26 Maret 2023


 
Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung (1871-1970)
Syekh Sulaiman ar-Rasuli atau yang dikenal dengan Angku Canduang nan Mudo dan Inyiak Canduang ini ialah salah satu diantara ulama besar Minangkabau yang begitu terkemuka. Setelah wafatnya ulama-ulama, seperti Syekh Muhammad Sa'ad Mungka dan Syekh Khatib 'Ali, maka beliaulah yang dituakan dikalangan kaum Tua dan yang memimpinnya. Sangatlah besar perjuangan beliau, apakah dalam membentengi mazhab Syafi'i dan Ahlussunnah , dalam bidang pendidikan dan tak ketinggalan dalam medan perjuangan kemerdekaan. Dalam wadah ulama- ulama Tua, Perti, beliaulah yang menjadi sesepuhnya, disamping ulama-ulama besar lainnya. Dalam pendidikan, beliau telah membuat model baru lembaga pendidikan sebagai pelanjut surau, model ala Madrasah yang diberi nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI), dan kemudian tersebar luas di berbagai penjuru Minangkabau.

Syekh Sulaiman dilahirkan di Candung pada tahun 1871 dari keluarga yang religius. Ayah beliau, Syekh Muhammad Rasul, seorang ulama terkemuka yang digelari dengan Angku Mudo Pakan Kamis. [1] Dimasa belianya, Syekh Sulaiman belajar al- Qur'an kepada Tuan Syekh Muhammad Arsyad Batu Hampar. Setelah menamatkan al-Qur'an, beliau kemudian belajar ilmu alat kepada Syekh Tuanku Sami' Biaro. Beberapa lama di Biaro, beliau menuju Sungayang bersama guru tuo beliau Tuanku Qadhi Salo, ulama yang dituju di Sungayang ialah Tuan Syekh yang dimasyhurkan dengan Tuanku Kolok (nenek dari Prof. Mahmud Yunus), alim fiqih terutama dalam ilmu Faraidh. Wafat Tuanku Kolok, Syekh Sulaiman melanjutkan pelajarannya kepada Tuan Syekh Abdussalam Banuhampu. Beselang berapa lama, dia pindah ke Sungai Dareh Situjuah Payakumbuh. 

Tak berapa lama di Situjuah, Syekh Sulaiman dengan isyarat guru dan ayahanda beliau berangkat ke Halaban. Ulama yang dituju ialah seorang alim yang masyhur dalam tigo luak, yaitu Tuan Syekh Abdullah “Beliau Halaban” (w. 1926). Lama beliau di Halaban, yaitu 7 tahun. Di sini dia mendapat kepercayaan Syekh Abdullah untuk menjadi “guru tuo”, sampai dia diambil menantu oleh Tuan Syekh tersebut. Oleh karena ilmu yang sudah mumpuni, beliau disuruh pulang oleh Tuan Syekh Abdullah untuk mengembangkan ilmu yang telah didapat di kampung halamannya, Candung. Setelah itu Syekh Sulaiman pulang, mengajar di kampung selama 6 bulan lamanya, kemudian berangkat ke Mekah untuk menunaikan rukun Islam ke lima dan menambah ilmu pengetahuan. Di Mekah, Syekh Sulaiman belajar kepada ulama-ulama kenamaan, yaitu Syekh Ahmad Khatib al- Minangkabawi, Syekh Mukhtar 'Atharid as-Shufi, Sayyid Ahmad Syatha al-Makki, Syekh Usman as-Sarawaki dan Syekh Muhammad Sa'id Ba Bashil Mufti Syafi 'Saya. 

Adapun bak keilmuan dan bertaubat dihadapan Tuan Syekh Batu Hampar tersebut dengan berlinang air mata. [2] Setelah itu beliau bersuluk dengan bimbingan Syekh tersebut pada tahun 1341 H dan mendapat ijazah dalam istilah Naqsyabandiyah . Sepulang khatwat tersebut beliau keras mempertahankan Tarikat Naqsyabandiyah, apakah dalam tabligh-tabligh, karangan-karangan maupun dalam debat terbuka, seperti muzakarah dengan Syekh Thaher Jalaluddin al- Falaki di Mesjid Jami' Pasia. [3] Dalam wadah Perti, bersama ulama-ulama Minangkabau yang sehaluan, beliau berusaha kuat untuk membentengi faham lama itu dari rongrongan kaum muda tersebut.

Demikian keulamaan Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Disamping meninggalkan murid-murid yang banyak, Syekh Sulaiman juga mewariskan karya-karya yang banyak kepada generasi selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memang seorang yang besar, selain masyhur dengan murid-murid yang ramai, beliau juga seorang yang sangat produktif menulis. Ada satu kekhasan dalam karya-karya beliau, disamping menulis dalam bahasa Arab dan bahasa Jawi-Minang, beliau gemar menulis dengan gaya sya'ir layaknya pujangga, sehingga jadilah karya- karya beliau disamping memiliki muatan keagamaan , juga merupakan bentuk sastra yang saat itu sangat laris. Sampai- sampai dalam surat-surat beliau, apakah kepada istri dan anak- anaknya ditulis dengan gaya bersyair ini . salah satunya kita tampilkan disini sebuah sya'ir beliau yang menjelaskan keinginan untuk tinggal mengaji di Mekkah, namun mengingat ummi beliau yang tidak mau berpisah dengan beliau, niat beliau urungkan:

Waktu mengarang faqir khabarkan Di negeri candung tinggallah badan
Hati terbang kesubarang lautan Ke negeri Mekah biladul Aman
Sungguh nak pindah di dalam hatiTetapi ada seorang ummi
Ibuku kandung belahan hati
Dimana mungkin meninggalkan negeri
Ibuku sakit tidaklah sehat Dimana mungkin dibawa hijrat
Jalanpun jauh tidak dekat
Barangkali sembahyang dijalan tidaklah dapat [4]  
Seputar kaum Muda, Syekh Sulaiman juga banyak menulis bait- bait sya'ir untuk menyatakan fasad- nya faham mereka. Dengan nada sindiran, dia menyerang sendi-sendi razia kaum muda tersebut. Dan tak ketinggalan menasehati kaum muslimin agar tidak terpedaya dengan faham yang seperti itu. Diantara ungkapan beliau ialah:

Sekarang ada orang yang ingkar Sudah masyhur didengar khabar Namanya tidak hamba mendengar Entah siapa nama yang mu'tabar 
Khabarnya sudah hamba mendengarkan Ushalli fardhuz zhuhr ianya ingkar Ibarat ulama hambar naqal kan Dibelakang ini hamba tuliskan 
Wahai sahabat taulan yang nyata Orang yang muqallid namanya kita Mengikut mujtahid yang punya kata Jangan diikut faham yang dusta 
Jangan dicari ke dalam Qur'an Hadistnya nabi-pun demikian
Mujtahid mutlak punya bahagian Nasi yang masak hendaklah makan 
Kita nan tidak tahu bertanak Api dan kayu tungku pun tidak
Hendaklah makan nasi yang masak Orang yang cerdik janganlah gagak 
Jikalau batanak tidak bakayu Demikian lagi tidak bertungku Lambek menahun nasinya tentu Itu misalnya fiqir olehmu. [5]

Karya-karya Syekh Sulaiman ar-Rasuli yang telah teridentifikasi sebanyak 22 judul. Besar kemungkinan masih banyak karya- karya Syekh Sulaiman yang belum tercatat. Deskripsi sebahagian karya tersebut ialah:

1) al-Aqwalul Mardiyah fi al-'Aqaid ad-Diniyyah

risalah berisi tentang pembahasan ilmu tauhid, dimulai dari pembahagian hukum akal, kemudian beralih tentang aqidah limapuluh, yaitu sifat yang wajib, mustahil dan ja'iz bagi Allah, ditambah dengan sifat yang wajib, mustahil dan ja'iz bagi Rasul. Setelah itu dilanjutkan dengan hal-hal sam'iyat . Ketika beliau menulis tentang perihal junjungan Rasulullah sebagai khatamun Nabiyyin (penutup sekalian Nabi dan Rasul), beliau menjelaskan dalam satu catatan yang agak panjang mengenai perawatan Mirza Ghulam Ahmad (Imam Ahmadiyah) yang mengaku sebagai Nabi.

