05 Februari 2016

BAB I
PENDAHULUAN
Setelah terbunuhnya khlifah Utsman bin Affan, kepemimpinan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Dalam pengankatan itu telah terjadi pro dan kontra dilangan Islam, ditambah lagi Ali tidak menuntaskan permasalahan keamatian Ustman. Pada masa Ali ini terjadi bentrok senjata antara sesama kaum muslim, sampai puncaknya pada tahun ke-37 H ketika terjadi perperangan Shiffin antara kelompok Ali dengan Kelompok Mu’awiyah. Dalam perperangan tersebut Mu’awiyah terdesak lalu mereka mengusulkan untuk melakukan Tahkim. Masing-masing kelompok mengutus seorang degelasi, kelompok Ali mempercayakan kepada Abu Musa al-Asy’ri dan Mu’awiyah mengutus Amr bin Ash. Dalam Tahkim tersebut Mu’awiyah berhasil menerapkan siasat politiknya (tipu muslihat) dengan menggulingkan Ali dari kedudukannya sebagai Khalifah dan Menobatkan Mu’awiyah sebagai penggantinya.
Keputusan Tahkim itu mengakibatkan sebagian pengikut Ali memalingkan diri dari kelompok Ali yang dikenal dengan Khawarij[1]. Khawarij menilai semua mereka khafir karena telah melakukan dosa besar. Masalah khafir mengkhafirkan ini semakin marak waktu itu sehingga secara tidak langsung mucul satu kelompok yang tidak mau menganggap para sahabat khafir. Mereka menilai bahwa selagi seseorang beriman tidak pantas dianggap khafir. Masalah mereka melakukan dosa besar, terserah kepada Allah di akhirat, apakah akan menghukumnya atau memaafkannya. Inilah kelompok yang tersohor dengan Murji’ah [2].
Pada makalah ini penulis membahas kedua aliran tersebut yang dibatasi dalam ruang lingkup pengertian, ajaran pokok serta sekte-sekte yang muncul dalam kedua aliran itu. Penulis sudah berupaya semampunya untuk memaparkan dan menuangkan informasi serta mencurahkan pendapat dalam makalah ini, namun sebagai manusia yang tidak terhindar dari kekurangan maka penulis mohon kritikan dan kontibusi pemikirian yang bersifat konstruktif dari peserta dan bimbingan serta arahan dari dosen pembimbing.

BAB II
PEMBAHASAN
KHAWARIJ DAN MURJI’AH
A.    Khawarij
1.      Pengertaian dan Latar Belakang Mucul
Khawarij merupakan bentuk plural dari kata kharij yang berasal dari kata kharaja, yang berarti keluar. Khawarij secara etimologi berarti orang yang keluar, sedangkan menurut terminologi berarti orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib karena tidak setuju dengan Tahkim (Arbitrase) sebagai cara penyelesaian benturuan politik antara Ali dan Mu’awiyah. Khawarij menjadi kelompok oposisi, tidak memihak kepada Ali dan  tidak pula bergabung kepada Mu’awiyah.[3]
Al-Syahrastani mendefenisikan khawarij dengan defenisi yang lebih umum, yaitu seluruh orang yang keluar dari pemimpin yang besar yang telah disepakati oleh masyarakat, baik  keluar pada masa Al-Khalifah Al-Rasyidi, pada masa sahabat, masa Thabi’in maupun pemimpin pada seluruh zaman[4]. Selain nama khawarij, juga digunakan nama al-Mariqah karena mereka dianggap telah keluar dari agama yang benar sebagai mana anak panah keluar dari busurnya. Penamaan ini diberikan oleh kelompok yang menjadi rival khawarij. Selanjutnya al-Haruriyah juga diberikan kepada kelompok ini, karena memisahkan diri dari kelompok Ali, mereka menetapkan pimpinan baru di Harura, suatu desa yang terletak di dekat kota Khufah di Irak.[5]
Khawarij sendiri menyebut diri mereka dengan al-Syurah, artinya orang yang mengorbankan diri mereka untuk mencari keridha-an Allah. Ungkapan ini mereka landaskan dengan firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 207:
šÆÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB ̍ô±o çm|¡øÿtR uä!$tóÏGö/$# ÉV$|ÊósD «!$# 3 ª!$#ur 8$râäu ÏŠ$t6Ïèø9$$Î/ 
Artinya: Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba Nya.

