05 Februari 2016

PEMBAHASAN
A.    Sejarah Mu’tazilah
Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala - ya’tazilu i’tizal – i’tizalan; mu’tazilah, yang berarti orang yang memisahkan diri atau mengasingkan diri. Kata tersebut dapat dipakai dalam setiap tindakan, seperti apabila seseorang mengasingkan diri atau memisahkan diri dari kelompoknya, maka orang itu dikatakan ber-i’tizal.[1]
Mengenai tentang Asal Usul Mu’tazilah, ada tiga riwayat yang menerangkan arti kata “ اعتزل ” (memisahkan diri, menjauhkan diri, dan menyalahi pendapat orang lain), yaitu:
   1. Disebut Mu’tazilah karena Wasil bin ‘Atha (meninggal 131 H) dan ‘Amr bin ‘Ubaid (meninggal 145 H) menjauhkan diri dari pengajian Hasan Basri (meninggal 110 H) di Masjid Basrah dan kemudian mereka membentuk pengajian sendiri. Sebagai kelanjutan pendapatnya tentang orang yang melakukan dosa besar ( Murtakab Al-Kabir˜ah ), tidaklah dikatakan mukmin lengkap dan kafir lengkap, melainkan ada pada satu tempat di antara dua tempat ( Manzilah Baina Manzilatain ).[2] Semuanya itu dikarenakan keluarnya atau menjauhnya Wasil bin Atha dari majelis Hasan Basri yang disebut dengan Mu’tazilah (orang yang menjauhkan diri atau orang yang memisahkan diri).
  2. Menurut riwayat lain, disebut Mu’tazilah karena mereka menjauhkan (menyalahi) semua pendapat yang telah ada tentang orang yang mengerjakan dosa besar.[3]
    3. Disebut Mu’tazilah, karena pendapat mereka yang mengatakan bahwa pembuat / pelaku dosa besar berarti menjauhkan diri dari golongan orang-orang mu’min dan juga dari golongan orang-orang kafir.[4]
Ada perbedaan riwayat ini dengan riwayat sebelumnya. Menurut riwayat yang kedua, Mu’tazilah menjadi nama (sifat) golongan itu sendiri, karena mereka mencetuskan pendapat baru yang menyalahi orang-orang yang sebelum mereka. Sedangkan menurut riwayat yang ketiga, ke Mu’tazilahan mula-mula menjadi sifat si pelaku dosa besar, kemudian menjadi sifat atau nama golongan yang berpendapat demikian, yaitu pelaku dosa besar menyendiri dari orang-orang mukmin dan dari orang-orang kafir. Penulis berpendapat bahwa riwayat yang benar adalah riwayat yang pertama yang menerangkan bahwa Wasil bin Atha memisahkan diri dari majlis Hasan Basri, ketika itulah munculnya nama mu’tazilah atau ‘intaza.
Dari ketiga riwayat yang telah disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa peristiwa munculnya aliran Mu’tazilah adalah pada peristiwa yang dialami Hasan Basri dan kedua muridnya (Wasil bin Atha dan ‘Amr bin ‘Ubaid), dan aliran Mu’tazilah muncul karena persoalan agama semata-mata.
Secara politis, golongan Mu’tazilah merujuk kepada sahabat seperti Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Umar, dan Zaid bin Sabit yang mengambil sikap netral terhadap pengangkatan Ali sebagai Khalifah keempat. Mereka tidak memberikan bai’at dan dukunngan kepada Ali, melainkan memisahkan diri (I’tizal ) dari permusuhan antara kubu Mu’awiyah dan Ali. Mereka memilih pergi ke Masjid membaca Al-Qur’an dan mendalami pengetahuan agama dengan akal dan hati mereka.[5]
Demikian pula halnya dengan Wasil bin ‘Atha yang bersikap netral terhadap pembunuhan Usman dan peperangan antara Ali danThalhah,  Zubeir dan Aisyah dalam perang Jamal.[6] Dengan persoalan itulah mereka disebut golongan Mu’tazilah, yang menyendiri dari persoalan politik.