Risalah ini ditulis untuk membantu para murid pada tingkat mubtadi (permulaan) dalam memahami ilmu Tauhid. Risalah ditulis dalam bahasa Arab dengan bentuk tanya jawab. Diakhir  risalah  terdapat  taqrizh  (pujian)  dari  Syekh Muhammad Jamil Jaho dan Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh terhadap kitab ini. Kitab ini dicetak berulang-ulang kali pada Mathba'ah Islamiyah Bukittinggi dan menjadi salah satu buku pelajaran dasar pada Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah hingga saat ini.

2) al-Qaulul Kasyif fi Radd 'ala man i'tiradh 'ala Akabir

Sesuai judulnya al-Qaulul Kasyif fi Raddi' ala man I'tiradh 'alal Akabir yang berarti Perkataan Pembuka untuk menolak dakwaan orang-orang yang mengingkari ulama-ulama besar , karya ini merupakan karya apologetis terhadap amalan- amalan yang telah diamalkan kaum muslimin sejak dahulu kala. Amalan yang dimaksud adalah perkara Ushalli , yaitu melafazhkan niat sebelum takbiratul Ihram . Sebagaimana diketahui, bahwa masalah Ushalli merupakan satu hal yang menjadi topik pembicaraan yang hangat antara kaum muda dan kaum tua. Kaum Muda mengingkari sunnah -nya melafazhkan Ushalli , sedangkan kaum Tua menegaskan bahwa Ushalli hukumnya sunnah sebagai difatwakan Imam Nawawi dalam Minhaj- nya.

Syekh Sulaiman dalam risalah ini menyatakan hukum melafazhkan niat ( Ushalli ) tersebut adalah sunnat , sebagai Imam Nawawi yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hajar al- Haitami, Imam Ramli, Syekh Khatib Syarbaini dan Syekh Jalaluddin Mahalli. Dalam risalah ini Syekh Sulaiman menyatakan bahwa mereka yang menolak pendapat Nawawi, yang tak lain adalah kaum Muda, yang menyatakan bahwa Ushalli adalah bid'ah belaka sebagai orang-orang yang mengingkari ulama-ulama besar.

Dalam mendudukkan masalah Ushalli , Syekh Sulaiman menukilkan dalam risalahnya bahwa dalam Mazhab Syafi'i memang ada tiga qaul (pendapat) mengenai pelafalan Ushalli , yaitu (1) Sunnat melafazhkan Ushalli ; (2) Wajib -nya; dan (3) Makruh -nya. [6] Dari 3 qaul ini, maka pendapat yang pertama, sunnat melafazhkan Ushalli , adalah pendapat yang Mu'tamad (yang dipegangi). Sedangkan pendapat ke-2 adalah pendapat yang Syazd (jarang) dan pendapat yang ke-3 adalah pendapat yang dha'if (lemah). Selanjutnya dalam risalah ini dikemukakan nash-nash yang menguatkan pendapat pertama tersebut, dan memberikan i'tiradh pendapat yang menyalahi hal demikian.

Risalah ini dicetak bersama dengan 5 risalah yang lain dalam sebuah kitab yang diberi judul dengan Kitab Enam Risalah . Kitab ini dicetak pada Durekrij Agam, Bukittinggi, tahun 1920.

3) Ibthal Hazzhi Ahlil 'Ashbiyah fi Tahrim Qira'atil Qur'an bi 'Ajamiyah

Risalah ini menjelaskan haramnya membaca al-Qur'an dengan ' Ajamiyah (bahasa non Arab). Ketika Syekh Sulaiman kembali belajar dari Mekah, persoalan menerjemah al-Qur'an menjadi satu topik yang hangat pula. Soal yang muncul terjemahan al-Qur'an itu dibaca dan dikalangan masyarakat awam itu dinamakan tafsir al-Qur'an padahal hanya terjemahannya saja. cara ini ditentang oleh Syekh Sulaiman ar-Rasuli, sebab dengan hanya membaca terjemahan al- Qur'an tanpa terlebih dahulu menyebutkan lafazhnya dapat menghilangkan ke mu'jizat an al-Qur'an tersebut, dibarengi dengan nash-nash dan nukilan qaul para ulama kenamaan.

Adapun yang dikatakan belajar tafsir yang sebenarnya diungkap Syekh Sulaiman dalam bait berikut:

Bahasa jawi maka dibaca Lafazh Qur'an dibaca mulanya seperti ini tafsir namanya
Di dalam kitab halal hukumnya 
Ulama halal hukumnya menyebutkan Mu'jizat Qur'an tidaklah luput Patut sekali kita mengikut Mengerjakan dia hati tak takut [7]

Perkara ini merupakan satu hal yang kemudian menjadi isu hangat, yang dikenal dengan “perkara menulis Qur'an dengan tulisan 'Ajam ”. Mengenai hal terakhir ini, H. Sirajuddin Abbas membahasnya secara luas dalam 40 Masalah Agama yang terbit beberapa dasawarsa setelah Risalah Syekh Sulaiman ini dicetak.

Risalah ini selesai ditulis oleh Syekh Sulaiman pada hari Rabu, pada bulan jumadil awal ditahun 1328 H (1908). Risalah ini ditulis dalam bahasa Arab, yang dimulai dengan beberapa bait sya'ir dalam bahasa Jawi-Minang berisi abstrak buku tersebut. Risalah ini kemudian dicetak beberapa tahun kemudian, yaitu tahun 1920 dalam satu kumpulan kitab Syekh Sulaiman yang dikenal dengan Kitab Enam Risalah.

4) Izalatul Dhalal fi Tahrim Iza' adalah Su'al

Risalah ini berisi kecaman terhadap orang yang menjadikan permintaan`-minta sebagai mata pencarian, tanpa darurat darurat. Nampaknya profesi semacam ini sudah populer juga di masa Syekh Sulaiman. Dalam risalah ini Syekh Sulaiman ar-Rasuli menyebutkan, dengan mengutip Ihya' Ulumiddin, bahwa meminta-minta tanpa hajat itu haram hukumnya. Dalam risalah ini Syekh Sulaiman juga mengecam kebiasaan sebahagian murid yang meminta-minta tanpa hajat, padahal kiriman dari kampung tidak putus-putus untuk biaya mengaji. Syekh Sulaiman dalam Sya'ir pembukanya menyebutkan hal ini: 


mohon itu haram asalnya Kepada sembarang manusia Lain kerabat taulan saudara Jikalau darurat halal hukuman

Kebanyakan kita di negeri jawi Turun di kampung pergi mengaji Alat dan bekal sama sekali Cukup sekalian uang dipeti 
Atau di kampung adalah kaya Sawah dan ladang banyak harta kadang nafkah ibu bapaknya cukup sekedar hajatnya 
Tapi kelakuan lobo itu mintak mintak mehanju-hanju Sekalian tahapan dijalang tentu demikian pasar rabu' dan satu 
Segenap hati itu kerja Melihat kitab segan hatinyaPekerjaan itu haram hukumnya
Di dalam kitab terang khabarnya [8]
 
Risalah ini selesai ditulis siap maghrib pada malam jum'at, tanggal 19 jumadil akhir 1328 (1908). Kemudian dicetak pada percetakan Derekrij Agam, pada tahun 1920. Dicetak bersamaan dengan beberapa kumpulan karangan Syekh Sulaiman lainnya, yaitu Kitab Enam Risalah .

