21 September 2012

Penanganan PMKS dalam PantiPermasalahan gelandangan dan pengemis merupakan salah satu permasalahan sosial yang sulit untuk  ditangani. Banyaknya jumlah gelandangan dan pengemis yang kerap kali terlihat memadati setiap perempatan dan ruas-ruas jalan utama bukan saja tidak sedap dipandang, melainkan menjadi isu serius yang perlu dicarikan jalan pemecahannya bersama

Kondisi di atas belum ditambah dengan kenyataan bahwa sebagian besar gelandangan dan pengemis di kota Jakarta—dan bahkan mungkin di beberapa kota besar lainnya-- adalah orang-orang yang notabene bukan penduduk setempat. Pada tingkat yang ekstrem, kegiatan mengemis merupakan aktivitas rutin yang terorganisasi dengan baik seperti temuan sebuah stasiun TV swasta setahun yang lalu yang melaporkan adanya oknum anak pejabat yang turut aktif mengelola organisasi pengemis. Selain itu, serbuan para PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial), istilah khusus yang digunakan di lingkungan pekerja sosial, yang “diimpor” dari luar kota Jakarta menyebabkan sulitnya menerapkan cara atau perlakuan yang tepat untuk membina mereka.

Menariknya, munculnya Gepeng tidak hanya menjadi masalah di negara-negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi relatif lambat, seperti terjadi di negara-negara berkembang seperti di Indonesia, Filipina, Bangladesh atau Thailand, kasus yang sama terjadi pula di berbagai negara maju.

Pengalaman Negara Lain

Inggris memiliki sejarah yang cukup panjang dengan pengemis, contohnya pengemis-pengemis gypsi yang berasal dari Romania. Pada 1800 warga Inggris mengecap pengemis-pengemis gypsi sebagai ofensif, suka mencuri, mengotori jalan dan kerap kali membuntuti orang untuk mendapatkan uang. Kini, pengemis-pengemis yang berada di Inggris bukan hanya berasal dari suku-suku gypsi Romania dan Chekoslovakia (sebelum berpisah) melainkan juga berasal dari daerah konflik etnis di Eropa Timur seperti Bosnia, Kroasia, Kosovo, Serbia yang meninggalkan negaranya untuk mencari perlindungan—biasa disebut sebagai asylum seekers atau pencari suaka.

Mengapa Inggris? Di bawah protokol 1967 dan kesepakatan dengan PBB tahun 1951 Inggris telah setuju untuk menyediakan tempat bagi para pencari suaka, yang keselamatan hidupnya terancam di negaranya sendiri. Peraturan menyebutkan segera sesudah mendapatkan suaka, “para pelarian” ini akan diambil sidik jarinya dan memiliki alamat sendiri dengan pengecualian mereka tidak akan menikmati hak penuh sebagai warga negara dan pengurusannya diserahkan kepada pemerintahan setempat.

Tetapi, pada April 2001 pemerintahan Inggris memberlakukan peraturan baru yang lebih ketat dan pada dasarnya tidak memperbolehkan para pencari suaka untuk bekerja, tidak menerima benefit apa pun dari pemerintah dan, sebagai gantinya, hanya diberikan voucher makan dengan ukuran 30% di bawah tingkat konsumsi yang wajar. Karena itu, mengemis menjadi satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Inilah potret kemiskinan dan sekaligus melahirkan tindakan mengemis yang terjadi di negara modern seperti Inggris. Peraturan baru itu mengindikasikan lahirnya sebuah kelas pengemis yang terstruktur yang dilahirkan oleh kebijakan pemerintah.

Sadar dengan kebijakan yang “berbahaya”, pemerintahan lokal semisal Cambridge menempuh cara dengan melibatkan stakeholder seperti Wintercomfort dan Jimmy's Nightshelter, organisasi yang peduli dengan masalah gelandangan (homeless people), dengan menyalurkan donasi yang diserahkan melalui lembaga tersebut. Uniknya, donasi itu dikumpulkan dari kotak-kotak sumbangan resmi yang disebarkan di berbagai titik strategis di pusat kota. Selain itu, tindakan hukum juga dikenakan bagi mereka yang tertangkap tangan menggunakan uang hasil mengemis untuk mabuk-mabukan maupun membeli narkoba. Upaya mengurangi jumlah pengemis juga dilakukan di kota-kota London, Westminter City, dan Camden dengan memasang poster-poster yang mengimbau masyarakat untuk tidak memberikan uang kepada pengemis.

