28 Februari 2012


SYEIKH IBRAHIM MUSA PARABEK
SEBAGAI ULAMA PEMBAHARU DI MINANGKABAU
Oleh : Zilfaroni, MA


ABSRAK

Pemikiran Islam Minangkabau dalam perkembangan pemikiran Islam di Nusantara memiliki posisi strategis. Karena daerah ini merupakan cikal bakal gerakan modernis Islam di Indonesia, sementara daerah-daerah lain masih merasa puas dengan praktek-praktek tradisionalnya. Tahun-tahun terakhir abad ke 18 tanda-tanda yang lebih jelas dari pembaharuan keagamaan telah muncul di kalangan masyarakat Minangkabau. Penelitian ini memusatkan perhatian pada perkembangan pemikiran Islam di Minangkabau abad 20, dengan sentral kajian pemikiran pembaharuan Syeikh Ibrahim Musa Parabek.
Spesifikasi gerakan pembaharuan pemikiran yang ditawarkan Ibrahim Musa Parabek dalam pengembangan ilmu penge­tahuan agama tidak  fanatik kepada satu mazhab tertentu atau pada satu aliran saja. Selain itu pembaharuan dakwah yang ia kembang­kan cukup menonjol dalam perubahan sosial dan keaga­maan yang mempunyai daya terobos dalam perubahan tingkah laku masyarakat.

Syeikh Ibrahim Musa Parabek sebagai pendidik dan pembangun umat Islam di Minangkabau, beliau tidak pernah mempermasalahkan perbedaan pendapat antara kaum tradisi di Minangkabau. Di segi lain dapat dilihat bahwa Syeikh Ibrahim Musa berperan sebagai ulama, yaitu orang yang mem­punyai ilmu pengetahuan, mengamalkannya, tampil seba­gai panutan bagi masyarakat lingkungan juga tampil sebagai tokoh teladan serta disegani oleh umat.

Profil Syeikh Ibrahim Musa Parabek sebagai ulama kharismatik, da’i yang disegani, pendidik yang panutan, pejuang kemerdekaan yang gigih dan tokoh akomudatif serta tokoh pemersatu dua kelompok yang berseberangan di Minangkabau, yang mengharumkan nama Minangkabau di pentas Nasional.

BAGIAN I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemikiran
Syekh Ibrahim Musa Parabek adalah salah seorang ulama dan pembaharu dari sederetan nama ulama-ulama di Minangkabau, ahli dalam bidang ilmu Ushul Fiqh, di samping seorang ulama, ia juga dicatat dalam sejarah termasuk pejuang perintis kemerdekaan Republik Indonesia. Lahir di Parabek kecamatan Banuhampu kabupaten Agam pada tanggal 12 Syawal 1301 H/ 15 Agustus 1884.

Ia seorang ulama pembaharu yang tidak kalah pentingnya diban­dingkan dengan tokoh tiga serangkai pembaharu dan pembangun Islam pertama di Minangkabau yaitu Syekh Muhammad Djamil Jambek (1860), Haji Abdullah Ahmad (1878) dan Syekh Abdul Karim Amarullah (1879), berbeda dengan ketiga tokoh pembaharu ini, Syekh Ibrahim Musa juga diterima oleh golongan tradisi meskipun ia adalah seorang ulama pendukung pembaharuan bahkan ikut aktif dalam gerakan tersebut”[1]
Ia seorang ulama dan pembaharu yang sangat berjasa dalam pembangunan Islam di Minangkabau. Dalam usaha pembaharuan dan dakwah yang beliau laksanakan, mempunyai prinsip yang mendasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan agama yang beliau tanamkan kepada murid-muridnya, tidak hanya memfokuskan kepada satu mazhab atau satu aliran saja.
“Prinsip dalam mengembangkan pengetahuan agama yang beliau tanamkan kepada murid-muridnya ialah tidak boleh menutup mata pada satu mazhab saja, tapiboleh mengambil yang lain sebagai studi perbandingan, prinsip yang merupakan slogan itu dilukiskan dalam ijazah Sumatera Thawalib, matangkan satu-satu lalu ambil yang lain untuk jadi perbandingan dan jangan menutup diri pada satu mazhab saja.”[2]
Selain itu dakwahnya cukup menonjol dalam perubahan sosial dan keagamaan yang cukup mempunyai daya terobos dalam perubahan tingkah laku masyarakat, ini terbukti dalam kegiatan dakwah beliau dalam bentuk pola berintegrasi dalam segala kegiatan-kegiatan masyarakat, yang boleh dipandang sebagai posisi strategi dalam menegakkan dakwah Islamiyah itu, seperti tidak menutup mata terhadap pendidikan jasmani, menggalakkan olahraga bola kaki, badminton dan lain sebagainya, bahkan persatuan olah raga ini langsung beliau pimpin dan sering juara pada tingkat Sumatera Barat pada waktu itu.
Selain kegiatan olah raga juga ia tidak keting­galan dalam gerakan kepanduan/ pramuka Islam yang ia beri nama dengan al-Hilal (bulan sabit) yang bersimbol kacu merah biru berlambang keris terhunus, pandu-pandu ini dikerahkan pada usaha-usaha pertanian yang ha­silnya untuk peningkatan berkoperasi dan perekonomian masyarakat.
Di samping itu pembaharuan dakwah yang ia kembangkan adalah aktif dalam berbagai organisasi, baik organisasi pembaharuan maupun organisasi yang dibentuk oleh kelompok yang tidak menyetujui pemba­haruan terhadap agama. Syekh Ibrahim Musa, selain aktif dalam persatuan Sumatera Thawalib, beliau juga aktif dalam organisasi PGAI organisasi pembaharuan dan ittihad al Ulama, organisasi kaum penentang pemba­haruan, beliau juga pernah menjadi dosen ilmu-ilmu agama di perguruan tinggi PGAI di Padang tahun 1940. Pada tahun 1953 beliau diangkat menjadi Presiden Universitas Darul Hikmah di Bukittinggi, di zaman Jepang beliau ikut menjadi salah seorang pemimpin Majlis Islam Tinggi (MIT). Pada masa revolusi 1945 beliau menjadi Imam Jihad tentara Sabilillah kemudian menjadi Dwi Tunggal Majlis Permusyawaratan Ulama Indonesia bersama Syekh Sulaiman al-Rasuli, seorang tokoh dari kalangan tradisi yang juga murid Ahmad Khatib, jabatannya yang terakhir adalah anggota konstituante hasil pemilihan 1953.[3]

Konsep Syekh Ibrahim Musa Parabek sebagai pendidik dan pembangun umat Islam di Minangkabau, tidak pernah mempermasalahkan perbedaan pendapat antara kaum tradisi di Minangkabau, sehingga Syekh Sulaiman al-Rasuli tokoh kaum tradisi pernah mengatakan bahwa ia dan Syekh Ibrahim Musa adalah sehaluan.[4]
Sebagai guru, Syekh Ibrahim Musa dalam mengha­dapi murid-murid, ia terkenal selalu mengembangkan kreativitas muzakarah/diskusi baik dalam kelas maupun dalam forum khusus di hadapan guru-guru dan ia sendiri sebagai moderatornya. Dari perkembangan diskusi ia dapat melihat kemampuan murin-muridnya, ada yang menonjol dalam bidang Nahwu dan Syaraf (Qawa'id) dan ada yang pandai dalam bidang ilmu tafsir, maka ia tidak menutup ke­mungkinan terhadap murid-muridnya untuk menyerahkan kepada Syekh Sulaiman al-Rasuli yang ahli dalam bidang ilmu qawa'id, Syekh Muhammad Jamil Jaho yang ahli dalam bidang ilmu tafsir untuk dididik dalam kedua bidang tersebut.

