16 Maret 2023

 Syekh Khatib Muhammad Ali al-Fadani (1863-1936)

Tokoh besar yang mempunyai pengaruh kuat dikalangan kaum Tua yang terkemuka ialah Syekh Khatib Ali al-Fadani al- Minangkabawi. Beliau merupakan seorang ulama yang berdedikasi tinggi, memiliki kealiman yang dalam, besar pertahanannya terhadap kaum Tua di awal abad XX. Disamping sebagai ulama terkemuka, pengarang, penya’ir beliau juga merupakan seorang jurnalis yang menerbitkan Soeloeh Melaju yang memang membuat ulama-ulama Muda kebablakan, selain itu beliau ialah seorang politisi dalam Syarikat Islam (SI), terakhir sebagai pedagang dan tokoh pendidikan ternama.

Syekh Khatib Ali dilahirkan di Moaro Labuah (Solok Selatan) pada tahun 1863. masa kecilnya diisi dengan menuntut ilmu dikampung halamannya, diantaranya di Lubuk Sikarah dan Gantuang Ciri, selanjutnya kepada ulama besar kala itu Syekh Mustafa al-Khalidi Sungai Pagu (w. 1901). Setelah itu beliau mengembara menuntut ilmu, kali ini tempat yang disinggahinya ialah Pesisir Selatan, yaitu di Lakitan dan Pancuang Soal. Cukup lama beliau mukim di daerah ini. setelah itu, beliau pada usia yang cukup muda, yaitu umur 21 tahun berangkat ke Mekah untuk berhaji dan menyauk ilmu agama. Tak kurang selama 7 tahun beliau di Mekkah, dan setiap tahun itu pula beliau melaksanakan haji.

Di Mekkah beliau belajar kepada ulama- ulama kenamaan, seperti Syekh Usman Fauzi di Jabal Qubais, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Amin Ridwan di Madinah, dan lainnya.[1] Setelah tujuh tahun, beliau kembali ke kampung halamannya, dengan membawa beberapa Ijazah dari ulama-ulama besar, seperti Ijazah Tarikat Naqsyabandiyah dari Jabal Qubais, Ijazah Dala’il Khairat dari Madinah dan Ijazah dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.Sekembalinya ke Minang, beliau memilih Padang sebagai tempat bermukim, mengajar dan kemudian memapankan karir keulamaannya. Dalam perjuangannya bersama kaum Tua, beliau dikenal sangat keras, sebanding dengan keilmuan beliau yang mumpuni. Beliau tercatat sebagai salah satu tokoh yang berperan aktif dalam rapat seribu ulama tahun 1919 di Padang.85 Hamka merekam bahwa Syekh Khatib Ali mempunyai pengaruh luas dan merupakan lawan utama ayah-nya, Inyiak Rasul.[2] Dalam bidang organisasi beliau termasuk aktif. Pernah suatu kali beliau membuat SI tandingan, karena SI yang lain telah dipenuhi kaum muda. Berikut dalam pendidikan beliau termasuk ulama inivator, dengan mendirikan madrasah Irsyadiyah di berbagai negeri.[3]

Kalau disebut Beliau selaku ulama kolot, sebagai diungkap Schrieke, tampak kurang tepat. Sebab beliau merupakan sosok ulama yang suka inovasi dalam berbagai hal. Pendirian Madrasah Irsyadiyah yang beliau lakoni, konon diilhami oleh Madrasah- madrasah al-Irsyad milik organisasi al-Irsyad (satu kelompok kaum Muda) di Jawa, ketika beliau mengikuti pertemuan SI di Jakarta.

Disamping pribadi yang besar, beliau juga meninggalkan karangan-karangan yang banyak dan mempunyai pengaruh signifikan, terutama menyangkut isu kaum Muda di Sumatera. Namun disayangkan, banyak dari karangan itu yang hanya tinggal nama, karena lenyap waktu perang, dan sebahagian besar koleksi karya ini masih tersimpan sehat wal afi’at di Perpustakaan Leiden.