B.     Pemikiran Mu’tazilah
Dalam melaksanakan perannya, golongan Mu’tazilah mempunyai konsep atau pemikiran yang asasi (pokok). Dengan pikiran-pikiran itulah mereka bisa dikatakan bahwa seseorang itu penganut paham Mu’tazilah. Adapun pemikiran atau kosep-konsep mereka itu adalah: 
1.      Al-Ushũl Al-Khamsah
Para tokoh Mu’tazilah mengumpulkan atau menyepakati Ushũl Al-Khamsah yang menjadi ciri khas golongan ini, sehingga para tokoh Mu’tazilah mengatakan “tidaklah disebut golongan Mu’tazilah apabila tidak meyakini Al-Ushũl Al-Khamsah”.  Khiyath[7] berpendapat “kami tidak mendorong atau mengajak orang-orang untuk sepakat dengan kami tentang Al-’adl, dan mereka mengatakan dengan “Tasyb˜ih” dan kebanyakan orang sepakat dengan kami tentang  Tauhid dan al-‘Adl, mereka berbeda pendapat dengan  kami tentang  persoalan Al-Wa’d Wal Wa’˜id, Asm˜a’ dan Ahk˜am. Tidaklah berhak atau tidak pantas seseorang itu dikatakan Mu’tazilah, sehingga mereka sepakat dengan Al-Ushũl Al-Khamsah, yaitu : At-Tauhid, Al’adl, Alwa’d Wal Wa’˜id, Al-Manzilah Baina Manzilatain, Al-Amr Bilma’ruf Wan Nahyu ‘An Al-Mungkar.”[8]
Ungkapan Khiyath di atas menimbulkan perbedaan pendapat antara kelompok atau Al-Firaq Al- Islam, seperti mereka sepakat atau sependapat antara Jahmiyah dan Mu’tazilah, tentang  Takwil,  dan  mereka berbeda pendapat tentang Qadar. Oleh karena itu, Al-Jahmiyah bukanlah termasuk golongan Mu’tazilah.
Istilah Al-Ushũl Al-Khamsah pada masa Wasil bin ‘Atha tidak lebih dari yang telah disebutkan di atas dan sebahagian dari pembahasan pada masa Wasil bin ‘Atha belum matang menurut Syaharastani,[9] kemudian disempurnakan oleh beberapa tokoh Mu’tazilah yang lain seperti Abu Huzail.
Penjelasan tentang Al-Ushũl Al-Khamsah itu adalah sebagai berikut:
a. Tauhid[10]
Semua orang Muslim sepakat untuk mentauhidkan Allah SWT, akan tetapi kaum Mu’tazilah mentauhidkan Allah dengan mentanzihkan (menyucikan) secara mutlak dari sifat-sifat makhluk, dengan dalil firman Allah SWT:
ليس كمثله شيء
tidak ada yang menyerupai Allah dengan sesuatu.
Bahwa Allah tidak bertubuh (jism), tidak menyerupai, tidak berbentuk, tidak daging dan tidak darah.[11]
Tauhid, memiliki arti “Penetapan bahwa Al-Quran itu adalah makhluk”, sebab jika Al-Qur’an bukan makhluk, berarti terjadi sejumlah zat yang qadĩm (menurut mereka Allah adalah Qadĩm, dan jika Al-Qur’an adalah Qadĩm, berarti syirik dan tidak bertauhid). Disamping itu pemahaman Mu’tazilah tentang tauhid juga menawarkan konsep Dzat dan Sifat, ta’wĩl dan ru’yah Allah.
b. Al-’Adl
 Dalam masalah Al-‘Adl, kaum Mu’tazilah berkeyakinan bahwa manusia bebas memilih, bebas berkehendak dan bertanggung jawab atas pilihan dan kehendaknya itu.[12] Menurut mereka inilah yang disebut dengan keadilan Tuhan. Mereka beranggapan bahwa kemaksiatan itu tidak mungkin datang dari Tuhan, karena manusia itulah yang menciptakan kemaksiatan dan melakukannya. Mereka menamakan diri mereka dengan Ahlu Al- ‘Adl .