Di negara modern lainnya semisal Kanada, pemerintahan British Columbia (BC) pada Oktober 2004 memberlakukan hukum yang membolehkan polisi mengenakan denda kepada para pengemis yang bersikap dan berucap kasar, berada dalam radius lima meter dari perhentian bus atau telepon umum koin, serta squeegee kid, orang-orang—biasanya anak-anak—yang membersihkan kaca mobil saat kendaraan berhenti di lampu merah.

Upaya yang dinamai dengan Safe Street Acts ini sebetulnya meniru model yang diterapkan secara sukses di negara bagian Ontario, Kanada. Peraturan ini mengelompokkan tindakan meminta uang dengan ancaman, tindakan mengemis yang dilakukan olah dua orang atau kelompok, menghambat jalan orang, berada sejauh lima meter dari ATM, perhentian bus, telepon umum dan toilet umum sebagai kegiatan yang terlarang.

Meski peraturan ini menuai badai kritik dari lembaga advokasi setempat dan anggota Partai Demokratik Baru (NDP), pemerintah British Columbia terus melenggang dengan alasan bahwa kebanyakan pengemis adalah orang-orang yang sangat cukup makan, berpakaian dengan sangat layak, sangat berlebih untuk diri mereka tetapi tidak mau membayar pajak. Tambahan pula, begitu seriusnya masalah pengemis dan gelandangan di BC ini menyebabkan pemerintah mengeluarkan peraturan lainnya yang dikenal dengan Trespass Act, yang melarang gelandangan mendirikan tenda-tenda di pekarangan rumah orang.

Beberapa tindakan atau kebijakan mengurangi jumlah kemiskinan di sebagian kota di negara-negara maju membuahkan hasil yang cukup signifikan. Studi yang dilakukan di Notingham City, Inggris, menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan jumlah pengemis sebesar 85% dalam waktu enam bulan saja sejak program penanggulangan pengemis dilakukan. Program ini mencakup; tindakan hukum bagi para pengemis yang agresif, pemberdayaan patroli polisi di kota-kota, pengawas atau penyelia yang beroperasi di jalan dan memantau para pengemis, dan sebuah kampanye simpatik yang ditujukan untuk masyarakat luas dalam bentuk poster yang memberikan alternatif bantuan daripada memberikan uang kepada pengemis.

Potret Pengemis di Indonesia

Kehadiran pengemis di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari melemahnya kekuatan ekonomi secara makro untuk menolong tumbuhnya lapangan kerja baru dan sekaligus menyerap tenaga kerja. Hal ini dipicu oleh krisis moneter pada 1998 yang menyebabkan ambruknya perekonomian Indonesia yang secara ironis disebut-sebut sebagai macan baru asia sebelum krisis terjadi. Ibarat dalam cerita dongeng, negara ini jatuh miskin hanya dalam sehari! Dan sejak itu, halaman-halaman surat kabar dipenuhi dengan data terjadinya PHK besar-besaran dan tumbuhnya angka kemiskinan yang fantastis. Proyeksi data yang diperkirakan oleh International Labour Organisation (ILO) menyebutkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3 persen dari seluruh jumlah penduduk (BPS-UNDP, 1999). Sementara itu, menurut laporan BKKBN (2005), jumlah masyarakat miskin di tanah air saat ini mencapai 36,1 persen dari total penduduk Indonesia sekitar 220 juta jiwa, termasuk di dalamnya penduduk fakir miskin sebanyak 14,8 juta jiwa.

Yang mana pun data statistik yang kita gunakan, baik UNDP atau pun versi BKKBN, yang jelas keadaan ini mengisyaratkan semakin bertambah banyaknya penduduk Indonesia yang telah jatuh miskin! Situasi ini, menurut Edi Suharto, menyebabkan mencuatnya beberapa fenomena sosial seperti ruwetnya tata kota karena bertambahnya jumlah PKL seperti dialami di Bandung. Selain itu, munculnya gelandangan dan pengemis (PMKS) yang beroperasi di jalan-jalan protokol di kota-kota besar dan sekarang meluas ke daerah-daerah ditengarai sebagai efek samping krisis berkepanjangan. Suharto menambahkan bahwa seandainya PMKS dimasukkan ke dalam kategori kemiskinan, angka kemiskinan akan bertambah lagi sebesar 21 juta orang (Suharto, 2003).

Dalam kaca pandang Suharto, ada tiga kategori kemiskinan di Indonesia yaitu; kelompok paling miskin atau fakir miskin (destitute), kelompok miskin (poor) dan terakhir kelompok rentan (vulnerable). Kelompok paling miskin adalah mereka yang betul-betul tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial dan umumnya tidak memiliki pendapatan, kelompok miskin adalah kelompok yang memiliki pendapatan meski kadang tidak mencukupi, atau setidaknya tidak butu huruf, dan kelompok rentan adalah kelompok yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi miskin seiring dengan berubahnya kondisi sosial politik. Buruh-buruh berupah kecil, tergolong ke dalam kategori terakhir ini.

