05 Februari 2016


BAB  I
PENDAHULUAN
Jika pemikiran Islam pada golongan Mu’tazilah bercorak rasionalisme murni, maka pada masa sesudahnya berubah coraknya sedemikian rupa, nash sebagai jalan untuk menundukkan agama kepada akal pikiran semata-mata tali penghubung tersebut diadakan oleh seseorang yang mula-mula terdidik atas paham mu’tazilah dan memeluk ajaran-ajarannya dan pada akhirnya ia meninggalkan ajaran tersebut dan membentuk ajaran sendiri yang terkenal dengan nama al-Asy’ariyah. Ahli pikir tersebut  ialah Abu Hasan al-Asy’ari. Ketidak pastian al-Asy’ari terhadap pendapat Mu’tazilah membuat al-Asy’ari memunculkan pendapatnya sendiri. Perbincangan tersebut berkisar seputar masalah kedudukan wahyu dan akal, permasalahan iman dan kufur, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Al-Asy’ari dianggap sebagai pendiri aliran al-Asy’ariyah telah memberikan warna dalam perjalanan pemikiran teologi yang hingga kini aliran ini masih berdiri kokoh dan tetap lestari.
            Pembahasan dalam makalah ini berkisar topik yang telah disebutkan di atas, baik dari pendapat al-Asy’ari itu sendiri maupun dari pendapat pengikut-pengikutnya (Asy’ariyah). Mudah-mudahan pembahasan ini bisa menambah perbendaharaan kita semua khususnya dibidang aliran (paham) Asy’ariyah.
BAB  II
PEMBAHASAN

A.    Awal mula adanya istilah al-Asy’ariyah
Al-Asy’ariyah adalah salah satu aliran terpenting dalam teologi Islam, disebut juga aliran “Ahlusunah waljamaah” yang berarti golongan mayoritas yang sangat setia pada al-Qur’an dan sunah Nabi SAW. Nama aliran ini dinisbahkan kepada pendirinya, Abu Hasan al-Asy’ari. Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Burdah Abi Musa al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.[1]
Di lihat dari segi silsilah keturunannya maka ternyata Abu Hasan Asy’ari itu adalah salah seorang keturunan Abu Musa al-Asy’ari inilah, seorang sahabat Rasul SAW. Dalam kajian teologi Islam, sebutan al-Asy’ari yang kemudian dikenal sebagai yang dimaksud dengan Abu Hasan, dan berkembang menjadi term al-Asy’ari.Term ini selanjutnya popular sebagai term yang mempunyai pengertian khusus sebagai suatu aliran teologi Islam dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari tersebut. Kemudian membangun idiologi baru dengan nama ahlussunnah wal jama’ah dan memperjuangkan penyelamatan islam dari tangan-tangan kotor, yang dikenal dengan nama Abu Hasan Al- Asy’ari kemudia beliau terkenal dengan aliran Asy’ariah.[2]