5) Tsamaratul Ihsan fi Wiladati Sayyidil Insan

Karya ini merupakan salah satu karangan Syekh Sulaiman ar- Rasuli yang khas dan cukup menarik, ditulis dengan gaya sastra ala pujangga ulama saat itu. Karya ini ditulis dalam bentuk sya'ir , mengisahkan tentang peri kehidupan Nabi Muhammad, mulai darikelahiran ( maulid ) hingga wafat beliau. Risalah ini ditutup dengan sebuah sya'ir dan satu tulisan narasi untuk apologetis berdiri Maulid.
Risalah ini diawali dengan sebuah mukaddimah dalam bentuk sya'ir , menerangkan fadhilah dan seruan untuk membaca kisah maulid Nabi. Syekh Sulaiman berujar:

Amma ba'du wahailah tuan Risalah bakir muda perawan Hendaklah baca berkawan-kawan Cerita zhahirnya bangsawan rasul
Risalah bernama Tsamaratul Ihsan Menyatakan zhahir sayyidul Insan Nama Muhammad neneknya Hasan Tuan membaca jangan bosan
………
Pasanglah lampu isi tempat Sedia makanan sekedar dapat Panggil saudara tiga dan empat Bacalah risalah dalam berapat
 
Pahalanya gadang tidak sedikit Lebih enak segadang bukit Hendaklah kayai walau basakit Kalau miskin biar berdikit [9]

Kemudian Syekh Sulaiman mulai masuk menceritakan Perihal Nabi, diawali dengan kejadian Nur Muhammad yang menjadi asal segala makhluk. Syekh Sulaiman menulis:
…………
Satu makhluk Tuhan jadikan Namanya NUR Ka'ab khabarkan Asal makhluk ulama terangkan Namanya NUR belum ditentukan
 
NUR-pun jadi Tuhan berkata Jadilah engkau Muhammad semata Menjadi tiang NUR-pun nyata NUR MUHAMMAD nama sereta

Setelah menjelaskan Nur Muhammad serta kejadian perceraian makhluk, menceritakan tentang pemisahan Nur itu ke punggung Adam, [10] lalu sampai ke punggung Abdullah. Ketika Abdullah menikah dengan Aminah, maka Nur itu berpindah ke rahim Aminah, dan kemudian menzhohirkan Nabi Muhammad SAW. [11] Setelah itu berlanjut pada kelahiran Nabi hingga akhir wafat beliau, kemudian cerita ini ditutup dengan penjelasan sifat-sifat kepujian pada diri Rasulullah (pada halaman 78).

Setelah menceritakan riwayat Rasulullah, Syekh Sulaiman mengiringinya dengan Sya'ir Perdirian Maulid , yaitu menegaskan bahwa berdiri Maulid maupun perkara Sunnat , serta menyindir kerancuan kaum muda yang mem bid'ahnya . Syekh Sulaiman menulis:

Ditambah sya'ir wahai jauhari Maksudnya menjelaskan masalah berdiri Dalam Maulid waktu kenduri Banyak selisih ahli negeri 
Khabar Maulud setelah
Patut ditaruh bersama-sama Rasanya manis bagai delima Pehilangkan haus lapar yang lama
Sedang pengarangnya masyhur nama
 
Risalah ini kemudian dicetak pada Derekrij   Agam, Bukittinggi, pada tahun 1923. 

6)   Kisah Muhammad 'Arif: Pedoman Hidup di Alam Minangkabau menurut gurasan Adat dan Syara'

Pengetahuan Beliau, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, tentang adat telah diakui luas. Kepakaran beliau terhadap yang satu ini tanpaknya disokong oleh kedekatan beliau dengan ahli adat yang tua-tua dan para Tuanku Laras dimana pengetahuan adat mereka masih kuat berakar. Pengetahuan beliau ini dibuktikan dengan beberapa risalah populer yang berbicara tentang Adat ini. Istimewanya, ketika beliau berbicara adat, maka seketika itu beliau juga berbicara mengenai syara' , sebab, ungkap beliau, adat dan syara' itu berlazim-laziman.

Salah satu diantara karya beliau yang secara khusus berbicara adat, dan sebagai salah satu karya beliau yang sangat khas ialah Kisah Muhammad Arif ini. karya ini tampak terinspirasi oleh karya “Rancak di Labuah” yang konon khabarnya aslinya dikarang oleh Tuanku Lareh Kapau itu. [12] Kisah Muhammad Arif ini ditulis dengan gaya penceritaan Kaba, sarat dengan kata-kata dan permisalan Minangkabau. Nilai tambah yang membuat karya ini istimewa ialah aspek pemikiran tentang adat dan syara' yang dibingkai dengan cerita mengajar seorang ibu pada anaknya yang begitu menawan.

Cerita ini dimulai dengan mengisahkan seorang perempuan bernama Siti Budiman. Seorang gadis yang selain mempunyai paras menawan, juga seorang yang taat beragama dan kuat beradat, memakai sopan santun dan patuh kepada orang tua. Ini digambarkan sebagai berikut:

Adapun kemudian dari itu, ada seorang perempuan, Siti Budiman tu namonyo, anak Tuanku Lebar Alam, dunsanak Datuak Rajo Adil, sukunyo Bodi Caniago, di kampung Talago Manis, di nagari Teluk Paham, di Luhak nan Tigo nanko, pemerintahan Lareh nan Duo, di tanah Alam Minangkabau. Lorong ke Siti Budiman, urang baiak asal baiak, tahu mudharat dan manfaat, tahu di awal dengan akhir, ingat dirantiang ka mancucuak, tahu di dahan kamanimpo, tahu diereng dengan gendeng, tahu diadat jo Lorong kepado agamonyo, Siti taat menyembah Allah, hati suci khusu' tawadhu', iman teguh amalan banyak, hati ikhlas beradat, sabar ridha hati tawakkal, tidak digaduah apo -apo. Tentang kepado peromanan, ataupun bentuk rendah tinggi, sadang elok mato mamandang, tidak melebihi ancak-ancak, tidak mengiringi sio-sio. Lorong kapado kelakuan, sifat pemalu dipakainyo, jarang keluar dari rumah, bamain nan tidak bana, salah sedikit tidak kayo, padi tidak sedang kadimakan, suda manyabik anam bulan, tetap hidup nyo membeli beras, bakain sapalolosan, tidak manyimpan di lamari [13]

Kisah dilanjutkan dengan pernikahan Siti Budiman dengan Muhammad Shidiq Fakih Arifin, seorang pemuda alim cendikia . Setelah menikah kedua pasangan ini tetap dalam keadaan miskin, namun kemiskinan ini tak menyingkir dari ibadat, malah membuat mereka semakin rajin memasang perintah agama. Adapun kerja suami istri ini disiang hari ialah bertani, sedang malamnya mengajar mengaji, mengajar sembahyang dan sifat duapuluh. Jadi yang berlaku bertahun-tahun lamanya. Hingga Siti Budiman melahirkan anak laki-laki yang dinamai dengan Muhammad Arif, diiringi oleh adiknya yang bernama Siti Arifah.

