31 Oktober 2012


A. Pendahuluan
Dakwah yang dilaksanakan Rasulullah saw tidak hanya berorientasi pada rohaniah semata, sehingga Islam dianggap sebagai agama yang hanya mengurus hubungan manusia dangan Tuhan saja, akan tetapi di balik itu Rasulullah saw juga melakukan kegiatan dakwah dalam aspek non-raohaniah. Kegiatan dakwah tersebut termasuk pada aspek, mu’amalah, moral, sosial, dan lain sebagainya. Dengan demikian, masalah-masalah sosial (patologi sosial)  bagian dari masalah dakwah dalam rangka membangun masyarakat madani.

Masalah-masalah sosial dewasa ini semakin dirasakan meresahkan masyarakat, baik di negara-negara maju maupun negara-negara yang sedang berkembang. Dalam kaitan ini, masyarakat Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, sedang merasakan keresahan tersebut. Akhir-akhir ini masalah sosial cenderung menjadi masalah nasional yang dirasa semakin sulit untuk dihindari, ditanggulangi, dan diperbaiki kembali. Di sela-sela maraknya masalah sosial tersebut, para ilmuan, rohaniwan, pemuka masyarakat, para da’i dan pemerintah telah berusaha secara maksimal untuk melakukan langkah-langkah nyata guna mencermati dan menanggulangi masalah-masalah sosial yang sedang terjadi. Salah satu dari sekian banyak masalah yang cukup meresahkan masyarakat adalah semakin banyaknya menyebar firus HIV dan penyakit AIDS. Makalah ini mencoba mengkaji apa dan bagaimana firus HIV dan AIDS.

B. Pembahasan

1. Pengertian AIDS dan HIV
Salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang cukup memprihatinkan dan sekaligus meresahkan masyarakat sekarang ini ialah problematika seksual, satu di antaranya yang cukup penting mendapat perhatian penuh adalah perilaku free sex. Karena berbagai macam penyakit kelamin yang kini dikenal di dunia kedokteran dapat ditimbulkan oleh free sex adalah sfilis, mole, gonore, uklus, limprogranuloma, venereum, inguinale, trikomoniasis, herpes, progenitalis, dan AIDS.

Dari semua penyakit itu yang paling terkenal, paling berbahaya, dan paling banyak diderita oleh perilaku free sex ada empat, yaitu: spilis, gonore, herpes progenilitas dan AIDS. Dalam makalah ini hanya membahas tentang masalah AIDS dan HIV.

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunodificiency Sindroma, yakni sindroma kehilangan kekebalan tubuh.  Dalam tim riset pertama yang menemukan bahwa AIDS disebabkan oleh virus tertentu ialah Tim Riset University Basteur, Perancis tahun 1983.  Dari sumber lain mengatakan bahwa AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah penyakit rontoknya kekebalan tubuh yang disebabkan HIV (Human Immuno Deficiency Virus), yakni virus HTLV-III (Human T-Cell Lymphotropic Virus-III, ditemukan tahun 1980), yang menyerang sel darah putih lymphocyte T-4. Setelah sel T-4 ini digempur HTLV-III, organisme racun (toxoplasma) berkembang, menyusup ke dalam tubuh lewat peredaran darah, lantas memproduksi bisul bernanah di otak, paru-paru, jantung, hati dan limpa.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa AIDS adalah penyakit yang unik, karena menyerang sistem kekebalan tubuh. Yang paling meresahkan, hingga kini belum ditemukan obatnya dan siapa pun bisa terjangkit penyakit tersebut. Secara historis, virus AIDS atau HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1980, dimana korban AIDS mulai berjatuhan di Amerika Serikat yang diawali dari kaum homoseksual. Mulanya penyebab jatuhnya korban tidak ada seorang pun yang tahu. Bagi ahli medis hal ini menjadi kesibukan tersendiri. Mereka terus-menerus mengadakan penelitian seiring dengan semakin banyaknya korban berjatuhan. Namun akhirnya misteri virus yang mematikan itu terungkap tahun 1983, Dr. Luc Montagnier dari Institut Paster Perancis, menemukan sejenis virus pada penderita yang mengalami kelumpuhan kekebalan dan gejala Lympha Dhinophaty Syndrom. Ia menamakan virus tersebut dengan Lympha Dinophati Asosiated (LAV). Menyusul kemudian Dr. Robert Gallo tahun 1984 dari National Institute of Health Amerika Serikat menemukan virus yang sama pada penderita dengan kekebalan menurun. Ia menamakan Human T.Cell Lymphatropic Virus tipe III (HLTV III).

Untuk menghindari kemungkinan pertentangan mengenai dua nama tersebut, maka atas prakarsa WHO (Word Health Organization) yang didasarkan pada keputusan yang diambil dari komisi ahli Virologi pada pertemuan “Commite on Taxonomi of Virus” memberikan nama baru untuk kedua penemuan virus di atas menjadi Human Immunedeficiency Virus (HIV). Menurut para ahli, AIDS diduga berasal dari sejenis kera (monyet) di Afrika yang mempunyai struktur yang sangat dekat dengan virus manusia. Sejak tahun 1969, virus ini telah membunuh kera-kera di Afrika dan tahun 1980 menewaskan pria homoseksual di Amerika Serikat.

Saat ini virus penyebab AIDS telah dikenal luas oleh masyarakat, terutama kalangan kedokteran dan kesehatan di mana virus tersebut dinamai dengan sebutan HIV singkatan (Humman Immunodeficiency Virus), yaitu jasad renik yang menyebabkan terjadinya AIDS. Dan jenis virus ini hanya bisa diketahui melalui mikroskop elektro setelah dibesarkan ratusan ribu kali. Para pakar pun berkeyakinan bahwa HIV mengandung zat tertentu di dalam tubuhnya, yang memungkinkannya untuk berproduksi dengan kecepatan yang luar biasa hingga beribu kali lipat dari virus-virus biasa.