B.     Sejarah munculnya aliran  al-Asy’ariyah
Aliran al-Asy’ariyah timbul sebagai reaksi terhadap faham-faham Mu’tazilah yang rasional, liberal, natural, falsafi, dan sikap kekerasan mereka dalam mengembangkan ajaran-ajaran tentang kemakhlukan al-Qur’an.[3]  Menurut al-Asy’ari pemikiran Mu’tazilah banyak yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits. Di samping itu dalam penyebaran faham Mu’tazilah terjadi suatu peristiwa yang membuat lembaran hitam dalam sejarah perkembangan mu’tazilah itu sendiri. Khalifah al-Ma’mun dalam menerapkan prinsip amar ma’ruf  nahi munkar  (perintah untuk mengerjakan perbuatan baik dan larangan untuk mengerjakan perbuatan keji) melakukan pemaksaan faham Mu’tazilah kepada seluruh masyarakat Islam. Dalam pemaksaan faham-faham Mu’tazilah, banyak ulama sebagai panutan masyarakat menjadi korban penganiayaan, diantaranya Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Nuh. Mereka tetap berpegang teguh pada hadits Nabi Muhammad SAW dan tidak mau menerima logika dalam pembuktian masalah-masalah akidah. Mereka mendapat siksaan karena sikap kuat dan konsistennya dalam mempertahankan prinsip bahwa al-Qur’an itu bukanlah makhluk sebagaimana yang dianut oleh faham Mu’tazilah. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah teologi Islam dengan mihnah (ujian akidah).[4]
Ayah al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli Hadits. Ia wafat ketika al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya as-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Ibu al-Asy’ari, sepeninggalan. Ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i (w.303 H/ 915 M). Berkat didikan ayah tirinya itu, al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering menggantikan al-Juba’I dalam perdebatan menentang lawan-lawan mu’tazilah.[5] Bahkan al-Asy’ari sering mendapatkan kehormatan dari gurunya untuk mewakilinya dalam beberapa kesempatan, khususnya dalam perdebatan dengan pihak yang menentang  fahamnya. Kadang-kadang perdebatan itu juga dilakukan dengan gurunya sendiri (al-Juba’i) walaupun harus berakhir dengan ketidak puasan dan tidak mendapat penyelesaian.[6]
Al-Asy’ari menganut faham mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumuman di hadapan jamaah mesjid Basrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukkkan keburukan-keburukannya.[7] Menurut Ibnu Asakir yang dikutip oleh Rosihon Anwar dan Abdul Rozak mengatakan bahwa yang melatar belakangi al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperringatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.[8]
C.     Adapun pokok-pokok pikiran Asy’ari adalah sebagai berikut:
a.       Akal dan Wahyu
Kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban sebelum turunnya wahyu. Semua kewajiban adalah berdasarkan wahyu, tidak semuanya akal dapat menetapkan kebaikan dan keburukan. Demikian pula pemberian pahala bagi yang taat dan pemberian siksa bagi yang berbuat maksiat adalah berdasarkan wahyu, bukan akal.[9]
Islam dilandasi oleh prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang pada hakikatnya diluar jangkauan indera manusia dan tidak bisa dibuktikan secara rasional. Prinsip-prinsip ini pertama-tama mesti dipercayai berdasarkan wahyu. Jadi wahyulah yang menjadi landasan bagi reaita dan kebenaran-kebenaran doktrinal  pokok Islam.[10]

b.      Sifat Tuhan
Bagi Asy’ari Tuhan memang memiliki sifat-sifat yang kelihatannya mirip dengan manusia, tetapi hal itu jangan diartikan secara literal belaka, Tuhan bukanlah ilmu (pengetahuan) melainkan ‘Alim (yang mengetahui). Dengan kata lain, Tuhan mengetahui melalui sifat ilmu-Nya, berkehendak dengan sifat kehendak-Nya, dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut tidaklah identik dengan dza-Nya, tetapi tidak pula berbeda daripada-Nya. Sifat-sifat itu adalah ril walaupun kita tidak tahu bagaimananya.[11]

c.       Iman dan Kufur
Iman adalah bagian terpenting dari kajian tauhid, konsep iman juga menjadi polemik dan bahan perdebatan dalam pembahasan teologi Islam. Polemik dan perdebatan itu berkisar pada suatu pertanyaan, apakah iman hanya sebatas pembenaran dalam hati (tashdiq), atau harus termenifestasi ke dalam  ma’rifat (mengetahui apa yang diyakini) dan amal perbuatan. Iman adalah tasdiq yang artinya pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah SWT. Jadi tasdiq tersebut merupakan hakikat dari iman dan siapa yang mengetahui sesuatu itu benar maka ia membenarkannya di dalam hatinya. Adapun tentang penuturan lidah merupakan syarat iman tetapi tidak termasuk hakikat iman. Argument ini disandarkan dengan firman Allah SWT dalam surah an Nahl ayat 106 :
Artinya : “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa).

