07 Maret 2012

FILSAFAT ILMU (DAKWAH)

PEMBAHASAN

Sejarah pemikiran dakwah sebagai suatu disiplin keilmuan, dimulai pada tahun 1918 di fakultas ushuluddin universitas Al-Azhar dengan pencetus gagasannya ialah Syaikh Ali Mahfudz dalam tulisannya mengenai “Al-Wa’dhu wa Al-Irsyad” dalam bukunya yang menjadi teks dakwah, hidayat Al-Mursyidi fi Thuruq Al-Wa’dhi wa Al-Hidayah. Oleh karenanya, farid mengusulkan bahwa tahun 1918 merupakan tahun lahirnya ilmu dakwah dan hidayat Al-Mursyidin fi Thuruq Al-Wa’dhi wa Al-Hidayah dianggap sebagai kitab pertama dibidang dakwah.

Filsafat suatu ilmu merupakan landasan pemikiran dari ilmu bersangkutan, titik tolak bagaimana ilmu tersebut bermaksud mencapai tujuannya, filsafat yang bertemu dengan disiplin tertentu akan menjawab masalah-maslaah yang tidak dapat dijawab oleh disiplin yang bersangkutan. Artinya masalah tersebut berkaitan dengan disiplin keilmuan akan tetapi perangkat ilmu atau metode keilmuan tidak dapat menjangkaunya, lalu apakah definisi filsafat dakwah itu? Filsafat dakwah tentunya juga berusaha untuk menjawab persoalan-persoalan yang tidak dapat dijawab oleh metode keilmuan dakwah, sebab yang dikaji ialah sesuatu yang berada di luar disiplin dakwah yang empiris. Filsafat dakwah berusaha menjawab apakah hakekat dakwah (dimensi ontologis), bagaimanakah dakwah dapat direalisasikan secara lebih memanusiakan manusia (aspek epistimologis) dan bagaimanakah dakwah berdaya guna (dimensi aksiologis). Jadi filsafat lebih berorientasi secara rasional dan konseptual ketimbang dimensi-dimensi emperisnya.

Dengan demikian, definisi filsafat dakwah ialah pemikiran mendalam dan konseptual yang menggunakan metode kefilsafatan yang relevan untuk memahami usaha merealisasikan ajaran islam dalam dataran kehidupan manusia melalui strategi, metode dan system yang relevan dengan mempertimbangkan aspek masyarakat.

Sebelum lebih jauh membahas tujuan mengkaji filsafat dakwah, alangkah baiknya kita terlebih dahulu mengetahui fungsi dan tujuan dakwah:

A. Fungsi Dakwah

Islam adalah ajaran Allah yang sempurna dan diturunkan untuk mengatur kehidupan individu dan masyarakat. Akan tetapi, kesempurnaan ajaran islam hanya merupakan ide dan angan-angan saja jika ajaran yang baik itu tidak disampaikan kepada manusia. Lebih-lebih jika ajaran itu tidak diamalkan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, dakwah merupakan suatu aktivitas yang sangat penting dalam keseluruhan ajaran islam. Dengan dakwah, islam dapat diketahui, dihayati, dan diamalkan oleh manusia dari generasi ke generasi berikutnya. Sebaliknya, tanpa dakwah terputuslah generasi manusia yang mengamalkan islam dan selanjutnya islam akan lenyap dari permukaan bumi. Kenyataan eratnya kaitan dakwah dan islam dalam sejarah penyebaran sejak diturunkan islam kepada manusia Max Muller membuat pengakuan bahwa islam adalah agama dakwah yang di dalamnya usaha menyebarkan kebenaran dan mengajak orang-orang yang belum memercayainya dianggap sebagai tugas suci oleh pendirinya atau oleh para pengikutnya.

Melemahnya kekuatan rohaniah kaum muslimin saat ini banyak disebabkan karena mereka secara berangsur-angsur meninggalkan ajaran islam dalam banyak segi kehidupannya satu-satunya sebab kemunduran social dan cultural kaum muslimin terletak pada realitas bahwa mereka secara bersangsur-angsur melalaikan jiwa ajaran islam. Islam adalah agama mereka, akan tetapi tinggal jasad jiwa mereka. Melemahnya kesadaran manusia untuk beragama atau kekurang pekaan mereka terhadap panggilan ilahiah. menurut Abul Hasan An-Nadwy disebabkan hilangnya indra keenam, yaitu indra agama.

