14 Oktober 2012


METODE PEMAHAMAN HADIS AL-SYAUKANIY

DALAM KITAB NAIL AL-AUTHÂR

A.      Pendahuluan

Para ulama hadis telah banyak memberikan kontribusi yang sangat besar dalam rangka menjaga kemurnian hadis dengan menetapkan kaedah-kaedah umum untuk mengetahui hadis yang maqbûl (diterima) dan hadis yang mardûd (ditolak). Kaidah-kaidah dasar tersebut telah dibukukan dan menjadi suatu cabang ilmu hadis yaitu ilmu musthalah hadis.


Syarah merupakan penjelasan terhadap hadis Rasulullah SAW berdasarkan ijtihad ulama sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Oleh sebab itu seorang ulama memiliki metode berbeda dengan ulama lainnya dalam mensyarah hadis. Hal ini disebabkan karena latar belakang keilmuan yang berbeda atau karena mazhab yang berbeda sehingga mempengaruhi terhadap syarah yang dilakukan.

Diantara ulama yang melakukan syarah hadis adalah Muhammad ibn ‘Aliy al-Syaukaniy atau lebih dikenal dengan al-Syaukaniy. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang bagaimana fiqh hadis Imâm Al-Syaukaniy dalam mensyarah kitab Nail al-Authâr.

B.       Imâm Al-Syaukaniy

1.      Riwayat Imâm Al-Syaukaniy

a.    Nama dan Kelahiran Imâm Al-Syaukaniy

Nama lengkap Imâm Al-Syaukaniy adalah Abu ‘Aliy Badr al-Din Muhammad ibn ‘Aliy ibn Muhammad ibn ‘Abdullah ibn al-Hasan ibn Muhammad ibn Shalâh ibn Ibrahim ibn Muhammad al-‘Afif ibn Muhammad ibn Rizq al-Syaukaniy.[1] Beliau dilahirkan pada hari senin, 28 Dzulqa’dah tahun 1173 H di daerah Syaukan. Pada saat itu orang tuanya pindah ke kota Shan’a seterusnya menetap disana. Kemudian orang tua al-Syaukaniy kembali ke kampung halaman dan ia pun dilahirkan disana.[2]  dan wafat pada hari rabu 27 Jumadil akhir 1250 H dikota Shan’a.

b.   Perkembangan dan pengembaraanya

Imâm Al-Syaukaniy memulai masa pendidikan langsung kepada ayahnya.[3] Beliau tumbuh dibawah asuhan ayahandanya dalam lingkungan yang penuh dengan keluhuran budi dan kesucian jiwa. Adapun kitab yang dipelajari dari ayahnya adalah kitab syarh al-Azhâr dan syarh al-Nazhiry li mukhtashar al-‘Ushaifiry. Imâm Al-Syaukaniy juga mempelajari kitab syarh al-Azhâr dari Abd al-Rahman ibn Qasim al-Madaniy dan ahmad ibn Amir al-Haddâ’iy dan ahmad ibn Muhammad al-Harraziy. Melalui al-Harraziy Imâm Al-Syaukaniy banyak menimba ilmu fiqh dan cukup lama melakukan mulâzamah dengannya, lebih kurang selama 13 tahun. Al-Syaukaniy membacakan syarh al-Azhâr beserta Hawâsyi-nya secara berulang-ulang kepada al-Harraziy. Al-Syaukaniy juga mempelajari kitab Bayân Ibn Muzhaffar, Syarh al-Nâzhiriy beserta Hâsyiah-nya dari al-Harraziy.[4]

Diantara faktor yang mendukung kesuksesan Al-Syaukaniy dalam menuntut ilmu adalah keadaan lingkungan keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan. Ayahnya merupakan salah satu diantara ulama besar dizamannya. Begitu juga dengan lingkungan setempat yang juga merupakan masyarakat yang cinta ilmu dan memiliki kemuliaan.

Semaraknya suasana menuntut ilmu di Yaman menjadi keuntungan tersendiri bagi Al-Syaukaniy dalam mengembangkan keilmuannya. Banyaknya ulama di Yaman membuat Al-Syaukaniy lebih leluasa dalam menuntut ilmu dan tidak membatasi diri kepada siapa harus belajar.

c.    Guru-gurunya

Diantara guru-guru Imâm Al-Syaukaniy adalah:

1.      Ayahnya, ‘Aliy ibn Muhammad ibn ‘Abdullah ibn al-Hasan al-Syaukaniy (w. 1211 H)

2.      ‘Abd al-Rahman ibn Qasim al-Madaniy (1121-1211 H) yang membimbingnya mempelajari fiqh.