2. Beberapa Teori yang Menyebabkan Penyakit AIDS dan HIV

a. Meningkatnya jumlah penasun (Pengguna Napza Suntik)
Jumlah pengguna obat-obat terlarang di Indonesia terus meningkat terutama di kalangan remaja dan kelompok dewasa muda.  Walaupun sebagian besar dari sekitar 1,3 – 2 juta pengguna NAPZA tidak menggunakan heroin atau suntikan, namun sebagian kecil melakukannya. Menurut estimasi Departemen Kesehatan pada tahun 2006 terdapat antara 191.000 sampai 248.000 penasun di Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjuk kepada angka 508.000 pada tahun yang sama. Penasun masih terkonsentrasi di daerah perkotaan. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena penularan HIV di subpopulasi ini tinggi dan terus meningkat. Masalah menjadi semakin sulit karena ketidak pedulian akan bahaya tertular seperti ditunjukkan hasil survei perilaku tahun 2002 sekitar dua per tiga penasun yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki resiko terinfeksi juga menyatakan bahwa mereka telah menggunakan peralatan secara bersama-sama dalam minggu sebelumnya pada survei yang sama.

b. Mobilitas penduduk
Pembangunan fisik yang dilakukan di daerah urban dan lapangan kerja yang sempit di daerah pedesaan, menyebabkan arus urbanisasi ke kota-kota besar Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Pekerja di daerah industri dan proyek pembangunan fisik didominasi oleh laki-laki, sedangkan kelompok perempuan mendominasi pekerjaan domestik. Dominasi dari satu jenis kelamin di setiap jalur urbanisasi menunjukkan bahwa para pendatang ini hidup membujang dan berpotensi untuk berperilaku risiko tinggi. Membaiknya sarana transportasi juga berdampak terhadap peningkatan mobilitas penduduk. Migrasi antar negara juga perlu diperhitunkan diperhitungkan sebagai potensi masuknya HIV ke suatu negara. Jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri bertambah dari tahun ketahun. Sebagian besar berusia muda, dengan pengetahuan yang sangat minim tentang HIV dan AIDS.

c. Narapidana penasun
Dari jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia sebesar 101.036 orang, ternyata 23.409 di antaranya adalah narapidana dalam pelanggaran narkotika. Sekitar 70% dari mereka adalah pengguna NAPZA (17.088) dan 40% dari pengguna NAPZA adalah penasun. Meskipun Indonesia memiliki 13 penjara khusus narkotika, 50-60% dari narapidananya berada di pusat penahanan umum atau penjara umum. Lapas merupakan tempat yang beresiko sangat tinggi untuk penyebaran HIV, karena terjadinya praktek perilaku berisiko. Keadaan ini diperparah dengan minimnya pelayanan kesehatan dan tingkat penghunian yang melebihi kemampuan. Petugas penjara menerima sangat sedikit informasi mengenai HIV dan AIDS. Narapidana di Indonesia yang positif HIV terus meningkat jumlahnya.

Data Depkes menunjukkan di tahun 2000, 17,5% dari semua narapidana positif HIV dan jumlah ini meningkat menjadi 22% di tahun 2002. Studi lainnya menunjukkan 24,5% narapidana di Jakarta terinfeksi sedangkan di Bali 10,2%. Pada penjara yang sama (Bali) 56% dari narapidana pengguna NAPZA suntik juga terinfeksi. Jumlahnya telah bertambah besar dari 7.211 di tahun 2002 menjadi 11.973 di tahun 2003 dan 17.000 di tahun 2004. Walaupun beberapa narapidana telah terinfeksi di luar penjara, terdapat kemungkinan adanya infeksi baru yang terjadi di dalam penjara yang diakibatkan oleh perilaku berisiko tinggi di kalangan narapidana sendiri. Para narapidana positif HIV yang sudah selesai menjalani hukuman akan kembali ke masyarakat dan bila tidak didampingi dengan benar, akan menjadi sumber penularan baru bagi keluarga dan orang lain.

d. Hubungan seks berisiko
Suatu ciri khas yang penting dari daerah industri termasuk industri pariwisata yang padat dan mobilitas populasi yang tinggi adalah berkembangnya hubungan seks berisiko. Jumlah penjaja seks (PS) baik perempuan maupun laki-laki meningkat dari tahun ketahun. PS lansung berada di lokasi, lokalisasi dan di tempat-tempat umum, dan PS tidak lansung umumnya berada di lingkungan bisnis hiburan seperti karaoke, bar, salon kecantikan, pati pijat, dsb. PS merupakan sub-populasi berperilaku risiko tinggi (risti) bersama dengan waria, lelaki suka lelaki (LSL).

Menurut estimasi Depkes tahun 2006 jumlah wanita PS (WPS) 177.200 -265.000 orang,waria penjaja seks 21.000 – 35.000 orang dan LSL berjumlah 384.000 – 1.148.000 orang. Jumlah pelanggan mereka jauh lebih banyak yaitu 2.435.000 – 3.813.000 untuk WPS, 62.000 – 104.000 untuk waria. Lelaki PS semakin meningkat jumlahnya di kota besar. Pertumbuhan ekonomi di daerah perkotaan dan pelemahan ekonomi pedesaan dikhawatirkan akan meningkatkan jumlah WPS lebih pesat. Bilamana upaya melakukan seks aman bagi mereka dan pelanggannya tidak berjalan baik, maka penyebaran HIV melalui modus ini akan terus berlansung. Keadaan di Papua akan semakin buruk karena pelanggan WPS membawa HIV ke pedesaan.

Homoseksual, biseksual dan heteroseksual masih tetap merupakan kelompok yang termarginalkan di Indonesia. Meskipun merupakan faktor penting dalam penyebaran HIV, namun masih sedikit kampanye pencegahan yang membahas secara spesifik masalah yang berkaitan dengan homoseksualitas dan biseksualitas. Marginalisasi telah memaksa banyak pria homoseksual yang menjalani kehidupan biseksual dimana kehidupan homoseksual yang terselubung ditutupi oleh kehidupan heteroseksual yang sesuai nilai-nilai komunitas, sehingga menyulitkan untuk dapat menjangkau kelompok yang rentan ini dengan pesan-pesan yang dapat mereka rasakan sesuai dengan kondisi mereka. Marginalisasi juga berarti bahwa konteks sosial dari komunitas homoseksual didominasi oleh kurangnya kepercayaan dan komunikasi terbuka, kurangnya penyebaran informasi dan perilaku seks yang tidak aman. Kondisi tersebut memberi dampak kepada komunitas yang lebih luas melalui perilaku biseksual, yang masih belum diakui secara umum sebagai beresiko tinggi menyebarkan HIV.