Dakwah islam bertugas memfungsikan kembali indra keagamaan manusia yang memang telah menjadi fikri asalnya, agar mereka dapat menghayati tujuan hidup yang sebenarnya untuk berbakti kepada Allah. Sayid qutub mengatakan bahwa (risalah) atau dakwah islam ialah mengajak semua orang untuk tunduk kepada Allah Swt. Taat kepada Rosul. Dan yakin akan hari akhirat. Sasarannya adalah mengeluarkan manusia menuju penyembahan dan penyerahan seluruh jiwa raga kepada Allah Swt. Dari kesempitan dunia ke alam yang lurus dan dari penindasan agama-agama lain sudahlah nyata dan usaha-usaha memahaminya semakin mudah sebaliknya, kebatilan sudah semakin tampak serta akibat-akibatnya sudah dirasakan di mana-mana.

Dengan demikian dakwah yang menjadi tanggung jawa kaum muslimin adalah bertugas menuntun manusia ke alam terang, jalan kebenaran dan mengeluarkan manusia yang berada dalam kegelapan kedalam penuh cahaya.

Dari uraian di atas, maka dapat disebutkan fungsi dakwah adalah:

· Dakwah berfungsi untuk menyeberkan islam kepada manusia sebagai individu dan masyarakat sehingga mereka merasakan rahmat islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin bagi seluruh makhluk Allah SWT.

· Dakwah berfungsi melestarikan nilai-nilai islam dari generasi ke generasi kaum muslimin berikutnya sehingga kelangsungan ajaran islam beserta pemeluknya dari generasi ke generasi berikutnya tidak terputus.

· Dakwah berfungsi korektif artinya meluruskan akhlak yang bengkok, mencegah kemungkaran dan mengeluarkan manusia dari kegelapan rohani.

·

B. Tujuan Dakwah

Tujuan merupakan pernyataan bermakna, keinginan yang dijadikan pedoman menajemen puncak organisasi untuk meraih hasil tertentu atas kegiatan yang dilakukan dalam dimensi waktu tertentu. Tujuan (objective) diasumsikan berbeda dengan sasaran (goals). Dalam tujuan memiliki target-target tertentu untuk dicapai dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan sasaran adalah pernyataan yang telah ditetapkan oleh manajemen puncak untuk menentukan arah organisasi dalam jangka panjang. Sebenarnya tujuan dakwah itu adalah tujuan diturunkan ajaran islam bagi umat manusia itu sendiri, yaitu untuk membuat manusia memiliki kualitas akidah, ibadah, serta akhlak yang tinggi.

Salah satu contoh pokok dari Rasulullah Saw adalah membawa amanah suci berupa menyempurnakan akhlak yang mulia bagi manusia. Dan akhlak yang dimaksudkan ini tidak lain adalah Al-Qur’an itu sendiri sebab hanya kepada Al-Qur’an-lah setiap pribadi muslim itu akan berpedoman.
Secara umum tujuan dakwah dalam Al-Qur’an adalah:

Ø Dakwah bertujuan untuk menghidupkan hati yang mati.

Ø Agar manusia mendapatkan ampunan atas segala dosa -dosanya dan menghindarkan azab dari Allah.

Ø Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutannya.

Ø Untuk menegakkan agama dan tidak terpecah-pecah.

Ø Mengajak dan menuntun kejalan yang lurus.

Ø Untuk menghilangkan pagar penghalang sampainya ayat-ayat Allah ke dalam lubuk hati masyarakat.

Secara teoritis konseptual, filsafat dakwah dapat menjadi instrument dalam merumuskan pokok-pokok esensial dari foktrin agama islam yang berdimensi Rahmatan Lil A’lamin, sehingga produk perumusan ini akan berbentuk pemahaman yang utuh (tidak persial) tentang subtansi islam, yang dalam level aplikatifnya dapat memunculkan inovasi bermutu dan responsive dan tantangan hidup. Sedangkan secara aksiologis, filsafat dakwah mendorong setiap individu manusia untuk selalu meneladani sifat-sifat terpuji dari Nabi Muhammad SAW beserta tradisi kehidupan yang secara moral dan mental tanpa cela, sehingga di dalam jiwa (rohani) manusia akan terpatri suatu kesadaran eksitensial, bahwa dirinya adalah khalifahtullah di muka bumi yang bertugas mulia untuk memakmurkannya secara berkemanusian.

Obyek kajian filsafat dakwah ialah pemikiran yang mendalam dan radikal, logis dan sistematis tentang proses usaha merealisasikan ajaran islam dalam dataran kehidupan umat manusia melalui strategi, metodelogis dan system yang relevan dengan mempertimbangkan dimensi masyarakat khususnya umat islam.