3.      Ahmad ibn ‘Amir al-Haddâiy (1127-1197 H)

4.      Ahmad ibn Muhammad ibn al-Harrâziy, yang mengajarnya fiqh dan ushul fiqh selama 13 tahun.

5.      Ismail ibn al-Hasan ibn Ahmad ibn al-Hasan ibn al-Imam al-Qasim ibn Muhammad (1120-1206 H) yang mengajarnya nahwu.[5]

Dan masih banyak lagi guru-guru Imâm Al-Syaukaniy yang lain.

d.   Murid-muridnya

Diantara murid-murid Al-Syaukaniy adalah:

1.      Anaknya, Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Aliy al-Syaukaniy. Lahir pada tahun 1229 H. banyak menimba ilmu dari ayahnya dan buku-buku al-Syaukaniy. Pernah menjabat sebagai Qadhi kota Shan’a. ia juga memiliki hasil karya yang banyak dan merupakan diantara ulama besar di Yaman setelah wafat ayahnya. Ia wafat pada tahun 1281 H.

2.      Muhammad ibn Ahmad al-Sûdiy.

3.      Muhammad ibn Ahmad Masyham al-Sha’diy al-Shan’aniy.

C.      Metode Pemahaman Imâm Al-Syaukaniy dalam Kitab Nail al-Authâr (Syarh Kitab Muntaqâ al-Akhbâr min Ahâdis Sayyid al-Akhyâr)

Nail al-Authâr adalah suatu ensiklopedi fiqh al-Hadis. Kitab Nail al-Authâr merupakan syarh hadis dari kitab Muntaqâ al-Akhbâr min Ahâdis Sayyid al-Akhyâr. Kitab ini dikarang oleh seorang ahli fiqh yang bermazhab Hanbali yaitu Imam Abu Barakat Mujiddin ‘Abdussalam bin Abdullah bin al-Khadr bin Muhammad bin Taimiyyah. Dia adalah kakek syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Salah seorang hafidz dan tokoh pada masanya. Dilahirkan pada tahun 590 H dikota Haran. Dia meninggal dikota tersebut setelah ashar pada hari jum’at ‘Idul Fitri tahun 652H.

Imâm Al-Syaukaniy sebagai pensyarah, telah melakukan langkah-langkah teknis atau metode dalam mensyarah hadis dalam kitab Nail al-Authtâr sesuai dengan kapasitasnya sebagai ahli hadis, didukung oleh berbagai ilmu alat terkait untuk melakukan istinbath hukum, hikmah serta menghasilkan pelajaran-pelajaran melalui hadis. Dalam mukaddimah kitabnya, al- Syaukaniy menjelaskan manhaj (metode) yang diterapkan dalam kitab Nail al-Authtâr adalah:

1.      Memberi Judul Setiap Pembahasan Berdasarkan Kitab dan Bab

Langkah pertama yang dilakukan al-Syaukaniy adalah memberi judul dan tema pembahasan terhadap hadis yang akan dibahas. Tema yang ditulis berdasarkan tema yang sudah ditulis oleh Ibn Taimiyyah dalam kitab Muntaqâ al-Akhbâr. Adapun yang dilakukan al-Syaukaniy adalah menyesuaikan dengan judul kitab dan bab yang ada dalam kitab Muntaqâ al-Akhbâr. Karena kitab Muntaqâ al-Akhbar merupakan kumpulan hadis ahkam maka susunan yang dilakukan oleh pengarang dengan metode kitab fiqih. Melihat runtutan pembahasan syarah hadis yang dilakukan al-Syaukaniy maka termasuk dalam kategori metode tahliliy (analitis) karena pembahasan dilakukan secara runtut dari awal hingga akhir.