Berbagai data juga menjelaskan bahwa akselerasi jumlah penderita HIV/AIDS dikarenakan tingginya prevalensi penyakit kelamin atau IMS (Infeksi Menular Seksual) pada waria dan tuna susila. Penyakit kelamin mempermudah penularan HIV/AIDS. Berbagai riset menyatakan bahwa pengetahuan remaja yang minim tentang HIV/AIDS dan interpretasi yang salah tentang masalah seksual juga merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya HIV/AIDS.

3. Penularan Penyakit AIDS dan HIV

AIDS adalah salah satu penyakit yang banyak menjangkiti, dan ditularkan oleh pelaku-pelaku kekejian dan kemungkaran di tengah-tengah masyarakat. Apabila virus HIV telah menulari seseorang, berarti dirinya telah siap pula untuk menyebarkan bibit-bibit bencana ini kepada orang lain.

Pada umunya penderita AIDS adalah kelompok usia produktif. Lebih dari 80% infeksi HIV diderita oleh kelompok usia produktif terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita HIV perempuan cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak, 90 % terjadi dari Ibu pengidap HIV. Hingga beberapa tahun, seorang pengidap HIV tidak menunjukkan gejala-gejala klinis tertular HIV, namun demikian orang tersebut dapat menularkan kepada orang lain. Setelah itu, AIDS mulai berkembang dan menunjukkan tanda-tanda atau gejala-gejala.  Virus HIV dapat menular kepada seseorang melalui beberapa media, di antaranya:

a. Hubungan Kelamin

Kemajuan iptek telah menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang bersumber pada doctrine of permissiveness yang kemudian melahirkan permissive society, hal tersebut tercermin pada pola dan gaya hidup masyarakat misalnya perdagangan seks, pengesahan perkawinan sesama jenis, pameran seks, pornografi, legalisasi aborsi tak bertanggung jawab, dan seterusnya. Hal ini membuat semakin mudahnya orang terjangkit penyakit AIDS.  Di mana setiap mili liter cairan sperma penderita infeksi AIDS, terkandung lebih dari satu juta unit virus, yang penularannya dapat melalui beberapa cara:

1) Praktek liwath atau sodomi,  yaitu melakukan hubungan seks per anal, atau hubungan seks yang dilakukan melalui lubang dubur, seperti yang terjadi pada kasus kaum homo seksual. Sampai sekarang ini lebih separoh dari kasus AIDS yang dilaporkan pihak medis adalah komunitas ini.
2) Praktek perzinaan, yaitu hubunvgan seks vagial dengan pasangan haram. Ini terjadi apabila salah seorang dari pasangan tersebut telah terinfeksi HIV, kemudian ia menularkan kepada yang sehat. Di samping itu, kontak seksual dengan gonta-ganti pasangan baik homoseksual, biseksual, atau heteroseksual merupakan cara yang paling rawan penularan AIDS.  Tingginya angka penderita AIDS atau yang terinfeksi HIV tiap tahunnya seiring menjamurnya lokalisasi pelacuran di berbagai pelosok. Menurut penelitian Badan Kesehatan Dunia (WHO) 70% pengidap AIDS disebabkan oleh hubungan kelamin.
3) Pembuahan buatan, yaitu memasukkan sperma pria ke dalam rahim wanita bukan melalui hubugan seksual, tetapi dengan cara suntikan dan lain-lain. Penularan dapat terjadi apabila sperma tersebut telah terinfeksi HIV.

b. Transfusi Darah
Transfusi darah merupakan suatu proses pemindahan darah atau komponennya dari orang sehat yang memenuhi syarat kepada orang sakit. Hal ini membuat orang semakin resah, karena ternyata AIDS bukan hanya milik kaum homoseksual atau pelacur saja. Mereka yang mengadakan transfusi darah pun bisa terkena AIDS. Menurut data Departemen Kesehatan RI, penularan HIV melalui transfusi darah mencapai 5%.  Bahkan transplantasi organ tubuh pun kepada seseorang bisa terinfeksi HIV.

c. Alat-alat Medis
Alat-alat medis yang sering digunakan dan diduga rawan virus AIDS adalah jarum suntik, baik untuk pengobatan, immunisasi, tattoo, akupungtur atau yang digunakan para pencandu obat bius. Kemudian termasuk alat-alat operasi seperti gunting dan bedah. Dikhawatirkan pula penyebaran virus AIDS bisa lewat gunting untuk khitan jika tidak steril.

Melihat kondisi di atas, tentunya masyarakat dituntut waspada. Setiap kali datang ke dokter, tidak mesti harus disuntik. Begitu juga immunisasi pada balita. Para pengelola posyandu diharapkan menggunakan jarum immunisasi yang benar-benar steril dan bagi yang biasa menggunakan pengobatan akupungtur (tusuk jarum) harus memperhatikan kesterilan jarum yang dipakai.

d. Ibu Hamil
AIDS masuk ke dalam tubuh bayi ketika dalam kandungan ibu yang terjangkit AIDS baik lewat transfusi atau lewat perbuatan amoral si ibu atau ayah. Jumlah bayi pengidap AIDS terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya perbuatan-perbuatan maksiat, baik di tempat-tempat yang illegal maupun lokalisasi.

Suami yang mengidap virus HIV akan menularkan kepada istrinya yang sekaligus kepada bayi yang dikandung si ibu. Sebaliknya, istri yang mengidap virus HIV selain akan menularkan kepada bayinya, juga akan menularkan kepada suaminya saat berhubungan.

Di Negara-negara maju seperti Inggris, tahun 1991 terbukti satu dari 500 bayi positif terkena HIV, jumlah ini melonjak cepat dari satu per 2000 bayi pada tahun 1988. Di Afrika, para peneliti memperkirakan bahwa pada 10 lokasi penelitian, penderita HIV pada balita akan menyebabkan kematian bayi dari 250.000 sampai 500.000 jiwa pertahun pada tahun 2000. Dalam hal ini PBB memperkirakan kematian bayi akibat AIDS akan meningkat sampai 159 dan 189 pertahun. Selama 1990, AIDS telah menewaskan sekitar 1,5 juta dan 2,9 juta wanita usia subur.

e. Cairan Tubuh
Masalah cairan tubuh sebagai salah satu bentuk penularan AIDS, para pakar berbeda pendapat. Cairan tubuh yang dimaksud adalah semen (air mani), serviks (cairan vagina), darah, air liur, air mata, keringat, dan air susu ibu. Majalah Panji Masyarakat berpendapat, bahwa sumber infeksi HIV adalah penderita sendiri atau pengeidap HIV. Tidak ada hewan perantara sebagai penyebar, dan HIV bisa menyebar melalui cairan tubuh.