Seseorang yang mengucapkan kekafiran dengan lidah dalam keadaan terpaksa sedangkan hatinya tetap beriman kepada Tuhan dan Rasul- Nya maka ia tetap  dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah tersebut bukan iman tetapi amal yang berada di luar juzu’ (bagian) iman. Iman dapat bertambah dan berkurang yang terletak pada keadaan pengakuan hati  seseorang terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebab jika iman tidak berkurang dan bertambah maka ia tidak ada perbedaan iman orang yang melakukan  maksiat dengan orang yang melakukan kebaikan.[12]  

D. Tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah                                             
1.      Al-Baqilani[13]
Pokok-pokok pikiran al-Baqilani :
a.       Dalam masalah akal dan wahyu, meskipun al-Asy’ari dan al-Baqilani sepakat bahwa akal tidak dapat menentukan masalah yang berkaitan dengan pahala dan siksa, karena hal ini berhubungan dengan perintah dan larangan tuhan. Bagi al-Baqilani manusia mempunyai ikhtiar dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, fungsi akal dalam pandangannya sangat besar karena ikhtiar menunjukkan kebebasan manusia dalam menentukan perbuatannya, sehingga dengan menggunakan akal secara maksimal manusia dapat berusaha menentukan pilihan yang terbaik bagi dirinya.[14] Mengenai ketentuan baik dan buruk al-Baqilani menolak faham Mu’tazilah, perbuatan baik dan buruk menurutnya ditentukan wahyu. Perbuatan dipandang baik jika diperintahkan oleh Allah dan sebaliknya dipandang buruk jika Allah melarang melakukanya.[15]
b.      Sifat Tuhan dalam pandangan al-Baqilani tidak sama seperti al-Asy’ari karena al-Baqilani memahami bahwa sifat-sifat Tuhan bukan sebagai sesuatu yang berada di luar zat-Nya. Sifat Tuhan dalam pandangannya sama dengan sebutan nama, sehingga tidak membawa pengertian yang merusak kepada keesaan Tuhan. Jadi al-Baqilani memandang bahwa sifat Tuhan itu adalah zatnya  bukan sesuatu yang berdiri di luar zatnya.[16]
c.       Iman menurut al-Baqilani adalah tasdiq bi Allah (mengakui dan membenarkan dalam hati bahwa Allah itu ada) sebagaimana pendapat al-Asy’ari dan amal bagi al-Baqilani tetap penting karena sebab perbuatan dapat membawa kekafiran dan orang kafir amalnya sia-sia. Menurutnya sebelum mereka mengucapkn dua kalimat syahadat tetap berdosa, meskipun ia minta ampun kepada Allah. Ia hanya akan diampuni Allah setelah mengucapkan syahadat dan kebaikannya akan dihitung kembali sejak ia mengucapkan kalimat syahadat. Yang akan masuk neraka pada hari kiamat adalah orang-orang kufur terhadap Allah dan Rasul.[17]
d.      Al-Baqilani adalah orang-orang yang turut pengembangkan faham Asy’ariyah. Namun mereka tidak begitu saja menerima faham al-Asy’ari. Al-Baqilani dalam membahas ifat-sifat Tuhan dan perbuatan manusia berbeda dengan pemikiran al-Asy’ari. Bagi al-Baqilani apa yang disebut dengan sifat Tuhan bukanlah sifat melainkan hal tentang perbuatan manusi,   jika al-Asy’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Tuhan sepenuhnya (kekuasaan mutlak karena Allahsebagai pencipta), maka menurut al-Baqilani manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatan. Bagi al-Baqilani yang diwujudkan Tuhan itu adalah gerak (usaha) yang terdapat dalam diri manusia dan adapun bentuk dan sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.[18]
2.      Al-Juwaini[19]
Pokok pikiran al-Juwaini :
a.       Mengenai sifat Tuhan, al-Juwaini mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Hal ini tidak berbeda dengan pendapat al-Asy’ari.
b.      Mengenai Kalam Tuhan al-Juwaini mengatakan bahwa kalam Tuhan itu Qadim.
c.       Mengenai ayat-ayat yang mutasyabihat al-Juwaini mengatakan bahwa ayat tersebut harus dita’wilkan dan hal ini berbeda dengan pendapat al-Asy’ari.
d.      Melihat Tuhan menurut al-Juwaini sama seperti pendapat al-Asy’ari. Bahwa Tuhak kelak dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala sewaktu sudah berada di surga. Karena yang tidak dapat dilihat hanya sesuatu yang tidak berwujud dan yang mempunyai wujud mesti bias dilihat.