Kadang-kadang al-Syaukaniy memberikan pendahuluan dan pengantar di awal setiap judul kitabnya. Misalnya pada kitab thahârah bab al-Miyah, al-Syaukaniy memberikan kata pengantar tentang makna thahârah seperti berikut:

 والطهارة في اللغة النظافة والتـنـزه عن الأقذار. وفي الشرع صفة حكمية تثبت لـموصوفها جواز الصلاة به أو فيه أو له ولـما كانت مفتاح الصلاة التي هي عماد الدين افتتح المؤلفون بها مؤلفاتهم. والأبواب جمع باب وهو حقيقة لـما كان حسيا يدخل منه إلى غيره، ومـجاز لعنوان جـملة من الـمسائل الـمتناسبة. والـمياه جـمع الـماء وجـمعه مع كونه جنسا للدلالة على اختلاف الأنواع.[6]

“Thaharah menurut bahasa adalah bersih dan bersuci dari kotoran. Sedangkan menurut syara’ adalah sifat hukum yang berakibat terhadap yang disifatinya (pelaku) sehingga boleh melaksanakan shalat karena telah bersuci atau pada tempat yang suci. Thaharah merupakan kunci shalat yang merupakan tiang agama sehingga para pengarang selalu memulai pembukaan kitabnya dengan tema thaharah. Abwab adalah bentuk jamak dari bab yaitu hakikat dari sesuatu yang kongkrit , sebagai pintu masuk untuk memasuki pintu yang lain, dan sebagai majaz dari sub judul yang merupakan sejumlah tema-tema yang saling berhubungan.

Namun pada sebagian kitab al-Syaukaniy tidak memberikan kata pengantar, seperti pada kitab al-nifas, al-libas, al-nikah dan lain-lain. Sayangnya al-Syaukaniy tidak memberikan penjelasan tentang alasannya meninggalkan sebagian penjelasan pada awal kitab-kitab tersebut.

2.      Memberi hukum terhadap hadis (takhrij) dan penjelasan ‘ilal

Setelah mengutip hadis yang ditulis al-Majd Ibn Taimiyyah, al-Syaukaniy mengemukakan takhrij hadis. Jika terdapat ‘ilat pada riwayat tersebut maka dijelaskan ilat tersebut. Dalam menjelaskan sisi ‘ilat tersebut al-Syaukaniy merujuk kepada pendapat para ulama kritikus hadis (ulama al-nuqqâd) dan ulama al-Jarh wa al-Ta’dil. Setelah menukil pendapat para ulama ktitikus hadis tersebut beliau memberikan pendapatnya atau menguatkan salah satu pendapat ulama. Dalam hal ini beliau banyak berpegang dengan pendapat Ibn Hajar al- ‘Asqalaniy dalam kitab Fath al-Bâriy. Sebagai contoh bisa dilihat pada bab Fadhl yaum al-jum’ah wa dzikr sa’ah al-ijabah:

-       وعن أبي موسى وضي الله عنه : (أنه سمع النبي صلى الله عليه وآله وسلم يقول في ساعة الجمعة : هي ما بين أن يجلس الإمام يعني إلى المنبر إلى أن يقصي الصلاة) رواه مسلم وأبو داود.

-       وعن عمرو بن عوف المزني رضي الله عنه : ( عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال : إن في الجمعة ساعة لا يسأل الله تعالى العبد فيها شيئا إلا أتاه إياه قالوا : يا رسول الله أية ساعة هي قال : حين تقام الصلاة إلى الانصراف منها) رواه ابن ماجه والترمذي.

-       الحديث الأول مع كونه في صحيح مسلم قد أعل بالانقطاع والاضطراب. أما الانقطاع فلأن مخرمة بن بكير رواه عن أبيه بكير بن عبد الله بن الأشج وهو لم يسمع من أبيه قاله أحمد عن حماد بن خالد عن مخرمة نفسه . وقال سعيد بن أبي مريم : ( سمعت خالي موسى بن سلمة قال : أتيت مخرمة بن بكير فسألته أن يحدثني عن أبيه فقال : ما سمعت من أبي شيئا إنما هذه كتب وجدناها عندنا عنه ما أدركت أبي إلا وأنا غلام ) وفي لفظ : ( لم أسمع من أبي وهذه كتبه ) وقال علي ابن المديني : سمعت معنا يقول مخرمة سمع من أبيه قال : ولم أجد أحدا بالمدينة يخبر عن مخرمة أنه كان يقول في شيء سمعت أبي . قال علي : ومخرمة ثقة . وقال ابن معين : يخبر عن مخرمة مخرمة ضعيف الحديث ليس حديثه بشيء

-       قال في الفتح : ولا يقال مسلم يكتفي في المعنعن بإمكان اللقاء مع المعاصرة وهو كذلك هنا لأنا نقول وجود التصريح من مخرمة بأنه لم يسمع من أبيه كاف في دعوى الانقطاع[7]

 “Dari Abi Musa RA bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda pada saat pelaksanaan jum’at, yaitu antara Imam duduk di atas mimbar sampai dilaksanakan shalat”.(HR. Muslim dan Abu Daud).