4. Dampak yang Ditimbulkan oleh HIV dan AIDS

a. Dampak terhadap Palayanan Kesehatan

Rusaknya sistem kekebalan tubuh telah memperparah masalah kesehatan masyarakat yang sebelumnya mungkin telah tercemar karena penyakit sosial lainnya. Tingginya tingkat penyebaran HIV dan AIDS pada kelompok manapun berarti bahwa semakin banyak orang menjadi sakit, dan membutuhkan jasa pelayanan kesehatan. Perkembangan penyakit yang lamban dari infeksi HIV berarti bahwa pasien sedikit demi sedikit menjadi lebih sakit dalam jangka waktu yang panjang, membutuhkan semakin banyak perawatan kesehatan.

Biaya langsung dari perawatan kesehatan tersebut semakin lama akan menjadi semakin besar. Diperhitungkan juga adalah waktu yang dihabiskan oleh anggota keluarga untuk merawat pasien, dan tidak dapat melakukan aktivitas yang produktif. Waktu dan sumber daya yang diberikan untuk merawat pasien HIV dan AIDS sedikit demi sedikit dapat mempengaruhi program lainnya dan menghabiskan sumber daya untuk aktivitas kesehatan lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh John Kaldor pada tahun 2005, memprediksi bahwa pada tahun 2010, bila upaya penanggulangan tidak ditingkatkan maka 6% tempat tidur akan digunakan oleh penderita AIDS dan di Papua mencapai 14% dan pada tahun 2025 angka – angka tersebut akan menjadi 11% dan 29%.

b. Dampak terhadap Tatanan Sosial
Adanya stigma dan diskriminasi akan berdampak pada tatanan sosial masyarakat. Penderita HIV dan AIDS dapat kehilangan kasih sayang dan kehangatan pergaulan sosial. Sebagian akan kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan social seperti, penganguran, kemiskinan serta  menjamurnya anak jalanan (anjal). Sebagaian mengalami keretakan rumah tangga sampai perceraian. Jumlah anak yatim dan piatu akan bertambah yang akan menimbulkan masalah tersendiri. Oleh sebab itu masalah ini merupakan masalah social yang meningkat menjadi patologi social yang harus menjadi perhatian penting dari semua kalangan.

c. Dampak terhadap Ekonomi
Permasalahan HIV/AIDS telah sejak lama menjadi isu bersama yang terus menyedot perhatian berbagai kalangan, terutama kalangan medis dan kesehatan. Namun sesungguhnya masih banyak informasi dan pemahaman tentang permasalahan kesehatan ini yang masih belum diketahui lebih jauh oleh masyarakat, termasuk efek yang ditimbulkannya. Salah satu dampak jangka panjang dari menyebarnya virus HIV dan AIDS adalah pada indikator demografi. Karena tingginya proporsi kelompok umur yang lebih muda terkena penyakit yang membahayakan ini, dapat diperkirakan nantinya akan menurunkan angka harapan hidup. Karena semakin banyak orang yang diperkirakan hidup dalam jangka waktu yang lebih pendek, kontribusi yang diharapkan dari mereka pada ekonomi nasional dan perkembangan sosial menjadi semakin kecil dan kurang dapat diandalkan. Hal ini menjadi masalah yang penting karena hilangnya individu yang terlatih dalam jumlah besar tidak akan mudah dapat digantikan.

Pada tingkat makro, biaya yang berhubungan dengan kehilangan seperti itu, misalnya meningkatnya pekerja yang tidak hadir, meningkatnya biaya pelatihan, pendapatan yang berkurang, dan sumber daya yang seharusnya dipakai untuk aktivitas produktif terpaksa dialihkan pada perawatan kesehatan, waktu yang terbuang untuk merawat anggota keluarga yang sakit, dan lainnya,juga akan meningkat.

Mengingat bahwa HIV lebih banyak menjangkiti orang muda dan mereka yang berada pada umur produktif utama (94% pada kelompok usia 19 sampai 49 tahun), virus HIV dan AIDS memiliki dampak yang besar pada angkatan kerja. Virus HIV dan AIDS akan meningkatkan terjadinya kemiskinan dan ketidak seimbangan ekonomi yang diakibatkan oleh dampaknya pada individu dan ekonomi. Dari sudut pandang individu HIV dan AIDS berarti tidak dapat masuk kerja, jumlah hari kerja yang berkurang, kesempatan yang terbatas untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dan umur masa produktif yang lebih pendek.

Dampak individu ini harus diperhitungkan bersamaan dengan dampak ekonomi pada anggota keluarga dan komunitas. Dampak pada dunia bisnis termasuk hilangnya keuntungan dan produktivitas yang diakibatkan oleh berkurangnya semangat kerja, meningkatnya ketidak hadiran karena izin sakit atau merawat anggota keluarga, percepatan masa penggantian pekerja karena kehilangan pekerja yang berpengalaman lebih cepat dari yang seharusnya, menurunnya produktivitas akibat pekerja baru dan bertambahnya investasi untuk melatih mereka. HIV dan AIDS juga berperan dalam berkurangnya moral pekerja (takut akan diskriminasi, kehilangan rekan kerja, rasa khawatir) dan juga pada penghasilan pekerja akibat meningkatnya permintaan untuk biaya perawatan medis dari pusat pelayanan kesehatan para pekerja, pensiun dini, pembayaran dini dari dana pensiun akibat kematian dini, dan meningkatnya biaya asuransi.

Pengembangan program pencegahan dan perawatan HIV di tempat kerja yang kuat dengan keikutsertaan organisasi manajemen dan pekerja sangatlah penting bagi Indonesia. Perkembangan ekonomi akan tertahan apabila virus HIV menyebabkan kemiskinan bagi para penderitanya sehingga meningkatkan kesenjangan yang kemudian menimbulkan lebih banyak lagi keadaan yang tidak stabil. Meskipun kemiskinan adalah faktor yang paling jelas dalam menimbulkan keadaan resiko tinggi dan memaksa banyak orang ke dalam perilaku yang beresiko tinggi, kebalikannya dapat pula berlaku – pendapatan yang berlebih, terutama di luar pengetahuan keluarga dan komunitas – dapat pula menimbulkan resiko yang sama. Pendapatan yang besar (umumnya tersedia bagi pekerja terampil pada pekerjaan yang profesional) membuka kesempatan bagi individu untuk melakukan perilaku resiko tinggi yang sama: berpergian jauh dari rumah, pasangan sex yang banyak, berhubungan dengan PS, obat terlarang, minuman keras, dan lainnya.