Kata-kata Tuhan ‘Adl mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik, bahwa Ia tidak dapat berbuat buruk, dan bahwa Dia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.[13] Oleh karena itu, Tuhan tidak bersifat zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak-anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya, tidak dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia dan mesti memberi upah kepada orang yang patuh kepadanya, dan memberikan hukuman terhadap orang yang tidak patuh padanya.[14] Dalam arti lain, keadilan juga berarti berbuat baik sebagaimana mestinya, serta sesuai dengan kepentingan manusia dan memberi reword ataupun hukuman kepada manusia sesuai dengan apa yang dilakukannya. Jelaslah apa yang dikemukakan oleh Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan mengandung arti kewajiban-kewajiban yang harus dihormati Tuhan.[15]
Al-‘Adl ada dua konsep, yaitu sifat dan perbuatan. Maka, demikianlah konsep keadilan menurut Mu’tazilah, bahwa keadilan menghendaki supaya Tuhan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
c. Al-Wa’d wa Al- Wa˜id
Janji dan Ancaman (Al-Wa’d wa Al-Wa˜id) adalah pokok ajaran ketiga kaum Mu’tazilah. Pembahasan ini erat kaitannya dengan keadilan Tuhan, karena Tuhan itu tidak dikatakan adil kalau Dia tidak memberikan ganjaran, yaitu memberi pahala (surga) kepada orang yang berbuat baik, dan tidak menyiksa orang yang berbuat jahat.[16]
Menurut ‘Abdul Jabbar bin Ahmad Al-Wa’du adalah :
أما الوعد فهو كل خبر يتضمن إيصال نفع إلى الغير أو دفع ضرر عنه فى المستقبل[17]
“Al-Wa’d adalah setiap kabar atau berita yang mencakup sampainya mamfaat kepada yang lain, atau menolak mudarat darinya untuk yang akan datang”.

Sedangkan Al-Wa’id menurut ‘Abdul Jabbar bin Ahmad adalah:
و أما الوعيد فهو كل خبر يتضمن إيصال ضرر إلى الغير أو تفويت عنه المستقبل[18]
“ Al- Wa˜id adalah setiap khabar yang mencakup sampainya mudarat kepada yang lain, atau lenyap darinya yang akan datang”.
Al-wa’du wa Al- Wa˜id maksudnya adalah apabila Tuhan mengancam sebagian hamba-Nya dengan siksaan, maka tidak boleh bagi Tuhan untuk tidak menyiksa-Nya dan tidak menyalahi ancaman-Nya, sebab Tuhan tidak mengingkari janji, artinya menurut mereka Tuhan tidak memaafkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan tidak mengampuni dosa-dosa (selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya.
d. Al-Manzilah baina Al- Manzilataini
Al-Manzilah baina Al-Manzilataini dalam istilah Mutakallimin, yaitu ilmu tentang orang yang melakukan dosa besar namanya diantara dua nama, dan hukumnya antara dua hukum.[19]
Wasil bin ‘Atha berpendapat bahwa sohib al-kabãir (pelaku dosa besar) bukanlah mukmin, bukan juga kafir, dan bukan juga munafik, tetapi adalah fasik.[20] Maka, yang dimaksud dengan Al-Manzilah Baina Al-Manzilataini adalah posisi diantara duaposisi  atau hukuman bagi pelaku dosa besar.
Munculnya konsep ini didasari pada masa Wasil bin ‘Atha ketika mengikuti majelis Hasan Basri, lalu Wasil berbeda pendapat dengan gurunya tersebut tentang pelaku dosa besar. Pelaku dosa besar menurut Wasil bin ‘Atha adalah pelaku dosa besar itu bukan mukmin, bukan jaga kafir, dan bukan juga munafik, melainkan fasik. Maka, posisi mereka adalah di antara dua posisi.
e. Al-Amru bi al- makruf wa an- Nahu ‘an al- Munkar
Menurut Mu’tazilah Al-Amru bi al- makruf wa an- Nahu ‘an al- Munkar hukumnya adalah wajib, semua kaum Mu’tazilah sepakat tentang hukumnya kecuali Abu Bakar Al-Asham.[21] ini didasari kepada:
·         Al-Qur’an surat Ali ‘Imran ;110
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

·         As-Sunnah
Hadis diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri:

من رأي منكم منكرا فليغيره بيده فان لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذالك أضعف الاءيمان (رواه مسلم(

Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah mengambil tindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itu pun tidak mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (Akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah”. (H.R. Muslim)
·         Al-Ijmak[22], tidak ada keraguan padanya karena ulama telah sepakat tentang Mu’tazilah Al-Amru bi al- makruf wa an- Nahu ‘an al- Munkar.