Di sini tergambar keterbukaannya dalam pengembagan ajaran Islam, ia tidak hanya mengakui keunggulan yang dimilikinya, akan tetapi ia memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk belajar dengan Syekh yang lainnya, karena apa yang dimiliki oleh Syekh lain tersebut tidak dimilikinya dan sebaliknya, sehingga ilmu-ilmu murid-muridnya bertambah banyak. Keterbukaan ini akan mengakibatkan kepercayaan masyarakat kepadanya semakin mendalam dan simpatik.

Di segi lain dapat dilihat bahwa Syekh Ibrahim Musa berperan sebagai ulama, yaitu orang yang mem­punyai ilmu pengetahuan, mengamalkannya, tampil seba­gai panutan bagi masyarakat lingkungan juga tampil sebagai tokoh teladan serta disegani oleh umat, punya kharisma, mempunyai keberanian teguh dalam menge­luarkan fatwa-fatwa, tidak tergoda oleh rayuan dan tidak gentar oleh gertakan (penguasa). Berdasarkan uraian di atas, ia adalah ulama kharismatik, da’i yang disegani, pendidik yang panutan, pejuang kemerdekaan yang gigih dan tokoh akomudatif serta tokoh pemersatu dua kelompok yang berseberangan di Minangkabau, yang mengharumkan nama Minangkabau di pentas Nasional.

Partisipasinya dalam mengantarkan masyarakat Minagkabau kepada bentuk yang sekarang ini, ternyata telah mengantarkan putra putri bangsa ke pentas Nasional seperti, HAMKA, Adam Malik dan  Dt. Palimo Kayo mantan Ketua Majlis Ulama Sumatera Barat. Ia sebagai innovator of ideas  dalam bidang ilmu dakwah Islamiyah.

Mencermati pengaruh pemikiran pembaharuan Islam dan  ide-ide strategis yang digagasnya telah memberikan value added bagi kemajuan Islam di Nusantara. Namun dalam khazanah penelitian keislaman di Indonesia ternyata belum mendapat apresiasi yang semestinya. Bahkan dalam peta pemikiran Islam di Minangkabau abad 20 terabaikan. Di sinilah signifikansi penelitian ini dengan fokus kajian; mengkaji ulang peta pemikiran Islam di Minangkabau abad 20 (Studi Kritis terhadap Pemikiran Syekh Ibrahim Musa Parabek).

B. Persoalan yang diketengahkan

1.    Apa pembaharuan pemikiran Islam Syekh Ibrahim Musa Parabek di Minangkabau.
2.  Bagaimana peranan Syekh Ibrahim Musa Parabek dalam pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau.
3.    Sejauhmana pengaruh pemikiran pembaharuan Islam Syekh Ibrahim Musa Paraberk di Minangkabau.
4.    Di mana posisi dan  ciri khas pemikiran pembaruan Syekh Ibrahim Musa Parabek dalam peta pemikiran Islam Minangkabau Abad 20.


BAGIAN II
SYEKH IBRAHIM MUSA PARABEK SEBAGAI ULAMA PEMBAHARUAN DI MINANGKABAU ABAD XX

A. Biografi dan Sejarah Perjuangan Syekh Ibrahim Musa Parabek
Menurut catatan pribadi Syekh Ibrahim Musa Parabek yang sekarang disimpan oleh cucunya Shafiah Ibrahim menjelaskan bahwa:
“Syekh Ibrahim Musa dilahirkan pada hari Ahad tanggal 12 Syawal 1301 H. bersamaan dengan 15 Agustus 1884 M. di Parabek kecamatan Banuhampu kabupaten Agam. Orang tua Ibrahim Musa bernama Syekh Muhammad Musa bin Abdul Malik Qusthawy seorang ulama yang terkenal di zamannya dan ibunya bernama Maryam, sering orang memanggilnya dengan Urneh”.[5]
Syekh Ibrahim Musa seorang putera dari seorang ulama, maka pendidikan Ibrahim Musa diarahkan oleh ayahnya ke jurusan yang sesuai dengan bakat ayahnya itu, justeru demikian pendidikan Ibrahim Musa diserahkan ayahnya kepada guru-guru agama yang ada pada zamannya. Menurut keterangan hasil wawancara penulis dengan Buya H. Khatib Janan, seorang murid Syekh Ibrahim dan sebagai guru yang paling tua di Sumatera Thawalib, menjelaskan bahwa beliau pernah menerima cerita dari Syekh Ibrahim Musa yang menerangkan bahwa:
“Menjelang umur Syeikh Ibrahim Musa 13 tahun, beliau langsung diasuh oleh ayahnya Syekh Muhammad Musa belajar ilmu agama terutama mengaji al-Qur’an. Kemudian Ibrahim Musa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan berbeda pula keahlian dari para ulama tempat beliau mempelajari ilmu agama. Untuk melanjutkan ilmu pengetahuan yang telah beliau pelajari dari ayahnya, maka beliau berikeinginan besar untuk menambah ilmunya ke tempat lain”.[6]
Keinginannya itu dikabulkan oleh ayahnya untuk menuntut ilmu pengetahuan kepada guru yang lain, hal ini sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan Buya H. Hasbullah St. Malenggang menjelaskan sebagai berikut:

“Pada tahun 1314 Hijriah, ayahnya menyerahkan Ibrahim Musa belajar agama dengan Haji Abdul Malik Pakandangan yang terkenal dengan panggilan Syekh Mata Air. Di sini Ibrahim Musa belajar ilmu Syaraf dan Nahu lebih kurang satu tahun, di mana beliau telah mengkhatamkannya waktu itu. Setelah beliau belajar agama dengan H. Abdul Malik Pakandangan, maka pada tahun 1315 H. Ibrahim Musa pindah belajar ke Batu Tebal Padang Panjang di Surau Tuangku Angin. Di sini beliau belajar Fiqh dari kitab Minhaj sampai tamat. Lebih kurang satu tahun pula Musa belajar agama dengan Tuangku Angin Batu Tebal, akhirnya beliau kembali belajar ke kampungnya yaitu Ladang Lawas nagari Parabek”.[7]
Perpindahan Ibrahim Musa dari satu tempat ke tempat lain menuntut ilmu pengetahuan, bukan karena kenakalan atau kebencian dari gurunya tetapi adalah kecerdasannya, sehingga dalam waktu dekat beliau dapat menguasai ilmu yang dituntutnya itu sesuai dengan keahlian guru di mana ia mempelajari ilmu pengetahuan.