5. Pandangan dan Solusi Islam terhadap HIV dan AIDS

Sebenarnya masalah seks patologi sudah ada sepanjang perjalanan hidup kemasyarakatan, dan usaha-usaha yang diarahkan untuk menghilangkan hal itu sudah cukup banyak, akan tetapi belum menampakkan hasil yang serius. Misalnya usaha-usaha yang diarahkan untuk memberantas hubungan seksual yang illegal pada masa dahulu, misalnya menenggelamkan pelakunya ke laut, membakar mereka hidup-hidup, meracun pelakunya, dan lain-lain.

Dalam pandangan Islam, ukuran kebaikan dan keburukan bersifat mutlak. Jadi pedomannya adalah al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Quraish Shihab, menjelaskan AIDS merupakan sanksi fitrah (uqbatul fitrah) yang disebabkan karena mereka melakukan pengingkaran fitrah kemanusiaan mereka, yaitu homoseksual. Perbuatan homoseksual merupakan perbuatan yang sangat buruk, sehingga dalam Islam dinamai “fahisyah”. Ini dapat dibuktikan, bahwa ia tidak dibenarkan dalam keadaan apapun. Sementara perbuatan buruk lain masih diberikan toleransi. Pembunuhan misalnya, dapat dilakukan dalam keadaan membela diri atau menjatuhkan hukuman, tetapi homoseksual tidak ada jalan untuk membenarkannya.
Penyebab utama AIDS adalah hubungan yang tidak normal, inilah antara lain yang dinamakan “fahisyah” dalam al-Qur'an. Dalam hadis Rasulullah dikatakan: “tidak merajalela fahisyah dalam satu masyarakat sampai mereka terang-terangan melakukannya kecuali tersebar wabah atau penyakit di antara mereka yang belum pernah dikenal oleh generasi terdahulu”

Gerakan dakwah dilakukan Nabi Luth,  bahkan Nabi Luth diusir dari kotanya karena dianggap melampaui batas dalam hal penyucian diri dan bathin. Dari sini dapat dilihat bahwa dakwah harus dilakukan dengan sungguh-sungguh karena sesuai dengan ungkapan Ibnu al-Muqatta’ (w.759) berkata; “apabila suatu yang ma’ruf tidak lagi sering dilakukan, maka ia dapat menjadi munkar, sebaliknya apabila sesuatu yang munkar sudah sering dilakukan, maka ia dapat menjadi ma’ruf”

Dengan demikan, amar ma’ruf nahi munkar harus dilaksanakan secara terus-menerus tanpa bosan. Karena bila diabaikan akan terjadi seperti apa yang dikatakan di atas. Hal ini terlihat dari praktek yang dilakukan Nabi Luth yang terus-menerus menjaga kesucian hati dan dirinya. Terus-menerus dapat dipahami dari penggunaan kata kerja/ fiil mudhari’/ present tense pada kata yatathahharun.
Ajaran Islam memandang bahwa seks patologi merupakan perbuatan yang keji dan melanggar larangan Allah swt, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-A’raf ayat 33:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِوَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ                               
                               
”Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."

Selain ayat di atas terdapat banyak ayat yang memerintahkan untuk meninggalkan hal-hal yang keji antara lain (QS. 4; 31), (QS.17; 32), (23; 5 dan 10, 11), (42; 37), 53;32), (70;29,30, 31). Di samping perintah meninggalkan hal-hal yang keji juga banyak disebutkan dalam al-Qur’an tentang kekejiaan zina misalnya dalam QS 4;24, (4;25), (5;5), (17;32), 19;28), (23’7) dan (70;31). Selain itu juga termaktub ayat yang menetapkan sanksi perzinahan seperti : (QS.24;2, 25).

Dari beberapa ayat yang terdapat dalam al-Qur’an yang membicarakan masalah seks patologi, maka Q.S. An-Nur ayat 2 lebih khusus membicarakan tentang pelacuran sebagaimana firman-Nya: :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ                                                            
                
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, ...

Mustafa Kamal al-Mahdawi berpendapat bahwa laamul-ma’rifat dalam ayat di atas menunjukkan pezina laki-laki dan perempuan yang terus-menerus atau secara langsung terus-menerus melakukan perzinahan sebagai jalan hidupnya, atau menjadikannya sebagai profesi.  Sedangkan sanksi bagi yang yang terjerumus dalam perzinahan akibat lemahnya keimanan maka dikenakan hukum berdasarkan ayat QS. An-Nisa’ ayat 16. Demikian pula sanksi bagi istri yang melakukan perzinahan dikenakan hukum penjara berdasarkan ayat 15 surat An-Nisa’. Setiap larangan yang terdapat dalam ajaran Islam jelas mengandung mudharat/ bahaya baik bagi kehidupan pribadi maupun masyarakat. Demikian halnya dengan seks patologi sebagaimana dalam uraian di atas.

Mengingat bahaya yang ditimbulkan dari penyimpangan tersebut sangat besar bagi pribadi maupun terhadap kehidupan sosial, maka hal itu harus ditanggulangi. Penangulangan terhadap penyimpangan ini dilaksanakan tidak saja karena akibat-akibatnya yang membahayakan tetapi juga agar gejala ini diterima oleh masyarakat sebagai pola budaya yang dilegalkan. Dengan pengertian lain, seks patologi yang tidak ditanggulangi lambat laun dipandang oleh masyarakat sebagai hal yang normal dan wajar serta besar kemungkinan akan melembaga sebagai suatu hal yang lumrah.

Berbagai usaha dalam menanggulangi pelacuran sejak dulu sampai sekarang telah dilakukan umat manusia di berbagai belahan dunia mulai dari hukum yang ringan sampai kepada hukuman yang berat seperti hukum gantung, bagi germo-germo, pelacur, calo-calo dan tamu-tamu lacur tetapi belum dapat diatasi. Berbagai teori bermunculan dalam rangka usaha penanggulangan penyimpangan seksual ini seperti tindakan preventif, tindakan represip dan tindakan kuratif namun dalam kenyataannya seks patologi tetap berkembang dari tahun ke tahun.