Memang larat tak bisa ditolak, belumlah baligh dua anak anugerah Tuhan, sang suami dipanggil Allah, Muhammad Shadiq wafat. Maka keraslah Siti Budiman sendirian mendidik anak-anak mereka hingga dewasa. Pada suatu waktu, ketika mereka sekeluarga berkumpul, pada saat itulah Siti Budiman menguraikan paparan nasehat untuk anak- anaknya. Nasehat itu antara lain terdiri dari memilih nasehat sekolah, nasehat untuk jadi penghulu, nasehat untuk jadi ulama, nasehat ketika berkawin, dan sebagainya.

Dalam butir nasihat menjadi Ulama, Siti Budiman berujar kepada Muhammad Arif:

Anak den Muhammad Arif, Alim Ulama den tarangkan, tujuh pulo deang baginyo. Satu ulama matohari, duo ulama sumbu lampu , tigo ulama nan pamacah, ampek ulama banyak lancah, limo ulama bagai kancah, anam ulama ruuk sabun, tujuah ulama nan pagawat. Anak kanduang dangankan bana !
Arti Ulama matohari, suluah bendang di nagari, cermin terus dalam suku, kok hidup bakeh batanyo, kok mati tampek ba khaul, itu ulama sabananyo.

Arti ulama sumbu lampu, ulama banyak bapitua tapi untuak urang sajo, sekali tidak diamalkan. Urang banyak dapek faedah, badan sendiri nan tabaka, sebab tidak ado mengamalkan.
Arti ulama nan pamacah, nan banyak dimaso kini, pitua banyak nan ganjia, keceknyo banyak nan baru, pamacah urang sakampuang, pancarai anak jo bapak, pamutus silaturahim, pahasuang malawan guru, deang nagari nan lah kusuik, sabab marampas karajo urang, naiak mimbar jadi khatib, tidak siapo nan manyuruah, sadang awak balun khatib, sampai manyusah pemerintah.[14]

Poin ketiga dari pembahagian ulama diatas, menyiratkan pembaca untuk mewanti-wanti ulama yang kerjanya memecah masyarakat, menyebarkan faham baru dan membawa fatwa ganjil.
Karya ini menjadi istimewa karena mengandung nilai-nilai ajaran agama dan adat yang dipaparkan dengan pintar lewat cerita. Terakhir, kisah ini ditutup dengan taqrizh dari Muhammad Amin Fakih Bandaro Ampang Gadang, dalam bentuk sya'ir menyatakan betapa pentingnya Kisah ini dibaca oleh khalayak ramai. Satu kutipan sya'ir -nya ialah:
 
Wahai saudaro sekalian teman Patut memakai buku pedoman Siang dan malam jadi idaman Cerita puteri Siti Budiman 
Isinya patut peukur tubuah Melebihi buku Rancak di Labuah Pergaulan hidup janganlah jabuah Dibaca sedikit hendak bertambuah 
Isinya cukup tidak kurang Bermacam nasihat ado dikarang Dunia akhirat keduanya terang Adat dan syarat terang benderang [15]

Karya Syekh Sulaiman ini dicetak pada Derekrij Tsamaratul Ikhwan, Bukittinggi, pada tahun 1939 

7) Dawa'ul Qulub fi Qishah Yusuf wa Ya'qub

Sebagai judulnya, risalah ini berisi tentang cerita Nabi Yusuf dan ayahnya Nabi Ya'qub. Bukan hanya sekedar cerita, Syekh Sulaiman lewat risalah ini memberikan hujjah mengenai Rabithah yang terpakai disisi Tarikat Naqsyabandiyah. Jadi, risalah ini bisa dilihat dari dua segi, risalah pertama yang bernilai sastra, yaitu penceritaannya Nabi Yusuf dengan bentuk nazhm . Kedua, merupakan apologetis terhadap rabithah yang dipakai pada murid Naqsyabandiyah sebelum berzikir.

Seperti diketahui, perkara Rabithah menjadi salah satu polemik yang hangat pada awal abad XX tersebut. Perdebatan ini telah menyeret ulama-ulama muda yang mengingkarinya dan ulama-ulama tua yang mempertahankannya dalam waktu yang lama. Dalam perkara Tarikat sendiri, maka Rabithah inilah yang menjadi sasaran besar kaum muda untuk dipertanyakannya. Dengan lahirnya karya Syekh Sulaiman ini, yang membekali cerita sastra yang sarat dengan pembelaan itu menambah perbendaharan kepustakaan apologetis Tarikat di Minangkabau.

Risalah ini, seperti kebanyakan karya-karya Syekh Sulaiman lainnya, karya ini ditulis dengan gaya sya'ir . Diawalnya, Syekh Sulaiman mengingatkan pentingnya kisah Yusuf dan Ya'qub untuk dijadikan cermin, di antara ungkapan beliau:
………
Dawa'ul Qulub nama risalah Peubat hati dari dhalalat Kisah Yusuf terang berkilat Perkara rabithah ada terselat
………
Penulis menyeru berulang-ulang
Dawa'ul Qulub wajah cermerlang Bacalah sungguh jangan kepalang Supaya terbujuk hati yang dalang
 
Dawa'ul Qulub umpama fajar Dalamnya ada sedikit pembaca Bacalah tuan ganji belajar Berebut rebut kejar mengejar [16]
Kisah ini dimulai dari kelahiran Nabi Yusuf, penderitaan- penderitaan ketika dijebak, masuk penjara, hingga menjadi raja di Mesir. Adapun penjelasan Rabithah diperoleh ketika Syekh Sulaiman menceritakan kejadian antara Zulaikha dengan Nabi Yusuf. Alasan keadaan mengapa Nabi Yusuf dapat lepas dari gawat darurat yang diperbuat Zulaikha tersebut ialah karena Nabi Yusuf ketika itu tenang dengan wajah ayahnya. Peristiwa ini menjadi hujjah seberapapun wajah Nabi Ya'qub dapat menghilangkan was-was dalam hati Nabi Yusuf, sehingga beliau terlepas dari maksiat. Hal ini dijelaskan oleh Syekh Sulaiman dalam untaian baitnya:

Disini boleh kita layangkan Pandangan insaf kita gunakan Rupa ya'qub Tuhan hadirkan Apa gunanya hendak fahamkan 
Jikalau tidak ada kegunaan Tuhan tak mau hadirkannya Menjadi la'ab itu namanya Mustahil Tuhan la'ab sifatnya 
Gunanya sudah kita khabarkan Pehilang was-was khawatir samakan Kejadi sebab Tuhan ijinkanRupa menghilangkan tentulah bukan
Tatkala khusushiyah ada dirupa
Dijadikan Allah sudah berjumpa menghilangkan was-was lalai dan lupa Kita rabithahkan salahnya apa

Risalah ini dicetak pada percetakan Islamiyah, Fort de Kock, pada tahun 1924. dibelakang risalah ini terdapat himbauan beliau untuk membaca karya beliau yang lain, al-Aqwalul Washithah , untuk mendalami masalah rabithah ini.
 