Al-Amru bi AlMakruf mengikut kepada makmur bih, jika sesuatu sunat, maka hukumnya sunat. Beda halnya dengan An-Nahu ‘An al- Mungkar hukumnya wajib semuanya. Meninggalkan yang mungkar itu wajib dikarenakan yang mungkar itu bersifat keji.[23]
Keterangan di atas tersebut menjelaskan, bahwa untu melakukan Al-Amru bi al- makruf wa an- Nahu ‘an al- Munkar adalah wajib. Inilah konsep yang ditawarkan oleh Mu’tazilah untuk menyelamatkan Iman seseorang, supaya seseorang itu mampu untuk melaksanakan Imannya dalam perbuatannya sehari-hari.
2.      Akal dan Wahyu
a.         Akal
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan persoalan yang dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak menggunakan akal sehingga mereka mendapat nama kaum Rasionalis Islam.  (Harun Nasution)[24]
Ilmu teologi yang membahas tentang ke-Tuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua hal yang tersebut. Akal berfungsi sebagai daya berfikir yang ada dalam jiwa manusia, berusaha keras untuk sampai kepada Tuhan, dan wahyu sebagai pengkabaran dari alam metafisika yang turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.[25]
Bagi kaum Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat dapat diketahui dengan akal demikian juga mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib.[26]
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Akal dapat mengetahui segalanya, artinya akal dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu adalah wajib.
b.         Wahyu
Ibn Abi Hasym dalam menentang pendapat lawannya ( kaum Brahma) berkata “yang memperolok-olokkan sujud sewaktu sembahyang, dan tawaf mengelilingi Ka’bah dan ritual-ritual di dalam Islam tidak ada gunanya, oleh karena itu harus ditolak”. Lalu Ibn Abi Hasym menjelaskan bahwa ritual-ritual dalam ibadah dapat diketahui manusia melalui wahyu bukan melalui akal.[27] Akal  dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, tapi wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara yang tepat menyembahnya.
Fungsi wahyu bagi Mu’tazilah adalah untuk memberikan konfirmasi dan informasi tentang perincian hukum dan upah yang akan diterima manusia di akhirat.[28]
3.      Sifat Tuhan
Dalam aliran teologi Islam, hal yang menimbulkan dan membangkitkan adrenalin dalam perdebatan mereka adalah tentang sifat Tuhan, yang menimbulkan pertanyaan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak? Jika Tuhan mempunyai sifat, mustahillah sifat itu kekal seperti kekalnya zat Tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat kekal bukanlah satu, tetapi banyak (ta’addud al-qudamã’ atau multiplicity of eternals). [29]
Pemahaman kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat, dan tidak berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak yang betul-betul mutlak, tetapi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan mempunyai batasan-batasan tertentu, artinya Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini bukan berarti bagi mereka Tuhan tidak mengetahui, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Menurut mereka, Tuhan  tetap mengetahui, tetap berkuasa dan sebagainya. Abu Huzail mengatakan  bahwa Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.[30] Maka pengetahuan-Nya menurut Abu Huzail adalah Tuhan itu sendiri, yaitu esensi atau zat Tuhan itu sendiri. Artinya, Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya, mendengar dengan zat-Nya, melihat dengan Zatnya, dan berkata dengan Zat-Nya. Sedangkan menurut Al-Juba’I, untuk mengetahui Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui.[31]
4.      Iman dan Kufur
الإيمان عند أبي الهذيل هو عبارة عن أداء الطاعات الفرائض منها و النوافل و اجتناب المقبحات[32]
“ Iman menurut Abi Huzail adalah  ibarat dari melaksanakan keta’atan yang wajib dan yang sunat, dan menjauhi yang keji-keji”.
Iman menurut Mu’tzilah adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan.[33] Maksudnya adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (Tashîiq) dalam hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya, iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan dan berterimakasiah kepada-Nya.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, tidak lagi dikatakan mukmin dan tidak pula kafir, tetapi adalah fasiq. Maka, tempat mereka di akhirat tidak masuk neraka dan surga. Jelasnya menurut kaum Mutazilah, orang mu’min yang berbuat dosa besar (Murtakab Al-Kabirah) dan mati sebelum bertaubat, maka tempatnya adalah diantara dua tempat, yakni antara neraka dan surga (Manzilah baina Manzilatain).
5.      Perbuatan Manusia
Al-Juba’I menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri.[34] Perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri bukan oleh Tuhan.