Penanggulan pelacuran dan pelecahan seksual sungguh sangat berat karena menyangkut banyak aspek yang melatar belakanginya. Oleh karena itu, tanpa melibatkan campur tangan Sang Khalik niscaya penyimpangan seksual tersebut akan sulit diatasi. Berdasarkan hal tersebut, maka peran dan fungsi dakwah dalam rangka penanggulan seks patologi sangat diperlukan terutama menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat agar tidak terlena dengan kehidupan menuhankan hawa nafsu.

Sebagaimana diketahui bahwa esensi dari filosofi dakwah adalah suatu proses upaya pembentukan dan pemahaman, persepsi dan sikap al-madh’u yang sesuai dengan ajaran Islam. Kemudian, ensensi dakwah adalah perubahan dan peningkatan kualitas hidup yang mencakup upaya ishlah, tajdid dan tagyir. Esensi filosofi dakwah dalam bidang tajdid berfungsi sebagai solusi terhadap persoalan kemanusiaan yaitu rekonstruksi sosial (social reconstruction) dengan mengadakan perbaikan kehidupan masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, menurut Amis Rais, “segala macam rekonstruksi masyarakat multidimensional, sama dengan dakwah.”

Peran dakwah terhadap pelacuran dan pelecahan seksual dalam tataran operasional adalah berfungsi sebagai usaha preventif, yaitu upaya pencegahan terhadap munculnya seks patologi. Metode yang dapat digunakan adalah metode mauizah al hasanah dalam bentuk tarbiyah. Pola pencegahan terhadap kejahatan seksual ini dapat berbentuk” moralistik dan abolisionalistik”.  Pendekatan moralistik dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk menanggulangi tindakan-tindakan kejahatan seksual melalui pemantapan mental spiritual umat agar kebal terhadap bujukan-bujukan yang bersikap negatif.

Agar dakwah Islam mampu memberikan dampak terhadap penanggulangan seks patologi, maka yang pertama sekali harus dibangun adalah pemantapan aqidah al salimah. Akidah yang disampaikan kepada al-madh’u bukan semata-mata berkaitan dengan eksistensi dan wujud Allah, akan tetapi yang lebih penting adalah menumbuhkan kesadaran yang mendalam untuk memanifestasikan nilai-nalai tauhid dalam merasa, ucapan, pikiran dan tindakan sehari-hari, baik terhadap pribadi maupun masyarakat pada umumnya.

Jadi akidah yang diajarkan adalah akidah yang bersifat muharrikah yang menggerakkan kesadaran dan ketundukan kepada Allah, ridho dan rela secara utuh kepada Allah, cinta dan benci karena Allah, serta akidah yang menumbuhkan penghambaan secara khaffah kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Upaya-upaya pencegahan terhadap penyimpangan seksual ini sebenarnya telah lama dikenal dalam Islam, yaitu melarang manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar seperti larangan mendekati zina.

Sedangkan upaya penanggulangan dengan cara abolisionalistik dimaksud untuk menghilangkan atau memperkecil motif-motif yang melatar belakangi masalah seks patologi, misalnya meningkatkan derajat kehidupan ekonomi masyarat melalui pengentasan kemiskinan, memperkokoh keutuhan rumah tangga dan lain sebagainya. Karena sesungguhnya persoalan dakwah adalah menyangkut segala aspek kehidupan manusia dan berkaitan dengan upaya perbaikan yang tidak mengenal selesai. Selama manusia ada di bumi ini, proses konfrontatif antara kebenaran dan kebatilan, antara ma’ruf dan mungkar, antara seruan kepada jalan Allah dan seruan kepada jalan syaitan tetap berlangsung sehingga dakwah tetap ada.

Menurut Didin Hafidhuddin di samping materi dakwah pembentukan akidah sebagai isu utama dan besar, juga perlu mendapat perhatian serius dari pelaksana dakwah menyangkut yang pemenuhan kebutuhan masyarakat.  Senada dengan hal tersebut, Rosyad Shaleh mengemukakan dalam bidang ekonomi, proses da’wah antara lain berupa ikut mencarikan jalan keluar dalam mendapatkan lapangan kerja serta memberikan dorongan agar setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan dan dalam mengolah dan memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam yang dikaruniakan oleh Allah swt kepada umat manusia.

Ajaran Islam menjadikan ibadah yang mempunyai aspek sosial sebagai landasan membangun sistem penanganan masalah seperti kemiskinan. Jika masalah kemiskinan dapat diatasi maka faktor salah satu faktor penyebab munculnya seks patologi akan dapat dihilangkan. Di samping pemantapan akidah dan penyebaran rasa keadilan sosial, juga perlu meningkatkan political will pemerintah terhadap masalah pelacuran dan pelecehan seksual, misalnya dalam meregulasi perundang-undangan tentang pelacuran dan pelecahan seksual. Oleh karena itulah, Sayyid Quthub mengemukakan dalam tafsirnya, bahwa dalam rangka menegakkan akidah islamiyah dalam kehidupan manusia, maka mengharuskan ada dua kelompok dalam Islam yaitu pertama yang menyeru kepada kebajikan dan kelompok kedua menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Perintah dan larangan akan dapat terwujud manakalah ada kekuasaan serta kedua kelompok tersebut harus bersatu padu dalam mewujudkan tujuan dakwah tersebut.  Dengan demikian, pemantapan political will pemerintah perlu mendapat perhatian dari penyelenggara dakwah islamiyah.

Langkah selanjutnya dalam rangka mengatasi persoalan seks patologi adalah melalui pendekatan kuratif yaitu pengobatan dan pengentasan. Metode dakwah yang digunakan adalah mau’izhah al hasanah dalam bentuk tauzih wal irsyad (Bimbingan konseling), majlis-majlis zikir, dengan memberikan wirid pengajian, dan lain sebagainya.

Selanjutnya usaha penanggulangan dapat dilakukan dengan cara represif. Tindakan represif artinya melaksanakan hukuman sesuai dengan konsep ajaran Islam terhadap pelaku pelacuran dan pelecehan seksual. Dengan adanya hukuman yang sesuai dengan ajaran Islam maka diharapkan mampu mendorong kesadaran masyarakat agar takut melakukan perbuatan tersebut terutama bagi orang-orang yang sudah dihukum untuk tidak mengulangi perbuatannya. Peran dakwah dalam konteks ini adalah mendorong pemerintah dan seluruh elemen masyarakat agar melaksanakan hukum-hukum Allah.