Mereka beranggapan bahwa mereka adalah orang yang bersedia mengorbankan diri untuk Allah.[6]
Menurut Analisa penulis penamaan kelompok ini bisa beraneka rangam disebabkan ada sudut pandang dalam pemberian nama yang berbeda. Manyoritas umat Islam menamakan mereka khawarij, karena mereka telah dipandang keluar dari kelompok Ali dan Mu’awiyah kemudian mendirikan kelompok baru. Khawarij sendiri menamakan kelompok mereka dengan al-Syura karena mereka memandang diri mereka bersedia menjual dan mengorbankan diri demi mencari keridhoan Allah, sedangkan penamaan al-Muriqah diberikan oleh rivalnya karena ajaran mereka dinilai sudah keluar dari ajaran agama Islam. Kalau kita perhatikan semua penamaan kelompok ini, maka yang paling terkenal adalah Khawarij.
Latar balakang munculnya Aliran Khawarij di kalangan tentata Ali ketika peperangan memuncak antara pasukan Ali dan pasukan Mu’awiyah. Ketika mereka terdesak oleh pasukan Ali, Mu’awiyah merencanakan untuk mundur, tetapi kemudian terbentuk dengan muculnya pemikiran untuk melakukan Tahkim.[7]
Peperangan ini erat kaitannya dengan dilema pelantikan atau mengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Seperti diketahui bahwa dalam pengangkatan Ali sebagai khalifah tidaklah semulus pengangkatan tiga khalifah sebelumnya, yaitu Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, tetapi mendapat tentangan dari berbagai pihak. Pihak-pihak yang menentang itu, yang termashur di antaranya, datang dari kelompok Thalhah (bersama Zubeir dan Aisyah) dan Mu’awiyah. Tantangan dari Thalhah dengan cepat dapat dapat diatasi oleh Ali tanpa berbuntut panjang. Thalhah dan Zubeir mati terbunuh, sedangkan Aisyah sendiri berhasil ditawan dan dipulangkan kembali ke Mekah. Sebaliknya, tantangan dari Mu’awiyah, sekalipun dapat diatasi dengan cepat pula oleh Ali melalui pertempuran di Shiffin, namun ternyata mendatangkan buntut panjang dan serius. Pertempuran antara Ali dengan Muawiyah tidak habis di Shiffin saja, tetapi berlanjut pada proses Tahkim yang kontroversial, atau lebih dikenal dengan peristiwa Arbitrase. Proses arbitrase yang kontrovesial inilah yang memicu munculnya kelompok Khawarij, yaitu kelompok umat Islam yang keluar dari barisan Ali yang kecewa dengan keputusan sidang.[8]
Pendapat lain mengatakan, Ali memutuskan untuk menerima keputusan Tahkim dari Mu’awiyah karena dipaksakan oleh kelompok orang yang keluar dan memaksa Ali untuk menerima Tahkim. Kedua belah pihak sepakat untuk mengangkat seorang hakam dari masing-masing. Mu’awiyah memilih ‘Amr bin al-‘Ash. Sementara itu, Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah bin Abbas, tetapi atas desakan pasukannya yang keluar itu, akhirnya mengangkat Abu Musa al-‘Asy’ari. Upaya Tahkim akhirnya berakhir dengan suatu keputusan, yaitu menurunkan Ali dari jabantan khalifah dan mengukuhkan Mu’awiyah menjadi penggantinya. Hasil Tahkim lebih menguntungan bagi pemberontak yang dipimpin oleh Mu’awiyah. Anehnya, kelompok yang semula memaksakan Ali untuk menerima Tahkim dan menujuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka itu, belakangan memandang Tahkim sebagai kejahatan yang besar. Kemudian mereka menuntut Ali agar segera bertaubat karena dipadang telah berbuat dosa besar. Menurut mereka, Ali yang menyetujui untuk ber-tahkim berarti telah menjadi kafir, sebagaimana mereka juga telah menjadi kafir, tetapi kemudian bertaubat. Pandangan kelomok ini kemudian diikuti oleh orang-orang arab pegunungan. Semboyan mereka yang terkenal adalah, “tidak ada hukum kecuali hukum Allah”. Mereka kemudian memerangi Ali, setelah terlibat dahulu berdiolog dengan Ali, kemudian mengukuhkan pendapatnya.[9]
2.      Ciri-Ciri Perdebatan Khawarij
Di dalam perdebatan dan ucapan merka terdapat ciri-ciri sebagai berikut:[10]
a.       Fasih dan lancer berbicara, serta menguasai metode. Mereka adalah orang-orang yang tepat, tidak getar menghadapi lawan dan tidak terhalang oleh pikiran yang sempit.