Abdul Jabbar (wafat 415 H) berpendapat  bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya.[35] Perbuatan adalah apa yang dihasilkan dengan daya yang bersifat baru.[36]
Keterangan di atas sudah menerangkan bahwa kehendak dan perbuatan manusia adalah kehendak manusia sendiri, tanpa ikut campur tangan Tuhan. Kalaulah yang menciptakan perbuatan manusia itu adalah Tuhan, tentu Tuhan itu bersifat zalim, karena manusia juga ada yang berbuat buruk atau keji. Tuhan tentu tidak mungkin berbuat hal yang demikian, tentu ini tidak dapat diterima oleh akal.[37] Mu’tazilah berdalil dengan ayat;
üÏ%©!$# z`|¡ômr& ¨@ä. >äóÓx« ¼çms)n=yz ( r&yt/ur t,ù=yz Ç`»|¡SM}$# `ÏB &ûüÏÛ ÇÐÈ [38] 
“ yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah”.
Ÿxsù ãNn=÷ès? Ó§øÿtR !$¨B uÅ"÷zé& Mçlm; `ÏiB Ío§è% &ûãüôãr& Lä!#ty_ $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ [39]ÇÊÐÈ  
“tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai Balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan”.
Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, maka pemberian pahala atau balasan dari Tuhan tidak ada artinya. Begitu juga ayat yang memberi kebebasan kepada manusia untuk percaya atau tidak percaya. Agar ayat ini tidak mengandung dusta, maka perbuatan manusia tetap perbuatannya,[40] dan bukan perbuatan ke ikut sertaan Tuhan.
6.      Perbuatan Tuhan dan Mihnah
a.       Perbuatan Tuhan
Menurut aliran Mu’tazilah,  perbuatan Tuhan itu mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tetapi karena Tuhan maha suci daripada sifat-sifat yang berbuat  kepentingan dari manusia, perbuatan-perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan yang maujûd yang lain selain Allah.[41]
Dengan demikian golongan Mu’tazilah beraanggapan bahwa yang maujud itu diciptakan untuk manusia sebagai makhluk tertinggi. Oleh karena itu, mereka mempunyai kecenderungan melihat dari sudut kepentingan manusia, sesuai dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan.  Maksudnya adalah bahwa kekuasaan mutlak Tuhan mempunyai batas-batas, sedangkan Tuhan menurut Al-Manar tidak bersifat absolute seperti halnya dengan raja-raja yang menjatuhkan hukuman sekehendaknya semata-mata.[42]
Kewajiban Tuhan terhadap manusia menurut Mu’tazilah, yaitu; kewajiban Tuhan menepati janji-janji-Nya, mengirim Rasul-rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia, memberi rezeki kepada manusia dan sebagainya.[43] Pemahaman ini muncul karena konsep Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan dan berjalan sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.[44]
Perbuatan Tuhan menurut Mu’tazilah tidak terlepas dari soal Al-Shalâh Wa Al-Aslah (berbuat baik dan terbaik).[45] Inilah term Mu’tazilah yang menerangkan tentang kewajiban Tuhan berbuat baik dan yang terbaik untuk manusia.
b.      Mihnah
Aliran mu’tazilah dijadikan sebagai mazhab negara pada masa dinasti Abbasiyyah, yaitu pada masa pemerintahan tiga orang khalifah; Al-Makmun ( 813-833 M), Al-Mu’tashim ( 833-842 M ), dan Al- Wasiq ( 842-847  M). Dalam masa pemerintahan khalifah inilah, Mu’tazilah melakukan ujian keyakinan ( Mihnah) dengan Mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk ( Khuluq Al-Qur’an), ini dilakukannya karena Mu’tazilah berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, kalam itu terdiri dari kata-kata, kata-kata itu tersusun dari huruf-huruf, dan terdiri dari surat-syrat dan ayat-ayat, bahkan turunnya Al-Qur’an ada yang dahulu ada yang kemudian, sehingga Al-Qur’an itu tidah bisa dikatakan qadĩm melainkan al-Qur’an itu adalah baharu artinya diciptakan oleh Tuhun. Disisi lain logika yang ditawarkan Mu’tazilah adalah jika Al-Qur’an itu  qadĩm, tentu terjadi dua yang qadĩm, itu adalah mustahil menurut akal.