6. Penanggulangan HIV dan AIDS

Satu-satunya cara yang efektif untuk menanggulangi penyakit tersebut adalah dengan mewaspadai hal-hal yang dapat menimbulkan penyakit itu sendiri.

Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006 mengamanatkan perlunya peningkatan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia. Respons harus ditujukan untuk mengurangi semaksimal mungkin peningkatan kasus baru dan kematian. Komisi Penanggulangan AIDS di semua tingkat akan semakin kuat. Anggaran dari sektor pemerintah diharapkan juga akan meningkat sejalan dengan masalah yan dihadapi. Sektor-sektor akan meningkatkan cakupan program masing-masing. Masyarakat sipil termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) akan meningkatkan perannya sebagai mitra pemerintah sampai ke tingkat desa. Sementara itu mitra internasional diperkirakan akan terus membantu pemerintah setidaknya sampai tahun 2010. Akan tetapi disamping sikap optimis, pelaksanaan respons nasional akan menghadapi tantangan yang tidak kecil yang harus dicermati.

Sejalan dengan masalah yang dihadapi, Indonesia telah melaksanakan strategi penanggulangan HIV dan AIDS melalui dua periode yang dimuat dalam Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 1994-2003 dan tahun 2003-2007. Di tahun yang akan datang tantangan yang dihadapi dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS semakin besar dan rumit sehingga diperlukan strategi baru untuk menghadapinya. Strategi Nasional 2007-2010 (STRANAS 2007-2010) menjabarkan paradigma baru dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia dari upaya yang terfragmentasi menjadi upaya yang komprehensif dan terintegrasi diselenggarakan dengan harmonis oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder).

Namun strategi ini akan terus mengembangkan kemajuan yang telah dicapai oleh strategi-strategi sebelumnya. Akserelasi upaya perawatan, pengobatan dan dukungan pada orang yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHA) dijalankan bersamaan dengan akselerasi upaya pencegahan baik dilingkungan sub-populasi berperilaku risiko tinggi maupu di lingkungan sub-populasi berperilaku risiko rendah dan masyarakat umum. Penguatan Komisi Penanggulangan AIDS di semua tingkat dan kelompok-kelompok kerja penanggulangan AIDS (Pokja AIDS) di semua sektor diteruskan agar mampu mengkoordinasikan implementasi dari strategi ini di tingkat nasional, regional maupun institusi.

Dalam ajaran moral Islam dikemukakan banyak dasar normatif yang bisa dijadikan tuntunan dalam berperilaku baik. Misalnya, umat Islam harus menghindari seks bebas (wala taqrabu al-zina innahu kana fakhisyah wa sa'a sabila). Setiap yang memabukkan itu khamar dan setiap yang memabukkan itu haram (kullu muskir khamr wa kullu muskir haram). Dan, janganlah kamu mencampakkan dirimu ke dalam kerusakan (wa la tulqu bi aydikum ila al-tahluqah).

Jika ditaati, ajaran tersebut tentu sudah lebih dari cukup untuk menjauhkan diri dari perbuatan yang bisa mendatangkan kemudaratan. Termasuk, kemudaratan yang disebabkan HIV dan AIDS. Sebab, beberapa penyebab penyebaran HIV dan AIDS adalah para pengguna napza suntik dan pasangannya, pekerja seks dan pelanggannya, waria dan pelanggannya, dan kelompok homoseksual. Persoalannya, berapa banyak umat yang mampu menempatkan ajaran Islam sebagai rujukan berperilaku sehingga jadi lebih baik. Yang ideal tentu dengan beragama, orang akan lebih baik. Tapi, secara jujur harus diakui bahwa keberagamaan sering merupakan proses panjang. Artinya, untuk jadi baik, seseorang sering mengalami jalan berliku. Tegasnya, dia harus melalui banyak cobaan dalam hidup.

Maka, dalam proses jadi orang baik itulah, seseorang terkadang tergoda melakukan maksiat. Apalagi realitas sosial menunjukkan mayoritas orang beragama itu bersifat nominalis. Mereka mengaku beragama, tapi dalam berperilaku sama sekali tidak menunjukkan karakter yang islami. Tipologi masyarakat seperti itulah yang sangat rentan terkena penyakit berbahaya, termasuk HIV dan AIDS.

Perbincangan penggunaan kondom sebagai upaya menekan jumlah HIV dan AIDS itu memang kontroversial. Apalagi jika perspektif yang digunakan adalah Islam. Tapi, kiranya perlu dikemukakan ragam pandangan ulama terhadap penggunaan kondom dalam kasus HIV dan AIDS. Pandangan pertama menyatakan, penggunaan kondom itu haram karena bisa menyuburkan seks bebas. Dengan kondom, orang akan merasa aman dari penyakit sehingga dapat bebas datang ke prostitusi. Dalam konteks itu dikatakan bahwa kampanye penggunaan kondom yang digunakan bukan dari pasangan suami istri berarti amar munkar nahi ma'ruf (mendorong kemunkaran dan mencegah kebaikan).

Pandangan kedua menyatakan, kondom sesungguhnya bisa digunakan mencegah bahaya yang lebih besar. Dalam kasus HIV dan AIDS, penggunaan kondom diperbolehkan. Seorang ulama kenamaan dari Mesir, Syaikh Mahmud Syaltut, termasuk yang berpandangan seperti itu. Dia menyatakan, hubungan di luar nikah dengan tidak menggunakan kondom tergolong haramun ghairu aminin (haram yang membahayakan). Sedangkan hubungan seksual di luar nikah dengan menggunakan kondom termasuk haramun aminun (haram yang aman). Pandangan Mahmud Syaltut itu jelas kontroversial. Tapi, dalam menyikapi perkembangan kasus HIV dan AIDS, pandangan tersebut bisa menjadi alternatif jangka pendek. Tentu yang terbaik menurut ajaran agama Islam adalah tidak melakukan perbuatan seks di luar nikah.

Tetapi, dalam kasus HIV dan AIDS yang perlu dicegah adalah agar penyakit tersebut tidak menyebar ke banyak orang. Karena itu, penggunaan kondom menjadi jalan keluar. Apalagi sejauh ini secara teoretis kondom merupakan alat yang dapat digunakan untuk meminimalkan penularan HIV dan AIDS. Sebagian orang menyatakan bahwa mencegah penyebaran HIV dan AIDS dapat ditempuh dengan jalan pembinaan keagamaan.