Setelah beliau belajar agama dengan Tuangku Angin Batu Tebal Padang Panjang, maka Syekh Ibrahim Musa melanjutkan ke sekolah lain waktu itu. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan Bapak Anwar Adjazi, menerangkan bahwa:

“Pada tahun 1316 H. Syekh Ibrahim Musa belajar agama dengan Haji Inyiak Abbas Ladang Lawas, seorang Qadhi Landrad Bukittinggi, di samping itu juga beliau belajar dengan Syekh Abdul Samad (Tuangku Sami’) di Biaro IV Angkat Fort de Cock dalam waktu yang sama, lebih kurang beliau belajar dua tahun dengan gurunya itu, maka pada tahun 1318 H. Syekh Ibrahim Musa pindah lagi kepada Syekh Jalaluddin El-Kasai di Sungai Landai dekat nagari Parabek”.[8]
Dalam hal ini Ibrahim Musa tidak lagi di bawah asuhan guru tua, akan tetapi sudah mulai belajar menela’ah dan berdiskusi dengan gurunya itu, sehingga waktu Ibrahim Musa telah bisa memahami bahasa Arab dengan secukupnya dan masalah-masalah yang berhubungan dengan agama. Oleh karena kecerdasannya, Syekh Jalaluddin El-Kasai mengangkatnya menjadi guru bantu yang waktu itu disebut dengan guru tuo (tua). Setelah Ibrahim Musa belajar lebih kurang 1,5 tahun di surau Sungai Landai bersama Syekh Jalaluddin El-Kasai, maka beliau merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya itu.

Akhirnya Ibrahim Musa pindah lagi belajar ke Suliki Payakumbuh dengan Syekh Abdul Hamid, karena di sini telah ada pembaharuan pendidikan, sehingga berduyun-duyunlah orang pergi ke sama menuntut ilmu pengetahuan, Ibrahim Musa-pun tidak mau pula ketinggalan. Demikianlah guru-guru Ibrahim Musa yang beliau pilih menurut keahliannya sesuai menurut fak-fak ilmunya dari masing-masing guru yang beliau datangi. Dan pada masa itu murid atau santri ingin melengkapi ilmu pengetahuannya dari berbaai bidang, maka mereka berpindah-pindah dari satu ulama ke ulama lain.

Bila seorang murid umpamanya mau memperdalam ilmu fiqh, maka ia harus berada pada suatu kampung di mana ulama fiqh itu berada, dan bila ingin mempelajari ilmu Tasauf atau Nahu dan Syaraf, maka harus mencari dan pindah lagi kepada guru atau syekh yang ahli dalam faknya itu, karena pada masa itu langka sekali para guru yang ahli semuanya (menguasai) berbagai bidang ilmu pengetahuan. Begitu pula halnya Ibrahim Musa, di mana beliau ingin mendalami semua ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan agama Islam.

Setelah beliau mendapatkan ilmu pengetahuan melalui pendidikan elementer secara tradisional di beberapa tempat di Minangkabau, maka beliau belum merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya itu, malah semakin haus dan merasakan mempunyai ilmu pengetahuan. Akhirnya beliau ingin melanjutkan pelajaran (pendidikannya) ke luar negeri, yakni ke tanah suci Makkatul Mukarramah yang merupakan sumber ilmu pengetahuan agama Islam, dan juga sebagai tempat yang sangat diidamkan oleh setiap ulama dan santri-santri pada waktu itu.

Menurut catatan Anwar Adjazi, salah seorang pengurus Sumatera Thawalib Parabek dan sekaligus sebagai guru pada perguruan tersebut, bahwa dalam catatan harian Syekh Ibrahim Musa ditemukan:  “Syekh Ibrahim Musa berangkat ke tanah suci Makkah pada bulan Rajab tahun 1320 H. atau 1901 M. bersama kakaknya bernama Abdul Malik”.[9] Di Makkah Ibrahim Musa belajar ilmu agama kepada tokoh ulama yang berkaliber besar. Menurut keterangan A. Gaffar murid dari Syekh Ibrahim Musa adalah sebagai berikut:

“Di antara guru Syeikh Ibrahim Musa di tanah suci Makkah ialah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabauwy, juga sebagai Imam di Masjidil Haram, suatu jabatan yang istimewa di tanah Hijaj, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Ali bin Husen, Syekh Mukhtar al-Jawy, Syekh Yusuf Ahmad Khayyath dan lain-lain”.[10] Setelah belajar di Makkah lebih kurang tujuh tahun, maka pada tahun 1908M. beliau kembali ke tanah air Indonesia, yakni ke tempat kelahirannya di Parabek Bukittinggi dan beliau disambut dengan meriah oleh masyarakat.
Setelah Syekh Ibrahim Musa berada di Bukittinggi, beliau membuka pengajian secara berhalaqah yang banyak dikunjungi oleh murid-murid dari berbagai daerah di Minangkabau pada waktu itu, sehingga daerah Parabek sudah mulai di kenal oleh para santri, terutama di daerah Minangkabau.
Sekalipun Ibrahim Musa sudah banyak mempunyai murid, namun beliau masih belum merasakan mempunyai ilmu pengetahuan.

“Maka pada tahun 1914 M. Syeikh Ibrahim Musa berangkat lagi ke tanah suci Makkah untuk kedua kalinya, dan dalam hal ini beliau berangkat bersama isterinya yang ketiga yang bernama Syarifah Gani dan anak laki-lakinya yang bernama Thaher Ibrahim”.[11]
Lebih kurang dua tahun beliau berada di Makkah, meletus perang dunia kedua, sehingga membawa kegoncangan ke negara Arab Saudi. Akhirnya Ibrahim Musa kembali lagi ke kampungnya Parabek Bukittinggi dan terus melanjutkan bekal pendidikan agama yang beliau tinggalkan lebih kurang dua tahun lamanya.

Syekh Ibrahim Musa banyak menguasai ilmu pengetahuan, seperti ahli dalam ilmu Nahu, Syaraf, Ma’ani, Bayan, Badi’ dan sebagainya, juga ahli dalam bidang ilmu Fiqh, Ushuluddin, Tafsir, Hadis, Tajwid dan Qira’at. Tetapi di antara ilmu yang beliau miliki itu maka Syekh Ibrahim Musa lebih menonjol dalam ilmu Ushul Fiqh dan ilmu Alat (Nahu dan Syaraf.

Menurut hasil wawancara penulis dengan Anwar Adjazi, salah seorang pengurus yayasan Syekh Ibrahim Musa Parabek dan Shafiah Ibrahim, cucu Ibrahim Musa bahwa jumlah isteri Syekh Ibrahim Musa adalah sebagai berikut:

1.    Daraham yang berasal dari Taluak Empat Suku Banuhampu, dalam hal ini beliau dengan isterinya yang pertama ini tidak mempunyai anak, beliau kawin dengan Daraham ini tanggal 17 Rabbi ‘ul Awal tahun 1927 M.
2.    Jibat, beliau kawin dengan isteri yang kedua ini pada tanggal 23 Jumadil Awal, akhir tahun 1927, juga tidak mempunyai anak satupun, isterinya yang kedua ini berasal dari orang kampungnya sendiri yaitu Parabek.
3.    Syarifah Gani, dari Ujung Gurun Padang, dan bersama isteri yang ketiga ini, beliau dianugerahi anak sebanyak 3 orang, yaitu Thaher Ibrahim, Mohamad Thaib Ibrahim dan Maryam Ibrahim.
4.    Rombok, berasal dari Karaton Parabek, pada isteri yang keempat ini beliau mempunyai anak 4 orang, yakni Syarifah Ibrahim dan Sya’adah Ibrahim (isteri dari Abdul Moeis, pengarang), Anis Ibrahim dan Faij Ibrahim.
5.    Hikam, berasal dari Kapas Panji Banuhampu mempunyai anak satu orang yang bernama Fatmah Zahara.
6.    Andi’, berasal dari Kampung Sari’ Sungai Puar, dengan isteri yang keenam ini juga tidak mempunyai anak.
7.    Fatimah, berasal dari Kamang Batu Banyak, juga tidak mempunyai anak.
8.    Limbok, yaitu isteri beliau yang ke delapan yang berasal dari Limbukan Payakumbuh, dengan isterinya ini beliau mempunyai anak satu orang yakni Khadijah Ibrahim.[12]
Dengan demikian anak dari Syekh Ibrahim Musa sebanyak 9 orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 5 orang dan perempuan sebanyak 4 orang. Anak Syekh Ibrahim Musa yang hidup sekarang ini adalah sebanyak 3 orang yaitu: Syarifah Ibrahim dan Sya’adah yang merupakan anak dari isteri beliau yang bernama Rombok dan keduanya sekarang berada di Jakarta, dan yang ketiga adalah Maryam Ibrahim, anak beliau dari isterinya Syarifah Gani, yang sekarang tinggal di jalan Balik Papan No. 1 Padang.
Syekh Ibrahim Musa Parabek dalam kehidupannya sehari-hari maziyyah (kelebihan)) atau keistimewaan itu yang terdapat pada diri seorang ulama ialah hal-hal yang aneh atau ajaib, kalau memang begitu orang mengartikannya, barangkali sang ulama itu akan dikeramatkan banyak orang. Namun Syekh Ibrahim Musa tidaklah memiliki hal-hal seperti itu. Akan tetapi bila hal yang dimaksud dengan maziyyah adalah berupa kepribadian, maka Syekh Ibrahim Musa mempunyai kepribadian yang agung, di mana beliau sangat taqwa kepada Allah Yang Maha Esa dan teguh dalam pendiriannya membela dan memperjuangkan agama Islam ke tengah-tengah masyarakat luas.

Bila ditinjau maziyyah atau keistimewaan yang terdapat pada diri Syekh Ibrahim Musa dari segi kehidupan duniawi, beliau adalah termasuk orang yang berada atau kaya, beliau mempunyai wajah yang selalu berseri, tidak pernah bermuka muram sekalipun beliau dalam keadaan marah, baik kepada keluarga ataupun kepada orang lain terutama kepada murid-muridnya.

Beliau paling cakap di antara ulama yang seangkatan dengannya dan memenuhi persyaratan yang bersifat keduniaan, seperti selalu berpakaian rapi, gagah dan tampan, tinggi semampai, dan penuh wibawa, beliau memiliki materi yang cukup, sehingga tidak pernah mengharapkan bantuan dari orang lain, malah sebaliknya.

Pada masa itu, tidak satupun ulama-ulama besar di Minangkabau yang mempunyai mobil dan radio di rumahnya, kecuali Syekh Ibrahim Musa Parabek, karena di zaman kolonial Belanda kehidupan rakyat Indonesia serba susah. Adapun Syekh Ibrahim Musa Parabek pada waktu itu memiliki barang-barang serba lux, namun demikian beliau tetap rendah hati, baik kepada orang banyak, apalagi kepada sesama Islam.

Dan kalau dilihat dari maziyyah atau keistimewaan Syekh Ibrahim Musa dari segi rohani, beliau mempunyai budi pekerti yang tinggi dan memiliki ilmu pengetahuan yang dalam, sehingga dikagumi dan disegani oleh Ulama-Ulama besar yang ada di Minang Kabau. Akhlaknya yang mulia itu iapertahankan sampai akhir hayat.

Bila terjadi masalah-masalah yang sulit dan rumit dalam persoalan hukum dan ilmu agama, maka Syekh Ibrahim Musa  Parabek-lah yang selalu merampungkannya, sehingga Doktor Abdul Karim Amrullah karena ketinggian ilmu yang dimiliki oleh Syekh Ibrahim Musa itu, maka beliau menyerahkan anaknya HAMKA ke Sumatera Thawalib Parabek.

Syekh Daud Rasidi menyerahkan anaknya pula (H. Mansur Daud Datuk Palimo Kayo) ex Ketua Majelis Ulama Sumbar (almarhum) ke Sumatera Thawalib Parabek ini, demikianlah salah satu waziyyah yang dimiliki oleh Syekh Ibrahim Musa , hal ini menunjukkan kekaguman para Ulama lain terhadap ilmu yang dimiliki oleh Syekh Ibrahim Musa.

Disegi lain dapat penulis kemukakan sikap dan kepribadian beliau sehari-hari, ini juga merupakan maziyyah beliau dalam kehidupannya, yaitu sebagaimana yang dikemukakan oleh Buya Haji Khatib Janan, bahwa :

2. Perjuangan Syekh Ibrahim Musa Parabek.
Setelah penulis menguraikan sejarah kehidupan Syekh Ibrahim Musa Parabek, maka uraian berikutnya pada bab ini adalah perjuangan Syekh Ibrahim Musa di Minang Kabau (Sumatera Barat) yang meliputi.
- a. Sebagai pendidik.
- b. Sebagai Da’i.

Agar jangan terjadi kesimpang siuran dalam penulisan Thesis ini, maka penulis akan menguraikan satu persatu dari perjuangan Syekh Ibrahim Musa Parabek sebagai berikut :

Sebagai seorang ilmuwan yang ditumbuhkan melalui pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal maka untuk mewariskan ilmu yang dimilikinya itu, beliau sangat berkeinginan sekali dari kecilnya mendirikan lembaga pendidikan.

Hal ini beliau laksanakan sekembalinya dari tanah suci Mekkah Mukarramah pada tahun 1327 Hijriyah 1Rabiul awal 1908 M. Sehingga masyarakat Parabek waktu itu menyambut dengan gembira dan penuh semangat atas prakarsa Syekh Ibrahim Musa membuka pengajian tersebut, akhrnya murid-murid berdatangan untuk menuntut ilmu pengetahuan kepada beliau.

Namun situasi yang belum menguntungkan bagi beliau melaksanakan ajaran Islam ketengah masyarakat. Sedangkan kemampuan untuk berbuat lebih jauh lagi, belum memungkinkan untuk melanjutkan pengajian-pengajian, akhirnya beliau memutuskan untuk kembali ke tanah suci Mekkah menambah ilmu pengetahuannya.

Pada tahun 1333 H, Syekh Ibrahim Musa berangkat ke Mekkah bersama dengan isterinya Syarifah Gani dan seorang putranya Thaher Ibrahim. Tidak berapa lama beliau di Mekkah, atau lebih kurang 2 tahun, maka pada tahun 1335 H/ 1917 M, beliau kembali lagi ke tanah air untuk melanjutkan missinya mengembangkan ajaran Islam.

Setelah beliau berada kembali di Parabek, maka diteruskannya membuka pendidikan agama yang merupakan cita-citanya dari kecil. Setelah setahun kemudian para murid-murid atau santri telah banyak berdatangan kembali untuk melanjutkan pelajarannya kepada Syekh Ibrahim Musa.

Perkumpulan Muzaharatul Ikhwan semakin hari semakin meningkat dan maju, baik pengikutnya maupun masalah yang dipecahkannya, maka Muzaharatul Ikhwan dirobah namanya menjadi Sumatera Thawalib.

Oleh karena muridnya semakin banyak juga yang berdatangan dari berbagai penjuru di sekitar Vord de Kock namanya waktu itu dan sekarang Bukittinggi, maka musyawarahlah Syekh Ibrahim Musa dengan sobatnya yang akrab, yakni Syekh H. Abd. Karim Amrullah.