e.       Mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusiaal-Juwaini lebih menekankan keefektifan daya manusia.
f.       Kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak mutlak seperti al-Asy’ari.
g.      Mengenai akal dan wahyu mempunyai keseimbangan, karna syari’at mengharuskan manusia mengetahui Tuhan dan adapun cara untuk melaksanakan kewajiban itu harus dengan menggunakan penalaran akal. Hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban syari’at ditetapkan dengan kewajiban syari’at sedangkan akal hanya digunakan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut. Akal mempunyai kemampuan terbatas dan tidak mampu mengetahui adanya hal-hal gaib yang ada dibalik kewajiban itu. Dengan akal manusia bias mengetahui Tuhan dansifat Tuhan tetapi tidak sampai ke hakikatnya dan akal bisa mengetahui baik buruk secara universal saja.[20]
3.      Al-Ghazali[21]
Al-Ghazali banyak melontarkan sanggahan kepada pemikiran filosof. Adapun  yang disebut filosof disini adalah Aristoteles, Plato dan dua orang  filosof muslim yakni al-Farabi dan Ibnu Sina karena kedua filosof ini dipandang sebagai orang yang sangat bertanggung jawab  dalam menerima dan menyebar luaskan pemikiran filosof (Sokrates, Aristoteles dan Plato). Kritis pedas tesebut ia tuangkan dalam bukunya Tahafut al-Falasafat (kerancuan berfikir para filosof).[22] Diantara kesalahan berfikir yang dianggapnya fatal dan ia mengkafirkan orng yang berpendapat:
1)      Alam dan substansinya qadim.
2)      Allah tidak mengetahui yang juz’iyyah (perincian) yang terjadi di alam.
3)      Pembangkitan jasmani tidak ada.[23]
 Pokok pikiran al-Ghazali      
a.       Mengenai sifat-sifat Allah, sebagai tokoh al-Asy’ariyah al-Ghazali juga mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan mempunyai wujud diluar zat. Ia mengemukakan bahwa Allah SWT mempunyai sifat-sifat itu tidak sama dengan esensi (zat) Nya, tetapi berada diluar zat tersebut. Hal ini menurut al-Ghazali tidaklah merusak kemahaesaan Allah dan tidak akan mebawa kepada berbilangnya yang qadim (ta’adud al-Qudama), karena kemahaesaan itu dipandang dari segi esensi, bukan dari segi-segi sifat-sifat yang merupakan tambahan bagi esensi tersebut.[24]
b.      Mengenai al-Qur’an menurut pendapat al-Ghazali bersifat qadim dan tidak diciptakan. Jadi dalam masalah ini ia sependapat dengan al-Baqilani, al-Juwaini dan al-Asy’ari. Dan sangat bertentangan dengan faham Mu’tazilah yang berpendapat bahwa al-Qur’an tidak bersifat qadim, baharu dan diciptakan.[25]
c.       Mengenai perbuatan manusia al-Ghazali berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia dan daya untuk berbuat dalam diri manusia. Perbuatan manusia terjadi dengan daya Tuhan dan bukan dengan daya manusia, sungguhpun yang tersebut terakhir ini dekat hubungannya dengan perbuatan itu sendiri, namun tak dapat dikatakan bahwa manusialah yang menciptakan    perbuatannya. Manusia menurut al-Ghazali mempunyai kasb (usaha) dan ikhtiar dalam mewujudkan perbuatannya, namun daya untuk melakukan perbuatan tersebut diciptakan oleh Allah SWT. Jadi sebenarnya daya untuk berbuat bukanlah daya manusia, tetapi daya Tuhan.[26] 
d.      Mengenai Kemampuan manusia al-Ghazali tidak membantah bahwa orang yang berakal dapat sampai kepada pengenalan adanya Allah. Akan tetapi dengan akal saja ia tidak akan bisa sampai kepada pengetahuan mengenai kewajiban terhadap Allah dan bersyukur terhadapNya, yang apabila diperbuatnya ia akan mendapat pahala, dan jika tidak dikerjakan ia akan menanggung siksaan. Menurut al-Ghazali akal hanya dapat mengetahui adanya Tuhan saja, maka wahyu mempunyai kedudukan penting bagi manusia dalam mengetahui baik dan buruk serta mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya karena turunya wahyu. Dengan demikian pendapatnya sangat bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa wahyu mempunyai fungsi konfirmasi dan informasi. Jadi tidaklah selamanya wahyu menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, karena akal bagi Mu’tazilah dapat mengetahui sebagian dari yang baik dan sebahagian dari yang buruk.[27]