Dijelaskan bahwa metodelogi berfikir dalam filsafat dakwah ialah cara-cara sistematis merumuskan visi dan misi islam yang akan dikomunikasikan lewat metodelogi dakwah yang utuh supaya target misi itu bisa tercapai secara efektif dan efisien dalam perubahan-perubahan sikap mental dan prilaku dianamis masyarakat kini dan nanti

Ada dua langkah metodelogi berfikir dalam filsafat dakwah:
Langkah-langkah metodelogi secara internal, misalkan: sang Da’I harus memperdalam ilmu-ilmu keislaman, metode-metode berfikir (logika dan filsafat), ilmu-ilmu pskologi, sosiologi, antropologi, ilmu komunikasi massa dan ilmu politik, ditambah pengkuatan integritas (moral) pribadi, karakter kepemimpinan dan ketauladan yang nyata.
Langkah metodologi secara ekternal, misalnya: sang da’I harus bersikap terbuka (supel) dalam lintas pergaulan, menghindari sikap-sikap keningratan, lugas dalam menjelaskan masalah keislaman, menerapkan system pengkaderan selektif dalam kelembagaan dakwah yang professional, dan membuat program nyata masyarakat yang sedang menderita dan sebagainya.

Ada empat visi-konseptual dalam reformasi strategi dakwah islamiyah antara lain:

1. Visi teologi, bahwa dakwah islamiyah berorientasi pada konsistensi integral antara iman (spiritual-metafisis) dan amal saleh sebagai ekspresi jiwa yang syahdu (mesra) dalam berinterksi dengan Allah SWT. Berhubungan dengan yang diatas yang perlu direformasi adalah wawasan keagamaan yang parsial (sepotong-sepotong) harus dikritisi (diperbaiki) dalam bentuk re-formulasi wawasan baru yang meng-integrasikan dimensi aqidah (teologis) kedalam setiap prilaku nyata sehari-hari.

2. Visi syari’at, bahwa dakwah islamiyah berorientasi pada kewajiban beribadah mahdhah atau mu’amalah sebagai bukti kongkrit penjabaran kualitas keberiman kepada Allah SWT, yang mana dominasi alasan fiqhiyah harus dperseimbangkan dengan urgensi spirit matra-matar keihlasan sehigga produk perilaku nyata selalu berdimensi etika yang luhur dan bekemanusian, untuk memperoleh kepuasan batin.

3. Visi sosio-struktural, bahwa Dakwah islamiyah terfokus pada meresponsi konteks agar perubahan social yang dikreasikan bisa lebih baik, tanpa ekses ketercerabutan dari budaya lokal yang tetap baik dan dinamis, dimana kontek hegemoni aneka kultur moderenisme yang mengglobal dan segenap efek negatifnya harus dipahami dan serius diantisipasi (seperti materialisme, sekularisme) agar dalam konsep Dakwah islam itu terkandung tawaran-tawaran inovasi atau solusi yang feasible.

4. Visi strategi kelembagaan, bahwa Dakwah Islamiyah perlu penataan baru (re-strukturisasi) atas management organisasi yang ada, baik dalam aspek SDM maupun aspek system operasional dan penadaannya, yang mana secara periodik menyelenggarakan pelatihan intensif tentang strategi Dakwah Islamiyah, agar supaya tercetak SDM yang cerdas secara metodologis dan gesit mendatangkan dana kelembagaan sehingga masyarakat bisa merasakan manfaat Dakwah tersebut.

Secara garis besarnya, selain hal-hal yang tersebut di atas, Tujuan Mengkaji Filsafat Dakwah Islam adalah:

Pertama, memperkuat apresiasi berpikirnya masyarakat tentang kehebatan nilai agama islam sehingga wajib ditegakkan agar supaya mereka benar-benar merasakan bahwa islam memang bermuatan “Rahmatan lil ‘Alamin”. Kedua, Dakwah islam akan lebih efektif dan disegani jika disampaikan secara lengkap lewat metode lisan atau pemikiran yang konseptual dan diverifikasi dengan inovasi kongkret (pembuktian) yang bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Ketiga, Cerdas Meresponi masalah (problematika) baru dalam bentuk solusi pemikiran islam alternatif yang dilengakapi dengan konsep inovasinya (jalan keluar) secara kontekstual sehingga masyarakat terindar dari keterbelakangan yang akut. Wlahu A’lam

Berfikir falasafi artinya berfikir secara mendasar dan sistemik. Harus diakui bahwa pada umumnya masyarakat dakwah di Indonesia belum berfikir falsafi dalam berdakwah, oleh karena pembahasan dakwah di semua lapisan lembaga dakwah pada umumnya masih bersifat permukaan. Da’I pada umumnya dalam menganalisis permasalahan dakwah di masyarakat masih belum berfikir secara falsafi. Diantara hal yang harus dikaji secara mendasar dalam kerangka dakwah yang komunikatif dan efektif adalah hal-hal sebagai berikut :

1. Manusia sebagai mad’u, psikologinya dan kodratnya.

2. Tujuan dakwah, mikro dan makronya.

3. Hakikat dakwah : sekedar (1) tabligh, atau (2) pembudayaan nilai-nilai
Islam, atau bahkan (3).penegakan sistem Islam dalam kehidupan manusia.

