09 April 2023

 Syekh H. Djalaluddin (1882-1976)

Syekh H. Jalaluddin merupakan salah seorang yang tenar pula. Meski tidak seperti ulama-ulama dimasanya yang belajar agama lewat kitab-kitab, mendanai memulai segabai guru Sekolah Rakyat (SR), bergabung dengan Perti, dan dapat mendirikan PPTI (Persatuan Pembela Tarikat Islam), sebuah organisasi Kaum Tarikat yang cukup terkenal dan mempunyai cabang yang banyak di Indonesia pada masanya.

H. Djalaluddin lahir di Koto Baru Maninjau pada tahun 1882. Setelah lulus dari sekolah Gubernemen di desanya, ia kemudian memasuki guru kursus , sehingga ia dapat diangkat sebagai guru Sekolah Rakyat. Mula-mula ia berdinas di Pariaman, kemudian pindah ke Kamang, Bukittinggi. [1] Di Bukittinggi, beliau merapatkan diri dengan Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Perti, dan sempat menjadi kaki tangan Buya H. Sirajuddin Abbas dalam mengelola Majalah al-Mizan dan Majalah Soearti. Namun setelah itu, tanpa alasan yang jelas, beliau tampak menjauh dari Perti. Beberapa saat kemudian dia mendirikan PPTI (Persatuan Pembela Tarikat Islam), yang pada mulanya bernama PTIM (Persatuan Tarikat Indonesia Malaya) dan PPTI (Partai Politik Tarikat Islam).

Dalam riwayat yang ditulis oleh H. Jalaluddin sendiri yang dikemukakannya pada Majalah Sinar keemasan (1964), disebutkannya bahwa kecendrungan beliau kepada Tarikat merupakan warisan ayah beliau, Syekh Imam Mentari, yang konon kabarnya dalam pengakuan beliau, jasadnya raib ketika bersuluk di Kumpulan. Mula-mula H. Jalaluddin belajar Tarikat Naqsyabandiyah kepada Syekh Koto Abdullah Baru Maninjau diusia belasan tahun. Kemudian belajar kepada guru-guru lain sehingga beberapa Tarikat telah dimasukinya, diantaranya Tarikat Anfasiyah dan Qadariyah wa Naqsyabandiyah. Untuk Tarikat yang terakhir ini langsung diambilnya dari Syekh H. Shahibul Wafa Tajul Arifin di Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Terakhir, menurut karangannya, beliau memperoleh ijazah dari Syekh Ali Ridha (pengganti Syekh Sulaiman Zuhdi) di Jabal Abi Qubais, Mekah.[2]

H. Jalaluddin memang mempunyai jiwa kepemimpinan. Selama puluhan tahun beliau memimpin PPTI, dari mula berdirinya sampai organisasi ini menyebar luas di Sumatera Tengah saja, bahkan sampai ke beberapa daerah di luar Sumatera. Dalam menyampaikan aspirasi politiknya, PPTI juga merekomendasikan diri menjadi salah satu partai yang cukup diperhitungkan, dengan pemerolehan suara yang lumayan untuk ukurannya, sehingga banyak pimpinannya dalam duduk dalam DPR RI. Kecuali itu, H. Jalaluddin memang tampak suka publisitas.

Dalam konferensi yang diadakan beberapa kali itu, beliau tampak suka menghadiahkankan gelar “DR”. Bukan dalam artian sebenarnya, DR disini kepanjangan dari Doktor Rohaniyah, yaitu mursyid Tarikat. H. Jalaluddin sendiri telah diberi gelar “DR” Rohani tersebut tahun 1953 oleh anggota PPTI sendiri, dan yang mempunyai gagasan untuk itu ialah Sekjen PPTI. Maka lengkaplah nama beliau Syekh DR. H. Jalaluddin.

Terakhir setelah wafatnya di tahun 1976, para pengikutnya memberikannya gelar Profesor, dengan pertimbangan karangannya yang banyak.

Dalam bidang tulis menulis, H. Jalaluddin memang begitu piawai menuangkan pikirannya dalam kata-kata, sehingga beliau begitu produktif mengarang. Tercatat lebih dari 100 jilid yang telah ditulisnya. Namun beliau nampak serampang menerangkan kaji- kaji Tarikat. Banyak ulama-ulama, tak terkecuali dari kalangan Tarikat sendiri, menilai sebahagian buku tersebut sebagai karangan yang rada menyesatkan, terutama yang berkaitan dengan Tarikat Naqsyabandiyah. Ulama-ulama tersebut menyebutkan ada terselip kesalahan-kesalahan fatal dalamnya. Sehingga buku-buku Tarikat H. Jalaluddin menuai kecaman.

Hal ini membuat Perti, sebagai organisasi keagamaan di Minangkabau kala itu mengadakan konferensi Tarikat Naqsyabandiyah di Bukittinggi, pada tahun 1954. dalam catatannya terdapat 280 Syekh dan Ulama Tarikat yang hadir di kesempatan itu. Konferensi itu memutuskan bahwa buku-buku H. Jalaluddin yang bertali dengan Tarikat dilarang untuk dibaca orang awam. Tindakan korektif ini wajar dilakukan, sebab H. Jalaluddin diketahui tidak pernah belajar agama secara intensif layaknya ulama-ulama, dan beliau juga tidak mumpuni dalam ilmu bahasa Arab dan kitab.

Meski menuai kritikan, yang pasti buku-buku H. Jalaluddin telah memberikan pengaruh yang tidak sedikit dikalangan masyarakat, tampak H. Jalaluddin cukup berhasil membentengi kaum Tarikat lewat karangan-karangannya itu.

Diantara karangannya itu ialah:[3]

1)     Djalan Mentjari Allah

2)     Djidwal (randji) djalan mentjari Allah

3)     Do’a bahasa Indonesia

4)     Himpunan Do’a Rasulullah

5)     Pokok keamanan

6)     Wereldvrede (Perdamaian Dunia Internasional)

7)     Islam dengan Wetwnschap (6 jilid)

8)     Sjarak Mendaki, Adat Menurun

9)     Adat bersendi Sjarak, Sjarak bersendi Kitabullah

10) Berita Adat Minangkabau

11) Pokok kebahagiaan dunia akhirat

12) Munadjatullah

13) Pertahanan Tharikat Naqjabandijah (4 jilid)

14) Rahasia Mutiara Tharikat Naqsjabandijah (6 jilid)

15) Mas’alah Seribu (5 jilid)

16) Pembuka Rahasia Allah

17) Intisari Tarikat Sufijah

18) Majalah Tiga Serangkai

Diantara karangan-karangan beliau itu, ada sebanyak 2 judul yang masih tersebar dan tetap digemari hingga saat ini, yaitu Buku Seribu Satu Wasiat Terakhir Syekh Jalaluddin dan Sinar Keemasan (2 jilid). 2 buku ini terus dicetak ulang sampai saat ini. Terakhir salah satu percetakan di Surabaya, dicetak dengan lay out masa kini. Hasilnya cukup laku dipasaran.



[1] M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 329

[2] H. Jalaluddin, Majalah Sinar Keemasan no. 73-74 (th. 1964) hal. 30-31

 

[3] Majalah Sinar Keemasan (th. 1964), hal. 34-35

0 Comment