05 Februari 2016



BAB I
PENDAHULUAN
Alhamdulillah wassolatu wassalama ‘ala rosulillah la nabiyya ba’dah, tanpa terasa pembahasan sejarah pemikiran dalam islam telah sampai pada Maturidiyyah Samarqand dan Bukhara.
Maturidi dan Asy’ari muncul sebagai reaksi terhadap Mu’tazilah yang terlalu mengandalkan Akal, khususnya Otak Bagian Kiri, dimana ciri-cirinya adalah : Rasional, terkait IQ,  Kognitif, Logis, Realistis, Analistik, Kuantitatif, Serial, Linier, Terencana, Kausal, Fokus, Verbal, Intrapersonal, Motorik Kanan, sedangkan Asy’ari dan Maturidi lebih mendahulukan Wahyu yang ditemani  Akal khususnya Otak Kanan , dimana ciri-cirinya adalah : Emosional, Terkait EQ, Afektif, Intutif, Imajinatif, Artistik, Kualitatif, Spasial, Paralel, Lateral, Tak Terencana, difus, Visual, Interpersonal, Motorik Kiri. Kalau tidak salah Dengan ini kami ingin menyampaikan pendapat  bahwa kurang tepat rasanya jika mengatakan bahwa Mu’tazilah mendahulukan Akal dari pada wahyu dan Asy’ari serta Maturidi mendahulukan Wahyu dari Akal, tapi menurut pemahaman kami Mu’tazilah dan Asy’ari sama-sama mendahulukan wahyu tapi ketika memahaminya Mu’tazilah kebanyakan porsinya menggunakan Otak Kiri, sedangkan Asya’ari dan Maturidi lebih Dominan Otak Kanannya.
Adapun hal-hal yang akan kita bahas dalam makalah ini  adalah pendapat-pendapat Maturidi Samarqand dan Maturidi Bukhara  tentang  akal dan wahyu, perbuatan manusia, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sifat Tuhan, melihat Tuhan kalam Tuhan, perbuatan manusia ( baik dan buruk )

BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Masalah
Aliran al-Maturidiyah adalah sebuah aliran yang tidak jauh berbeda dengan aliran al-Asyariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila aliran al-Asy’ariyah berkembang di Basrah maka aliran al-Maturidiyah berkembang di Samarkand.
Kota tempat aliran ini lahir merupakan salah satu kawasan peradaban yang maju. menjadi pusat perkembangan Mu’tazilah. Sehingga lahirnya aliran maturidiyah sebagai bentuk perlawanan terhadap pemikiran mu’tazilah pada masa tersebut yang lebih condong berfikir  dengan cara filosof yunani.[1]

B. Sejarah Timbul Al-Maturidiyah
Aliran al-Maturidiyah berdiri atas prakarsa al-Maturidi pada tahun pertama abad ke-4 H di wilayah Samarkand.[2] Aliran ini sebenarnya dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis, dimana pada waktu itu yang berada dibarisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun kaum tekstualitas yang dipelopori oleh kaum Hambaliyah (para pengikut Imam Ibnu Hambal).
Pada awalnya asy’ariyah dan maturidiyah ini dipisahkan oleh jarak. Aliran Asy’ariyah berkembang di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas sampai ke Mesir sedangkan aliran Maturidiyah di Samarqand dan di daerah-daerah seberang sungai (Oxus-pen). Pada perkembangan selanjutnya kedua aliran ini bisa hidup dalam pemikiran yang kompleks dan membentuk suatu mazhab. Ini karena adanya perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah fiqh pada kedua aliran.Ini menjadi faktor pendorong untuk mereka berlomba dan survive.
Orang-orang Hanafiah (pengikut imam Hanafi) membentengi aliran-aliran maturidiyah dan mereka kaitkan akarnya sampai pada imam Abu Hanifah sendiri. Teolog yang juga bermazhab Hanafiyah seperti Maturidi adalah Abu Jafar al-Tahawi dari Mesir. Dia adalah seorang ulama besar di bidang hadits dan fiqh yang telah mengembangkan dogma-dogma teologi yang lebih besar.