8)  Pertalian Adat dan Syara' yang terpakai di Alam  Minangkabau Lareh nan Duo Luhak nan Tigo

Risalah ini berisi uraian mengenai persenyawaan adat dengan syara' di Minangkabau. Uraian mengenai hal tersebut dimulai dengan menjelaskan arti adat dan syara', kemudian dijelaskan pula seluk beluk yang berkaitan antara adat Minangkabau. Mengenai pertalian adat dan syara' tersebut, Syekh Sulaiman memaparkan dalam satu fasal dalam risalah ini. Mula-mula dijelaskan perihal masuknya Islam di Minangkabau, dimana ada seorang ulama bangsa sayyid yang berdakwah di Minangkabau di masa itu. Melalui sayyid inilah Islam dikenal oleh sebahagian masyarakat Minang. Dakwah sayyid ini kemudian dilanjutkan oleh seorang ulama Minang yang masyhur, yaitu Syekh Burhanuddin Ulakan, yang saat itu baru datang menuntut ilmu kepada Syekh Abdurra'uf Singkel di Aceh. Melalui Syekh Burhanuddin inilah rasa agama itu meresap dikalangan masyarakat banyak, maka berduyun- duyunlah masyarakat di rantau dan di darek menimba ilmu ke Ulakan, kehadapan beliau. Selanjutnya Syekh Sulaiman menjelaskan:

Maka setelah adat dan syara' berjalan di Minangkabau ini tumbuhlah masalahnya diantara penghulu-penghulu dan tuanku-tuanku alim ulama karena diantara gembar-gembor dan cabang-cabang adat itu masih ada yang dilarang Allah dan rasulnya [dilarang agama] …………
Maka dengan keahlian penghulu-penghulu dan tuanku- tuanku alim orang tua cerdik pintar di alam Minangkabau ini dapatlah perdamaian antara adat dan syara' seperti memalu ular di tanah, tongkat pemalu jangan patah, tanah dipalu jangan lambang banah nan kanai jangan rusak, ular dipalu ia mati. [17]
Kemudian fasal ini ditutup dengan ungkapan mamang adat:
Babelok jalan ka rimbo Bakotek ayam di karu Dari parak tabang ka barat
Elok aturan di Minangkabau Adat disandi syara' 
Syara' ditolong oleh adat Babelok jalan ka rimbo Lurih labuah ka talawi Di kida parak di hasim 
Elok aturan di Minangkabau Tubuhnyo adat nan kawi Jiwanyo syara' nan lazim

Diakhir risalah terdapat sebuah kutipan surat dari Bestur Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau yang saat itu dipimpin oleh Datoeak Simaradjo, diantara isinya ialah penghargaan terhadap Syekh Sulaiman yang telah mengarang risalah tentang adat ini.
Risalah ini dicetak di Bukittinggi dan menjadi bacaan populer saat itu. Hal ini mengisyaratkan dengan kalimat di depan sampul “nan tapau di alam Minangkabau, Lareh nan Duo, Luhak nan Tigo”. Dicetak pada tahun 1927. 

9) Kitab Asal Pangkat Penghulu dan Pendiriannya

Melihat kondisi sosial masyarakat Minangkabau yang tidak lagi mendirikan adat yang sebenarnya, terutama ketika pengangkatan penghulu, apakah dari syarat-syaratnya, sifat- sifatnya dan aturan menjadi penghulu itu, maka Syekh Sulaiman, berdasarnya pengetahuan adat yang beliau miliki, menulis sebuah risalah mengenal hal ihwal pengangkatan penghulu tersebut. Risalah ini kemudian diberi titel Kitab Pengangkatan Penghulu dan Pendiriannya.
Alasan penulisan risalah ini disebutkan oleh Syekh Sulaiman ar-Rasuli sebagai berikut:

Wa ba’dh, kemudian tatakala banyak persalahan dalam mendirikan penghulu di alam minangkabau ini tercitalah dalam hati hamba hendak mengarang kitab ini yang bernama pendirian penghulu di alam ini dan hamba terangkan dalamnya akan asal mula-mula terbit pangkat penghulu dan apa jabatannya….[18]

Setelah menjelaskan asal adanya pangkat penghulu di Minangkabau, Syekh Sulaiman kemudian mengiringi pembahasannya dengan pendiriang penghulu yang dibagi kedalam beberapa poin, yaitu (1) mambangkik batang tarandam, (2) hiduik nan bakaredhaan, (3) mati batungkek batang budi, (4) karang manyusok, (5) gadang manyimpang, (6) mambalah pisak baju dan (7) gadang manumpang. Kemudian dijelaskan bagaimana pekerjaan penghulu, kesempurnaan penghulu dan ditutup dengan menerangkan 50 kata-kata pokok pada adat nan kawi. Diakhir risalah ini dilampirkan perceraian tentang hal ihwal anak-anak Sri Maharaja Diraja Gagar Alam bin Sultan Abdul Jalil al- Marhum Syah yang berjumlah 8 orang, anak-anak beliau ini kemudian memerintah diberbagai belahan daerah di Minangkabau, seperti Jambi, Indropuro, Aceh, Sungai Pagu, Palembang, Indragiri, Banten dan Pariaman.

Risalah Pangkat Penghulu ini selesai ditulis pada 20 oktober 1927, sedangkan lampiran mengenai perceraian anak-anak yang dipertuan Pagaruyuang itu selesai pada 19 september 1927. Risalah ini kemudian dicetak pada Mathba’ah Islamiyah, Fort de Kock, tanpa menyertakan tahun. 

10) Kisah Mi’raj

Isra’ Mi’raj merupakan salah satu peristiwa besar dalam Islam. Banyak hikmah yang terkandung dalam peristiwa ini, seperti mulainya perintah shalat lima waktu. Untuk memperingati peristiwa besar ini kaum muslimin dikemudian hari merayakannya dengan cara membaca kisah Mi’raj atau ceramah agama. Dengan cara beginilah, salah satunya, kaum muslimin menyegarkan ingatan tentang peristiwa besar ini, sehingga menimbulkan ghirah untuk menegakkan agama. Selain perayaan, banyak pula dikalangan ulama yang menulis kisah Mi’raj ini, salah satunya ialah Syekh Sulaiman ar- Rasuli lewat Sya’ir Mi’raj-nya.

Syekh Sulaiman memulai Sya’ir Mi’raj-nya:

Amma Ba’du inilah nazhm Fikiran hamba pada suatu malam Awal Sya’ban bulan mu’azzham Diambil kertas, dawat dan qalam 
Seribu tiga ratus dua puluh lima Tahun hijrah sekian banyaknya Hatipun rusuh tidak terkira Terkenal diri banyak berdosa
 
Diambil kertas dikarang nazhm   Curita Mi’raj sayyidul anam Khabar ajaib banyak di dalam Siapa mungkir binasa Islam[19]

Kemudian Syekh Sulaiman ar-Rasuli menjelaskan sepintas pokok-pokok ilmu tauhid terlebih dahulu. Alasan beliau menjelaskan ilmu tauhid karena peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan suatu mu’jizat yang tidak bisa diterima oleh akal, namun hanya bisa diyakini berdasarkan keimanan yang bertumpu pada tauhid yang benar.[20] Beliau berujar:
 
Ya sahabat taulan saudara Khabar Mi’raj kalau baca Ilmu tauhid baca mulanya Jangan terlanggar kita padanya 
Sebab khabarnya banyak yang ajaib Demikian lagi yang ghaib-ghaib Dii’tiqatkan Tuhan di atas langit Kafirlah kita alau berbangkit

Setelah menguraikan ilmu tauhid sekedar hajat, Syekh Sulaiman ar-Rasuli lalu masuk dalam cerita Mi’raj, diawali dengan sebab-sebab terjadinya Mi’raj. Diceritakan pada mulanya langit dan bumi saling berbantahan, saling mengegokan diri. Langit berkata bahwa dia merupakan tempat yang paling indah, sebab dihiasi bulan dan bintang- bintang. Kemegahan langit dijawab oleh bumi, bahwa di bumi ada Baitullah yaitu Ka’bah tempat mulia. Langitpun menyahut kemudian, dilangitpun ada tempat mulia yaitu Baitul Ma’mur, ada pula syorga dan neraka. Tak mau kalah, bumi menyahuti, di bumi ada seorang manusia yang menjadi penghulu sekalian alam, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendengar perkataan bumi, langitpun diam membisu, tak dapat lagi membantah bumi. Kemudian langit meminta kepada Allah supaya manusia mulia (Nabi Muhammad) dinaikkan pula ke atas langit ini. Keinginan langit ini kemudian diijabah oleh Allah

Cerita ini dilanjutkan dengan riwayat pembelahan dada Nabi oleh Jibril. Setelah itu perjalanan Nabi menuju Baitul Maqdis, naik ke langit hingga Sidratul Muntaha, melihat syorga dan neraka, menerima perintah shalat, turun ke Bumi dan diakhiri dengan riwayat kaum kafir yang mendustakan peristiwa Isra’ Mi’raj.
 