b.      Kelompok ini berusaha mempelajari al-Qur’an dan Sunnah, serta memahami hadits dan tradisi Arab dengan tekun, penjelasan yang terang dan semangat yang tinggi.
c.       Mereka menyenangi perbedaan dan diskusi tentang sya’ir dan ungkapan-ungkapan Arab. Mereka suka berdiskusi dengan lawan walaupun dalam masa perang.
d.      Perdebatan mereka diliputi fanatismi. Penganut paham khawarij tidak akan menerima dan mengakui pendapat lawan debat mereka walaupun pendapat tidak dekat kepada kebenaran atau kebenaran yang terkandung di dalamnya sangat jelas. Sebaliknya, kuatnya argumentasi yang dikemukakan lawan mereka semakin memantakan keyakinan yang mereka anut, karena mereka akan berusaha mencari dalil yang dapat mendukung pendapat mereka. Hal itu terjadi karena pemikiran aliran khawarij yang menyipang itu sudah menguasai jiwa, hati, alur berpikir, dan seluruh benak mereka. Disamping itu mereka sangat senang bermusuhan, sesuai dengan watak pengunungan mereka
e.       Kaum khawarij senantiasa berpengang pada makna lahir al-Qur’an tanpa mau mengkaji maksut, tujuan dan kontes nash. Kapan pun menemukan makna lahir nash, mereka akan berhenti disitu tanpa mau bergerak sedikitpun. Dengan menggunakan makna lahir nash, mereka menolak tuduhan kejahatan yang mereka lalukan.
3.      Ajaran Pokok Khawarij
Golongan khawarij mucul karena masalah politik, namun dalam perkembangan berikutnya mereka banyak membicarakan masalah theologi, sehingga mereka tergolong ke dalam suatu aliran dalam ilmu kalam. Sekalipun khawarij sudah terbagi menjadi beberapa sekte dan mempunyai dokrin yang berbeda. Dalam berbagai referensi ajaran-ajaran pokok aliran khawarij berkisar mengenai soal-soal khalifah (politik ketatanegaraan), dosa besar, khafir dan amal perbuatan umat Islam.[11]
a.       Khalifah atau kepala pemerintahan umat Islam, tidak mesti orang yang berasal dari suku Quraisy, dapat dipilih siapa saja dari umat Islam yang mampu dan sanggup berlaku adil, jika tidak mampu wajib dijatuhkan. Selain itu khalifah tidak bersifat turun temurun. Seperti yang ditulis Harun Nasution, kaum khawarij memang mempunyai pendapat yang berlainan dengan pendapat yang dianut pada masa itu yaitu khlifah haruslah berasal dari kalangan Quraisy. Pendapat ini kemudian menjadi teori ketatanegaraan yang dianut oleh ahli sunnah. Ahmad Amin juga menemukakan hal yang sama, bahwa posisi khalifah itu bukan hanya hak khusus suku Quraisy, semua umat Islam mempunyai peluang untuk itu.
b.      Orang Islam yang membuat dosa besar, menjadi khafir. Dosa besar yang dimaksud kaum khawarij yaitu orang yang ber-tahkim tidak dengan al-Qur’an, tak sepaham dengan mereka, berzina, memakan hak anak yatim dan lain-lain
c.       Untuk menentukan khafir atau tidaknya seorang Islam terletak pada amal perbuatannya. Menurut kaum khawarij, sungguhpun seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi kemudaian melanggar ketentuan agama, maka orang seperti itu tetap dihukum khafir. Hal itu sejalan dengan apa yang ditulis Ahmad Amin, bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad itu adalah utusan-Nya kemudian orang yang itu tidak mengamalkan ketentuan-ketentuan agama, maka orang tersebut bagi mereka telah menjadi khafir.