4. Hakikat Islamisasi Sistem kehidupan, apakah sekedar dengan (1) tabligh, atau harus dengan (2) amar makruf nahi mungkar, atau bahkan dengan (3) jihad.

5. Pilar-pilar dakwah, apakah cukup dengan (1) dakwah fardiyyah/indifidual, (2) da`wah ijtima`iyyah, atau bahkan perlu mendirikan (3) daulah Islamiyah/negara Islam. Pilihan-pilihan metodologis/mazhab dakwah, apakah hanya dengan (1) tabgligh (dakwahnya muballigh), atau perlu (2) model akulturasi budaya seperti yang dilakukan Wali Songo, atau menggunakan (3) dakwah gerakan, seperti yang dilakukan oleh Ikhwanul muslimin atau Syi’ah Iran.

C. Komunikasi dakwah Psiko Sufistik.

Manusia adakalanya memiliki kecenderungan rasionalistis, dan di kala yang lain cenderung kepada mistis. Pada suatu masa pendekatan rationalistis merupakan pilihan yang tepat dan efektip, tetapi di kala yang lain pendekatan itu justeru terasa kering. Pada zaman krisis manusia memiliki bakat kecenderungan yang bersifat mistis, oleh karena itu sejarah telah membuktikan bahwa tasauf senantiasa muncul ke permukaan di kala ummat Islam dilanda krisis. Kelahiran tasauf di dalam Islam itu sendiri juga berhubungan dengan periode krisis, krisis politik, krisis identitas, dan krisis psikologis sosial. Oleh karena itu pendekatan dakwah dewasa ini tidak cukup sekedar memenuhi kriteria komunikasi. Dakwah harus menyentuh kesadaran rasa, bukan sekedar kesadaran mental. Pembacaan salawat secara massal lebih efektip menumbuhkan rasa keberagamaan dibanding ceramah yang jelas dan logis. Tadarrus Yasin bersama-sama lebih menyentuh dibanding pembacaan al Qur’an dengan qiraah sab’ah di atas mimbar.

Dakwah dengan pendekatan psiko sufistik hanya efektip manakala kondisi masyarakat yang menjadi mad’u sedang mengalami krisis. Psikologi manusia yang bertasauf adalah kesiapan jiwanya sangat besar untuk menerima bimbingan apappun dari guru atau da’i. Seorang guru sufi tak perlu berdebat dengan muridnya, karena muridnya sudah dalam keadaan siap untuk dituangi pencerahan. Meski demikian, pendekatan sufistik pada umnumnya lebih pada untuk mencari jalan keselamatan, dibanding untuk membangun masa depan. Artinya berdakwah tidak cukup dengan hanya melalui pendekatan psiko sufistik, tetapi harus ada da’I lain yang menggunakan pendekatan rasionalism, terlebih lebih jika zamannya sedang normal. Persoalannya, batas antara zaman normal dan krisis itu juga tidak matematis.

D. Tentang Materi Dakwah

Jika yang dimaksud materi dakwah itu tentang apa, maka begitu luas materi dakwah karena ajaran Islam sangat luasnya. Tetapi jika yang dimaksud sumbernya itu apa maka materi dakwah tak lain adalah ajaran al Qur’an dan hadis. Ia bisa inaturanya (ayat-ayat dan matan hadis) bisa juga yang sudah diramu dalam bentuk ilmu yang sitematis, bisa juga dalam bentuk nasehat dan maqalah, bisa juga dalam bentuk kisah-kisah masyarakat yang diteropong dengan kacamata Qur’an hadis. Jika materi itu dimisalkan makanan, ada lapisan asyarakat yang tertarik dengan beras untuk dimasak sendiri, tetapi ada juga yang tidak mau repot-repot mengetahui bahannya apa, yang penting dalam sajian makanan yang menarik dan enak. Mereka tidak tertarik dengan teks Al Qur’an, tetapi sangat bergairah terhadap tamsil-tamsil dan maqolah yang indah.