Mihnah ini dilakukan oleh Mu’tazilah karena mereka melihat ini adalah suatu yang amat penting, mempunyai hubungan yang erat dengan akidah, maka orang yang tidak mengatakan Al-Qur’an Makhluk dikatakan Syirik di penjara dan disisksa seperti Ibnu Taimiyah. Segi lain menunjukkan bahwa ajaran pokok Mu’tazilah adalah Al-Amru bi Al -Makruf wa An- Nahu ‘an Al- Mungkar, dengan landasan ini juga mereka melakukan ujian keyakinan.
C.     Ciri-ciri kerasionalan aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah salah satu teologi Islam yang di juluki rasionalis dalam Islam. Corak pemikiran mereka memberi wawasan yang besar kepada akal dalam memecahkan persoalan keagamaan dengan cara melakukan takwil kepada nash. Karena, menurut keyakinan, Al quran dan hadist tidak mungkin bertentangan dengan akal pikiran yang sehat. Ciri-ciri kerasionalan mereka adalah :[46]
1.      Mereka memberikan akal kedudukan yang tinggi. Dengan memberikan kedudukan yang tinggi mereka tidak mengambil arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah.
2.      Manusia, menurut mereka bebas, bebas berbuat dengan berkehendak. Karena akal kuat, manusia menurut paham mereeka, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dan kemauan serta kehendak yang mampu berpikir secara mendalam.
3.      Keadilan Tuhan. Paham ini membawa mereka kepada keyakinan adanya hokum alam (sunatullah) .
Melihat kepada ciri-ciri diatas, mereka adalah kaum yang kritis, mereka baru menerima satu pendapat apabila sesuai dengan pemikiran filosofis dan ilmiah mereka.

PENUTUP

a.       Kesimpulan
Mu’tazilah adalah aliran kalam atau aliran teologi dalam Islam yang sangat terkenal dengan rasionalis dalam Islam. Seseorang baru bisa dikatakan berfahamkan atau golongan Mu’tazilah, apabila seseorang itu meyakini Al-Ushûl Al-Khamsah dan ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah lainnya.
Golongan ini dalam menjalankan atau menerapkan pikiran atau konsep teologinya berusaha untuk menyucikan Allah dari sifat-sifat tercela. Golongan inipun lebih mendahulukan Akalnya dari pada wahyu. Menurut mereka wahyu hanya berfungsi sebagai pemberi berita atau informasi dalam menjalankan ritual-ritual ibadah.
b.      Saran
Makalah ini, tentu masih ada kekurang-kekurang, karena dalam makalah ini penulis hanya mengetengahkan pokok-pokok pemikiran aliran Mu’tazilah, penulis tidak menyajikan perdebatan atau perbedaan pendapat.
Maka harapan penulis kepada kita semua supaya bisa untuk membahas, hal-hal yang berkaitan dengan perdebatan-perdebatan yang terjadi antara golongan-golongan teologi yang lain. Setiap pokok pikiran yang dilontarkan Mu’tazilah, menimbulkan perdebatan atau perbedaan pendapat dengan, aliran teologi Islam yang lain, seperti Kawarij, Murji’ah, Ahlhu sunnah dll.
Wallahu ‘Alam bis Sawab

DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. Hanafi. Pengantar Theology Islam. 1995. Jakarta : PT. Al-Husna Zikra, Cet. Ke - 6.
Amin, Ahmad. 1963. Dhuha al- Islam, Al-Qahirah: Maktab al-nahdhat al-Mishat.
Dusar, Bakri. 2001. Tauhid dan Ilmu Kalam, Padang: IAIN-IB Press.
Jabbar ,‘Abdu bin Muhammad. 1996 M/ 1416 H. Syarh Al-Ushũl Al-Khamsah, Qohirah-Mesir: Maktabah Wahbah.
Jalal Syaraf,  Muhammad dan Ali Abd al-Mu’thi Muhammad. 1987.Al-fikr al-Siyãsi fi Al-Islãm, Iskandariyah : Dar al-Ma’rifah.
Nasution, Harun. 1983. Teologi  Islam aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia.
Subhi, Ahmad Mahmud. 1985 M/1405 H. Fi ‘Ilmi Kalãm Dirãsah Falsafiyyah Li Arãi Al-firak Al-Islamiyyah Fi Ushul Al-Din Al-Mu’tazilah, Bairut-Libanon: Dar an Nahdhah al Arabiyah.