Membina generasi muda dengan pendidikan agama dan pelajaran yang mantap, tidak kepalang tanggung, itulah yang menjadi cita-cita beliau mendirikan Sumatera Thawalib. Seluruh dan aktifitasnya beliau curahkan untuk membina Sumatera Thawalib sesuai dengan ide yang terkandung dalam hati beliau selama ini.

Dengan Sumatera Thawalib beliau membuat dan membina kader-kader guru agama yang matang, kader muballigh yang bisa dipercaya ilmu dan aqidahnya bila murid-murid itu terjun ke dalam masyarakat luas kelak.

Sumatera Thawalib langsung beliau pimpin den beliau pupuk, beliau sirami dan beliau rawat sebaik-baiknya, bagaikan petani merawat tanamannya sehingga Madrasah itu berkembang dengan suburnya, beliau asuh murid-murid dengan penuh semangat dan dedikasi yang besar. Akhirnya nama Sumatera Thawalib Parabek harum dan masyhur keseluruh Sumatera, bahkan sampai kesemenanjung Melayu atau Malaysia.
Syekh Ibrahim Musa sebagai seorang pendidik beliau sangat banyak memperhatikan kesulitan dan keluhan muridnya, maka untuk mengatasi kesulitan murid-muridnya itu, beliau selalu mengembangkan kretifitas pelajar dengan sistem diskusi baik didalam kelas maupun dalam forum khusus dengan guru-guru Sumatera Thawalib dan beliau sebagai moderatornya.

Setelah Sumatera Thawalib berjalan dengan lancar dan baik, maka beliau tidak berhenti sampai di situ, akan tetapi beliau mempunyai keinginan lebih besar dari itu, dimana beliau mendirikan lagi Kuliatut Diniyah dengan masa belajar tiga tahun. Kuliatut Diniyah ini beliau pimpin bersama menantunya yang bernama Al-Ustaz H. Bustami Abdul Gani seorang lulusan Perguruan Tinggi Darul Ulum Cairo.

Sudah  suatu ketentuan alam, bahwa setiap adanya kesuksesan juga ada kegagalan, setiap ada usaha ada pula tantangannya. Demikian pula kiranya Syekh Ibrahim Musa Parabek dalam menjalankan misinya ke tengah masyarakat selalu memerlukan perjuangan di samping suka dan duka merupakan seni bagi kehidupannya.

alui dunia pendidikan bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi bila kondisi dan situasinya tidak begitu menguntungkan, seperti halnya pada zaman kolonial Belanda yang selalu merintangi dan mencurigai perkembangan dan kemajuan lembaga pendidikan Islam yang senantiasa setiap tahun melepaskan para lulusannya yang telah tamat untuk diterjunkannya ke tengah masyarakat.

Maka Sumatera Thawalib dengan guru besarnya Syekh Ibrahim Musa selalu dicurigai oleh pihak Belanda dan diawasi semua gerak gerik yang dilakukan oleh Sumatera Thawalib, baik guru-guru maupun murid-muridnya. Pemerintah Belanda mengirim mata-matanya (spionnya) ke Parabek untuk menyelidiki dan megawasi seluruh tindak tanduk Syekh Ibrahim Musa beserta staf guru dan murid-muridnya. Namun hal yang demikian tidak membuat Syekh Ibrahim Musa dan guru-guru yang mengajar di Parabek menjadi gentar, bahkan sebaliknya, yaitu bertambah tekun dengan tugasnya masing-masing sebagai pahlawan-pahlawan Allah di muka bumi.

Kecurigaan Belanda itu mungkin dapat dimengerti, yaitu secara resmi tidak didapati mata pelajaran atau kurikulum yang dipakai di Sumatera Thawalib yang bersifat politik ketata negaraan, tapi nyatanya dari Sumatera Thawalib itu banyak bermunculan tokoh politik terkemuka di Sumatera Barat.

Pada waktu itu suhu politik sangat memuncak di Sumatera Barat khususnya dan di Indonesia pada umumnya, Syekh Ibrahim Musa mendapat peringatan dari pemerintahan Belanda. Buku-buku tertentu karangan Syekh Muhammad Abduh dari Mesir, dan buku-buku karangan Syekh Ghulani dari Syria dilarang membacanya bagi para siswa Sumatera Thawalib, karena buku itu berisi yang dapat menimbulkan semangat perlawanan kepada pemerintah Belanda.

Akhirnya Belanda menawarkan bantuan Subsidi untuk Sumatera Thawalib, namun beliau (Syekh Ibrahim Musa) menolaknya secara halus dan bijaksana. Pemerintahan Belanda masih tetap curiga, walaupun dalam kurikulum Sumatera Thawalib tidak terdapat pelajaran yang berbau politik, ternyata banyak dari lulusan Sumatera Thawalib aktif dan campin dibidang politik, seperti Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) yang dipelopori oleh Ali Imran Jamil, Abdul Gafar Ismail, Abdul Malik Sidik dan lain-lainnya.

Di samping kecurigaan-kecurigaan Belanda diatas banyak lagi hal-hal dan cobaan yang dialami oleh Syekh Ibrahim Musa, seperti: terjadinya kebakaran di Parabek, yang menghanguskan sekolah, kantor, asrama bertingkat, hal ini terjadi pada tanggal 17-18 Oktober 1937, lima tahun kemudian, terjadi lagi kebakaran yang menghanguskan asrama putri, juga bertingkat dua.

Para jebolan Sumatera Thawalib yang pernah beliau bina kebanyakan menjadi orang besar, seperti Prof. Dr. Hamka, seorang ulama dan pengarang yang berkaliber internasional, Yunan Nasution, seorang ulama yang cukup terkenal di ibukota, haji Sirajuddin Abbas, Gaffar Ismail, Mansoer Daud Dt. Palimo Kayo, ex. ulama terkemuka, Tamar Djaya, pengarang sejarah Indonesia, dan Adam Malik, ex. Wakil Presiden RI., yang tidak hanya dikenal di tanah air saja, tapi juga di luar negeri.

B. Pembaharuan dibidang dakwah Islamiyah
Syekh Ibrahim Musa Parabek merupakan salah seorang da’i yang sangat berpengaruh di masanya, dan selalu dikenang oleh masyarakat (jama’ahnya) yang pernah menikmati ceramahnya, bahkan pidato-pidatonya yang pernah disampaikan menjadi catatan sejarah, karena membangkitkan semangat juang bagi masyarakat dalam menentang penjajah.

Dalam penyampaian dakwah ke tengah masyarakat, di samping tergambar keulamaannya dengan ilmu pengetahuan yang dalam, diiringi dengan sikapnya yang lemah-lembut.

Sifat lemah-lembut adalah siat yang harus dimiliki oleh seorang da’i, Dengan sifat lemah-lembut tapi penuh wibawa akan membuat daya tarik dan penuh perhatian bagi jama’ah mengikuti jalannya dakwah. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 159

Dengan sikap lemah lembut yang dimiliki oleh Syekh Ibrahim Musa, dakwahnya di dengar oleh orang lain, tingkah laku dan perbuatannya diikuti, nasehatnya dituruti, larangannya dihentikan, demikian tingginya kharisma yang beliau miliki.

Di segi lain, Syekh Ibrahim Musa selalu memperhatikan kondisi dan situasi jama’ah, sehingga dari sini beliau dapat memilih materi yang cocok untuk disajikan kepada jama’ah. Pada prinsipnya Syekh Ibrahim Musa sebagai da’i, menguasai teknik-teknik berkomunikasi ilmu-ilmu yang mendukung untuk kelancaran dalam berdakwah, sehingga hasilnya cepat menggugah akal dan perasaan orang lain.

