05 Februari 2016


PENDAHULUAN
Problematika teologis di kalangan umat Islam muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661M) yang ditandai dengan munculnya kelompok dari pendukung Ali yang memisahkan diri mereka karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima Tahkim dalam menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin abi Sofyan pada waktu perang Shiffin. Kelompok ini selanjutnya dikenal dengan Kelompok Khawarij. Lahirnya Kelompok Khawarij ini menjadi dasar kemunculan kelompok baru  yang dikenal dengan nama Murji’ah. Lahirnya Aliran teologi ini mengawali kemunculan berbagai Aliran-Aliran teologi di dunia islam. Pada masa-masa selanjutnya wilayah Islam telah berkembang ke timur dan kebarat. Meluasnya wilayah Islam mempunyai akibat yang berarti bagi perkembangan pemikiran umat Islam. Umat Islam mulai bersentuhan dengan keyakinan-keyakinan dan pemikiran-pemikiran dan ajaran-ajaran lain, terutama dengan filsafat Yunani. Prinsip-prinsip dasar dari pemikira Yunanilah yang mempengaruhi corak pemikiran rasional di kalangan umat islam. Di samping itu dikalangan umat islam itu sendiri, terutama masyarakat Arab lebih cendrung memakai cara-cara tradisional dari segi pemikiran.
Dengan demikian, disamping corak pemikiran tradisional, corak pemikiran rasional dan liberal juga telah berkembang di dunia Islam. Kedua bentuk pemikiran itu dikenal dengan paham Jabariayah dan paham Qadariah.
Perbedaan nyata antara bentuk paham Jabariyah dan paham Qadariah terlihat nyata ketika menjawab pertanyaan: sampai dimanakah manusia bergantung pada kehendak mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Atau manusia terikat seluruhnya dengan kehendak mutlak Tuhan?.


