdul Karim Amrullah, Qati’u Riqal al-Mulhidin fi Aqa’idil Mufsidin (Pondok, Padang: Direkrij al-Moenir, 1916) pada halaman sampul

[6] DR. H. Abdul Karim Amrullah, ‘Umdatul Anam fi Ilmil Kalam (Padang: Snellpress al-Moenir, 1916) hal. 54

[7] DR. H. Abdul Karim Amrullah, Al-Fawa’id al-‘Aliyah fi Ikhtilafil Ulama’ fi Hukmi Talafuzh bin Niyyah (Padang Panjang: Tandikek, 1908) hal. 73-74

 [8] DR. H. Abdul Karim Amrullah, Pedoman Guru: Pembetul Kiblat Faham Keliru (Payakumbuh: Limbago, 1922) hal. 3

[9] DR. H. Abdul Karim Amrullah, Aiqazhun Niyam Fima Ibtida’ min Umuril Qiyam (Padang: Durekrij al-Moenir, 1911) hal. 53

[10] DR. H. Abdul Karim Amrullah, Sendi Aman Tiang Selamat (Padang: al-Moenir, t.th) jilid I. hal. 136

[11] DR. H. Abdul Karim Amrullah, Pembuka Mata: Menerangkan Nikah bercina Buta (Fort de Kock: Drukkerij Baroe, 1923) halaman sampul

[12] DR. H. Abdul Karim Amrullah, Sullamul Wushul Yarqi bihi Sama’u ilmil Ushul (Padang: Durekrij al-Moenir, 1915) hal. 202, bagian tanbih

[13] Lihat DR. H. Abdul Karim Amrullah, al-Qawloesh Shahih

(Yogyakarta: Durekrij Persatuan Muhammadiyah, t. th) hal. 60 dst… 

[14] DR. H. Abdul Karim Amrullah, Al-Mishbah li Tanwiri Qulubiz Za’imin (Padang Panjang: Badezt, 1940) 36 halaman

[15] Kitab ini ada tersimpan di Kutubkhannah, Maninjau

[16] DR.H. Abdul Karim Amrullah, al-Kawakib ad-Durriyah li Bayan adam istirath khutbah bil ‘Arabiyah (Medan: t.tp., 1940) hal. 40

[17] DR.H. Abdul Karim Amrullah, al-Burhan…, op. cit., hal. 16

[18] DR. H. Abdul Karim Amrullah, al-Basha’ir: Dalil-dalil yang kuat, pemandangan yang hebat, penolak segala kesamaran dan Syubhat (Fort de Kock: Islamiyah, 1357 H) halaman sampul

0 Comment