“Dari ‘Amr Ibn ‘Auf al-Muzany RA, dari Nabi SAW bersabda: sesungguhnya pada hari jum’at ada saat-saat dimana tidaklah seorang hamba meminta kepada Allah SWT kecuali Allah berikan kepadanya. Mereka bertanya: Ya Rasulallah kapankah itu? Rasulallah SAW bersabda: ketika shalat dilaksanakan sampai selesai shalat. (HR. Ibn Majah dan al-Tirmidziy).

Hadits pertama meskipun ada dalam Shahih Muslim memiliki ‘ilat yaitu: terjadinya inqhita’ (terputus sanadnya) dan idhthirab. Adapun inqhita’ terjadi karena Makhramah Ibn Bukair meriwayatkan dari ayahnya Bukair Ibn ‘Abdullah Ibn al-Asyaj, sedangkan ia tidak pernah mendengar dari ayahnya. Hal ini disampaikan oleh Ahmad dari Hahmâd Ibn Khalid dari Makhramah Sa’id Ibn Maryam berkata; Aku mendengar pamanku, Musa Ibn Salamah berkata: Aku pernah mendatangi Makhramah ibn Bukair lalu aku tanyakan; apakah ia akan menyampaikan hadis kepadaku dari ayahnya? Bukair menjawab: Aku tidak pernah mendengar sedikitpun hadis dari ayahku. Adapun kitab-kitab ini kami peroleh darinya (wijâdah) dan aku tidak pernah mendapatkan ayahku kecuali masih kecil (anak-anak). Dalam lafadz lain: Aku tidak pernah mendengar dari ayahku dan ini adalah kitab-kitabnya. ‘Ali al-Madiniy berkomentar: Aku mendengar bersama kami orang yang mengatakan Makhramah mendengar hadis dari ayahnya. Ia berkata: Aku tidak mendapatkan seorangpun di Madinah yang mengabarkan dari Makhramah bahwa ia (Makhramah) berkata: aku mendengar dari ayahku. Aliy berkomentar: Makhramah seorang tsiqah. Sedangkan ibn ma’in berkomentar: dikhabarkan dari Makhramah, sedangkan Makhramah dhaif al-hadis, laisa haditsuhu bi syai’. Ibn Hajr berkomentar dalam Fath al Bariy: tidak bisa dikatakan bahwa Imam Muslim mencukupkan dalam riwayat Mu’an ‘an dengan memungkinkanya bertemu (liqa’) dan satu masa (mu’asharah), seperti dalam riwayat ini, namun kita menyatakan bahwa adanya keterangan langsung dari Makhramah bahwa ia tidak mendengar dari ayahnya cukup sebagai penguat terjadinya inqithâ’ (terputus sanadnya)”.

3.      Menulis Tarajum (Biografi) Perawi secara Ringkas.

Berkenaan dengan biografi perawi, al-Syaukaniy tidak menjelaskan semua biografi perawi tetapi hanya perawi yang memerlukan penjelasan dari sisi biografinya. Dalam penjelasan biografi hanya disebutkan secara ringkas. al-Syaukaniy beralasan karena penyebutan secara detail tentang biografi tersebut sudah ada ilmu khusus yang membahasnya sehingga tidak perlu lagi untuk membahasnya dalam syarah hadis secara rinci dan panjang lebar.