Seperti ketika Syekh Ibrahim Musa menyampaikan materi dakwah dengan tema al-Jihadu fi sabilillah di saat membakar semangat juang masyarakat dalam menantang dan menumpas penjajah, dakwah yang beliau sampaikan itu dalam rangka missi melalui swadaya masyarakat untuk membiayai perjuangan pergerakan rakyat, terutama membantu Moh. Hatta dalam bidang keuangan yang ketika itu berada di luar negeri memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Di samping Syekh Ibrahim Musa mempunyai daya tarik yang besar dalam melaksanakan dakwah ke tengah masyarakat, juga beliau mempunyai niat yang ikhlas karena allah semata, ke ikhlasan ini tergambar di mukanya yang jernih dan bersinar, baik dalam melaksanakan dakwah maupun dalam kehidupannya sehari-hari, dan beliau mempunyai perasaan yang halus.

Dengan sifat keikhlasan yang beliau miliki itu membawa ketenangan dan kemerdekaan dalam hidupnya, beliau merasa tidak terpaksa, tapi rasa kewajibanlah yang membuat beliau untuk bertindak dan berbuat dalam mengembangkan ajaran Islam kepada umat.

Sikap beliau demikian itu tidak hanya diketahui oleh murid-murid dan para jama’ahnya, akan tetapi para ulama seangkatan dengan beliaupun mengetahui sifat beliau yang demikian. Dan Syekh Ibrahim Musa tidak suka ketawa terbahak-bahak walaupun dalam suasana gembira. Di segi lain, Syekh Ibrahim Musa mempunyai sifat disiplin yang kuat, dan sifat istiqamah yang dalam terutama dalam mengembangkan ajaran Islam, baik dalam menyampaikan dakwah maupun dalam berfatwa.

Syekh Ibrahim Musa selalu bertegas-tegas kepada murid-muridnya supaya menguasai ilmu dan disiplin diri karena murid-muridnya kelak akan menjadi panutan umat bila terjun ke tengah-tengah masyarakat memberikan dakwah.

Perbuatan dan perkataan serta tingkah laku seorang ulama (da’i) akan menjadi ikutan bagi masyarakat banyak, karena itu beliau sangat hati-hati dan sangat tegas kepada murid-muridnya sebelum beliau lepas ke tengah-tengah masyarakat.

Syekh Ibrahim Musa dikenal seabgai seorang yang paling taat, menguasai ilmu agama Islam yang dalam dan mengamalkan segala ilmu yang dimilikinya serta menghindarkan diri dari segala larangan Allah Swt.

Syekh Ibrahim Musa betul-betul mempunyai kharisma di tengah-tengah masyarakat, beliau memiliki kriteria sebagai ulama termasyur dan terkemuka, ilmu pengetahuannya sangat dalam di bidang agama, fatwanya mantap dan tegas, taat beribadah, dengan sikapnya yang demikian itu maka beliau pantas menjadi panutan bagi umat untuk dicontoh dan diteladani.

Budi pekertinya cukup halus, pendiriannya tegas, disiplinnya tinggi. Minat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan khusus di bidang agama sangat serius, hal ini kelihatan sekali dari usaha-usaha beliau, yiatu dari cara belajar sistem halaqah sampai beliau membangun gedung sekolah untuk kelancaran pendidikan bagi murid-muridnya, seperti dibangunnya gedung Sumatera Thawalib dan gedung Kuliatut Diniyah.

Dari uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perjuangan Syekh Ibrahim Musa dan ulama-ulama yang lain mempunyai andil yang besar dalam membimbing umat ke jalan yang benar, begitu juga ikut berjuang dengan gigih menumpas kaum penjajah.

Melihat situasi di tanah air waktu masa kolonial, memang sangat mengharapkan agar para ulama dapat mempergunakan pengaruhnya untuk kepentingan perjuangan, di samping kegiatan rakyat harus siap menghadapi segala kemungkinan dan rintangan yang timbul dari luar maupun dari dalam.

Sebagai konsekwensi dari cita-cita dan perjuangan bangsa, dirasa penting untuk meminta inpun dan spirit dari kalangan ulama, sehingga pemuda-pemuda aktif berjuang dan berkorban, sekalipun jiwa demi kemerdekaan.

Ulama sebagai tonggak estafet dan sebagai pewaris Nabi, maka kita tidak bisa terlepas dari masalah yang melatar belakangi kejadian. Timbulnya semangat juang ulama adalah disebabkan kerena semakain menanjaknya politik kolonial untuk menjalankan usaha melawan penjajahan Jepang dan memperkokoh potensi umat guna menyambut janji kemerdekaan. Sebagaimana fatwa yang telah dikeluarkan oleh alim ulama, bahwa berjuang mempertahankan agama, bangsa dan tanah air adalah perjuangan yang suci, gugur dalam perjuangan itu adalah mati syahid.

Dalam menyampaikan gagasan pembaharuan Syekh Ibrahim Musa mempergunakan media dalam bentuk tulisan (majalah), dan untuk lancarnya publikasi diadakan tabligh-tabligh keliling. Dalam hal ini nampak, bahwa dengan adanya persatuan dan kesatuanlah bisa terwujudnya cita-cita bangsa. Lembaga hanya merupakan suatu standar untuk merealisasikan suatu ide.

Syekh Ibrahim Musa bukanlah seorang tokoh politik dalam perjuangan kemerdekaan, tetapi beliau adalah seorang ulama pembaharu yang telah berhasil menanamkan idenya melalui lembaga pendidikan, dan sekaligus mempunyai saham yang cukup besar dalam perjuangan kemerdekaan di daerah Sumatera Barat. Oleh sebab itu demi terwujudnya cita-cita bangsa untuk menentang dan menumpas penjajahan tersebut maka para ulama membentuk persatuan dan mendirikan organisasi sosial, seperti mendirikan lembaga pendidikan seperti Sumatera Thawalib, PGAI, dan organisasi politik lainnya, seperti Permi dan lain sebagainya.

Demi untuk terwujudnya cita-cita bangsa untuk melawan penjajahan, maka ulama membentuk penjajahan, maka ulama membentuk persatuan Majlis Islam Tinggi (MIT) dengan tujuan dan keinginan agar bisa menggerakkan potensi umat Islam dalam peningkatan.

 C. Sebagai Tokoh Ulama Pembaharuan

Pemikiran Islam Minangkabau dalam perkembangan pemikiran Islam di Nusantara memiliki posisi strategis. Karena daerah ini merupakan cikal bakal gerakan modernis Islam di Indonesia, sementara daerah-daerah lain masih merasa puas dengan praktek-praktek tradisionalnya.[13]  Tahun-tahun terakhir abad ke 18 tanda-tanda yang lebih jelas dari pembaharuan keagamaan telah muncul di kalangan masyarakat Minangkabau.[14]  

Penelitian ini memusatkan perhatian pada perkembangan pemikiran Islam di Minangkabau abad 20, dengan sentral kajian pemikiran pembaruan Syeikh Ibrahim Musa Parabek. Syeikh Ibrahim Musa Parabek tokoh yang hampir saja terlupakan oleh peneliti sebelumnya. Padahal posisi pemikiran ulama besar Minang ini dalam jaringan ulama di Nusantara sebagai penghubung mata rantai antara kelompok modernis dengan kelompok tradisional.