Diantara karangan-karangan beliau ialah:

1)      Burhanul Haq Radd ‘ala Tsamaniyah Masa’il al-Jawab min Su’alis Sa’il alQathi’ah al-Waqi’ah Ghayatut Taqrib

Lagi-lagi kita mengatakan bahwa karya ini mempunyai mengaruh kuat dalam membentengi faham tua di Minangkabau. Karya ini membahas 8 masalah yang diperdebatkan kaum Muda, setiap kemudian dikupas oleh Syekh Khatib Ali dengan argumen-argumen yang bersumber dari kitab fiqih dan Qaul Sufi. Menarik, kitab ini secara gamblang mengemukakan bahwa Islam dengan Mazhab Syafi’i di Minangkabau telah dikuatkan oleh adat Alam Minangkabau sendiri. Permulaan kitab ini dimulai dengan satu pendahuluan dibawah tajuk I’lan, dilanjutkan sebuah satu sya’ir yang lumayang panjang perihal dahwah Kaum Muda yang menyalahi ulama-ulama silam. Satu fragmen dari sya’ir itu sebagai berikut

Delapan Masalah pada risalah ini Supaya diketahui oleh Ikhwani Pertama penolak hujjah kaum Wahabi Mendakwakan mujtahid semasa kini

 

Kaum muda firqah baharu Mendakwahkan mujtahid tiada malu Diperbodoh orang yang dungu

Pada risalah ini keterangan tentu[4]

 

Depalan masalah yang dikupas dalam risalah ini ialah: (1) Masalah Ijtihad; (2) Masalah Ushalli; (3) masalah Talqin Mayat; (4) Mendirikan rumah di atas kubur; (5) masalah Mazhab; (6) masalah Tarikat; (7) masalah hisab dan rukyah dan (8) masalah Jum’at.

Risalah ini juga mendapat sokongan dari ulama-ulama sezamannya,[5] mengisyaratkan betapa pengaruh risalah ini. Risalah ini kemudian dicetak pada percetakan Pulobomer Padang, tahun 1918.

 

2)      Miftahus Shadiqiyyah fi Ishtilahin Naqsyabandiyah Raddu fi Zhannil Kadzibah

Bila Syekh Mungka telah memulai pembelaan terhadap Tarikat Naqsyabandiyah dengan jitu, maka Syekh Khatib ‘Ali lewat karyanya Miftahus Shadiqiyah mengiringi pembelaan tersebut. Karya ini disebut-sebut sebagai karya yang berwibawa dalam apologetis Tarikat Naqsyabandiyah.

Dalam pendahuluannya, Syekh Khatib ‘Ali menyebutkan bahwa karya ini berupa saduran dalam bahasa Melayu dari karya monumental Miftahul Ma’iyyah karya Syekh Abdul Ghani an-Nabalusi.[6] Namun lebih dari itu, Syekh Mungka telah menambah komentar yang cukup panjang dalam karya ini. beberapa bagian dalamnya merupakan kritikan tajam terhadap orang-orang yang mengingkari Tarikat Naqsyabandiyah, diiringi dengan ulasan terhadap Izhar-nya Syekh Ahmad Khatib. Selain Miftahul Ma’iyah yang menjadi saduran utama, Syekh Khatib ‘Ali menyebutkan bahwa dalam karya ini beliau menyertakan beberapa kitab Naqsyabandi, yaitu Wushulul Auliya’, Bahjatus Saniyah, kitab Syekh Sulaiman Zuhdi dan pernyataan Syekh Muhammad Yatim Padang.

Dalam kitab ini tampak kepiawaian Syekh Khatib ‘Ali dalam beragumen. Kritikan beliau memang tajam terhadap orang- orang yang menolak Naqsyabandi, namun beliau tidak serta merta buta, beliau tidak mengingkari bahwa ada diantara khalifah-khalifah Naqsyabandi itu yang berbuat tidak menurut semestinya. Untuk yang terakhir ini mendapat tempat pula dalam risalah berwibawa Syekh Khatib Ali ini.

Untuk teks Miftahul Ma’iyyah sendiri selesai diterjemahkan pada tahun 1891, sedangkan komentarnya diselesaikan pada tahun 1905 dan kemudian dicetak pada percetakan Pulo Bomer Padang, dengan judul Miftahus Shadiqiyyah. Pada lembar terakhir kitab ini dilampirkan Nazam Silsilah Syekh Isma’il Simabur yang membawa komplisitas risalah ini.