Pada perkembangan selanjutnya, mazhab Asy’ariyah tetap populer pada pengikut Syaf’iyah dan mazhab Maturidiyah terbatas penganutnya di antara pengikut Hanafi.[3]

C. Biografi
a.  Abu Manshur Al-Maturidi (pendiri Maturidiyah Samarkand)

Nama lengkap beliau adalah Muhammad Bin Muhammad Abu Manshur Al-Maturidy. Garis keturunannya masih bersambung dengan sahabat Abu Ayub Al-Anshary.[4]Dia lahir dikota Maturid, Samarqand. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan jelas, diperkirakan sekitar tahun 238 dan kemudian meninggal pada tahun 333 H. Beliau juga digelari imam al-huda, imam al-mutakallimin, dan raiys ahlussunnah.[5]
Sedikit yang dapat diketahui secara langsung dari dirinya,  mazhab yang dibentuknya berkembang tegak melalui tulisan murid-muridnya.Ia memperoleh pelajaran ilmu fiqh dan ilmu kalam dari seorang alim bernama Ali Nazar Bin Wahya Al-Baikhi, yang dalam negerinya sedang terjadi perdebatan antara ulama fiqih dan hadits dengan orang-orang Mu’tazilah baik mengenai ilmu kalam, maupun ilmu fiqih dan pokok-pokoknya. Dan Abu Hanafi juga termasuk salah satu gurunya. Dari guru-gurunya itulah membuat al Maturidi dikenal dalam bidang fiqih, ilmu Kalam, tafsir sekalipun akhirnya ia lebih populer sebagai mutakallimin. Oleh karena ia lebih banyak memfokuskan perhatiannya kepada ilmu kalam, karena ketika itu ia banyak berhadapan dengan paham teologi lain seperti Mu’tazilah[6]
Suasana yang penuh pertentangan itu mendorong Maturidi bersungguh-sungguh menyelidiki persoalan-persoalan tsb, sehingga akhirnya ia menjadi seorang alim dalam ilmu fiqh dan ushul-ushulnya, serta dalam ilmu kalam. Ulama yang ahli tentang ushuluddin waktu itu sangat sedikit sehingga ia terpaksa mengembara kian kemari untuk memperoleh bahan-bahan dan alasan yang dikehendakinya, sebagaimana ia pernah pergi ke Bashrah sampai 22 kali untuk menghadiri ceramah-ceramah mengenai “aqaid dan kuliah-kuliah ilmu fiqh sampai akhirnya ia menjadi ahli dalam ilmu tersebut.[7]