Sayangnya, Gepeng yang saban hari berkeliaran di jalanan tidak mudah diidentifikasi atau dikelompokkan ke dalam kategori-kategori miskin seperti yang dijelaskan sebelumnya. Hal ini menyebabkan, perlunya upaya ekstra keras untuk mengindentifikasi dan meneliti keberadaan para Gepeng untuk memastikan tindakan yang tepat untuk mengatasi para PMKS, utamanya di Yogyakarta. Tindakan penggarukan, seperti yang pernah penulis saksikan di perempatan Kaliurang, mungkin bukan resep yang tepat seandainya pihak pemkot mengetahui kalau sebagian besar tindakan mengemis itu adalah kegiatan yang terorganisasi dengan rapi. Upaya hukum, dalam hal ini dengan menemukan bos pengemis dan menjeratnya dengan undang-undang, harus ditempuh.

Sebuah tesis mahasiswi pascasarjana IAIN (Umami, 2005) yang dilakukan dengan mengambil sampel tujuh anak-anak dari keluarga yang tinggal di perkampungan Gajah Wong menyebutkan bahwa tindakan mengemis bukanlah lagi sekadar persoalan mengisi perut, tetapi belakangan berkembang menjadi profesi, dengan melibatkan anak-anak. Orangtua kerap kali memanfaatkan anak-anak untuk mencari nafkah di jalanan dan memberikan punishment dan reward diukur dari jumlah uang yang dibawa pulang anak-anak itu ke rumah. Tindakan kekerasan sering menyertai kekesalan orangtua terhadap anak-anak mereka yang menghasilkan sedikit uang.

Penanganan Gepeng di kota-kota di Indonesia

Setiap kota memiliki dan menetapkan intervensi yang berbeda dalam menangani masalah PMKS, contohnya Bandung. Peraturan daerah kota Bandung nomor 3/2005 tentang penyelenggaraan K3 mencatumkan gelandangan dan pengemis dalam poin 19 dan 20 dan, menariknya, perda itu juga menyebutkan Gepeng sebagai tuna sosial dalam poin ke-21, yang menempatkan mereka setara dengan WTS. Anak jalanan diatur terpisah dan disebutkan dalam poin ke-23. Isi peraturan itu lengkapnya menyebutkan:

1. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan kehidupan normal yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum serta mengganggu Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan.

2. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan dari orang lain serta mengganggu ketertiban umum.

3. Tuna Sosial adalah penyandang masalah kesejahteraan sosial termasuk gelandangan, pengemis, pengamen dan wanita tuna susila.

4. Tuna Susila adalah orang yang mengadakan hubungan seksual tanpa didasari dengan perkawinan yang sah dengan mengharapkan imbalan/upah sebagai balas jasa serta mengganggu ketertiban umum.

5. Anak Jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau tempat-tempat umum (bisa berpindah-pindah) serta mengganggu ketertiban umum.

Di kota, yang menurut data tahun 2003 memiliki 217 gelandangan dan 112 pengemis, implementasi peraturan daerah dilakukan dengan cara merazia para Gepeng dan mengembalikan ke daerah asal mereka. Pemerintah kota Bandung juga menggunakan istilah pragepeng bagi mereka yang baru menggelandang atau mengemis. Penanganan terhadap pragepeng dilakukan melalui pembinaan di lingkungan pondok sosial (liposos) Cisarua Lembang Kab. Bandung dan di Panti Budhi Dharma Palimanan Kab. Cirebon, dengan pengecualian para gelandangan yang menderita penyakit mental (psikotis).

Kota Semarang termasuk kota yang melakukan kampanye simpatik dengan menyebar spanduk ajakan untuk tidak memberikan sesuatu kepada anak jalanan, gelandangan, dan pengemis di jalan protokol. Meski belakangan diketahui hal ini dilakukan untuk kepentingan kampanye politik, tetapi upaya ini cukup penting untuk dicatat sebagai proses yang juga ikut meletakkan batu-bata penanganan Gepeng yang secara serius digarap pemerintah kota.

Dengan melibatkan sekelompok peneliti, fakta yang ditemukan di Semarang perihal anak jalanan, contohnya, diketahui sebenarnya orangtua anak jalanan tidak ingin anaknya berkeliaran di tempat umum. Mereka turun ke jalan karena masalah ekonomi, dan sebagai tindak lanjut para orangtua Anjal ini direkomendasikan untuk turut dilibatkan dalam formulasi kebijakan.