 

3)      Risalah al-Mau’izhah wat Tazdkirah: Pengajaran dan peringatan, keputusan rapat di Padang, 15 juli 1919

Pada 15 juli 1919 di Padang diadakan rapat besar ulama Tua dan ulama Muda, yang disaksikan oleh lebih seribu orang. Pertemuan itu lebih dari sekedar rapat, membahas masalah- masalah yang diikhtilafkan oleh kalangan Muda dan disisi lain yang mempertahankan, ulama Tua. Diantara ulama Tua yang hadir dan menjadi pembicara pada malam itu ialah Syekh Khatib Ali, sedang dipihak ulama muda, seperti H. Abdullah Ahmad. Malam itu menjadi medan debat yang cukup alot. Diantara masalah yang dibicarakan ialah perkara ushalli, berdiri maulid dan lainnya.

Tak lama setelah malam perdebatan itu, Syekh Khatib Ali menerbitkan satu Risalah yang mencerminkan keputusan ulama-ulama Jawa mengenai masalah-masalah yang diperbincangkan di Minangkabau. Dalam muqaddimah risalah ini disebutkan bahwa setelah pertemuan di Padang tersebut, Syekh Muhammad Harist Banten yang ketika itu mukim di Bukittinggi melayangkan surat kepada beberapa ulama di Jawa. Tak berselang lama datanglah surat penegasaan dari 13 ulama jawa untuk menjawab khilaf antara ulama Minangkabau.

Diantara ulama-ulama Jawa tersebut yang memberi keputusan ialah Sayyid Ali Muhammad Habsyi Betawi, Muhammad Ruslan Pekojan, Muhammad Ibrahim Gersik, Abdul Hadi Semarang, Muhammad Hasan Serang, Muhammad Shafiyuddin Banten dan lainnya.[7] Hasil keputusan itu dikirim ke Bukittinggi. Kemudian oleh Syekh Harist Banten dikirim kepada Syekh Khatib Ali di Padang. Keputusan itu kemudian diterbitkan dengan judul al- Mau’izhah wat Tazdkirah disertai penjelasan, dibelakang risalah itu dicantumkan pula satu jawaban Syekh Khatib Ali terhadap sebuah pertanyaan dari DR. Schieke.

Risalah ini diterbitkan oleh Derukrij Orang Alam Minangkabau, tahun 1919.

 

4)      Intisharul I’tisham fit Taqlidi ‘alal Awam Raddu Tamyiz al- Taqlid minal Ittiba’

Heboh masalah Ijtihad pada awal abad XX membuat Syekh Khatib Ali perlu untuk masuk arena. Disamping beliau secara terang telah menegaskan dalam karyanya Burhanul Haq bahwa seorang yang belum sampai ilmunya pada tingkat Mujtahid tidak dapat harus Taqlid pada salah satu Imam yang empat, beliau juga merasa perlu mengarang satu buku yang khusus menjelaskan duduk perkara Taqlid dan Ijtihad. Pada tahun 1928 terbit sebuah buku aliran Kaum Muda di Asahan yang menolak pendirian Taqlid, buku tersebut berjudul Tamyizut Taqlid minal Ittiba’ (karangan Abdul Hamid Mahmud al-Asahani). Syekh Khatib Ali mendapat kesempatan, disamping untuk mengi’tiradh buku yang menurut hemat beliau tidak tepat, beliau dalam buku ini juga berkesempatan untuk menguraikan masalah Ijtihad dan Taqlid yang diselewengkan oleh Kaum Muda. Pada permulaan risalah ini beliau menulis:

Wa badh’, pada awal bulan Rabiul Awal sanah 1348 telah dikirim oleh ikhwan hamba dari Asahan sebuah kitab namanya Tamyizut Taqlid minal Ittiba’ karangan Abdul Hamid Mahmud al-Asahani. Dimintak hamba oleh ikhwan- ikhwan akan memberi keterangan bagaimana tujuannya kitab itu. Adakah setuju dengan fatwa ahlussunnah atau tidak. … tatakala hamba lihat kitab itu, setengah perkataannya mengi’tiradh (melawani) benar Ahlussunnah dalam Mazhab yang empat. Dan mu’taridh itu sangat berani menyalahkan orang yang Taqlid dan membatalkan akan dia dengan mengadakan dalil daripada Qur’an dan Hadist yang diputar maknanya dan maksudnya kepada yang dikehendaki oleh hawa nafsunya yang tiada haq.[8]

Syekh Khatib Ali memang menguasai medan bahas, hal ini tercermin dari uraian kitab ini. Syekh Khatib telah menyertai risalahnya ini dengan referensi kitab-kitab fiqih dalam Mazhab Syafi’i yang luas, mulai dari generasi awal, Imam Syafi’i, sampai dengan periode mutaakhirin, Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli. Beliau juga mampu menjelaskan topik bahasan dengan baik, diksi yang mudah dipahami serta alasan-alasan yang cukup. Kitab ini kemudian dicetak di Pulo Bomer Padang, tanpa menyertakan tahun pembuatan. 