Sistem berfikir maturidi tidak berbeda banyak dengan Al-Asyari. Banyak segi-segi persamaan, disamping ada sekitar 10 masalah yang berbeda pendapat antara lain: masalah taqdir. Asy’ari tampak lebih dekat kepada Jabariyah sedangkan Al-Maturidi tampak lebih dekat kepada Qadariyah. Persamaannya, adalah menentang Mu’tazilah.[8] Karena beliau hidup di masa ketika sekte Mu’tazilah mempergunakan teknik logika Yunani untuk berdebat. Ia mempergunakan argumen itu juga untuk mempertahankan teologi Islam.[9]
Karangan beliau terbagi dalam 3 cabang penting yaitu tafsir, ilmu kalam dan ushul fiqih. Di antara karya beliau dalam ilmu kalam adalah kitab tauhid yang menunjukkan kemampuan nalar dan keluasan wawasannya dalam menggunakan dalil-dalil, aqaid untuk mempertahankan pendapatnya. Buku ini juga memperlihatkan kepada kita bagaimana beliau menguasai beragam pendapat yang bertolak belakang dengan ajaran ahlus-sunnah wal jamaah baik itu dimiliki kelompok yang menyandarkan pada ajaran Islam atau di luar Islam. Semua itu kemudian digabungkan dengan kemampuan logika yang tinggi. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah kecuali bagi orang yang telah menguasai dalil-dalil aqli yang ada dan paham akan penggunannnya. Kepandaian beliau juga sangat menonjol dalam penggunaan bahasa. Terbukti dengan komentar Az-Zamakhsyari terhadap beliau berbunyi “tidaklah metode ini ditempuh melainkan oleh seseorang yang ahli dalam ilmu ma’ani dan ilmu bayan.[10] Karya beliau dalam bidang tafsir adalah ta’wilatul quran, sedangkan dalam ushul fiqh adalah ma’khadussyarai dan jadal namun kedua karyanya yang akhir ini tidak ditemukan.
         Pemikiran-pemikiran al Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.
b. Imam al Bazdawi (pendiri Maturudiyah Bukhara)
Nama lengkapnya ialah Abu Yusr Muhammad bin Muhammad bin al Husain bin Abd. Karim al Bazdawi, dilahirkan pad tahun 421 H.18 Kakek al Bazdawi yaitu Abd. Karim, hidupnya semasa dengan al Maturidi dan salah satu murid al Maturidi, maka wajarlah jika cucunya juga menjadi pengikut aliran Maturidiyah. Sebagai tangga pertama, al Bazdawi memahami ajaran-ajaran al Maturidi lewat ayahnya.[11]
Al Bazdawi mulai memahami ajaran-ajaran al Maturidiyah lewat lingkungan keluarganya kemudian dikembangkan pada kegiatannya mencari ilmu pada ulama-ulama secara tidak terikat. Ada beberapa nama ulama sebagai guru al Bazdawi antara lain : Ya’kub bin Yusuf bin Muhammad al Naisaburi dan Syekh al Imam Abu Khatib. Di samping itu, ia juga menelaah buku-buku filosof seperti al Kindi dan buku-buku Mu’tazilah seperti Abd. Jabbar al Razi, al Jubba’i, al Ka’bi, dan al Nadham. Selain itu ia juga mendalami pemikiran al Asy’ari dalam kitab al Mu’jiz. Adapun dari karangan-karangan al Maturidi yang dipelajari ialah kitab al Tauhid dan kitab Ta’wilah al Qur’an.[12]
Al Bazdawi berada di Bukhara pada tahun 478 H / 1085 M. Kemudian ia menjabat sebagai qadhi Samarkand pada tahun 481 H / 1088 M, lalu kembali di Bukhara dan meninggal di kota tersebut tahun 493 H / 1099 M.

D. Pokok-pokok Ajarannya

a.      Maturidiyah  Samarkand
Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam sistem teologinya. Oleh karena itu antara teologinya dan teologi al-Asy’ariyah banyak perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah.
      Akal dan Wahyu
Berbicara mengenai akal dan wahyu dalam paham teologi, maka ada empat masalah pokok yang diperdebatkan. Apakah keempat masalah tersebut dapat diketahui akal atau

tidak, apakah hanya dapat diketahui oleh wahyu dan lain sebagainya. Keempat masalah pokok tersebut adalah : Mengetahui Tuhan, Kewajiban mengetahui Tuhan, Mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk sebelum datangnya wahyu.
Al Maturidi berpendapat bahwa akal dapat mengetahui eksistensi Tuhan. Oleh karena Allah sendiri memerintahkan manusia untuk menyelidiki dan merenungi alam ini. Ini menunjukkan bahwa dengan akal, manusia dapat mencapai ma’rifat kepada Allah.[13]
Mengenai kewajiban manusia akan kemampuan mengetahui Tuhan dengan akalnya menurut al Maturidi Samarkand sebelum datangnya wahyu itu juga adalah wajib diketahui oleh akal, maka setiap orang yang sudah mencapai dewasa (baligh dan berakal) berkewajiban mengetahui Tuhan.16sehingga akan berdosa bila tidak percaya kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu.
Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan demikian, akal yang juga tahu bahwa berbuat buruk adalah buruk dan berbuat baik adalah baik. Akal selanjutnya akan membawa kepada kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian akal. Yang diwajibkan akal adalah adanya perintah larangan yang dapat diketahui akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan itu.[14]
Adapun mengenai kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk, menurut paham Maturidiah Samarkand akal tidak berdaya mewajibkan manusia terhadap hal tersebut. Karena kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk hanya dapat diketahui oleh wahyu.