Risalah ini ditulis dalam bentu nazhm (sya’ir) yang cukup panjang, menarik dengan ungkapan yang mudah dicerna sehingga tidak membuat jemu pembaca. Risalah ini dicetak dalam satu bundel karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Kitab Enam Risalah, dicetak pada Derekrij Agam, 1920.
 
11) Kisah Mu’az dan Nabi wafat
 
Mu’az adalah salah satu sahabat Nabi yang utama. Beliau telah menerima perintah dari Nabi untuk menjadi juru dakwah di Yaman, beberapa lama, bahkan sampai wafatnya Nabi. Dalam risalah ini Syekh Sulaiman menceritakan tauladan Mu’az yang patuh kepada junjangan Rasulullah. Kisah ini diserangkaikan dengan kisah wafatnya Nabi yang menjadi pelajaran berharga untuk setiap kaum muslimin.
 
Karya dalam bentuk sya’ir ini diawali oleh Syekh Sulaiman ar-Rasuli dengan mengetengahkan alasan penulisan risalah tersebut dan harapan supaya cerita yang dipaparkan beliau menjadi buah renungan sekaligus pelajaran bagi pembaca. Dengan gaya sastra Syekh Sulaiman menulis:

Amma ba’du kemudian ini Pikirlah hamba pada suatu hari Duduk di Candung di tanah jawi Berhati gadang siang dan pagi
 
Badan ka mati belum terkira Terkenal diri sehat dan muda Siang dan malam berhati suka Belum sekali menaruh duka
 
Kemudian ini hamba fikirkan Membuat rusuh bagaimana garan Supaya nak takut kepada Tuhan Jangannya lalai mengikut syaitan
 
Sekalian cerita habis dibaca Berbagai-bagai cerita khabarnya Ke dalam hati tidak bekasnya Wallahu a’lam tebal karatnya
 
Terdengar khabar kemudian ini Ada cerita merusuh hati
Nama khabarnya wafat Nabi Lalu dilihat sama sekali Baharu hamba mendapat kisah
Segera dibaca dengan muthala’ah
Harapkan hati kok lai berubah
Mau menurut perintah Allah.[21] 

Kisah ini dimulai dengan perihal Mu’az yang diperintah Nabi untuk mengajar Islam di Yaman, kemudian menceritakan bagaimana Mu’az menjalankan suruh Nabi dengan sepenuh hati. Sampai disaat Nabi wafat, Mu’az yang masih berada di negeri jauh itu mendapat isyarat bahwa Nabi wafat. Episode ini diceritakan sebagai berikut:

Pada suatu malam Mu’az-pun duduk   
Dalam    Mihrab meraguk raguk
Sudah sembahyang datanglah kantuk
Tidur mehereng badan ka rusuk 
Mu’az pun lelap sebentar lama Kepada Mu’az datang cerita
Mu’az tak tahu darimana datangnya Di dalam kitab hatif namanya 
Bunyi suara hamba khabarkan Wahailah Mu’az guru di Yaman Engkaupun lalai hambapun heran Rasulullah wafat tidak ketahuan 
Mu’az pun bangun dari lelapnya Badan terkejut hilang akalnya Iblis laknat disumpahinya
Kemudian segera mengulang wudhu’nya
 
Mu’az kemudian shalat, namun sesaat setelah shalat kantuk kembali datang dan kemudian tertidur. Selang beberapa lama suara itu datang lagi dengan kalimat yang sama. Mu’az terbangun, dan kemudian berwudhu’ karena menyangka bahwa itu suara syaitan. Setelah shalat beliau pun kembali merasaka kantuk yang berat, hingga terlelap untuk ketiga kalinya. Pada kali ketiga ini datang lagi suara:

Wahailah Mu’az hendak dengarkan Bukannya hamba iblis dan syaitan Hanyalah seorang malaikat Rahman Datang kemari disuruh Tuhan
 
Disuruh Tuhan datang kemari Membawa khabar wafatnya Nabi Serta takziyah sama sekali Memujuk engkau sahabat mati
………
Mu’az mendengar demikian bunyi Masuklah yakin ke dalam hati Lalu menangis suaranya tinggi
Sangatlah rusuh ditinggalkan Nabi177
 
Setelah itu cerita berlanjut mengenai riwayat Nabi wafat, bagaimana keadaan junjungan menjelang sakaratul maut. Hal ini diceritakan secara tuntas dalam bait sya’ir yang cukup panjang.
Sebelum mengakhiri risalah ini, Syekh Sulaiman menulis bahwa dikala sya’irnya akan dicetak terdengar berita bahwa ada sebahagian orang yang menyalahkan berushalli, mengingkari Imam Nawawi dan ulama-ulama terkemuka lainnya. Hal ini ditulis Syekh Sulaiman diakhir risalahnya:

Tatakalo sya’ir akan dicetak Kedengaran khabar dari orang banyak Sangat ajaib lagi manggalak
Hati menerima sangatlah enggak
 
Imam Nawawi orang salahkan Serta Rafi’i pun demikian Ibnu Hajar orang katakan Syekhul Islam pula kemudian
 
Sebelum takbir sunat mengata Melafazkan niat itu maknanya Tuhfah Nihayah sudah mengata Memungkiri dia bodohlah kita
 
Risalah ini dicetak bersamaan dengan karya-karya Syekh Sulaiman lainnya, dalam Kitab Enam Risalah yang dicetak pada Derekrij Agam, 1920.

12) Kitab Pedoman Puasa

Risalah ini, sebagaimana judulnya, menguraikan tentang hal ihwal puasa. Diawali dengan menerangkan Hukum puasa, kemudian menyebutkan fadhilah puasa dan hal-hal yang berkaitan dengan puasa Ramadhan. Secara sepintas risalah ini tampak sederhana, namun dalam risalah ini juga termuat masalah-masalah jarang dibicarakan dalam karya-karya serupa, seperti sebab-sebab mewajibkan puasa ramadhan.

Lebih dari itu penjelasannya juga terbilang rinci dengan memaparkan nash diiringi qaul Fuqaha’, mengisyaratkan kepiawaian Syekh Sulaiman dalam Fiqih. Hal ini tentu membuat risalah kecil yang berjumlah 24 halaman ini menjadi istimewa.