4.      Sekte-Sekte Aliran Khawarij
Sekte dalam aliran khawarij antara lain:
a.       Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah adalah mereka yang keluar dari barisan Ali ketika berlangsung peristiwa tahkim (albitrase) dan kemudian berkumpul disuatu temapat yang bernama Harura, bagian dari negeri Kufah. Pempinan mereka diantaranya Abdullah bin al-Kawa, Kutab bin al-‘Awar, Abdillah bin Wahab, al-Rasiby. Al-Muhakkimah adalah khawarij yang pertama berdiri dari pengikut-pengikut Ali, merekalah yang berpendapat bahwa Ali, Mu’awiyah, kedua pengantra yang menjadi hakim pada peristiwa tahkim, serta semua orang yang menyetujui tahkim sebagai orang-orang yang bersalah dan menjadi khafir.[12] Al-Muhakkimah sendiri dimaksurkan untuk prinsip dan golongan mereka yang berhukum dengan hukum  Allah, “la hukma illa Allah”. [13]
b.      Al-Zariqah
Al-Zariqah merupakan sekte terbesar kedua setelah al-Muhakkimah. Nama sekte ini diambil dari pimpinan terpilih mereka, yaitu Naïf bin al-Azraq. Mereka berdomisili di perbatasan Irak dan Iran. Paham-paham mereka lebih radikal atau estrem ketimbang al-muhakkimah.[14]
Prinsip yang membedakan al-Zariqah dari aliran khawarij lainnya adalah:[15]
1)      Mereka memandang orang yang berda pendapat dengan mereka tidak hanya bukan mukmin, tetapi juga musyrik, kekal di neraka serta hal diperangi dan dibunuh.
2)      Di wilayah perang dibebarkan melakukan tindakan apapun yang dibolehkan dalam perperangan melawan orang khafir, baik merampas harta, menahan anak-anak dan para wanita, memperbudak musuh yang tertangkap, serta boleh membunuh mereka yang tidak mau turut berperang.
3)      Mereka juga berpendapat bahwa anak-anak dari orang yang berbeda paham dengan al-Zariqah adalah kekal di nereka.
4)      Dalam bidang fiqh, mereka tidak mengaku adanya hukum rajam.
5)      Hukuman dera bagi pelaku zina hanya diberlakukan pada orang yang menuduh bahwa wanita terpelihara (muhsham) telah zina.
6)      Mereka juga berpendapat bahwa para nabi bisa saja melakukan dosa besar dan kecil 
c.       Al-Najdah
Sekte ini dinamakan al-Najdah karena dinisbatkan kepada pimpinan terpilihnya, yaitu Najdah bin Amir al-Hanafi dari Yamamah di Arabia Tengah. Terpilihnya Najdah sebagai pemimpin sekte ini tidak terlepas dari sumbangan Abu Fudaik dan kawan-kawannya yang pada awalnya adalah pengikut al-Azraq dari sekte al-Zariqah juga. Para pendiri sekte ini pergi meninggalkan al-Zariqah disebabkan karena mereka tidak dapat menerima beberapa ajaran yang ekstrem dari al-Zariqah. Di antaranya tentang orang yang tidak mau berhijrah ke lingkungan al-Zariqah adalah musyrik. Dan ajaran yang membolehkan membunuh anak dan istri orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka.
Paham mereka tidak seeksrem paham al-Zariqah. Bagi mereka orang yang tidak secara aktif mendukung mereka tidaklah dianggap khafir, tetapi hanya sekedar munafik. Mereka memberikan wewenang kepada anggotanya untuk hidup di wilayah lain, sekalipun di luar wilayah kekuasaan khawarij. Mereka membolehkan anggotanya untuk melakukan taqiyah (yaitu suatu sikap yang menyembunyikan pandangan ke-Najdahannya).[16]
d.      Al-Jaridah
Penamaam sekte ini juga dinisbatkan kepada tokoh utamanya, yaitu Abd al-Karim Ibn Ajrah. Di samping sekte al-Najdah, sekte ini tergolong sedikit lebih moderat. Hal itu tergambar dari pendapat mereka tentang berhijrah. Bagi mereka, berhijrah bukanlah merupakan kewajiban, melainkan hanyalah sebuah kebijakan. Karena itu, orang-orang al-Jaridah boleh saja berdomisili di luar daerah kekuasaaan sekte al-Jaridah.