JABARIYAH DAN QADARIYAH
Oleh: Zilfaroni
A.      Aliran Jabariayah
1.      Sejarah munculnya Aliran Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata جَبَرَ yang mengandung arti “memaksa” atau  جَبَرٌ yang mengandung arti “terpaksa”.[1] Dikatakan demikian, karena segala sesuatu yang terjadi bukanlah atas kehendak manusia itu sendiri, akan tetapi perbuatan itu terjadi atau terlaksana adalah atas kekuasaan Allah semata. Seumpama terbit dan terbenamnya matahari, pahala dan siksa. Dalam hal ini manusia bagaikan kapas, kemana angin bertiup kesanalah kapas pergi. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa Allah akan memperbuat sesuatu adalah atas kehendak, karena kekuasaan dan kemutlakan-NYA dalam berbuat.[2]
Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam, mereka kelihatannya lebih dipengaruhi oleh paham fatalis[3]. Bangsa Arab pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir yang tandus dan gersang. Mereka tidak banyak melihat jalan untuk merubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa lemah dan tak kuasa menghadapi berbagai kekerasan dan kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka banyak bergantung pada kehendak alam.[4]
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah ada perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Rasulullah SAW, menyuruh umat Islam beriman kepada taqdir, tetapi beliau mencegah mereka membicarakannya secara mendalam. Pada masa sahabat (Khulafa’ al-Rasyidin) kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah.[5] Diceritakan dalam suatu riwayat yang masyhur bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah bertanya kepada seorang pencuri yang dihadapkan kepadanya: “Mengapa kamu mencuri?” Lalu ia menjawab:”Allah telah menetapkan perbuatan tersebut atas saya sejak azali”. Riwayat ini menunjukkan bahwa masalah qadha dan qadar merupakan masalah yang pertama dipersoalkan Khalifah Umar bin Khattab menghukum pencuri itu karena menafsirkan perbuatannya itu dengan pemahaman yang salah, sehingga dia berani menisbahkan kepada Allah perbuatan mencuri yang dilakukan.[6]
Pada masa pemerintahan bani Umayah, pandangan tentang Jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas dengan suratnya, memberi reaksi keras  kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan oleh Hasan Basri kepada penduduk Basrah. Ini menunjukkan bahwa sebagai suatu pola pikir (Mazhab) yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani Umayah.[7]
Paham Jabariyah pertama kali dikembangkan oleh al-Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Safwam yang menyebarkannya sehingga memperoleh pengikut yang banyak. Adapun ajaran Jabariyah ini juga dikenal dengan mazhab Jahamiyah, paham ini jelas didasarkan pada kuasa Allah yang mutlak meliputi segala sesuatu.[8] Di samping dua tokoh utama ini, ada lagi tokoh lain yang cukup dikenal dari kalangan Jabariyah yaitu al-Husein bin Mahmun al-Najjar dan Dhirar bin Amr yang menganut paham Jabariyah moderat, sedangkan al-Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Safwam menganut paham Jabariyah ekstrem.[9]
2.      Pemikiran dan Ajaran Aliran Jabariyah
a.      Pemikiran Aliran Jabariyah
Jabariyah menganut paham bahwa hidup manusia itu sudah ditentukan oleh Allah. Segala gerak-geriknya ditentukan oleh Allah, manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya perbuatan-perbuatan diciptakan tuhan dalam dirinya.[10] Paham Jabariyah dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Jabariyah ekstrim  dan Jabariyah moderat.
a1.   Jabariyah ekstrim
Golongan ini memahami manusia tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi terikat kepada kehendak mutlak Tuhan. Perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tak obahnya dengan gerakan yang diciptakan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu manusia dikatakan “berbuat” bukan dalam arti sebenarnya, melainkan dalam arti majazi atau kiasan, tak obahnya sebagaimana disebut air mengalir, batu bergerak, matahari terbit, dan sebagainya. Segala perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya, termasuk di dalam perbuatan-perbuatan seperti mengerjakan kewajiban, menerima pahala, dan siksa. Singkatnya, manusia tidaklah punya andil dalam perbuatannya. Manusia tidak obahnya bagaikan wayang yang dikendalikan oleh dalangnya.[11] 
b1.  Jabariyah moderat
Golongan ini memahami bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek  untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan.[12]
b.      Ajaran Aliran Jabariyah
Faham Jabariyah ini terpecah menjadi 3 firqah besar yaitu : Aliran Jahmiyah, yang dipimpin oleh Jaham bin Safwan, Aliran Najjariyah, yang dipimpin oleh Husein bin Muhammad an Najjar, Aliran Dlirariyah, yang dipimpin oleh Dlirar bin Umar.[13] Ketiga firqah ini memiliki ajaran-ajarannya masing.
a1. Aliran Jahmiyah
1)   Penggunaan Takwil. Artinya, Allah tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk. Dan karena itu ia menakwilkan sifat-sifat Allah yang ada persamaannya dengan sifat-sifat manusia. Akibatnya dia tidak mengakui Alquran sebagai kalam Allah yang qadim, karena yang qadim itu hanya Allah saja. Jadi Alquran itu makhluk.
2)   Surga dan neraka tidak kekal. Akan datang suatu masa yang padanya  surga dan neraka akan fana dengan segala isinya dan yang tinggal kekal hanya Allah saja. Selain dari Allah, semuanya akan binasa. Kata khulud  (خلود) yang disebut dalam firman Allah (dalam surat al-Bayyinah/98:6 dan 8) untuk segala isi surga dan neraka ditakwilkan dengan makna “lama tinggal” (طول المدّة) bukan dengan arti “selama-lamanya” (دوام).
3)   Iman. Menurut pendapat Jaham bin Safwam, iman itu adalah ma’rifah atau pengakuan hati saja akan wujud Allah dan kerasulan Nabi Muhammad. Ucapan dengan lisan akan dua kalimah syahadat dan pengamalan dengan anggota badan akan ajaran Islam seperti shalat, puasa, dan sebagainya bukan daripada iman
4)   Ma’rifah iman itu wajib berdasarkan akal sebelum turunnya wahyu atau kedatangan Rasul. Pendapat ini juga terdapat kemudian dalam Mazhab Mu’tazilah. Setiap orang yang membela kebenaran Islam terhadap kepercayaan yang lain dan juga bagi orang yang menakwilkan ayat-ayat Alquran, maka wajib atasnya berpegang kepada kaidah-kaidah akal.[14]
b1.                         Aliran Najjariyah
1)   Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2)   Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.[15]
c1.Aliran Dhirariyah
1)   Manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya.
2)   Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam.
3)   Hujjah yang dapat diterima setelah wafat Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[16]
c.       Dasar Al-Qur’an yang sejajar dengan pemahaman aliran jabariyah
a1.Dalam surat al-Saffat ayat 96
ª!$#ur                 ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ  
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
b1.                        Dalam surat al-Insan ayat 30:

$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”.
c1.Dalam surat al-An’am ayat 122:
`tBurr& tb%x. $\GøŠtB çm»oY÷uŠômr'sù $oYù=yèy_ur ¼çms9 #YqçR ÓÅ´ôJtƒ ¾ÏmÎ/ Îû Ĩ$¨Y9$# `yJx.
 ¼ã&é#sW¨B Îû ÏM»yJè=à9$# }§øŠs9 8lÍ$sƒ¿2 $pk÷]ÏiB 4 šÏ9ºxx. z`Îiƒã tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 $tB (#qçR%x.
 šcqè=yJ÷ètƒ ÇÊËËÈ  
“Dan Apakah orang yang sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan”
d1.                        Dalam surat al-Hadid ayat 22:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
e1.Dalam surat al-Anfal ayat 17:
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”[17]

B.       Aliran Qadariyah

1.      Sejarah munculnya Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu kata qadara (قدر) yang artinya kemampuan (استطاع) dan kekuatan (قوي).[18] Nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kemampuan untuk melakukan kehendaknya, Dalam istilah Inggrisnya, paham ini dikenal dengan nama free will dan free act (manusia bebas berkeinginan dan berkehendak).[19]
Golongan Qadariyah pertama kali muncul kira-kira pada tahun 70 H-689 M di Irak pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang hidup antara tahun 685–705 M. Kelompok Qadariyah ini dimotori oleh Ma’bad bin Juhani al-Bisry (w. 699 M) dan Al-Ja’du bin Dirham.[20]  Pada awal munculnya kelompok Qadariyah ini diduga sebagai protes atas kezaliman politik Bani Umayah. Qadariyah sangat bertolak belakang dengan paham kelompok Jabariyah. Jabariyah mempunyai kepercayaan bahwa segala sesuatu tentang manusia sudah terkait dengan ketentuan Allah, sementara Qadariyah mengatakan bahwa manusia tidak selamanya terkait pada ketentuan Allah semata, tetapi harus disertai dengan upaya dan usaha untuk menentukan nasibnya.  Aliran Qadariyah termasuk yang cukup cepat berkembang dan mendapat dukungan cukup luas di kalangan masyarakat. [21]
Ma’bad al-Juhaini menyebarkan pahamnya di Irak, sedang Ghailan menyebarkannya di Damaskus. Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad maupun temannya Ghailan mengambil paham itu dari seorang Kristen yang masuk Islam dan murtad kembali. Ma’bad sendiri adalah seorang tabi’I yang jujur. Akan tetapi, ia memasuki lapangan politik dan memihak kepada Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as dalam menentang kekuasaan bani Umayah. Dalam pertempuran dengan Hujjad, Ma’bad mati terbunuh pada tahun 80 H/699 M.
Sepeninggal Ma’bad, Ghailan terus menyebarkan pahamnya di Damaskus. Akan tetapi ia mendapat tantangan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Setelah Umar wafat, Ghailan terus menyebarkan pahamnya, sehingga akhirnya ia mati dihukum bunuh oleh Hisyam bin Abdul Malik.[22]
Sejak terbunuhnya tokoh-tokoh Qadariyah, bukan berarti aliran Qadariyah ikut terkubur bersama tokohnya. Meskipun dari kalangan minoritas, paham Qadariyah dihidupkan terus oleh kelompok Mu’tazilah dan dibangkitkan kembali oleh kalangan para pembaru Islam di zaman modern.