“Syeikh Ibrahim Musa Parabek adalah seorang ulama pembaharu yang tidak kalah pentingnya diban­dingkan dengan tokoh tiga serangkai pembaharu dan pembangun Islam pertama di Minangkabau yaitu Syeikh Muhammad Djamil Jambek (1860), Haji Abdullah Ahmad (1878) dan Syeikh Abdul Karim Amarullah (1879), berbeda dengan ketiga tokoh pembaharu ini, Syeikh Ibrahim Musa juga diterima oleh golongan tradisi meskipun ia adalah seorang ulama pendukung pembaharuan bahkan ikut aktif dalam gerakan tersebut”[15]
Dari sederetan ulama besar Minangkabau seperti  Ahmad Khatib al-Minangkabawi (lahir 1855), Syeikh Taher Jalaluddin (lahir 1869), Syeikh Muhammad Djamil Djembek (lahir 1860), Haji Abdul Karim Amarullah (lahir 1879), Haji Abdullah Ahmad dan Syeikh Ibrahim Musa Parabek (lahir 1882), memiliki peran tersendiri dalam lintasan sejarahnya.

Jika ulama dan tokoh sebelum Ibrahim Musa Parabek di atas hanya bergerak mewakili kelompok modernis saja, maka Ibrahim Musa Parabek seorang profil ulama yang akomodatif terhadap dua kelompok yang saling berdebat, yakni antara modernis dan tradisionalis. Meskipun pada bagian lain, ia membantu gerakan pembaharuan, ia tetap diterima oleh kalangan tradisi. Hal ini jelas digambarkan oleh keanggotaannya dalam dua organisasi, baik kaum muda mau pun kaum tua, yaitu persatuan guru-guru agama Islam (kaum Muda) dan Ittihadul Ulama’ (kaum Tua). Kelihatannya ia sama-sama banyak bergaul dengan kedua kelompok tersebut, sungguhpun suraunya terkenal dengan nama Thawalib (Parabek) dan sangat erat hubungannya dengan lembaga yang sama di Padang Panjang.[16]
Syeikh Ibrahim Musa Parabek adalah salah seorang ulama dan pembaharu dari sederetan nama ulama-ulama di Minangkabau, ahli dalam bidah ushul fiqh, di samping ia seorang ulama, juga dicatat dalam sejarah termasuk pejuang perintis kemerdekaan Republik Indone­sia, lahir di Parabek, Kecamatan Banuhampu Sungai Puar, Kabupaten Agama Sumatera Barat, pada tanggal 12 Syawal 1301 H./15 Agustus 1882 M.

Spesifikasi gerakan pembaharuan pemikiran yang ditawarkan Ibrahim Musa Parabek dalam pengembangan ilmu penge­tahuan agama tidak  fanatik kepada satu mazhab tertentu atau pada satu aliran saja. Prinsip Syeikh Ibrahim Musa dalam pembaharuan pemikir­an  Islam, tidak boleh menutup mata kepada satu mazhab saja, tapi boleh mengambil yang lain sebagai studi perbandingan, prinsip yang merupakan slogan itu dilukiskan dalam ijazah Sumatera Thawalib, matang­kan satu-satu lalu ambil yang lain untuk jadi perbandingan dan jangan menutup diri pada satu mazhab saja.[17]

Syeikh Ibrahim Musa Parabek dalam pembaharuan dan pengembangan pemikiran Islam tidak pernah mempermasalahkan perbedaan pendapat antara kaum pembaharu dan kaum tradisi di Minangkabau, sehingga Syeikh Sulaiman al-Rasuli tokoh kaum tradisi pernah mengatakan bahwa ia dan syeikh Ibrahim Musa adalah sehaluan.[18] Perbedaannya adalah Sulaiman Al-Rasuli hanya diterima oleh kelompok tradisional yang mayoritas menghambakan diri pada mazhab Syafi’i.

“Syeikh Ibrahim Musa Parabek adalah seorang ulama pembaharu yang tidak kalah pentingnya diban­dingkan dengan tokoh tiga serangkai pembaharu dan pembangun Islam pertama di Minangkabau yaitu Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul, berbeda dengan ketiga tokoh pembaharu ini, Syeikh Ibrahim Musa juga diterima oleh golongan tradisi meskipun beliau adalah seorang ulama pendukung pembaharuan bahkan ikut aktif dalam gerakan tersebut.”[19]
Usaha pembaharuan pemikiran dakwah Islam yang ia laksanakan di Sumatera Barat mempunyai prinsip yang mendasar terutama dalam pengembangan ilmu penge­tahuan agama yang ia tanamkan kepada murid-muridnya yaitu tidak memfokuskan kepada satu mazhab atau satu aliran saja, terutama aspek ibadat.

Selain itu pembaharuan dakwah yang ia kembang­kan cukup menonjol dalam perubahan sosial dan keaga­maan yang mempunyai daya terobos dalam perubahan tingkah laku masyarakat. Ini terbukti dalam kegiatan dakwahnya dalam bentuk pola berintegrasi dengan segala bentuk kegiatan-kegiatan masyarakat boleh dipandang sebagai posisi strategis dalam menegakkan dakwah Islamiyah, seperti tidak menutup mata terhadap pendi­dikan jasmani, menggalakkan olahraga bola kaki, bad­minton dan lain sebagainya, bahkan persatuan olahraga ini langsung ia yang memimpin dan bahkan sering men­juarai tingkat Sumatera Barat pada waktu itu.

Selain kegiatan olah raga juga ia tidak keting­galan dalam gerakan kepanduan/pramuka Islam yang ia beri nama dengan al-Hilal (bulan sabit) yang bersimbol kacu merah biru berlambang keris terhunus, pandu-pandu ini dikerahkan pada usaha-usaha pertanian yang ha­silnya untuk peningkatan berkoperasi dan perekonomian masyarakat.

Di samping itu pembaharuan dakwah yang ia kembangkan adalah aktif dalam berbagai organisasi, baik organisasi pembaharuan maupun organisasi yang dibentuk oleh kelompok yang tidak menyetujui pemba­haruan terhadap agama.

Syeikh Ibrahim Musa, selain aktif dalam persatuan Sumatera Thawalib, beliau juga aktif dalam organisasi PGAI organisasi pembaharuan dan ittihad al Ulama, organisasi kaum penentang pemba­haruan, beliau juga pernah menjadi dosen ilmu-ilmu agama di perguruan tinggi PGAI di Padang tahun 1940. Pada tahun 1953 beliau diangkat menjadi Presiden Universitas Darul Hikmah di Bukittinggi, di zaman Jepang beliau ikut menjadi salah seorang pemimpin Majlis Islam Tinggi (MIT). Pada masa revolusi 1945 beliau menjadi Imam Jihad tentara Sabilillah kemudian menjadi Dwi Tunggal Majlis Permusyawaratan Ulama Indonesia bersama Syeikh Sulaiman al-Rasuli, seorang tokoh dari kalangan tradisi yang juga murid Ahmad Khatib, jabatannya yang terakhir adalah anggota konstituante hasil pemilihan 1953.[20]
Syeikh Ibrahim Musa Parabek sebagai pendidik dan pembangun umat Islam di Minangkabau, beliau tidak pernah mempermasalahkan perbedaan pendapat antara kaum tradisi di Minangkabau, sehingga Syeikh Sulaiman al-Rasuli tokoh kaum tradisi pernah mengatakan bahwa ia dan syeikh Ibrahim Musa adalah sehaluan.[21]