Pendapat sekte al-Jaridah yang menonjol adalah penolakan mereka terhadap surat Yunuf tidak mereka akui sebagai bagian dari al-Qur’an.[17]
e.       Al-Syufiah
Penamaan sekte ini juga dinisbahkan kepada tokoh utamanya, yaitu Zaid Ibn al-Asfar. Aliran ini juga dianggap ekstrem seperti al-Zariqah. Di antara pendapat-pendapat mereka juga ada yang terkesan lebih lunak terutama untuk hal-hal berikut: [18]
1)      Orang Sufriah yang tidak berhijrah tidaklah dipandang khafir.
2)      Mereka tidak sependapat dengan pendapat yang boleh membunuh anak-anak orang khafir (musrik).
3)      Mereka membagi dosa besar menjadi dua:
a)      Dosa besar yang ada sanksinya di dunia seperti berzina, membunuh dan mencuri.
b)      Dosa besar yang tidak ada sanksi di dunia seperti meninggalkan sholat dan puasa.
4)      Cakupan dar al-harb (daerah yang harus diperangi) juga dibatasi.
5)      Kufur tidaklah selamanya keluar dari agama Islam.
6)      Taqiyah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
7)      Untuk keaman dari, seorang wanita muslim boleh kawin denga satu lelaki khafir, di daerah bukan Islam.
f.       Al-Ibadiah
Sekte ini juga dinisbahkan kepada pimpinannya, yaitu Abdullah Ibn Ibad. Sebelumnya, Ibn Ibad adalah mengikut al-Zariqah. Karena tidak bisa menerima pendapat-pendapat ekstrim itu. Di antara pendapat-pendapat sekte al-Ibadiah ini ialah:[19]
1)      Orang yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah musrik, tetapi khafir.
2)      Daerah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah dar al-hard, tapi dar al-tauhid.
3)      Pelaku dosa besar masih tetap muwahhid, yaitu orang meng-Esa-kan Tuhan.
4)      Yang boleh dirampas dalam perang adalah kuda dan senjata.
5.      Aliran-Aliran Khawarij yang Dipandang Keluar dari Islam
a.       Yazidiyyah
Aliran ini semula adalah pengikut aliran al-Ibadiah, tetapi kemudian berpendapat bahwa Allah akan mengutus seorang rasul dari kalangan luar Arab yang akan diberi kitab yang akan menggantikan syari’at Muhammad
b.      Maimuniyyah
Aliran ini memperbolehkan seseorang menikahi cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka juga mengingkari surat Yunuf dalam al-Qur’an, karena menurut mereka surah itu berikan kisah porno, sehingga tidak pantas dinisbahkan kepada Allah. Dengan pendapat itu mereka sebenarnya telah mencela Allah karena keyakinan mereka yang salah.[20]
Menurut pemikirna penulis, apapun nama aliran yang timbul dalam Islam, apabila telah menyalahi hal-hal yang pokok atau yang prinsip dari ajaran Islam itu sendiri, maka mereka telah dipandang keluar dari Islam. Begitu juga halnya dengan sekte-sekte itu telah menyalahi hal-hal yang prinsip menurut ajaran Islam, maka sesungguhnya mereka telah keluar dari kelompok Islam.

B.     Mujri’ah
1.      Pengertian dan Latar Bekang Muncul
Murji’ah merupakan isim fa’il dari kata arja’a yang berarti menangguhkan atau mengharapkan. Murji’ah secara etimologi berarti orang yang menangguhkan atau orang yang meminta suatu pengharapan, sedangkan menurut terminologi berarti orang yang menangguhkan masalah pelaku dosa besar kepada Allah dan berharap semoga Allah mengampuninya.[21]
Sebagaimana halnya dengan kelompok Khawarij, golongan Murji’ah muncul disebabkan masalah politik. Namun bedannya adalah golongan khawarij muncul disebabkan oleh masalah politik secara langsung, sedangkan Murji’ah muncul disebabkan oleh masalah politik secara tidak langsung. Golongan ini lebih bersikap netral dan pasif terhadap masalah yang berkembang ketika itu, terutama dalam penilan pelaku dosa besar, apabila pelaku dosa besar itu sudah menjadi kafir atau masih tergolong mukmin. Murji’ah menilai bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, masalah dosa besar yang dilakukannya ditangguhkan dan diserahkan kepada Allah. Dosa tidak bisa merusak keimanan seseorang sebagai mana amal baik tidak membentuk kekufuran.