Tentang sifat-sifat Tuhan

Bagi al Maturidi bahwa Tuhan itu mempunyai sifat-sifat, tetapi sifat-sifat itu bukan zat. Dengan kata lain sifat-sifat itu bukanlah suatu yang berdiri pada zat, seperti: Tuhan mengetahui bukan dengan zat-NYA, tapi dengan pengetahuan-NYA. Sifat itu qadim dengan qadimnya zat. Kekalnya sifat-sifat itu sendiri, akan tetapi kekalnya sifat itu melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan.
Oleh karena sifat-sifat itu bukan berdiri sendiri maka tidaklah terjadi ta’addud al qudama’ sebagaimana paham Mu’tazilah yang menafikan sifat karena beranggapan akan terjadi ta’addud al qudama’[15]

Tentang perbuatan manusia
Maturidi berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Ada dua jenis perbuatan yakni : perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan dimanifestasikan dalam bentuk penciptaan daya dalam diri manusia, dan pemakaian daya itulah merupakan perbuatan manusia.
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa Maturidi mengambil jalan tengah antara Mu’tazilah dengan Asy’ariyah, dimana Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya dengan adanya kemampuan yang diberikan oleh Allah kepadanya, sedangkan pendapat Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak mempunyai efektifitas dalam perbuatannya karena ia hanya memiliki kasab yang terjadi bersamaan dangan penciptaan daya dan bukan pengaruh dirinya. Sedangkan Maturidi memandang kasab itu ada karena kemampuan dan pengaruh manusia.
Tentang dosa besar
Ia sepaham dengan Asyary yaitu orang yang berdosa besar masih tetap mukmin. dan soal dosa besarnya nanti akan ditentukan Allah kelak diakhirat. Jadi ía menolak faham posisi menengah kaum Mutaziiah.

Tentang al-wa’ad wal waid
Beliau sepaham dengan Muktazilah bahwa janji dan ancaman Allah tidak boleh tidak mesti tcrjadi kelak.