Karya-karya beliau lainnya yang dikenal namanya ialah:[9] 

Manaqib Syekh Mushtafa al-Khalidi Sungai Pagu

1)      Masalah Thalabin Nikah

2)      Miftahud Din lil Mubtadi

3)      Sifat Dua Puluh Kecil

4)      Tanbihum fi Istilahin Naqsyabandi

5)      Mas’alatul Arba’in alal Burhan Aqidatil Iman

6)      Nazham Nasehat

7)      Sya’ir Nabiyullah Ayub

8)      Sya’ir Muhammad Rasulullah

9)      Nazhm Ya’qub wa Yusuf

10)  Sya’ir Hari Raya

11)  Burhanul Qathi’ah

12)  Menyembahyangkan Mayit

13)  Keputusan Mekah

14)  Burhanul Musaddi

15)  Ushuluddin

16)  Al-Khatimah Yuhajjuhu

17)  Asal Usul

18)  Irsyadiyah fi Ulumin Nahwi

19)  Irsyadiyah fis Sharf

20)  Irsyadiyah fil Fiqh

21)  Irsyadiyah fil Ushul

22)  Irsyadiyah fil Hisab wal Kalam

23)  Irsyadiyah fit Tajwid

 



[1] Baca lebih lanjut Tim Islamic Centre, Riwayat Hidup 20…, op. cit., hal. 25-27; Tim Penulis, op. cit., hal. 78-79; KH. Sirajuddin Abbas, Tabaqat…, op. cit., hal. 468

[2] Hamka, Ayahku…, op. cit., hal. 292

[3] Lihat perkembangan Madrasah Irsyadiyah ini dalam Abdul Mun’in Khatib Ali, Sya’ir Irsyadiyah (diterbitkan sendiri, Tarandam)

[4] Syekh Khatib Ali al-Minangkabawi, op.cit., bagian pembuka Sya’ir

[5] Ulama-ulama itu ialah Syekh Khatib Saidina Padang, Syekh Muhammad Thaib Padang, Syekh Muhammad Dalil Bayang, Syekh Abdullatif Bengkulu, Syekh ‘Aisy Hafiz Qur’an Palembayan, Syekh Arsyad Batuhampar, Syekh Abdul Hamid Matur, Syekh Muhammad Haris Banten, Syekh Husein Alahan Panjang, Syekh Abdurrahman Sungaipagu, Syekh Ja’far Lolo, Syekh Abdullah Surian, Syekh Ismail Lolo, Syekh Abu Bakar Tanjuangalam, Syekh Abdul Ghani Kuala Lumpur, Syekh Muhammad Jamil Pariaman, Syekh Muhammad Samah Binjai, Syekh Muhammad Nur Qadhi Langkat, Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Mukhtar (Mekah), Syekh Husein Qadhi Muara Aman, H. Ahmad (President SI Padang), Faqih Shaleh Padang, Faqih Makhudum Solok, Syekh Isma’il Maninjau, Syekh Salim Bayur dan Syekh Muhammad Adam Maninjau.

[6] Lihat Syekh Khatib Muhammad ‘Ali al-Minangkabawi, Miftahus Shadiqiyyah fi Ishtilahin Naqsyabandiyah Raddu fi Zhannil Kadzibah (Padang: Polo Bomer, 1905) hal. 6

[7] Syekh Khatib Muhammad Ali al-Minangkabawi, Risalah at- Mau’izhah wat Tazkirah: Pengajaran dan Peringatan, keputusan rapat di Padang 15 juli 1919 (Padang, Derukrij Orang Alam Minangkabau, 1919) hal. 4 dan 11

[8] Syekh Khatib Muhammad Ali al-Minangkabawi, Intisharul I’tisham fit Taqlidi ‘alal Awam Raddu Tamyiz al-Taqlid minal Ittiba’ (Padang: de Volherding, t.th) hal. 1

[9] Mastudi HS, dkk, op. cit., jilid II. Hal. 221; Tim Islamic Centre, op. cit., hal. 39-40

0 Comment