2.      Pemikiran dan Ajaran Aliran Qadariyah
a.      Pemikiran Aliran Qadariyah
Qadariyah juga melahirkan pemikiran tentang perbuatan manusia. Qadariyah menganut paham kebebasan manusia dalam berbuat.[23]Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.[24] Paham ini tampaknya lebih mendorong kemajuan bagi manusia, meningkatkan rasa tanggung jawab, dan menumbuhkan prasangka baik kepada Tuhan.[25]
Kelompok Qadariyah juga percaya kepada taqdir. Akan tetapi taqdir bagi mereka bukanlah bermakna “nasib” melainkan bermakna kemampuan, kekuatan, atau kekuasaan. Faham takdir dalam pandangan Qadariyah adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah Al-qur’an adalah sunatullah[26],  yaitu hukum-hukum Tuhan yang diciptakan-NYA, dan hukum-hukum itu berlaku untuk alam semesta beserta isinya. Alam semesta beserta segala isinya tentulah berjalan menurut sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah. Sunnatullah menunjukkan perjalanan sebab akibat. Manusia mampu mengetahui dan membuat rencana untuk melaksanakan pilihan dalam hidupnya. Bahkan manusia harus mampu menguak rahasia sunnatullah yang amat banyak dan rumit itu. Apalagi sesuai dengan yang dinyatakan oleh Allah sendiri bahwa sunnatullah itu tidaklah akan pernah berubah.[27]

b.      Ajaran Aliran Qadariyah
Di antara cirr-ciri paham Qadariyah adalah sebagai berikut.      
a1.Manusia berkuasa penuh untuk menentukan nasib dan perbuatannya, maka perbuatan dan nasib manusia itu dilakukan dan terjadi atas kehendak dirinya sendiri, tanpa ada campur tangan Allah SWT.           
b1.                        Iman adalah ma’rifah serta mengetahui dengan lisan adanya Allah dan Rasul-NYA, yakni dengan hati dan lisan saja. Sedangkan amalan itu bukan bagian dari iman. Amalan menduduki tempat kedua setelah iman. Artinya, apabila seseorang yang telah menyatakan imannya dengan pengakuan hati dan ucapan lisan, maka dia tidak lagi dituntut sesudahnya untuk beramal.[28]     
c1.Orang yang sudah beriman tidak perlu tergesa-gesa menjalankan ibadah dan amal-amal kebajikan lainnya.[29]
Adapun pokok-pokok ajaran Qadariyah Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, adalah sebagai berikut:[30]
                                      a1.     Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlah mukmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal.
                                      b1.     Allah SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang menciptakannya dan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa karena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
                                      c1.     Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan melihat dengan zatnya sendiri.
                                      d1.    Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk. 

c.       Dasar Al-Qur’an yang sejajar dengan pemahaman aliran Qadariyah
a1.Dalam surat al-Ra’ad Ayat 11:

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”

b1. Dalam Surat al-Kahfi ayat 29:


“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”
c1.Dalam surat Ali Imran ayat 165:

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.”

d1.                        Dalam surat Fushilat ayat 40:

“{Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari kami. Maka Apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”[31]