Kelihatannya yang melatar belakangi mereka berpaham demikian, karena cerara sosial mereka termasuk kelompok yang sudah mampu dari segi ekonomi, sehingga lebih mengutamakan suasana kedamaian tanpa ingin mengambil resiko dengan mendiskreditakan orang lain. Menurut Yusran Asmuni, hal-hal yang melatarbekangi kehadiran al-Muji’ah antara lain: [22]
a.       Perbedaan pendapat antara Syi’ah dan Khawarij dalam mengkhafirkan orang yang ingin merebut kekuasaan Ali dan orang yang menyetujui Tahkim.
b.      Adanya pendapat yang menyalah Aisyah dan kawan-kawannya yang menyebabkan terjadinya perang jamal.
c.       Ada pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan.
2.       Ajaran Pokok Muji’ah
Secara global paham atau ajaran pokok Muji’ah adalah:[23]
a.       Iman hanya sekedar membenarkan dan mengakui dalam hati. Amal perbuatan tidak berpengaruh kepada iman sebagaimana kebaikan dan tidak membantu kekufuran.
b.      Muslim yang melakukan dosa besar bukan kafir selam ia mengakui dua kalimat syahadat.
c.       Hukum terhadap perbuatan manusia ditangguhkan sampai hari kiamat dan diserahkan kepada Allah apakah pelaku dosa besar diampuni atau tidak.
3.      Sekte-Sekte Murji’ah
Leteratur mengenai pertumbuhan dan perkembangan pemikiran murji’ah sulit untuk diketahui karena sebab yang tidak jelas. Sebagaimana yang dituturkan oleh Harun Nasution. Namun secara garis besar dikelompokkan kepada dua golongan yaitu golongan Moderat dan golongan Ektrim.[24] Al-Syahrastani membagi kelompok murji’ah menjadi empat golongan, yaitu: [25]
a.       Murji’aj Khawarij
b.      Murji’ah Qadariah
c.       Murji’ah Jabariah
d.      Murji’ah Asli
Sayangnya al-Syahrastani tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dari masing-masing golongan tersebut sehingga penulis tidak bisa untuk menjelaskan ajaran dari mereka. Tetapi barangkali penggolongan ini disebabkan karena mereka sebagian pengikut murji’ah itu ada yang pahamnya mendekati kepada paham khawarij, qadariah dan jabariah dan ada yang berdiri sendiri tanpa ada sama dengan paham kelompok lain, sehinnga al-Syahrastani mengklasifikasikan murji’ah kepada golongan tersebut.
Dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan sekte murji’ah secara garis besar saja:
a.       Golongan mujri’ah yang moderat
Yang termasuk kedalam kelompok moderat ini seperti al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan ahli hadits. Diantara ajara mereka:
1)      Pelaku dosa besar bukan khafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum sesuai dengan besar dosanya dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuninya sehingga ia tidak masuk neraka sama sekali.
2)      Iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, rasul-rasul, tentang segala apa yang datang dari tuhan dalam bentuk global tidak dalam perincian. Tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.
b.      Golongan murji’ah ekstrim
Yang termasuk kedalam kelompok ektrim ini antara lain al-Jahmiah (pengikut Jahm Ibn Shafwan). Diantara ajaran mereka adalah:
1)      Muslim yang percaya pada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur letaknya dalam hati.
2)      Iman adalah mengetahui tuhan dan kufur adalah tidak tahu pada tuhan, oleh karena itu shalat tidak termasuk ibadah kepada Allah sebab ibadah adalah iman kepada Allah dalam pengertian mengetahui tuhan.
Agaknya ajaran yang mementingkan iman saja tanpa direalisasikan dengan perbuatan akan menimbulakan pelanggaran-pelanggaran moral dan merusak nilai-nilai akhlak sebab yang penting hanya iman, sedangkan norma-norma akhlak tidak begitu penting hingga tidak jadi masalah kalau diabaikan.
Dengan demikian pandangan penulis akan membuat seseorang yang sudah mengaku beriman melalaikan kewajiban-kewajiban agama yang seharusnya direalisasikan dengan perbuatan dan tingkah laku.

BAB III
PENUTUP
Dari paparan makalah tentang Khawarij dan Murji’ah dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.      Khawarij dan Murji’ah muncul berawal dari masalah konflik politik, namun pada perkembangan berikutnya mereka tidak terlepas dari masalah theology maka kedua kelompok ini menjadi bagian aliran dalam ilmu Kalam.