Kemudian apabila diperlukan untuk menjelaskan harkat (baris) pada nama perawi tersebut, maka al-Syaukaniy memberikan penjelasan harkat. Penjelasan harkat tersebut tentu saja sangat membantu agar tidak terjadi keraguan dan kerancuan pembaca disebabkan ada nama perawi  yang sama dan mirip secara tulisan namun berbeda dalam harkat dan penyebutannya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh berikut ini:

-       وعن أبي الخير قال: ( أتيت عقبة بن عامر فقلت له : ألا أعجبك من أبي تميم يركع ركعتين قبل صلاة المغرب فقال عقبة : إنا كنا نفعله على عهد رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قلت : فما يمنعك الآن قال : الشغل ) رواه أحمد والبخاري

-       قوله ( ألا أعجبك ) بضم أوله وتشديد الجيم من التعجيب

-       قوله ( من أبي تميم ) هو عبد الله بن مالك الجيشاني بفتح الجيم وسكون التحتانية بعدها معجمة تابعي كبير مخضرم أسلم في عهد رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم وقد عده جماعة في الصحابة قال الحافظ في الفتح : وفيه رد على قول القاضي أبي بكر بن العربي أنه لم يفعلهما أحد بعد الصحابة لأن أبا تميم تابعي وقد فعلهما[8]

“Dari Abi al-Khair, ia berkata: Aku mendatangi ‘Uqbah ibn ‘Âmir, lalu Aku berkata kepadanya: tidakkah engkau heran terhadap apa yang dilakukan Abi Tamim. Ia shalat dua rakaat sebelum shalat magrib. ‘Uqbah berkata: sesungguhnya kami pernah melakukannya pada masa Rasullallah SAW. Aku berkata: apa yang menghalangimu melakukannya sekarang? ‘Uqbah menjawab: faktor kesibukan”. (HR. Ahmad dan al-Bukhariy).[9]

(Tidakkah mengherankanmu): dengan harakat dhammah di awalnya dan tasydid pada huruf jîm, menunjukkan ta’ajub (keheranan).

(Dari Bani Tamîm): yaitu Abdullah ibn Malik al-Jaisyâniy, dengan fathah jîm, sukun pada ya’, merupakan seorang tabi’in besar, mukhdharim, masuk Islam pada masa Rasullah SAW dan sejumlah ulama memasukkanya dalam kategori sahabat. Al- Hâfizh berkomentar dalam kitab al-Fath: hadits tersebut sebagai bantahan terhadap pendapat al-Qadhiy Abi Bakr ibn al- ‘Arabiy bahwa tidak seorang pun yang melakukannya setelah sahabat, karena Abi Tamim seorang tabi’in dan ia melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib”.

Pada contoh di atas, al-Syaukaniy menjelaskan biografi ringkas Abi Tâmim, yaitu Abdullah ibn Mâlik al-Jaisyâniy, seorang tabi’in senior yang masuk Islam pada masa Rasulullah SAW. Bahkan sekelompok ulama menganggap ia tergolong sahabat.

4.      Pendekatan aspek bahasa (Nahwu)

Aspek bahasa sangat penting untuk mendekatan kepada makna hadis. Di antara aspek bahasa yang mesti diperhatikan adalah I’rab (posisi) kalimat. Perbedaan dari sisi I’rab pada kalimat jelas sangat mempengaruhi pemahaman terhadap kalimat tersebut. Oleh karena itu aspek bahasa sangat diperhatikan oleh al-Syaukaniy dalam syarah hadis. Al-Syaukaniy menjelaskan kata-kata dalam hadis yang membutuhkan kepada I’rab sehingga maknanya dapat dipahami. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan dalam contoh berikut ini:

-       عن عبد الله بن عمر قال : ( قال رسول الله صلى الله عليه و سلم بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان) متفق عليه

-       قوله ( على خمس ) في بعض الروايات خمسة بالهاء وكلاهما صحيح فالمراد برواية الهاء خمسة أركان أو أشياء أو نحو ذلك وبرواية حذف الهاء خمس خصال أو دعائم أو قواعد أو نحو ذلك قوله (شهادة) بالجر على البدل ويجوز رفعه خبر المبتدأ محذوف أو مبتدأ خبره محذوف وتقديره أحدها أو منها قوله ( وإقام الصلاة ) أي المداومة عليها

-       والحديث يدل على أن كمال الإسلام وتمامه بهذه الخمس فهو كخباء أقيم على خمسة أعمدة وقطبها الذي يدور عليه الأركان الشهادة وبقية شعب الإيمان كالأوتاد للخباء. فظهر من هذا التمثيل أن الإسلام غير الأركان كما أن البيت غير الأعمدة والأعمدة غيره وهذا مستقيم على مذهب أهل السنة لأن الإسلام عندهم التصديق بالقول والعمل[10]

“Dari Abdulah ibn ‘Umar, ia berkata: Rasulallah SAW bersabda: Islam dibangun atas 5 perkara, yaitu: bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji Kebaitullah dan puasa ramadhan”. (Muttafaq ‘Alaih).