Yang penting apa yang disampaikan kepada mad’u itu sesuai dengan cara berfikir dan cara merasa mereka, atau dengan kata lain dakwah secara persuasip, sehingga mad’u mengikuti kehendak da’I tetapi mereka merasa sedang mengikuti kehendak sendiri. Jika dakwah disampaikan ecara persuasip, maka pasti konunikatip. Jika komunikatip maka pasti lebih efektip.

Efektifitas dakwah dapat ditandai dengan lima hal sekurang-kurangnya :

1. Melahirkan pengertian mad’u tentang pesan apa yang disampaikan da’i

2. Menimbulkan kesenangan

3. Menimbulkan pengaruh pada sikap mad’u

4. Menimbulkan hubungan yang semakin baik antara da’I-mad’u

5. Menimbulkan tindakan.

E. Bahasa dakwah

Kata-kata jika disampaikan dengan isi, takaran, waktu dan orang yang tepat akan mempunyai kekuatan yang luarbiasa. Bahasa dapat disebut sebagai remote control yang dapat menyetel orang tertawa, menangis, sedih, marah, gembira , semangat, lunglai dan sebagainya. Dengan memperhatikan psikologi pesan, seorang da’I dengan kata-katanya dapat mengatur, menggerakkan dan mengendalikan perilaku masyarakat.

Kekuatan bahasa (dalam dakwah) menurut psikologi kata-kata ,terletak pada jenis-jenis kekuatan seperti berikut :

1. Karena keindahan bahasa, seperti bait-bait puisi

2. karena jelasnya informasi

3. karena logikanya yang kuat

4. karena intonasi suara yang berwibawa

5. karena memberikan harapan/optimisme masa depan (basyiran)

6. karena memberikan peringatan yang mencekam (naziran)

7. karena ungkapan yang penuh ibarat.

Al Qur’an, menyebut beberapa istilah yang dapat disebut sebagai bahasa dakwah, yaitu : qaulan baligha, qaulan karima, qaulan maisura, qaulan layyina dan qaulan sadida, masing-masing mempunyai karakteristik sesuai dengan segmen mad’unya.

1. qaulan baligha ditujukan kepada segmen mad’u orang kafir dan munafiq. (annNisa 63). Menurut Asfihani, sautu kata-kata dianggap baligh manakala : (a) memiliki kebenaran dari segi bahasa, (b) memilikikesesuaian dengan apa yang dimaksud, dan © memiliki kebenaran secara substansial. Qaulan baligha bersifat keras dan tidak lemah lembut, sehingga membekas di hati yang keras.

2. qaulan layyina (Q:/20: 43-44) ditujukan kepada segmen mad’u sejenis penguasa tiran. Cirinya lembut dan tak mengusik perasaan yang dapat mengganggu komunikasi, seperti yang dilakukan Musa kepada Fir’aun.

3. Qaulan maisura (Q/17:28) ditujukan kepada segmen orang awam yang masih berkutat pada problem basic need, sembako. Cirinya, mudah ditangkap, ringan, pantas, tidak berliku-liku dan tidak bersayap, tidak perlu dalil naqli atau pasal-pasal UU.

4. qaulan karima (Q/17:23) ditujukan kepada segmen mad’u manula, pensiunan dan sebangsanya. Cirinya adalah mudah dan lembut (sahlan wa layyinan), tidak menggurui, tidak perlu retorika yang meledak-ledak.

5. qaulan sadida (Q/33: 69-71), ditujukan untuk semua lapisan mad’u. Cirinya : mengenai sasaran (yushib al qasd), materinya benar dari segi isi dan bahasa dan disampaikan dengan pijakan taqwa.

PENUTUP.

Karena ajaran Islam yang komprehensip maka da’i tidak bisa tidak harus menguasai wawasan kahidupan secara komprehensip juga, politik, ekonomi, sosial dan budaya, terlebih-lebih dalam kontek pluralitas bangsa Indonesia yang sedang berada dalam peralihan orde. Dalam perspektip ini maka wacana gagasan universal juga harus disosialisasikan kepada d’a’I .

Filsafat dakwah itu berusaha untuk menjawab persoalan- persoalan yg tidak dapat di jawab oleh metode keilmuan dakwah sebab yang di kaji ialah sesuatu yang berada di luar disiplin dakwah yang emperis.

Jadi filsafat dakwah lebih berorientasi secara rasional & konseptual ketimbang dimensi- dimensi empirisnya.& dakwah itu lebih menggunakan dalil naqli & dalil aqli.

0 Comment