BAB  III
PENUTUP
Corak pemikiran al-Asy’ari sebenarnya untuk menengahi pemikiran antara Mu’tazilah yang terlalu menggunakan rasional dengan paham Jabariyah. Namun pada akhirnya pemikiran al-Asy;ari sendiri lebih cendrung kepada pemikiran Jabariyah. Al-Asy’ari lebih banyak menyandarkan alasanya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Allah yang pada akhirnya pemikirannya ini membawa kesamaan dengan pemikiran Jabariyah.
Paham al-Asy’ari kemudian disebarluaskan oleh para pengikutnya (Asy’ariyah). Diantara pengikut al-Asy’ari seperti al-Baqilani, al-Juwaini dan al-Ghazali yang bercorak pemikirannya lebih dekat dengan paham Qadariyah. Namun mereka masih tetap memegang otoritas wahyu dalam hal-hal yang bersifat kewajiban syari’at karna hal itu hanya bisa diketahui dengan wahyu. Disamping itu mereka juga tidak banyak berpegang kepada kehendak dan kebebasan mutlak Tuhan seperti halnya al-Asy’ari.

DAFTAR PUSTAKA
Rosihon Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, (Bandung : CV.Pustaka Setia,2003), h. 120

Duskiman Sa’ad, Aliran Dalam Islam: Perbedaan Pemahaman dalam Kajian Theologi Islam, (Padang, IAIN-IB Press, 2001), h. 74

Yahya Jaya, Teologi Agama Islam Klasik,( Padang : Angkasa Raya, 2000), h.76

Hamdani, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung : Griya Asri, 2010), h. 97
 A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: PT.al-Husna Zikra, 1995), h. 104

Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqilani Studi tentangPerbedaannya dan Persamaannya dengan Asy’ari, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 115

M.Abduh Hye, Terjemahan Theological Philosophical Movement, diterjemahkan oleh Karsidi Diningrat, “Aliran Asy’ariyah”, (Bandung : Nuansa Cendikia, 2004), h. 71

Bakri Dusar, Pemikiran Teologi H.Agus Salim tentang Tauhid, Takdir, dan Tawakal, (Padang : Hayfa Press, 2007), h. 63  