(‘Ala khamsin): pada sebagian riwayat khamsah dengan tambahan ha’, keduanya benar. Adapun yang dimaksud dengan tambahan ha, adalah khamsah arkân (5 rukun) atau khamsah asyyâ’ (5 perkara) atau makna sejenis. Sedangkan riwayat tanpa huruf ha’ maknanya adalah khams khishâl (5 tabi’at), da’âim (tiang), qawâ’id (kaidah/ aturan) dan lain-lain.

(Syahâdati): yaitu dengan jar, sebagai badal. Bisa juga berbaris rafa’ yaitu sebagai khabar (prediket) dari mubtada’ (subjek) yang mahzuf (dihilangkan) atau sebagai mubtada’, sedangkan khabarnya mahzuf (dihilangkan) dan taqdirnya adalah ahaduha (salah satunya) atau minha (di antaranya)”.

Hadis tersebut menunjukkan kesempurnaan dan kelengkapan ajaran Islam dengan 5 rukun ini. Ia seperti kemah yang ditegakkan atas 5 tiang sedangkan poros atau pusatnya dikelilingi oleh rukun syahadat dan cabang-cabang iman lainnya seperti pasak-pasak untuk kemah. Oleh sebab itu menjadi jelas dengan perumpaan ini bahwa Islam tanpa rukun seperti rumah tanpa tiang. Makna ini sejalan dengan mazhab ahlu sunnah karena Islam menurut mereka adalah membenarkan dengan perkataan dan perbuatan”.

Dalam syarah di atas, dijelaskan penggunaan kata “khams” tanpa memakai ha’ dan dalam riwayat lain khamsah dengan tambahan ha’, sehingga maknanya adalah khams arkân (lima rukun). Adapun dengan tambahan ha’ maknanya adalah khamsah khishâl, da’aim atau qawâid (lima macam, lima perkara, atau lima kaidah).

Kemudian kata syahâdatain dalam bentuk jar, karena berfungsi sebagai badal. Bisa juga dalam bentuk rafa’ yaitu berfungsi sebagai khabar (prediket) dari mubtada’ (subjek) yang mahzuf (dibuang). Dimana taqdirnya adalah ahaduha atau minha (salah satunya atau diantaranya).

5.      Pendekatan Asbâb Wurud Hadis.

Adapun pendekatan selanjutnya yang diterapkan al-Syaukaniy adalah mengungkapkan asbâb dan peristiwa yang menjadi latar belakang sehingga munculnya hadis. Dengan mengetahui asbâb wurud hadis atau peristiwa yang menjadi faktor penyebab sehingga hadis itu muncul memberikan pemahaman yang baik terhadap hadis. Misalnya dalam mensyarah hadis tentang nikah mut’ah, al-Syaukaniy berkomentar hadis-hadis tersebut saling mendukung dan kesimpulannya adalah mut’ah dibolehkan (rukhshah) karena sebab adanya kebutuhan pada saat musafir.[11] Namun kemudian nikah mut’ah diharamkan sampai hari kiamat.

6.      Penjelasan dengan pendapat ulama

Dalam menjelaskan hadis al-Syaukaniy sering menukil pendapat ulama terdahulu. Banyaknya nukilan al-Syaukaniy terhadap kitab para ulama tersebut menunjukkan bahwa al-Syaukaniy memiliki referensi cukup banyak dalam mensyarah hadis.

7.      Memaparkan Faidah (Pelajaran dan Hikmah ) Hadis.

Setelah al-Syaukaniy mensyarah hadits dengan berbagai pendekatan, dan istinbath hukum beliau juga memaparkan faedah dan pelajaran yang dapat diambil dari hadis tersebut dengan langsung menuliskan faedah. Ada kalanya pada berbagai tempat beliau menulis hikmah dari hadis.

8.      Penjelasan Ringkas Pada Tema Yang Tidak Membutuhkan Pembahasan Panjang

Sebagaimana dijelaskan al-Syaukaniy dalam mukaddimah kitab ini bahwa ia berusaha memberi penjelasan yang ringkas terhadap hadis dalam kitab ini kecuali pada pembahasan yang membutuhkan penjelasan panjang, terutama penjelasan masalah yang menjadi sumber perdebatan di kalangan ulama. Penjelasan begitu ringkas juga dimaksudkan barang kali karena hadis tersebut maknanya sudah diterangkan sebelumnya pada hadis-hadis di awal bab, sehingga hadis pendukung tersebut tetap dibahas namun tidak secara rinci lagi karena secara makna berkaitan dengan hadis sebelumnya yang telah dijelaskan.