2.      Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte, tapi secara garis besar pembahasan mereka tidak terlepas dari masalah siapa yang pantas menjadi khalifah dan bagaimana hukumnya orang yang melakukan dosa besar.
3.      Khawarij sangat keras terhadap pelaku dosa besar, namun sangat demokratis dalam pemilihan khalifah.
4.      Murji’ah adalah kelompok yang ingin menetralisir kondisi perbedaan pendapat tentang masalah khafir dan mukmin.
5.      Murji’ah lebih mementingkan iman dan doktrinnya dari pada amal perbuatan.









DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Imam Muhammad. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. (Jakarta: Logos, 1996)
Abd al-Karim al-Syahraatani, Muhammad. Al-Millal Wa Al-Nihal, (Beirut: Dar al-fikr, t.th)
Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-3, h. 106
Alhendra, Pemikiran kalam, (Bandung: Alfabeta, 2000)
Effendy, Macthtar. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Buku ke-3, Entri J-M, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001)
Masyur, Laily. Pemikiran Kalam Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. Ke-1
Nata, Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafinda Persada, 1995)
Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan. (Jakarta: UI Press, 1996), Cet. Ke-5
Zar, Sirajuddin. Teolgogi Islam Aliran dan Ajaran, (Padang: IAIN Press, 2003)








[1]Suatu golongan sempilan dalam Islam, yang terjadi akibat perpecahan politik antara Ali dan Mu’awiyah. Golongan Khawarij ini pada mulanya termasuk golongan Ali tetapi oleh karena Ali menerima permintaan perdamaian Sifin dari golongan Mu’awiyah, padahal kedudukan militer dan politik lebih kuat golongan Ali, maka sebagian golongan Ali itu dipimpin oleh Abdullah bin Wahab al-Rasid, keluar (Khawarij artinya keluar) dari kepemimpinan Ali dan membentuk golongan yang ketiga, yang dinamakan Khawarij. (Lihat: Macthtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Buku ke-3, Entri J-M, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001), h 183.
[2] Mujri’ah, bahasa arab dari asal kata arj’a-yurji’u, artinya = menunda. Di dalam theology Islam adalah salah satu golongan theology Islam yang diperkenalkan oleh Ghailan al- dimasyqi , yaitu golongan yang menghendaki agar perselisihan, konflik politik antara Ali dan Muawiyah ditunda dahulu penyelesaiannya, demikian juga pembangkangan golongan khawarij terhadap Ali dengan Mu’awiyah, agar semua perselisihan ini dan Allah akan menyelesaikan di akhirat nanti. Ibid h. 98
[3] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan. (Jakarta: UI Press, 1996), Cet. Ke-5 h. 11. Lihat juga Laily Masyur, Pemikiran Kalam Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. Ke-1, h. 29
[4] Muhammad Abd al-Kharim al-Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.Th), h 144
[5] Lihat Harun Nasution, loc.cit. Lihat juga Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-3, h. 103-104. Lihat Juga Laily Mansur, loc.cit.
[6]  Lihat Harun Nasution, loc.cit. Lihat juga Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 93. Lihat juga Mustafa Muhammad Asy-Syaki’ah, Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), Cet. Ke-1, h. 104. Lihat juga Yusran Asmuni, loc.cit
[7] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. (Jakarta: Logos, 1996),    h 63
[8] Alhendra, Pemikiran Islam, (Bandung: Alfabeta, 2000), h. 27  
[9]  Imam Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit, h. 63-64
[10] Ibid, h. 74-77
[11] Sirajuddin Zar, Teolgogi Islam Aliran dan Ajaran, (Padang: IAIN Press, 2003), h. 27-28
[12] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafinda Persada, 1995), h. 31
[13] Alhendra, Op.Cit, h. 30
[14] Ibid, h. 31
[15] Imam Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit, h. 79
[16]  Alhendra, Op.Cit, h. 32-33
[17] Ibid, h. 33
[18] Ibid, h. 34-35
[19] Ibid, h. 35-36
[20] Imam Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit, h. 84-85
[21] Muhammad Abd al-Karim al-Syahraatani, Al-Millal Wa Al-Nihal, (Beirut: Dar al-fikr, t.th) h 193
[22] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-3, h. 106
[23] Ibid, h. 106
[24] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan. (Jakarta: UI Press, 1996), Cet. Ke-5 h. 24
[25] Muhammad Abd al-Karim al-Syahraatani, loc.cit

0 Comment