PENUTUP

A.  Kesimpulan
Jabariyah adalah paham yang menganut bahwa hidup manusia ditentukan oleh Allah dan manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatan adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya perbuatan-perbuatan diciptakan tuhan dalam dirinya.
Sedangkan Qadariyah adalah paham yang menganut bahwa manusia mempunyai qudrah atau kemampuan untuk melakukan kehendaknya. Dalam istilah Inggrisnya, paham ini dikenal dengan nama free will dan free act. Kelompok Qadariyah juga percaya kepada taqdir. Akan tetapi taqdir bagi mereka bukanlah bermakna “nasib” melainkan bermakna kemampuan, kekuatan, atau kekuasaan.
Dua kutub akidah ini bukan lah sesuatu hal yang harus di pertentangkan tapi bisa di jadikan sebuah formula dalam menjalani kehidupan. Kita harus meyakini bahwa kita tak punya daya tak punya kekuatan kecuali dengan allah, sedangkan Allah menyuruh kita untuk berusaha, ini menjadi  tugas yg di perintahkan allah pada manusia di permukaan bumi.

B.  Saran
 Diminta kritik dan saran dari para pembaca terhadap kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam makalah ini demi kesempurnaan. Semoga makalah ini bisa menjadi bahan rujukan para pembaca.






DAFTAR PUSTAKA
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984), h. 164
Bakri Dusar, Tauhid dan Ilmu Kalam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), h. 59-60
Paham fatalis adalah suatu paham yang menganut bahwa segala sesuatu terjadi menurut nasib yang tidak dapat ditawar-tawar lagi (pasrah). Manusia tidaklah memiliki andil dalam perbuatannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
Alkhendra, Pemikiran Kalam, (Bandung: Alfabeta, 2000), h. 42
Duskiman Sa’ad, Aliran dalam Islam: Perbedaan Pemahaman terhadap Kajian Teologi Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), h. 38
Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1997), h. 20
Muslim Munaf, Tauhid Ilmu Kalam, (Padang: IAIN-IB Press, 1999), h. 150
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: (CV Pustaka Setia, 2007), h. 160
http://jowo.jw.lt/pustaka/buku/Islam/Perpecahan.com
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Karya Insan Indonesia, 2004)
http://www.Aliran-Aliran dalam Ilmu Kalam.com



[1] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984), h. 164
[2] Bakri Dusar, Tauhid dan Ilmu Kalam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), h. 59-60
[3] Paham fatalis adalah suatu paham yang menganut bahwa segala sesuatu terjadi menurut nasib yang tidak dapat ditawar-tawar lagi (pasrah). Manusia tidaklah memiliki andil dalam perbuatannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
[4] Alkhendra, Pemikiran Kalam, (Bandung: Alfabeta, 2000), h. 42
[5] Duskiman Sa’ad, Aliran dalam Islam: Perbedaan Pemahaman terhadap Kajian Teologi Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), h. 38
[6] Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1997), h. 20
[7] Duskiman Sa’ad, Op. Cit, h. 38-39
[8] Ahmad Daudy, Op. Cit, h. 21
[9] Alkhendra, Op. Cit, h. 46
[10] Muslim Munaf, Tauhid Ilmu Kalam, (Padang: IAIN-IB Press, 1999), h. 150
[11] Alkhendra, Op. Cit, h. 47
[12] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: (CV Pustaka Setia, 2007), h. 160
[13] http://jowo.jw.lt/pustaka/buku/Islam/Perpecahan.com
[14]  Ahmad Daudy, Op. Cit, h. 23-24
[15]  Duskiman Sa’ad, Op. Cit, h. 42
[17]  Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Karya Insan Indonesia, 2004)
[18] A.W. Munawwir, Op. Cit, h. 1095
[19]  Alkhendra, Op. Cit, h. 41
[20] Bakri Dusar, Op. Cit, h. 61
[22] Duskiman Sa’ad, Op. Cit, h. 45-46
[23] Ahmad Daudy, Op. Cit, h. 27
[24] Rosihon Anwar dan Abdul Razak, Op. Cit, h. 161
[25] Duskiman Sa’ad, Op. Cit, h. 44
[27] Alkhendra, Op. Cit, h. 44
[28] Ahmad Daudy, Op. Cit, h. 25-26
[30] http://www.Aliran-Aliran dalam Ilmu Kalam.com

[31] Departemen Agama RI, Op. Cit

0 Comment