Ketika Syekh Sulaiman menjelaskan tentang sunat-sunat puasa, beliau menjelaskan agak panjang perihal masalah shalat Tarawih yang belakangan hari menjadi perdebatan pula dikalangan masyarakat di Minangkabau. Mengenai Tarawih ini disebutkan dalam satu sub bahasan dengan judul “suatu peringatan”, sebagai berikut:

[Suatu Peringatan] bahwa bilangan Tarawih adalah 20 rakaat, karena sudah Ijma’ pada masa Sayyidina Umar jadi khalifah atas demikian, yang mana Ijma’ itu haram mengingkarinya
Adapun hadis ‘Aisyah radhiyallahu anha {ma kana Rasulullah yazidu fi Ramadhan wa la fi ghairihi ihda ‘asyara rak’atan} artinya tidak ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menambah sembahyang pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada lainnya atas sebelas rakaat. Maka hadis ini bukan menerangkan bilangan Tarawih, hanya menerangkan bilangan yang sebanyak-banyak sembahyang witir. Karena Siti Aisyah radhiyallahu ‘anha menyatakan antara ramadhan dan lainnya, sedangkan sembahyang Tarawih tidak ada pada lain ramadhan.

Adapun hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu {shalla bina Rasulullah Tsamani rak’atin tsumma autar} artinya sembahyang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kami delapan rakaat kemudian lantas beliau sembahyang witir. Maka hadis ini tidak penetap bilangan tarawih delapan rakaat, karena hadis ini muhtamil (boleh jadi) Jabir radhiyallahu ‘anhu datang kemudian daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi delapan saja sembahyang Rasulullah dapat olehnya dan boleh jadi Jabi sama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka hadis yang serupa ini tidak boleh dipakai jadi dalil.

Maka disini terang dan jelas bahwa mereka yang menetapkan bilangan Tarawih delapan rakaat ialah salah faham dan salah mengerti. Maka kita do’akan kepada Allah subhanahu wa Ta’ala mudah-mudahan ditaufiqkan Allah akan mereka kepada yang benar. Wallahu a’lam bis shawab[22]

Kitab ini selesai ditulis pada agustus 1939. cetakan ketiga risalah ini pada Bukhandel Tsamaratul Ikhwan Fort de Kock, tanpa menyertakan tahun penerbitan. Risalah ini dicetak dengan tanggungan dana dari Haji Ahmad (guru Agama Perak dan Selangor).
 
13) Risalah al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Qur’an

Dalam karya ini Syekh Sulaiman ar-Rasuli mengungkapkan satu Juzu' al-Qur'an, yaitu Juz 30 yang lebih dikenal dengan Juz 'Amma, mulai dari surat an-Naba' hingga surat an-Nass. Dalam pendahuluannya, Syekh Sulaiman ar-Rasuli menyebutkan alasan penulisan risalah ini, yaitu karena permintaan dari beberapa orang kaum muslimin. Pada mulanya, ungkap beliau, dirinya merasa ragu untuk menulis tafsir ini, sebab tidak faedah bila membahasakan al-Qur'an ke dalam bahasa Jawi, tafsiran tersebut tidak akan dapat dijadikan patokan untuk mengambil hukum, sebab bila ingin mengetahui benar makna dan hukum yang terkandung harus terlebih dahulu paham sedalam-dalamnya ilmu 'Arabiyah yang 12 macam. [23] Hal ini menggambarkan kekhawatiran beliau, sebab bila seseorang hanya dengan sebuah terjemahan telah pula mau mengeluarkan hukum, tanpa ilmu-ilmu alat yang mendalam , kemungkinan besar seseorang itu akan memahami al-Qur'an menurut hawa nafsunya saja. Hal ini mengingatkan Syekh Sulaiman ar-Rasuli sebagai berikut: “disini banyak orang tanggung jawab pengetahuan salah karena memfaham dan mengeluarkan hukum Syara' daripadanya dengan keras Qur'an seperti Ahmadiyah hati saja , hingga sampai setengahnya itu mengangkat Nabi baru Nauzubillah ”.
Syekh Sulaiman mengawali tafsirnya dengan sebuah mukaddimah yang menjelaskan tentang makna tafsir dan kemuliaan al-Qur'an. Beliau menulis:

[suatu pendahuluan pada menyatakan apa yang dikatakan tafsir] Tafsir yaitu beberapa lafazh [perkataan] yang diketahui dengan dia apa maksud Allah ta'ala yang zhahir dengan ayat-ayat al-Qur'an atas sekira-kira luas manusia, sedang maksud Allah ta' ala dengan ayat-ayat Al-Qur'an tidak dapat dihinggakan banyaknya karena Al-Qur'an itu suatu kitab yang menghimpunkan sekalian ilmu zhahir dan bathin. Pendeknya tidak ada lagi ilmu dunia dan akhirat yang tidak ada dalam al-Qur'an.
ﻳﻐ ﺻﻐ
“tidak meninggalkan Al-Qur'an itu akan yang kecil, dan tidak pula yang besar-besar”. [24]

Setelah menjelaskan tentang makna tafsir dan keutamaan makna al-Qur'an, Syekh Sulaiman kemudian masuk ke Juz 30 yang direncanakan, dimulai dengan Tafsir Surat al-Fatihah dan an-Naba' hingga akhir surat an-Nass. Pada akhir risalah ini, Syekh Sulaiman menulis satu nasehat untuk memperbanyak zikirullah

Risalah ini diterbitkan pada Mathba'ah Islamiyah Fort de Kock, tahun 1928, dengan biaya HMS. Sulaiman.
 
14) Tablighul Amanah fi Izalatil Munkarat wasy Syubhah

Pada tanggal 17-18 januari 1954 diadakan Musyawarah Tarikat Naqsyabandiyah oleh Dewan Tarikat Perti di Bukittinggi. Konferensi ini dihadiri oleh 280 ulama-ulama, guru musyid dan khalifah-khalifah Naqsyabandiyah se-Sumatera Tengah. [25] Salah satu agenda konferensi itu ialah penanganan buku-buku H. Jalaluddin yang kala itu banyak beredar. Buku- buku itu banyak memuat pelajaran Tarikat Naqsyabandiyah, yang menurut hemat konferensi tersebut banyak terdapat penipuan dan penyimpanan. Hal ini penting sebab H. Jalaluddin diketahui bukan sebagai seorang ulama yang mumpuni untuk membahas masalah-masalah Tarikat, dalam riwayatnya disebutkan bahwa H. Jalaluddin tidak belajar agama layaknya orang-orang siak masa itu, kebanyakan ilmunya disinyalir hanya diperoleh dari bacaan buku saja, dan mengenai ijazah Tarikatnya yang dikatakan berasal dari Syekh Ali Ridha jabal Qubais keabsahannya. patut dipertanyakan

Hasil dari konferensi tersebut kemudian ditulis oleh Syekh Sulaiman ar-Rasuli dalam sebuah risalah yang berjudul Tablighul Amanah fi Izalatil Munkarat wasy Syubhah, yang berarti menyampaikan amanat untuk menghilangkan kemungkaran dan syubhat.

Di dalam risalah ini disebutkan sebanyak 33 kesalahan H. Jalaluddin dalam karangan-karangannya. Keputusan dari konferensi tersebut disebutkan:

a.  Bahwa buku-buku yang dikarang oleh pengarang tersebut yang berkenaan dengan tarikat banyak sekali mengandung kesalahan
b.  Bahwa membaca buku-buku itu haram atas orang yang belum membedakan salah dan benar yang tersebut dalam buku-buku tersebut.
c.    Bahwa menaruh buku-buku tersebut haram kalau tidak dicoreng mana yang salah
d.  Wajib memberitahukan orang yang belum tahu akan kesalahan buku tersebut.[26]

Risalah ini diterbitkan pada tahun 1954 pada percetakan KAHAMY, Bukittinggi. Kemudian dicetak ulang pada percetakan Nusantara, Bukittinggi, 1954, disertai dengan satu surat yang panjang dari H. Yunus Yahya, isinya membantah keras H. Jalaluddin yang masih bergeming dan dinilai merendahkan Syekh Sulaiman ar-Rasuli.
 