Sueb, Musa. 2004. Kekuasaan Manusia & Takdir Tuhan. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya.
Zar, Sirajuddin. 2002. Aliran Mu’tazilah dan Sambungannya Terhadap Ilmu Kalam, Padang: IAIN-IB Press.
------------------. 2003.Teologi Islam Aliran dan Ajaran, Padang : IAIN-IB Press.



[1] Sirajuddin Zar, Aliran Mu’tazilah dan Sumbangannya Terhadap Ilmu Kalam, ( Padang: IAIN –IB Press, 2002), h.31
[2] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, ( Jakarta PT.Al-Husna Zikra, 1995), cet. Ke-6, hal.65
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Musa Sueb, Kekusaan Manusia & Takdir Tuhan, ( Jakarta CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2004), hal.26. lihat juga Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abd al-Mu’thi Muhammad, Alfikr al-Siyasi fi Al-Islam, (Dar al-Ma’rifah, Iskandariyah, 1987), hal.129.
[6]  Ibid, hal.26, lihat juga Ahmad Amin,Duha Al- Islam,( Al-Qahirah: Maktab al-nahdhat al-Mishat, 1963), hal.78-79
[7] Alkhiyath: Al Intishar Tahqiq An- Nabruj, 123-126, yang dikutip oleh ahmaad Muhammad Subhi.
[8] Ahmad Mahmud Subhi Op.Cit, hal.119
[9] Ibid.
[10] urutan Al-Ushũl Al-Khamsah ini, penulis merujuk kepada Ahmad Mahmud Subhi, Op.Cit. hal.121
[11]Ibid.
[12] Sirajuddin Zar, Op.Cit, hal. 49
[13] Harun Nasution, Op.Cit, hal.124, lihat juga di dalam Syarah Al-Ushũl Al-Khamsah karangan Abdul jabbar bin Ahmad,  فإذا قيل إنه تعالى عدل فالمراد به أن أفعاله كلها حسنة  و أنه لا يفعل القبيح ولا يخل بما هو واجب عليه “apa bila dikatakan sesungguhnya Tuhan yang maha tinggi Adil, maka maksudnya adalah, Tuhan melaksanakan kebaikan, dan Tuhan tiak melakukan yang keji, maka Tuhan itu wajib berbuat baik.”
[14] Ibid, hal. 124-125
[15] Ibid.
[16] Sirajuddin Zar, Op.Cit, hal.53
[17]’Abdu Jabbar bin Muhammad, Syarah Al-Ushũl Al-Khamsah,  Maktabah Wahbah Al-Qahiroh-Mesir, 1996 M/1416 H., hal.134
[18] Ibid
[19] Ibid, hal.137
[20] Ibid, hal.138
[21] Ahmad Muhammad Subhi, Op.Cit, hal.166
[22]  ’Abdu Jabbar bin Muhammad , Op. Cit, hal.142
[23]  Ahmad Muhammad Subhi, Op.Cit, hal.167
[24]  Harun Nasution, Op.Cit, hal.38
[25]  Ibid, hal.79.
[26]  Ibid,  hal.80.
[27]  Ibid, hal.96.
[28] Ibid, hal.98.
[29] Ibid, hal. 135
[30] Ibid.
[31] Ibid, lihat juga Maqolat, II/176-178
[32] ‘Abdul Jabbar bin Ahmad, Op.Cit, hal.707
[33] Harun Nasution, Op.Cit.hal.147
[34] Ibid,hal. 102
[35] ‘Abdul Jabbar bin Ahmad,Op.Cit, hal.323
[36] Harun Nasution, Loc. Cit,
[37] Ibid, hal. 104-105.
[38] Q.S. Al-Sajdah, ayat 7.
[39] Q.S. Al-Sajdah, ayat 17.
[40] Harun Naution, Op.Cit, hal.105-106.
[41] Bakri Dusar, Tauhid dan Ilmu Kalam,( Padang IAIN-IB Press, , 2001), hal.57
[42] Ibid.
[43] Harun Nasution, Op. Cit, hal.128.
[44] Ibid.
[45] Ibid, hal.129.
[46] Sirajuddin Zar, Op.Cit, h. 10-12

0 Comment