D.      Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan metode yang diterapkan al-Syaukaniy dalam mensyarah hadis dalam kitab Nail al-Authâr, maka bisa disimpulkan bahwa dilihat dari sisi kecendrungan metode syarah hadis al-Syaukaniy tergolong kepada metode pemahaman (syarah) hadis tradisionalis. Dalam hal ini al-Syaukaniy menerapkan dua bentuk metode sekaligus, yaitu analitis (tahlili) dan metode muqâran.

Metode syarah hadis yang diterapkan al-Syaukaniy dalam kitabnya Nail al-Authâr adalah sebagai berikut:

1.      Memberi judul setiap Pembahasan Berdasarkan Kitab dan Bab

2.      Memberi hukum terhadap hadis (takhrij) dan penjelasan ‘ilal

3.      Menulis Tarajum (Biografi) Perawi secara Ringkas.

4.      Pendekatan aspek bahasa (Nahwu)

5.      Pendekatan Asbâb Wurud Hadis.

6.      Penjelasan dengan pendapat ulama

7.      Memaparkan Faidah (Pelajaran dan Hikmah ) Hadits.

8.      Penjelasan Ringkas Pada Tema Yang Tidak Membutuhkan Pembahasan Panjang

Dalam penulisan makalah ini sangat banyak terdapat kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi lebih sempurnanya kajian ini, sehingga bisa memberikan sumbangan terhadap khazanah ilmu pengetahuan. Semoga penelitian ini dapat menimbulkan semangat-semangat baru untuk meneliti dan memperdalam keilmuan terutama dalam bidang ilmu fiqh al-Hadis.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Muhammad ibn ‘Aliy ibn Muhammad  al-Syaukaniy, Nail al-Athâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr min al-Ahâdis Sayyid al-Akhyâr, (Beirut: Dâr al-Fikri, 1414M)

Muhammad ibn ‘Aliy ibn Muhammad  al-Syaukaniy, al-Badr al-Thâli’ bi Mahâsin man ba’da al-Qarn al-Sâbi’ (maktabah Syamilah)

Nasrun Rusli. Konsep Ijtihad al-Syaukaniy, Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999)

Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Ringkasan Nailul Authar, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006)


[1] Muhammad ibn ‘Aliy ibn Muhammad  al-Syaukaniy, al-Badr al-Thâli’ bi Mahâsin man ba’da al-Qarn al-Sâbi’, juz 2, h.207 (maktabah Syamilah)

[2] Ibid

[3] Hal ini menunjukkan bahwa orang tua sangat berperan dalam menentukan terhadap perkembangan anak. Kelihatan dari kisah al-Syaukaniy bahwa ayahnya merupakan guru pertama sebelum belajar dengan banyak guru diluar rumah. Banyak tersebut kisah dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa pengaruh seorang ayah dalam membentuk kepribadian seorang anak, seperti kisah Ali Imran, Ali Ya’kub dan luqman al-Hakim yang berhasil mendidik keluarga mereka menjadi anak yang shaleh.

[4] al-Syaukaniy, al-Badr al-Thâli’, juz 2, h.207 (maktabah Syamilah)

[5] Nasrun Rusli. Konsep Ijtihad al-Syaukaniy , Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999) cet ke 1, h.54

[6] al-Syaukaniy, Nail al-Athâr, (Beirut: Dâr al-Fikri, 1414M)  jilid 1, h. 19

[7] Al-Syaukaniy, Op.Cit, (maktabah syamilah) Bab Fadhl yaum al-jum’ah wa dzikr sa’ah al-ijabah

[8] Al-Syaukaniy, Op.Cit, (maktabah syamilah) Kitab Shalat, Bab Jawâzu al-Rok’ataini Qobla al-Magrib

[9] Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Ringkasan Nailul Authar, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006)h. 288

[10] Al-Syaukaniy, Op.Cit, (maktabah syamilah) Kitab Shalat, Bab Iftiroduha wa mata kâna

[11] Al-Syaukaniy, Op.Cit, Juz 6, h.142

0 Comment