Tentang antrophomorphisme
Al-Maturidi juga sependapat dengan Mutazilah. Ia tidak sependapat dengan Asy-ari bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat di interpretasi atau tawil. Menurut pendapatnya bahwa tangan, wajah dan sebagainya di beri arti majazi atau kiasan.
Ada banyak konsep yang beliau kemukakan namun kiranya yang perlu diketahui sanggahan beliau terhadap pandangan Mutazilah yang menetapkan bahwa apa yang dilakukan oleh Allah itu bukan dengan ikhtiar tapi karena suatu keharusan dan hal lain yang berhubungan dengan fi’lullah
Beliau mengatakan bahwa af’al yang dimiliki oleh Allah adalah dalam bentuk penciptaanya (khuluqan wa iyjadan), sedangkan yang dimiliki manusia adalah kasb sebagai bentuk ciptaan. Semua ini sebagai dasar bahwa fi’il Allah sebagai sesuatu  yang dilihat secara hakikatnya dan fiil manusia sebagai majaz. Teori yang beliau kemukakan nantinya sebagai radd  atas paham Jabariyah, Qadariyah dan Mutazilah.
Secara umum aliran al-maturidiyah tidak jauh berbeda dengan al-asyariyah dalam prinsip dasar- hanya berbeda dalam pengungkapan atau penjelasannya. Yang paling menonjol adalah bahwasanya asy’ary berpendapat Maturidi menyetujui kebebasan berkehendak sesuai dengan konsekuensi logis dan gagasan keadilan dan gagasan pembalasan Tuhan, sedang al-Asyari berpendapat bahwa kehendak Tuhan tidak dapat dibayangkan dalam kapasitas logika manusia. Tuhan dapat saja mengirim manusia yang baik ke dalam neraka. Al-Maturidi mengakui bahwa pahala dan atau hukurnan adalah sebanding dengan perbuatan manusia itu sendiri.
Perbedaan lain al-asy’ari berpendapat bahwa makrifat kepada Allah adalah berdasarkan tuntunan syara’, sedangkan al- Maturidi berpendapat hal itu diwajibkan oleh akal fikiran. Sesuatu itu baik atau buruk, diwajibkan oleh syara atau dilarangnya. Sedangkan menurut al-Maturidi, sesuatu itu sendiri mempunyal sifat baik dan buruk. Dalam hal ini al-Maturidy tampak lebih mendekati Mu’tazilah.
Sekalipun aI-Maturidiyah memberikan porsi akal fikiran lebih banyak dan karena itu dia mendakati Mu’tazilah. Namun bila diperhatikan ternyata terdapat pula perbedaan. Mu’tazilah berpendapat bahwa ma’rifat kepada Allah adalah kewajiban akal fikiran namun al-Maturidi menilai bahwa makrifat kepada Allah mungkin  merupakan kewajiban akal fikiran, tetapi kewajiban itu tidak akan terjadi kecuali dengan izin yang membuat kewajiban yaitu Allah swt.
  1. Maturidiyah Bukhara (al Bazdawi)
Ada beberapa pemikiran al Bazdawi yang dapat di kemukakan, di antaranya sebagai berikut:
1)      Akal dan Wahyu
Al Bazdawi berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui tentang kewajiban mengetahui Tuhan sekalipun akal dapat mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Kewajiban mengetahui Tuhan haruslah melalui wahyu.
Begitu pula akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban mengerjakan yang baik dan buruk. Akal dalam hal ini hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja. Sedangkan menentukan kewajiban mengenai baik dan buruk adalah wahyu.
Dalam paham golongan Bukhara dikatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi suatu kewajiban. Di sini dapat dipahami bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia.
Di sinilah wahyu mempunyai fungsi yang sangat penting bagi akal untuk memastikan kewajiban melaksanakan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk. Sebagaimana dikatakan al Bazdawi, akal tidak dapat memperoleh petunjuk bagaimana cara beribadah dan mengabdi kepada Tuhan. Akal juga tidak dapat memperoleh petunjuk untuk melaksanakan hukum-hukum dalam perbuatan-perbuatan jahat.

2)      Sifat-sifat Tuhan
Al Bazdawi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan pun qadim. Akan tetapi untuk menghindari banyaknya yang menyertai qadimnya zat Tuhan, maka al Bazdawi mengatakan bahwa ke qadiman sifat-sifat Tuhan itu melalui ke qadiman yang melekat pada diri zat Tuhan, bukan melalui ke qadiman sifat-sifat itu sendiri.
3) Keadilan Tuhan
Maturidiyah Bukhara’ berpendapat, bahwa keadilan Tuhan harus dipahami dalam kontek kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas Al‑Bazdawi menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendakNya sendiri. (Nasution, 1986:  124)
Dengan demikian posisi aliran Maturidyah Bukhara dalam menginterpretasikan keadilan Tuhan adalah lebih dekat pada aliran Asy’ariyah. Masalah dalil yang dipakai pun sama.
4)      Perbuatan manusia
Al Bazdawi berpendapat bahwa perbuatan manusia itu di ciptakan Tuhan, sekalipun perbuatan tersebut di sebabkan oleh qudrah hadisah yang berasal dari manusia itu sendiri. Karena timbulnya perbuatan itu terdapat dua daya yaitu daya untuk mewujudkan dan daya untuk melakukan.
Meskipun dua tokoh aliran Maturidi dan juga Asy’ari berbeda dalam beberapa hal tetapi punya prinsip yang sama. Jika terdapat pertentangan antara akal dan usaha, maka akal harus tunduk kepada wahyu. Itulah satu contoh sehingga mereka terpadu dengan satu aliran besar (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah). Di samping itu mereka tampil menentang Mu’tazilah, hanya saja Asy’ari berhadapan langsung dengan pikiran yang sangat bertentangan dengan Mu’tazilah.