Namun, yang juga perlu diingat adalah dalam pembinaan itu, sering dijumpai kelompok masyarakat yang terlalu longgar pada nilai-nilai moral keagamaan. Menunggu mereka dapat berubah jadi orang yang taat dan religius tentu butuh waktu. Sementara waktu terus bergerak dan virus HIV dan AIDS harus diminimalkan.

Pendapat lain mengatakan bahwa mempropagandakan pemakaian kondom. Bukanlah menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan masalah baru. Selain melanggengkan seks bebas, juga AIDS bakal makin merajalela. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (Q.S. An-Nuur: 30).

Islam melarang berdua-duaan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam satu tempat tanpa kehadiran seorang mahram. Nabi SAW bersabda : “Ketika seorang laki-laki (pergi) berduaan dengan seorang wanita, maka setan menjadi orang ketiganya di sana.” Dalam Islam, campur baur bebas antara laki-laki dan wanita tanpa adanya keperluan dan kepentingan syar’i adalah terlarang. Islam memandang seks bebas sebagai sebuah malapetaka besar.

Dalam situasi dilematis itulah, menggunakan kondom menjadi alternatif. Malik Badri, seorang doktor bidang psikologi dari Sudan, mengatakan tidak ada satu masyarakat pun yang secara total mampu menghilangkan hubungan seks ilegal. Karena itu, sikap menolak penggunaan kondom secara total berarti sama dengan membiarkan seseorang dengan mudah terjangkit HIV dan AIDS. Pandangan Malik Badri tersebut sangat paralel dengan khazanah dalam bidang fikih yang menyatakan, jika ada dua kerusakan yang berhadap-hadapan, perlu diperhatikan mana yang lebih besar kerusakannya; kemudian diambil mana yang kerusakannya lebih ringan.

Ajaran Islam yang juga perlu dieksplorasi berkaitan dengan sikap terhadap orang yang terinfeksi HIV. Apalagi dalam banyak ayat Alquran dan Hadis Nabi ditemukan tuntunan agar seseorang bersikap saling menolong dan mencintai sesama. Bahwa HIV/AIDS sangat berbahaya, bahkan hingga kini belum ditemukan obatnya. Tapi, karena para penderitanya adalah manusia, mereka pun berhak mendapatkan perlakuan yang manusiawi. Hal itu berarti bahwa yang perlu dimatikan adalah penyakitnya, sementara orangnya harus dihargai karena sama-sama makhluk Tuhan

C. Kesimpulan
Penyakit AIDS dan HIV adalah salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang cukup memprihatinkan dan sekaligus meresahkan masyarakat sekarang ini. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunodificiency Sindroma, yakni sindroma kehilangan kekebalan tubuh. AIDS adalah penyakit rontoknya kekebalan tubuh yang disebabkan HIV (Human Immuno Deficiency Virus), yang menyerang sel darah putih dan menyusup ke dalam tubuh lewat peredaran darah.
Di antara penyebab penyakit AIDS dan HIV adalah :

- Meningkatnya jumlah penasun (Pengguna Napza Suntik)
- Arus urbanisasi ke kota-kota besar yang semakin meningkat
- Banyaknya para narapidana yang memakai zat-zat aditif lewat jarum suntik
- Maraknya hubungan seks berisiko
- Perkembangan teknologi yang semakin pesat, sehingga semakin memudahkan orang untuk berhubungan di luar jalur yang ditentukan dan semakin mudahnya orang-orang mengakses berbagai informasi.

Virus HIV dapat menular kepada seseorang melalui beberapa media, di antaranya:
- Hubungan Kelamin
- Transfusi Darah
- Alat-alat Medis
- Ibu Hamil
- Transplantasi organ tubuh, dll

Penanggulangan HIV selain apa yang telah direncanakan dan diusahakan pemerintah salah satunya adalah dengan melakukan sosialisasi tentang seluk beluk penyakit tersebut serta dengan membentang luaskan bahaya yang akan ditimbulkanya. Dan yang paling pokok ialah solusi agama yakni dengan selalu berpedoman kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Salah satu upaya dilakukan Islam adalah dengan memberikan informasi agama lewat dakwah kepada masyarakat dengan menekankan kepada manusia agar selalu berpegang teguh kepada Ajaran Islam. Dengan cara ini insya allah penyaki laknat itu akan jauh dari kehidupan kita. Wallahu ‘aklam bishshawab.
Daftar Pustaka

Ahmad, Andi, “AIDS, Seks, dan Remaja dalam Pandangan Islam” http://pkspasirangin.wordpress.comaids-seks-dan-remaja-dalam-pandangan-islam., diakses tanggal 07 Desember 2011

Asy’ari, Imam, Patologi Sosial, Surabaya: Usaha Nasional, 1990
Al-Ghifari, Abu, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, Bandung, Mujahid Press, 2001
Biyanto, “Menyikapi Penyebaran HIV dan AIDS” http://www.jawapos.co.id/metropolis/., diakses tanggal 07 Desember 2011
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997
Hafidhuddin, Didin, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 1998
Kartono, Kartini, Patologi Sosial: Kenakalan Remaja,Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1986
Komisi Penanggulangan AIDS, Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan IADS 2007 – 2010, http://www.kpa.go.id/The National HIV&AIDS Strategy 2007-2010 Indonesia, diakses tanggal 16 November 2008
Mahmud, Mustafa, Menangkap Isyarat Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus, Min Asrari Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986
Parikesit, Arli Adtya, “Lebih Jauh dengan HIV/AIDS dan Penanggulangannya”, http://www.depkes.go.id/. Kumulatif Kasus HIV/AIDS di Indonesia. 2006, Diakses tanggal 19 September 2008
Partowisastro, Koestoer, Dinamika Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga, 1983
Quthub, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Juz II, Terj. As’ad Yasin, Jakarta, Gema Insani Press, 1992
Rais, Amin, Cakrawala Islam : Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1991
Salmadanis, Patologi Sosial dalam perspektif dakwah, Padang, Hayfa Press, 2009
Shaleh, Rosyad, Manajemen Da’wah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, jilid 5
Suarta, Siswandi, “AIDS dalam Pandangan Islam”, http://www.pms&hiv/aids.kesrepro.com. Diakses tanggal 19 September 2008
Thawiil, Utsman Ath, at-Tarbiyah al-Jinsiyah lil Fitayaat wal Fityaan fil Islam, Terj. Saefuddin Zuhri, Ajaran Islam tentang Fenomena Seksual, Jakarta: RajaGrafindo Persada

0 Comment