Diantara karya-karya Syekh Sulaiman lainnya yaitu:19

1)      Dha’us Siraj fil Isra’ wal Mi’raj
2)      Tanbihul Ghafilin fi Wafati sayyidil Mursalin
3)      Al-Aqwalul Washithah fiz Zikri war Rabithah
4)      Al-Aqwalul ‘Aliyah fi Thariqatin Naqsyabandiyah
5)      Jawahirul Kalamiyah fi I’tiqat Ahlussunnah wal Jama’ah
6)      Al-Qaulul Bayan fi Fadhilati Lailati Nishf Sya’ban
7)      Sabilus Salamah fi Wiridi Sayyidil Ummah
8)      Pedoman Islam Tiang Keamanan
[1] Muhammad Rusli Kapau, Khulashah Tarikh Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli di dalam pertalian adat dan syara’ (1926) hal. 62
[2] Keterangan Buya H. Sya’rani Khalil Dt. Majo reno, pimpinan Madrasah al-Manar Batu Hampar, cucu dari Tuan Syekh Arsyad bin Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi Batu Hampar. Wawancara Februari 2010
[3] Muhammad Rusli Kapau, op. cit., hal. 72; Syekh H. Yunus Yahya, Surat Terbuka Untuk H. Jalaluddin dalam Tablighul Amanah fi Izalati Khurafat was Syubhah (Bukittinggi: Nusantara, 1954) hal. 42
[4] Muqaddimah dalam kitab Enam Risalah (Bukittinggi: Direkrij Agam, 1920) hal. 3
 
[5] Penutup pada Sya’ir Nabi Wafat dalam kitab Enam Risalah
(Bukittinggi: Direkrij Agam, 1920) hal. 102
 
[6] Syekh Sulaiman ar-Rasuli, al-Qaulul Kasyif fi Radd ‘ala man i’tiradh ‘ala Akabir di -dalam Kitab Enam Risalah (Bukittinggi: Durekrij Agam, 1920) hal. 104
 
[7] Muqaddimah kitab Ibthal Hazzhi Ahlil ‘Ashbiyah fi Tahrim Qira’atil Qur’an bi ‘Ajamiyah dalam kitab Enam Risalah (Bukittinggi: Direkrij Agam, 1920) hal. 109
 
[8] Muqaddimah kitab Izalatul Dhalal fi Tahrim Iza’ was Su’al dalam
kitab Enam Risalah (Bukittinggi: Direkrij Agam, 1920) hal. 117
[9] Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Tsamaratul Ihsan fi Wiladati Sayyidil Insan (Bukittinggi: Direkrij Agam, 1923) halaman awal
[10] Ibid., hal. 8
[11] Ibid., hal. 10-14
 
[12] Lihat KH. Baharuddin Rusli, op. cit., hal. 17. Rancak di Labuah ini menjadi satu karya sastra berdedikasi filsafat Minangkabau yang sangat popular di awal abad XX tersebut. Ada beberapa versi tentang cerita ini, satunya yang ditulis oleh Dt. Paduko Alam Payakumbuh. pusako, baso basi nan labiah bana, bijaksano arif budiman, sifat cerdik cindokio, patut namanya Siti Budiman.
 
[13] Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Kisah Muhammad Arif: Pedoman Hidup di Alam Minangkabau Menurut Gurisan Adat dan Syara’ (Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan, 1939) hal. 3-4
[14] Ibid., hal. 60-61
[15] Ibid., hal. 67
[16] Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Dawa’ul Qulub fi Qishah Yusuf wa Ya’qub (Fort de Kock: Maktabah Islamiyah, 1924) hal. 2
[17] Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Pertalian Adat dan Syara’ yang terpakai di Alam Minangkabau Lareh nan Duo Luhak nan Tigo (bukittinggi: tt.p, 1927) hal. 31
 
[18] Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Pertalian Adat dan Syara’ yang terpakai di Alam Minangkabau Lareh nan Duo Luhak nan Tigo (bukittinggi: tt.p, 1927) hal. 31
 
[19] Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Sya’ir Mi’raj di dalam Kitab Enam Risalah (Bukittinggi: Derekrij Agam, 1920) hal. 5
[20] Dikemudian banyak banyak pula polemic perihal Mi’raj ini. Hal yang diperdebatkan ialah Mi’raj apakah Tubuh saja atau Ruh dan Tubuh Pustaka Tarbijah, 1970) jilid. I
 
[21] Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Kisah Mu’az dan Nabi wafat dalam
Kitab Enam Risalah (Bukittinggi: Derekrij Agam, 1920) hal. 66
[22] Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Kitab Pedoman Puasa (Fort de Kock: Bukhandel Tsamaratul Ikhwan, 1936) hal. 20-21
[23] Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Risalah al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Qur’an (Fort de Kock: Mathba’at Islamiyah, 1928) hal. 1
[24] Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Kitab Pedoman Puasa (Fort de Kock: Bukhandel Tsamaratul Ikhwan, 1936) hal. 20-21
[25] Syekh H. Yunus Yahya, op. cit., dalam Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Tablighul Amanah…, op. cit., hal. 35. diantara ulama-ulama besar yang hadir ialah: Syekh Abdul Ghani Batu Basurek, Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung, Syekh Muhammad Sa’id al-Khalidi Bonjol, Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus, Syekh Adam Palembayan Agam, Syekh Ibrahim Harun Tiakar Payakumbuh, Syekh Abdul Majid Koto nan Gadang – Payakumbuh, Syekh Darwisy Arsyadi Batu Hampar Payakumbuh, Syekh Muhammad Zain Kumpulan – Lubuk Sikaping, Syekh Abdussalam Bangkinang – Kampar, Syekh Mansur Kamang Bukittinggi, Syekh Ma’shum Penampungan Bukittinggi, Syekh Muhammad Yunus Tuanku Sasak, Syekh Yunus Yahya Magek Bukittinggi, Syekh Husen Amini al-Khalidi Pasia – Bukittinggi, Syekh Yahya al-Khalidi Malalo – Tanah Datar, Syekh Umar Lubuk Sikaping, Syekh Hasyim al-Khalidi Pariaman, Syekh Abdurrahman al-Khalidi Simalanggang Payakumbuh, Syekh Dzulqarnain al-Khalidi Situjuh – Payakumbuh, Syekh Abu Bakar al-Khalidi, Syekh Abdurrahman Kuran-kuran, Lubuk Sikaping, Syekh Abdul Wahab al-Khalidi Pelangi PSK, Syekh Muhammad Rasyad Koto Marapak, Syekh Muhammad Syafi’i al-Khalidi Pandai Sikek, Syekh Abu Syamah al-Khalidi Tigo Baleh, Syekh Sulaiman al-Khalidi Malampah, Lubuk Sikaping, Syekh Zakaria Labai Sati Malalo, Syekh Sulaiman al-Khalidi Magek, Syekh Qulan al-Khalidi Painan, Syekh Mahmud Abdullah “Beliau Tarantang”, Syekh Arifin Jamil “Tuanku Solok” Kamang, Bukittinggi dan Syekh Jamaluddin al-Khalidi Padang Luar Kota
 [26] Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Tablighul Amanah…, op. cit., hal. 32


0 Comment