Salah satu kemajuan yang telah dicapai melalui program pengurangan kemiskinan, dikenal sebagai penanganan masyarakat urban Kawasan Kota Lama melalui Lembaga Pendamping Buruh Tani dan Nelayan (LPU BTN) yang diketuai oleh Prof. Agnes Widanti SH CN, adalah keberhasilan mengubah perilaku masyarakat untuk tidak mengemis. Data menunjukkan pada 2004 sekitar 70% masyarakat penghuni kawasan kota lama adalah pengemis. Setelah berjalan selama empat tahun, program itu berhasil mengurangi jumlah pengemis dari yang asalnya sebanyak 300 orang menjadi 14 orang saja pada 2005 (suaramerdeka, 05/09/05).

Kunci keberhasilan program yang dilakukan LPU BTN adalah formulasi keterlibatan anak-anak jalanan, orangtua anak jalanan dan elemen lain yang ikut diberdayakan dalam penertiban masalah sosial. Dengan cara ini, penanganan PMKS diubah dari sekadar penggarukan menjadi tujuan dengan jangka waktu relatif panjang.

Upaya penggarukan dan pembinaan di panti-panti sosial seperti yang pernah dilakukan pemkot Jakarta, yang pada 2000 memiliki tiga ribu pengemis, terbukti tidak efektif dan tidak impresif. Gagalnya terapi penggarukan disebabkan oleh logika razia yang tidak punya arti lain selain penangkapan dan bukan mengedepankan dialog (Kompas, 30/06/05).

Usaha yang dilakukan JATIM dalam menangani PMKS termasuk impresif, dalam arti program-program yang direncanakan termasuk luar biasa komplet dan ambisius. Pada 2005 saja pihak DINSOS Propinsi Jawa Timur mencantumkan sebanyak 47 layanan masyarakat yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.

Bagaimana dengan Yogyakarta?

Dengan memperlihatkan sejumlah cara penanganan pengemis yang dilakukan di beberapa kota di negara-negara maju maupun di kota-kota Indonesia, setidaknya pemkot Yogyakarta memiliki sejumlah amunisi untuk melakukan upaya yang lebih tepat sasaran, berjangka panjang dan terutama lebih manusiawi.

Kondisi ekonomi secara makro memang tidak bisa dipungkiri memengaruhi hampir semua sektor. Bukan hanya ekonomi tidak bisa bergerak melainkan program-program sosial pun menjadi terhambat. Menggantungkan semata-mata pada harapan membaiknya ekonomi makro jelas bukan jawaban. Pemkot Yogyakarta harus mencari cara-cara kreatif untuk memulihkan ketertiban kota sekaligus mengembalikan harga diri para gelandangan dan pengemis.

Penggunaan poster “ANTIMEMBERI”, misalnya, bisa dijadikan kampanye yang efektif. Asumsinya, jika para Gepeng itu merasa jalanan sudah tidak menjadi tempat yang menguntungkan maka mereka akan berhenti dengan sendirinya. Akan tetapi pihak pemkot juga harus melakukan antisipasi kemungkinan munculnya kegiatan mengemis dalam bentuk lain, misalnya menyamar dalam bentuk sumbangan-sumbangan bencana alam, dan mengupayakan suatu program pemulihan.

Kerjasama dengan melibatkan lembaga non pemerintah yang reliable, selain dinas sosial tentu saja, perlu juga dijajaki agar program tidak menguap di tengah jalan dan berubah menjadi kontraproduktif. Stakeholders bisa dilibatkan untuk meneliti, mengidentifikasi dan memetakan masalah secara jernih untuk selanjutnya memutuskan solusi terbaik. Hasil penelitian itu bisa berupa usulan dalam bentuk penguatan keluarga Gepeng, pencarian orangtua asuh bagi anak-anak usia sekolah, pembekalan keterampilan, dan usaha-usaha lainnya agar para gelandangan dan pengemis memiliki penghasilan yang cukup. Biaya untuk mendanai program-program sosial untuk Gepeng bisa dilakukan dengan mengumpulkan dana dari masyarakat melalui penempatan boks-boks khusus yang disebar di mal-mal, supermarket, dan tempat belanja lainnya yang strategis.

Selain itu, upaya hukum juga perlu ditempuh seandainya terdapat indikasi kegiatan mengemis sebagai tindakan terorganisasi, atau perilaku Gepeng yang mengganggu dan karena itu bisa dijerat hukum, misalnya pemerasan. Aparat polisi seharusnya dapat dilibatkan sebagai pengawas dan menghentikan tindakan mengemis terorganisasi ini.

0 Comment