BAB III
PENUTUP


Kesimpulan:
  1. Doktrin-doktrin teologi al-Maturidi diantaranya akal dan wahyu, perbuatan manusia, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sifat Tuhan, melihat Tuhan kalam Tuhan, perbuatan manusia.
  2. Golongan Al-Maturidi Samarkand berpendapat mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui perbuatan baik dan jahat dapat diketahui oleh akal sementara kewajiban mengetahui perbuatan baik dan jahat hanya dapat diketahui oleh wahyu
  3. Golongan Maturidi Bukhara berpendapat mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui oleh akal sedangkan mengetahui baik dan jahat serta kewajiban mengetahui baik dan jahat dapat diketahui oleh wahyu.


DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Cet I; Jakarta; Sinar Grafika ofset, 1995), h.80
Sayyed Hossein Nasr. Intelektual islam. (Cet I; Yogakarta; Pustaka Pelajar. 1996), h. 15

AIi al-Magrihiy, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah Abu Mansur al-Maturidi (Cairo; Risalah
Doktorah as-Syarf al al-Uwla. Kulliat al-Adab. t.th ) h. 11-12
AIi Jum’ah dkk, Mausu’ah A’lam al-Fikr al-lslamiy,(Cet. III; Kairo; Wizarat al-Awqai, 2004), h. 873
Ibid
Abubakar Aceh, Ahlussunnah wal Jama’ah, (Cet. I; Jakarta: Yayasan Baitul Mal, 1969), h.23

Ahmad Hanafi. MA. Teologi Islam (Cet IX: Bulan Bintang: Jakarta. 1991 ), h. 69

Andi Tahir Hamid. Berbagai Agama dun Kepercayaan. (Cet I: Makassar: A.T.Hamid, 2003) h. 186
AIi al-Magrihiy, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah Abu Mansur al-Maturidi (Cairo: Risalah Doktorah as-Syarf al al-Uwla. Kulliat al-Adab. t.th ) h. 20
Harun Nasution, Teologi Islam, (Cet V. Jakarta: UI Press, 1986), h. 76-77

Tarikh al Mazahib al Islamiyah., h. 201.

Kitab Ushul al Din., h. 207.

Teologi Islam., h. 89-90.

 Kitab Ushul al Din., h. 10.

Teologi Islam., h. 77.

Kitab Ushul al Din., h. 11.

Nasution, Harun., Falsafat Agama., Jakarta: Bulan Bintang, 1991.





[1]Harun Nasution, Falsafat Agama., Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
[2] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Cet I; Jakarta; Sinar Grafika ofset, 1995), h.80
[3] Sayyed Hossein Nasr. Intelektual islam. (Cet I; Yogakarta; Pustaka Pelajar. 1996), h. 15
[4] AIi al-Magrihiy, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah Abu Mansur al-Maturidi (Cairo; Risalah Doktorah as-Syarf al al-Uwla. Kulliat al-Adab. t.th ) h. 11-12
[5] AIi Jumah dkk, Mausu’ah A’lam al-Fikr al-lslamiy,(Cet. III; Kairo; Wizarat al-Awqai, 2004), h. 873
[6] Ibid
[7] Abubakar Aceh, Ahlussunnah wal Jama’ah, (Cet. I; Jakarta: Yayasan Baitul Mal, 1969), h.23

[8] Ahmad Hanafi. MA. Teologi Islam (Cet IX: Bulan Bintang: Jakarta. 1991 ), h. 69

[9] Andi Tahir Hamid. Berbagai Agama dun Kepercayaan. (Cet I: Makassar: A.T.Hamid, 2003) h. 186

[10] AIi al-Magrihiy, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah Abu Mansur al-Maturidi (Cairo: Risalah Doktorah as-Syarf
[11] Harun Nasution, Teologi Islam, (Cet V. Jakarta: UI Press, 1986), h. 76-77

[12] Tarikh al Mazahib al Islamiyah., h. 201.

[13] Kitab Ushul al Din., h. 207.

[14] Teologi Islam., h. 89-90.

[15] Kitab Ushul al Din., h. 10.


0 Comment