Nama aslinya adalah al-Qadi Abu Bakar Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’far ibn Qasim Abu Bakar al-Baqilani. Dilahirkan di Basrah tetapi tidak ada keterangan yang menjelaskan tanggal dan tahun kelahirannya. Ia hidup di masa pemerintahan Adud al-Daulat al-Bawaihi (w. 372 H), maka ia diperkirakan lahir setelah separoh kedua abad ke empat Hijriyah. Ia berdomisili di kota Baghdad. Ia pernah belajar hadits dari Abu Bakar ibn Malik al-Qati’I dan Abu Muhammmad ibn Masi dan Abu Ahmad al-Husein ibn Ali al-Naisabury. Ia juga diriwayatkan pernah belajar kepada Abu Bakar ibn Mujahid dibidang Ushul dan berguru fikih kepada AAbi Bkar al-Abhari. Al-Bagilani merupakan  pemuka al-Asy’ariyah yang mampu membungkam lawan-lawannya. Selama hidupnya al-Baqilani dikenal sebagai orang yang bermazhab Maliki. Al-Baqilani wafat pada hari sabtu, tanggal 21 Zulkaidah 403 H (6 Juni 1913 M) dan dikebumikan di Majusi dan kemudian makamnya dipindahkan ke pemakaman korban perang. Menurut Abu al-Ma’ali seperti yang dikutip oleh Ilhamuddin dikebumikan di dekat makam Imam Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal………..Ilhamuddin, Op.Cit, h.13-15
Nama lengkapnya adalah Abdul Ma’ali bin Abdillah dilahirkan di Naisapur (Iran)kemudian setelah dewasa ia pergi ke kota Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Baghdad (Irak). Namun ia pergi meninggalkan Baghdad menuju Hijaz dan tinggal di Mekkah dan kemudia  ke Madinah untuk memberikan pelajaran di sana. Karena itu ia mendapat gelar Imamul Haramain (Imam kedua tanah suci yaitu Mekkah dan Madinah). Pada masa Nizamul Mulk memegang pemerintahan ia mendirikan senkolah Nizamiah di Naisapur maka al-Juwaini dimintanya kembali ke negeri asalnya untuk member pelajaran disana. Diantara karyanya adalah al-Irsyad (tentang kewajiban manusia untuk menyelidiki menggunakan akal)……………A.Hanafi,0p.Cit, h. 138-139

Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, lahir pada tahun 450 H/1058 M di  kota Thus kota kecil di Khurasan (Iran) dan meninggal pada tahun 505 H/1111 M. Al-Ghazali semasa kecinya belajar fikih di Thus kepada imam ar-Razakani dan ketika menginjak dewasa ia menuntut ilmu ke Jurjan dan akhirnya ke Naisapur kepada al-Juwaini. Ia menguasai fiqih Syafi’I dan kalam Asy’ari. Kemudian ia pindah ke Mu’askar dan menjadi guru di Universitas Nizamiyah di Baghdadpada masa pemerintahan Bani Saljuk. Di sana namanya menjadi terkenal dan akhirnya banyak menulis seperti Ihya Ulumuddin, al-Iqtishad, fi al-I’tiqad dan lain-lain. Al-Ghazali digelari Hujjah al-Islamkarena pembelaannya yang mengagumkan kepada agama terutama dalam menyanggah aliran kebatinan dan filosof. Pada awalnya ia menjadi ahli fiqih, lalu menjadi teolog dan akhirnya beralih menjadi sufi…..Gusnar Zain, Ketuhanan Versi Teolog dan Filosof, (Jakarta: Hayfa Press, 2006), h. 58-59