Sebagai guru, Syeikh Ibrahim Musa dalam mengha­dapi murid-murid, ia terkenal selalu mengembangkan kreativitas muzakarah/diskusi baik dalam kelas maupun dalam forum khusus di hadapan guru-guru dan ia sendiri sebagai moderatornya. Dari perkembangan diskusi ia dapat melihat kemampuan murin-muridnya, ada yang menonjol dalam bidang Nahwu dan Syaraf (Qawa'id) dan ada yang pandai dalam bidang ilmu tafsir, maka ia tidak menutup ke­mungkinan terhadap murid-muridnya untuk menyerahkan kepada Syeikh Sulaiman al-Rasuli yang ahli dalam bidang ilmu qawa'id, Syeikh Muhammad Jamil Jaho yang ahli dalam bidang ilmu tafsir untuk dididik dalam kedua bidang tersebut.
Di sini tergambar keterbukaan Syeikh Ibrahim Musa dalam pengembangan ajaran Islam, ia tidak hanya mengakui keunggulan yang dimilikinya, akan tetapi ia memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk belajar dengan Syeikh yang lainnya, karena apa yang dimiliki oleh Syeikh lain tersebut tidak dimilikinya dan sebaliknya, sehingga ilmu-ilmu murid-muridnya bertambah banyak. Keterbukaan ini akan mengakibatkan kepercayaan masyarakat kepadanya semakin mendalam dan simpatik.

Di segi lain dapat dilihat bahwa Syeikh Ibrahim Musa berperan sebagai ulama, yaitu orang yang mem­punyai ilmu pengetahuan, mengamalkannya, tampil seba­gai panutan bagi masyarakat lingkungan juga tampil sebagai tokoh teladan serta disegani oleh umat, punya kharisma, mempunyai keberanian teguh dalam menge­luarkan fatwa-fatwa, tidak tergoda oleh rayuan dan tidak gentar oleh gertakan penguasa.

Syeikh Ibrahim Musa Parabek profil ulama kharismatik, da’i yang disegani, pendidik yang panutan, pejuang kemerdekaan yang gigih dan tokoh akomudatif serta tokoh pemersatu dua kelompok yang berseberangan di Minangkabau, yang mengharumkan nama Minangkabau di pentas Nasional.

Partisipasinya dalam mengantarkan masyarakat Minagkabau kepada bentuk yang sekarang ini, ternyata telah mengantarkan putra putri bangsa ke pentas Nasional seperti, HAMKA, Adam Malik dan  Dt. Palimo Kayo mantan Ketua Majlis Ulama Sumatera Barat. Ia sebagai innovator of ideas  dalam bidang ilmu dakwah Islamiyah.


BAGIAN III
PENUTUP

Kesimpulan

1.    Syekh Ibrahim Musa Parabek adalah salah seorang ulama terkemuka di Sumatera Barat yang telah berjasa dalam mengembangkan ajaran Islam ke tengah-tengah masyarakat dengan memakai konsep tidak mempermasalahkan mazhab dan sistem pengajaran secara halaqah dan klasikal menurut metode yang sesuai dengan perkembangan zaman. Selain seorang ulama, beliau juga sebagai seorang pendidik yang mashhur yang telah berhasil membina kader-kader ualam di Sumatera Barat melalui Sumatera Thawalib.
2.    Di samping ulama dan pendidik, beliau ikut mempelopori dan memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, menumpas penjajah di tanah air Indonesia melalui wadah-wadah organisasi yang berkembang waktu itu dengan pidatonya yang membakar semangat juang rakyat. Beliau dilahirkan di Parabek Bukittinggi pada hari Ahad tanggal 12 Syawal 1301 H (15 Agustus 1884 M).
3.    Syekh Ibrahim Musa Parabek memegang peranan penting dalam merubah tingkah laku sosial masyarakat dalam menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan memberantas tahyul dan khurafat, melalui wadah pendidikan, dakwah, karya tulis dan pergaulan di tengah-tengah masyarakat.


DAFTAR BACAAN

Al-Qur’an al-Karim
Akhria, Nazwar, Syekh Ibrahim Musa Ahmad Khatif Ilmuan Islam di Permulaan Abad Ini, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1983
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bumi Restu, 1986
Echal, John M., Kamus Inggeris Indonesia, Jakarta, Gramedia, 1982
Edwar, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang, Islamic Centre, 1981
Hamidy, Zainuddin, Terjemahan Shahih Bukhari, Jakarta, Wijaya, 1976
Hamka, Panji Masyarakat, Nomor 269 tahun ke-20
Hasymi, A., Dustur Dakwah Menurut Al-Quran, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Hasymi, Ahmad Said, Mukhtarul Hadis, Annabawi, Hijaj
Dar el-Mushreq, Munjidul al-Thulab, Beirut: Al-Maktabah as-Syarqiyah, 1974
Natsir, M., Fiqhud Dakwah, Jakarta, Dewan Dakwah Islamiyah, 1979
----------, Majalah Suara Masjid, Nomor 2 tahun 1978
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1976
ash-Shiddieqy, Hasbi, Mutiara Hadis, Jakarta, Bulan Bintang, 1976
Siddiq, Syamsuni, A., Dakwah dan Berkhutbah, Bandung, Al-Ma’arif, cet. I
Ya’cub, Hamzah, Publisistik Islam dan Tekhnik Dakwah, Bandung, Diponegoro, 1974
Yunus, Mahmud, Pedoman Dakwah Islamiyah, Jakarta, Hida Karya Agung, 1980
----------, Tafsir Al-Quran Indonesia, Padang, Muhammadiyah, 1978


[1] Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib, ilmuwan Islam dipermu­laan abad ini, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, h. 79
[2] Edwar, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang, 1981, h. 161
[3] Akhria Nazwar, op.cit., h. 81
[4] Ibid., h. 82
[5] Shafiah Ibrahim, cucu Syekh Ibrahim Musa Parabek, Wawancara di Parabek kecamatan Banuhampu kabupaten Agam.
[6] Buya Haji Khatib Janan, Wawancara, di Parabek kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam.
[7] Buya Haji Khatib Janan, Wawancara, di Parabek kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam.
[8] Anwar Adjazi St. Rajo Labiah, Wawancara, di Parabek kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam.
[9] Anwar Adjazi, Wawancara, op.cit.
[10] A. Gaffar, Kepala Madrasah Aliyah Sumatera Thawalib, Wawancara, di Parabek kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam.
[11] Shafiah Ibrahim, cucu Syekh Ibrahim Musa, Wawancara, di Karakatau
[12] Anwar Adjazi, Wawancara, di Karakatau Parabek Bukittinggi.
[13]  Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1980, h. 37.
[14] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, 1995, h. 289.
[15] Akhria Nazwar, Syeikh Ahmad Khatib, ilmuwan Islam dipermu­laan abad ini, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, h. 79
[16] Deliar Noer, op.cit., h. 48.
[17] Edwar, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Penerbit Islamic Centre, Padang, 1981, h. 161
[18] Ibid.
[19] Akhria Nazwar, Syeikh Ahmad Khatib, ilmuwan Islam dipermu­laan abad ini, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, h. 79
[20] Akhria Nazwar, op.cit., h. 81

[21] Ibid.
                                                                                 

2 Comment - SYEIKH IBRAHIM MUSA PARABEK SEBAGAI ULAMA PEMBAHARU DI MINANGKABAU