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h. 159 



[1].Rosihon Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, (Bandung : CV.Pustaka Setia,2003), h. 120
[2]Duskiman Sa’ad, Aliran Dalam Islam: Perbedaan Pemahaman dalam Kajian Theologi Islam, (Padang, IAIN-IB Press, 2001), h. 74
[3] .Yahya Jaya, Teologi Agama Islam Klasik,( Padang : Angkasa Raya, 2000), h.76
[4] .Hamdani, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung : Griya Asri, 2010), h. 97
                [5] Rosihon Anwar ,Op.Cit, h. 120
[6] Duskiman Sa’ad,  Op.Cit, h.75
[7]A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: PT.al-Husna Zikra, 1995), h. 104
[8]Rosihon Anwar , Op.Cit, h. 121
[9] Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqilani Studi tentangPerbedaannya dan Persamaannya dengan Asy’ari, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 115
[10]M.Abduh Hye, Terjemahan Theological Philosophical Movement, diterjemahkan oleh Karsidi Diningrat, “Aliran Asy’ariyah”, (Bandung : Nuansa Cendikia, 2004), h. 71
[11] Duskiman Sa’ad,  Op.Cit, h. 81
[12]Bakri Dusar, Pemikiran Teologi H.Agus Salim tentang Tauhid, Takdir, dan Tawakal, (Padang : Hayfa Press, 2007), h. 63  
[13]Nama aslinya adalah al-Qadi Abu Bakar Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’far ibn Qasim Abu Bakar al-Baqilani. Dilahirkan di Basrah tetapi tidak ada keterangan yang menjelaskan tanggal dan tahun kelahirannya. Ia hidup di masa pemerintahan Adud al-Daulat al-Bawaihi (w. 372 H), maka ia diperkirakan lahir setelah separoh kedua abad ke empat Hijriyah. Ia berdomisili di kota Baghdad. Ia pernah belajar hadits dari Abu Bakar ibn Malik al-Qati’I dan Abu Muhammmad ibn Masi dan Abu Ahmad al-Husein ibn Ali al-Naisabury. Ia juga diriwayatkan pernah belajar kepada Abu Bakar ibn Mujahid dibidang Ushul dan berguru fikih kepada AAbi Bkar al-Abhari. Al-Bagilani merupakan  pemuka al-Asy’ariyah yang mampu membungkam lawan-lawannya. Selama hidupnya al-Baqilani dikenal sebagai orang yang bermazhab Maliki. Al-Baqilani wafat pada hari sabtu, tanggal 21 Zulkaidah 403 H (6 Juni 1913 M) dan dikebumikan di Majusi dan kemudian makamnya dipindahkan ke pemakaman korban perang. Menurut Abu al-Ma’ali seperti yang dikutip oleh Ilhamuddin dikebumikan di dekat makam Imam Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal………..Ilhamuddin, Op.Cit, h.13-15
[14]Ibid, h. 138
[15]Ibid, h. 115
[16]Ibid, h. 136
[17].Ibd, h. 121 a
[18]Ibid, h. 137
[19]Nama lengkapnya adalah Abdul Ma’ali bin Abdillah dilahirkan di Naisapur (Iran)kemudian setelah dewasa ia pergi ke kota Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Baghdad (Irak). Namun ia pergi meninggalkan Baghdad menuju Hijaz dan tinggal di Mekkah dan kemudia  ke Madinah untuk memberikan pelajaran di sana. Karena itu ia mendapat gelar Imamul Haramain (Imam kedua tanah suci yaitu Mekkah dan Madinah). Pada masa Nizamul Mulk memegang pemerintahan ia mendirikan senkolah Nizamiah di Naisapur maka al-Juwaini dimintanya kembali ke negeri asalnya untuk member pelajaran disana. Diantara karyanya adalah al-Irsyad (tentang kewajiban manusia untuk menyelidiki menggunakan akal)……………A.Hanafi,0p.Cit, h. 138-139
[20]Ibid, h. 164
[21]Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, lahir pada tahun 450 H/1058 M di  kota Thus kota kecil di Khurasan (Iran) dan meninggal pada tahun 505 H/1111 M. Al-Ghazali semasa kecinya belajar fikih di Thus kepada imam ar-Razakani dan ketika menginjak dewasa ia menuntut ilmu ke Jurjan dan akhirnya ke Naisapur kepada al-Juwaini. Ia menguasai fiqih Syafi’I dan kalam Asy’ari. Kemudian ia pindah ke Mu’askar dan menjadi guru di Universitas Nizamiyah di Baghdadpada masa pemerintahan Bani Saljuk. Di sana namanya menjadi terkenal dan akhirnya banyak menulis seperti Ihya Ulumuddin, al-Iqtishad, fi al-I’tiqad dan lain-lain. Al-Ghazali digelari Hujjah al-Islamkarena pembelaannya yang mengagumkan kepada agama terutama dalam menyanggah aliran kebatinan dan filosof. Pada awalnya ia menjadi ahli fiqih, lalu menjadi teolog dan akhirnya beralih menjadi sufi…..Gusnar Zain, Ketuhanan Versi Teolog dan Filosof, (Jakarta: Hayfa Press, 2006), h. 58-59
[22]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h. 159 
[23]Ibid, h. 163
[24]Duskiman Sa’ad, Op.Cit, h. 112
[25]Ibid, h. 113
[26]Ibid, h. 113
[27]Ibid, h. 114

0 Comment